Penerimaan Konsumen Setelah Mengkonsumsi Minyak Sawit Mentah (MSMn) Dan Pengaruh Konsumsi Terhadap Kapasitas Antioksidan Plasma Dan Eritrosit Di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.

(1)

CONSUMER ACCEPTANCE OF CRUDE PALM OIL CONSUMPTION AND

ITS CONSUMPTION INFLUENCE ON ANTIOXIDANT CAPACITY OF

PLASMA AND ERYTHROCHYTES IN SUB-DISTRICT OF DRAMAGA,

BOGOR REGENCY

Misran, Fransiska R. Zakaria, and Waysima

Department of Food Science and Technology, Faculty Of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +6285658979893, E-mail: misran90@yahoo.com

ABSTRACT

Vitamin A deficiency is a common problem in the world especially in developing countries including Indonesia. A solution to overcome this problem is through food consumption diversification consisted of high vitamin A or pro-vitamin A. Indonesia has been being the largest crude palm oil (CPO) producer in the world since 2006. CPO contains 500-700 ppm carotenoids compound functioning as pro-vitamin A, especially due to β-caroten content. SawitA program is a program to overcome vitamin A deficiency in Indonesia by using palm oil based product called sawitA. This program had been conducted for two months. During this program, the respondents were given free products. Crude palm oil also has potential function as antioxidant because of its carotenoids, tocopherol, and tocotrienol contents. This research is a part of SawitA program that focused on analyzing product acceptance, total plasma antioxidant capacity, and erythrocyte antioxidant capacity. Product acceptance analysis is done by home-used test method with 75 respondents in sub-district of Dramaga. Total plasma antioxidant capacity was done in 35 respondents and was analyzed by total antioxidant kit from SIGMA, meanwhile erythrocytes antioxidant capacity was analyzed by DPPH scavenged antioxidant activities method. The results showed that product was accepted 88-100% by respondents with “like” category toward taste, odor, color, and over all attributes after two weeks until two months consumption. The total plasma antioxidant capacity average increases from 0,2285±0,0644 mM to 0,3081±0,0317 mM/ after interventions. The erythrocytes antioxidant capacity average also increases from 35,16% to 46,36% after interventions. The results of t-test with 5% level of significance showed that it was significant (P=0,000) for total plasma antioxidant capacity and erythrocytes antioxidant capacity respectively. The increasing of this antioxidant capacity is estimated as the effect of antioxidant compounds activities in sawitA product such as carotenoids and vitamin E.


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Proses oksidasi dan produksi dari senyawa radikal bebas dan spesies oksigen reaktif (ROS) merupakan bagian integral dari kehidupan dan metabolisme. Senyawa radikal bebas dan ROS diproduksi dalam tubuh untuk memenuhi beberapa fungsi biologis seperti aktivasi fagosit, mengatur pertumbuhan sel, dan sebagai sinyal interseluler. Senyawa radikal bebas dan ROS bermanfaat bagi tubuh apabila diproduksi dalam jumlah dan waktu yang tepat. Sebaliknya senyawa tersebut dapat bersifat sangat perusak karena bersifat sangat reaktif dan secara cepat menyerang molekul terdekat seperti protein, karbohidrat, lipid, dan DNA (Papas 1999a). Radikal bebas dan ROS menyerang lipid, gula, protein dan DNA, dengan menginduksi oksidasi yang mungkin menghasilkan kerusakan oksidatif seperti kerusakan membran, modifikasi protein, inaktivasi enzim, serta merusak utas DNA dan memodifikasi basanya (Shahidi & Zhong 2005). Terbentuknya radikal bebas dalam tubuh, di antaranya disebabkan oleh proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada mitokondria atau dalam proses-proses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi dalam tubuh. Proses ini melibatkan baik senyawa organik maupun senyawa non organik (Muhilal 1991).

Untuk melawan kerusakan yang disebabkan oleh senyawa radikal bebas dan ROS, manusia dan mahluk hidup lainnya mengembangkan komplek antioksidan, suatu sistem biologi untuk mencegah kerusakan oksidatif. Sistem antioksidan bekerja dengan cara menghilangkan dan menginaktivasi senyawa intermediet yang memproduksi radikal bebas. Antioksidan tersebut diproduksi di dalam tubuh (endogenus) dan berasal dari asupan makanan (eksogenus). Suatu keadaan di mana sistem antioksidan dan senyawa radikal bebas yang tidak seimbang disebut sebagai stres oksidatif. Stres oksidatif dipercaya sebagai penyebab kerusakan sel dan berkontribusi pada penuaan dan perkembangan penyakit kronik seperti penyakit hati dan kanker. Stres oksidatif dapat disebabkan oleh tingginya senyawa radikal bebas dan ROS, dan atau lemahnya sistem antioksidan karena asupan antioksidan eksogenus yang sangat rendah dan produksi antioksidan endogenus yang sedikit (Papas 1999a).

Beberapa studi telah mengilustrasikan bahwa minyak sawit merah (MSM) merupakan bahan pangan yang kaya akan senyawa antioksidan larut lemak seperti karotenoid (sebagian besar alfa- dan beta-karoten, likopen), vitamin E (dalam bentuk α-, -, δ- tokotrienol dan tokoferol) dan ubiquinon (sebagian besar koenzim Q10) (Ebong et al. 1999, Edem 2002, Van Rooyen et al. 2008). Studi yang dilakukan Ebong et al. (1999) menunjukkan manfaat MSM sebagai penurun stres oksidatif. Pemberian 15% MSM dalam ransum tikus mampu meningkatkan enzim antioksidan superoxide dismutase (SOD) pada hati tikus bila dibandingkan dengan kontrol pada minggu ke-4 meskipun mengalami penurunan pada minggu ke-8 (Dauqan et al. 2012). Minyak sawit merah (MSM) secara luas digunakan sebagai minyak untuk memasak di Afrika Barat dan Afrika Tengah. Minyak sawit merah merupakan sumber senyawa karotenoid terbesar sebagai provitamin A (Shahidi & Zhong 2005).Manfaat lain MSM di antaranya menurunkan kolesterol darah manusia 7% hingga 38% (Mattson & Grundy 1985, Bonanome & Grundy 1988).

Minyak sawit merah pada dasarnya dibuat dari minyak sawit mentah (MSMn) dengan proses minimal sehingga komponen penting seperti karotenoid dan vitamin E tidak rusak. Berdasarkan pada hal tersebut maka sangat dimungkinkan minyak sawit mentah (MSMn) juga memiliki potensi yang sama seperti halnya minyak sawit merah dalam hal sebagai sumber antioksidan. Hal tersebut juga didukung oleh kandungan karotenoid yang tinggi pada MSMn yaitu mencapai 400-700 ppm karotenoid. Pada minyak sawit mentah terkandung vitamin E sebesar 600-1000 ppm, terdiri atas campuran tokoferol (18-22%) dan tokotrienol (78-82%) (Sambanthamurthi et al. 2000).

Minyak sawit mentah merupakan salah sumber karotenoid alami terkaya. Tubuh manusia menggunakan karotenoid sebagai vitamin A. Karotenoid juga memperkuat fungsi sistem imun melalui berbagai mekanisme dan mengimprovisasi kesehatan kardiovaskular. Selain itu karotenoid


(3)

2

berperan sebagai antioksidan biologis, melindungi sel dan jaringan dari kerusakan akibat radikal bebas. Minyak sawit juga merupakan sumber vitamin E terkaya bila dibandingkan dengan sumber

lainnya. Vitamin E di dalam minyak sawit terdapat dalam bentuk α-, -, -, δ-tokoferol dan tokotrienol. Tokotrienol telah ditemukan sebagai antioksidan dan memiliki aktivitas antikanker. Aktivitas antioksidan vitamin E membawa beberapa manfaat yang baik bagi tubuh manusia di antaranya mencegah penuaan kulit, mencegah oksidasi lipid, dan mengurangi tekanan darah. Studi pada manusia menunjukkan bahwa tokotrienol kelapa sawit memiliki kemampuan menghalangi balik dari carotid arteri dan agregasi platelet, dengan cara demikian tokotrienol mengurangi resiko stroke, arteriosklerosis, dan penyakit hati. Fraksi kaya akan tokotrienol minyak sawit mampu melindungi otak dari kerusakan oksidatif. Kemampuan antioksidan dari gamma tokotrienol dapat mencegah perkembangan dari peningkatan tekanan darah dengan cara mengurangi peroksida lipid dan memperkuat status antioksidan termasuk aktivitas superoksida dismutase (Mukherjee & Mitra 2009). Pemberian minyak sawit mentah sebesar 7,35 gram/kg pada ransum tikus mampu meningkatkan enzim katalase pada plasma tikus paling tinggi dan berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya . Hal tersebut menunjukkan minyak sawit mentah sangat efektif dalam menangkal efek toksik malathion. Hasil proliferasi limfosit hampir sama dengan perlakuan lainnya yang menandakan bahwa minyak sawit kasar hampir sama kekuatannya dengan gabungan vitamin A, E, dan C (Subekti 1997).

Penelitian ini merupakan bagian dari Program SawitA. Program SawitA merupakan suatu program terapan yang dapat menjadi solusi baru dalam mengatasi masalah defisiensi vitamin A di Indonesia dengan menggunakan produk baru berbasis minyak sawit mentah. Produk minyak sawit mentah yang digunakan dalam penelitian disebut sebagai Produk SawitA dan diberikan secara gratis selama dua bulan kepada responden dari keluarga kurang mampu menurut data dari desa setempat serta disertai sosialisasi mengenai manfaat dan cara penggunaannya. Mengingat Produk SawitA merupakan produk baru dan penggunaannya akan dicampur dengan makanan sehari-hari, maka perlu diketahui penerimaan konsumen terhadap produk yang meliputi rasa, aroma, warna, dan atribut keseluruhan. Selain itu juga perlu dilihat perilaku dan pola konsumsi responden ketika mengkonsumsi Produk SawitA. Hal tersebut penting dalam menganalisis penerimaan Produk SawitA. Analisis penerimaan produk menggunakan metode uji penggunaan di rumah (Home use tests). Di sisi lain telah banyak penelitian mengenai manfaat minyak sawit merah (MSM) terutama sebagai antioksidan dan manfaat bagi kesehatan, Namun penelitian pengaruh minyak sawit mentah (MSMn) terhadap kapasitas antioksidan terutama pada manusia masih sangat terbatas. Oleh karena itu dalam penelitian ini juga dilihat pengaruh konsumsi minyak sawit mentah terhadap kapasitas antioksidan plasma dan sel darah merah, baik sebelum konsumsi produk maupun setelah konsumsi produk selama dua bulan pada sebagian responden. Pengaruh konsumsi Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan plasma dilihat pada 35 responden yang berasal dari Desa Dramaga, Desa Babakan, dan Desa Sukadamai.

B.

TUJUAN PENELITIAN

Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengatasi masalah kekurangan vitamin A di Indonesia melalui pemberian produk minyak sawit, khususnya kepada masyarakat kurang mampu.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi penerimaan responden mengkonsumsi Produk SawitA. 2. Menganalisis perilaku mengkonsumsi Produk SawitA.

3. Menganalisis pengaruh mengkonsumsi Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan plasma. 4. Menganalisis pengaruh mengkonsumsi Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan sel

darah merah.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai produk dan manfaat minyak sawit, sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan membantu dalam menentukan kebijakan pengambilan keputusan bagi pihak terkait, khususnya dalam mengatasi kekurangan vitamin A di


(4)

3

Indonesia dan sebagai sumber komponen antioksidan. Memberikan pengetahuan dan informasi kepada responden terutama ibu-ibu mengenai penggunaan dan manfaat produk, serta peran mereka terhadap peningkatan kesehatan keluarga. Bagi penulis penelitian bermanfaat untuk menambah dan memperluas pengetahuan serta wawasan dengan menerapkan teori yang telah didapatkan selama kuliah terhadap permasalahan di dunia nyata khususnya tentang minyak sawit. Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti yang akan melakukan studi lanjutan terhadap permasalahan yang sama dan memperkaya informasi mengenai manfaat minyak sawit yang sudah ada.


(5)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

KELAPA SAWIT

Kelapa sawit terdiri dua spesies, yang pertama yaitu Elais guinensis yang berasal dari Afrika Barat diantara Angola dan Gambia, tanaman ini pertama kali diperkenalkan di Brazil dan negara tropis lainnya pada abad ke-15 oleh bangsa portugis. Tanaman ini dibawa ke Indonesia oleh bangsa Belanda pada abad ke-19 dan dikembangkan di Bogor pada tahun 1984. Spesies kedua yaitu Elais oleifera yang berasal Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Spesies ini memiliki kandungan asam oleat dan linoleat yang lebih tinggi dan kandungan asam palmitat yang lebih rendah pada mesokarpnya.

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jacq) adalah tanaman golongan monokotil yang termasuk ke dalam famili palmae. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah berikilim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dengan kisaran suhu 22-32oC. Masa berbuah kelapa sawit setelah berumur 2,5 tahun dan pemanenan didasarkan pada saat kadar minyak mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum, yaitu pada saat buah mencapai tingkat kematangan dengan ciri-ciri buah yang lepas atau jatuh sekurang-kurangnya 5-10 buah pertandan (Hartley 1977). Klasifikasi ilmiah kelapa sawit dapat di lihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit Klasifikasi Ilmiah Kingdom Plantae

Divisi Magnoliophyta

Kelas Liliopsida

Ordo Arecales

Famili Arecaceae

Genus Elais Jacq.

Sumber : Ketaren (2005)

Ketaren (2005) menyatakan ada empat macam varietas kelapa sawit berdasarkan ketebalan tempurung sebagaimana tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Varietas kelapa sawit berdasarkan ketebalan tempurung

Tipe Tebal tempurung (mm) Bentuk buah

Mocrocarya Tebal sekali 5 Tidak teratur Dura Tebal 3-5 Penampang bulat Tenera Sedang 2-3 Penampang bulat

Pisifera Tipis Penampang bulat

Berdasarkan warna kulit buah setelah masak, Ketaren (2005) membagi kelapa sawit ke dalam tiga varietas yaitu Nigrescents berwarna merah kehitaman, varietas Verescens berwarna merah terang dan varietas Albecens berwarna hitam.

Secara anatomi, bagian buah kelapa sawit terdiri atas perikarp dan biji. Perikarp tersusun oleh epikarp dan mesokarp. Epikarp merupakan kulit buah yang licin dan keras, sedangkan mesokarp adalah daging buah yang berserabut dan mengandung minyak dengan rendemen tinggi. Biji tersusun oleh endokarp, endosperm dan lembaga embrio. Endokarp adalah tempurung kulit biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah daging biji yang berwarna putih dan dari bagian ini dihasilkan minyak inti sawit.


(6)

5

Gambar 1. Kelapa sawit (Netfirms 2005)

Pemanenan kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarp maksimum dan kandungan asam lemak bebas minimum. Pembentukan minyak mulai terjadi pada buah berumur 16 minggu. Kadar lemak akan menurun sampai umur 20 minggu. Jadi sebaiknya panen dilakukan pada saat buah berumur 15-16 minggu karena kadar lemak maksimum dan tidak terjadi peningkatan asam lemak bebas (Muchtadi 1992). Kriteria kematangan dapat dilihat dari warna kulit buah yang rontok dari setiap tandan. Kenaikan jumlah buah yang rontok 5-74% menunjukkan kenaikan kandungan minyak pada mesokarp sebesar 5% dan asam lemak bebas meningkat 0,5% menjadi 2,9% (Ketaren 2005).

Indonesia merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2005, luas areal Perkebunan Rakyat (PR) sekitar 2.202 ribu ha (40,44%), Perkebunan Negara (PBN) 630 ribu ha (11,58%) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 2.613 ha (47,98%). PR memberi andil produksi minyak sawit mentah (MSMn) sebesar 3.874 ribu ton (31,11%) dengan produktivitas 2,86 tin MSMn/ha, PBN sebesar 2.050 ribu ton (16,46%) dengan produktivitas 3,57 ton MSM/ha, dan PBS sebesar 6.528 ribu ton (52,43%) dengan produktivitas 3,51 ton MSMn/ha (BPPP 2007). Tahun 2008 Indonesia memproduksi minyak sawit sebesar 18 juta ton, sementara pada tahun 2009 memproduksi MSMn lebih dari 18 juta ton, dan menjadi pengekpor minyak sawit utama di dunia bersama dengan Malaysia (POGDC 2011).

B.

MINYAK SAWIT MENTAH (MSMn)

Minyak sawit mentah juga dikenal sebagai crude palm oil (CPO) yaitu minyak yang berasal dari proses ekstraksi sabut kelapa sawit (mesokarp). Pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan MSMn dimulai dari penanganan bahan baku atau tandan buah segar (TBS) pada saat pemanenan hingga sampai pabrik. Secara garis besar pengolahan TBS menjadi MSMn yaitu melalui tahapan perebusan, perontokan (pemipilan), pelumatan (pencacahan), ekstraksi minyak dan klarifikasi (Yuliawan 1997).

a.

Pengukusan

TBS yang tiba dari kebun segera ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam lori perebusan. Lori perebusan dimasukkan ke dalam sterilizer yang dapat ditutup dengan rapat untuk menghindari terjadinya pengeluaran uap sebagai media perebus. Proses pengukusan berlangsung pada suhu 135-160oC selama 90-110 menit dengan tekanan 2,8-3,0 kg/cm2. Pengukusan pada dasarnya bertujuan agar mempermudah pelepasan buah dari tandan, melunakkan buah sehingga mempermudah penghancuran, inaktivasi enzim lipase dan oksidase yang merangsang pembentukan asam lemak bebas, menurunkan kadar air di dalam jaringan buah, mempermudah pemisahan tempurung dengan inti, menguraikan pektin dan polisakarida sehingga menjadi lunak.

Epikarp Mesokarp

Endokarp


(7)

6

b.

Perontokan

Perontokan memiliki tujuan untuk memisahkan tandan dengan buah. Proses perontokan buah terjadi akibat perputaran mesin perontok. Mesin perontok buah memiliki batang-batang penghubung yang diatur dengan interval yang sama.

c.

Pelumatan (pencacahan)

Pelumatan dilakukan untuk memisahkan buah dengan biji serta memudahkan proses ekstraksi minyak. Pelumatan dilakukan dengan cara pengadukan buah oleh alat yang dilengkapi pisau berputar. Pada proses pelumatan ini ditambahkan air bersuhu 90 hingga 95oC untuk mempermudah pemisahan buah dengan biji serta membuka kantong-kantong minyak sehingga dapat mengurangi kehilangan minyak. Suhu yang rendah menyebabkan minyak semakin kental sehingga menyulitkan ekstraksi minyak.

d.

Ektraksi minyak

Ekstraksi adalah proses untuk memperoleh minyak dari daging buah (mesokarp) yang telah mengalami pencacahan. Proses ekstraksi dilakukan secara mekanis untuk mengeluarkan kandungan minyak. Daging buah yang telah dicacah dimasukkan ke dalam mesin pengepres ulir yang terdiri atas dua ulir yang berputar berlawanan dan dilengkapi dengan saringan pengepres.

Buah yang telah lumat mengeluarkan minyak melalui lubang-lubang kecil. Selama proses ekstraksi ditambahkan air bersuhu 90-95oCsebanyak 600-800 liter/jam untuk memudahkan ekstraksi minyak. Tekanan hidraulik pada mesin pengepres berkisar 40-50 kg/cm2. Tekanan yang rendah menyebabkan proses ekstraksi minyak kurang maksimal.

e.

Klarifikasi

Proses ekstraksi menghasilkan rata-rata 66% minyak, 24% air dan 10 % padatan (Basiron 2005). Klarifikasi adalah proses pembersihan minyak yang bertujuan untuk mengeluarkan air dan kotoran dari minyak, memperkecil kerusakan minyak akibat oksidasi, memperkecil kehilangan minyak dan menekan biaya produksi, serta mempermudah pengolahan limbah.

Klarifikasi terdiri atas beberapa tahapan proses, yaitu pemisahan kotoran berupa serabut dan lumpur, pemisahan minyak dengan air, pengambilan minyak yang terdapat pada lumpur serta pembersihan. Pembersihan kotoran berupa serabut dilakukan dengan saringan getar, pemisahan kotoran berupa lumpur dilakukan dengan decanter, pemisahan minyak dan air dilakukan pada tangki pengendapan, sedangkan pembersihan minyak dilakukan pada alat pembersihan minyak (oil purifier).

Minyak hasil ekstraksi ditampung pada tangki perangkap pasir, tangki tersebut digunakan untuk memisahkan pasir dengan minyak. Pemisahan pasir terjadi akibat perbedaan berat jenis antara pasir, minyak dan air dengan pemberian uap panas pada tangki perangkap pasir. Minyak selanjutnya dialirkan pada saringan getar yang bertujuan untuk memisahkan benda-benda padat pada minyak.

Minyak yang telah disaring dialirkan ke dalam decanter, pada alat ini terjadi pemisahan kotoran berupa lumpur dengan cara sentrifuse 6000 rpm, pada proses tersebut digunakan air panas sebagai pengencer. Lumpur yang masih terdapat pada minyak selanjutnya dipisahkan berdasarkan berat jenis. Air yang terkandung pada minyak dihilangkan dengan alat pengering hampa agar minyak tidak mudah terhidrolisis. Minyak yang diperoleh berupa MSMn selanjutnya ditimbang dan disimpan di dalam tangki penyimpanan. Lumpur yang masih mengandung minyak dari tangki pengendap


(8)

7

dialirkan ke dalam tangki lumpur. Cairan lumpur hasil klarifikasi yang masih mengandung minyak tersebut ditampung sementara di bak penampungan untuk di daur ulang. Proses pengolahan kelapa sawit hingga menjadi MSMn dapat dilihat pada Gambar 2.

MSMn mempunyai karakter yang belum layak makan, karena masih mengandung air, serat mesokarp, asam lemak bebas, fosfolipid dan senyawa fosfatida lainnya, logam, dan juga berbagai macam produk hasil oksidasi, bau dari senyawa volatil, warna yang pekat, dan banyaknya komponen padatan serta senyawa lain yang terlarut menyebabkan perlunya dilakukan langkah pemurnian (Ketaren 2005).

Gambar 2. Diagram alir proses pengolahan kelapa sawit (Yuliawan 1997)

MSMn terdiri dari gliserida yang tersusun rangkaian asam lemak. Asam lemak penyusun dalam MSMn bervariasi dari panjang rantai karbon 12 hingga 20. Dari asam lemak tersebut sekitar 50% asam lemak jenuh dan 50% tidak jenuh (Basiron 2005). Sebagian besar komponen asam lemak tersebut dalam bentuk trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida. MSMn juga mengandung komponen lainnya seperti asam lemak bebas dan nongliserida. Komponen nontrigliserida pada MSMn menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada minyak, berpengaruh terhadap rasa pada minyak, dan mempercepat ketengikan pada minyak. Oleh karena itu, kandungan komponen nontrigliserida yang terlalu tinggi pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak (Choo et al. 1994).

Pengetahuan tentang asam lemak penyusun struktur trigliserida pada MSMn penting untuk menentukan karakteristik fisik dari minyak. Titik leleh dari suatu trigliserida sangat tergantung dari struktur dan posisi dari asam lemak penyusunnya (Basiron 2005). Wujud minyak dan lemak tergantung komposisi asam lemak penyusunnya. Minyak yang berwujud padat pada suhu kamar karena banyak mengandung asam lemak jenuh, misalnya asam palmitat dan stearat yang mempunyai titik cair tinggi pada suhu kamar. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi tetap (Ketaren 2005). Komposisi asam lemak pada kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 3.

Perebusan tanda buah

Perontokan/pemipilan

Pelumatan/pencacahan

Ekstraksi minyak

Pemisahan pasir, serabut, lumpu dan air

Minyak

Pembersihan minyak

Pengeringan minyak

CPO

minyak

Lumpur Pemisahan lumpur Pembersihan lumpur Minyak mengandung lumpur


(9)

8

Tabel 3. Komposisi asam lemak kelapa sawit

Panjang atom C Prosentase (%)

Rata-rata Range

12:0 0,23 0,1-1,0

14:0 1,09 0,9-1,5

16:0 44,02 41,8-46,8

16:1 0,12 0,1-0,3

18:0 4,54 4,2-5,1

18:1 39,15 37,3-40,8

18:2 10,12 9.1-11,0

18:3 0,37 0-0,6 20:0 0,38 0,2-0,7 Sumber : Basiron (2005)

Komposisi asam lemak tersebut bisa bervariasi pada setiap negara karena pengaruh geografi. Sebagai contoh adalah perbedaan komposisi asam lemak palmitat dan stearat pada Tabel 4.

Tabel 4. Prosentase beberapa asam lemak pada CPO pada beberapa negara

Asam lemak Negara (%)

Zaire Indonesia Malaysia

Palmitat 41-43 46-50 46-51

Stearat 4,4-6,3 2,0-4,0 1,5-3,5

Sumber : Sambanthamurthi et al. (2000)

Seperti semua minyak, trigliserida merupakan komponen utama dalam MSMn. Lebih dari 95% minyak sawit terdiri atas campuran trigliserida seperti molekul gliserol yang diesterifikasi dengan tiga asam lemak. Selain komponen mayor dalam MSMn juga terdapat komponen minor. Komponen minor ini tersusun atas dua grup. Grup pertama adalah turunan asam lemak seperti gliserida parsial (mono-dan diacylglycerol), Fosfatida, ester, dan sterol. Grup kedua adalah senyawa yang secara kimia tidak berelasi dengan asam lemak seperti hidrokarbon, alkohol aliphatic, sterol bebas, pigmen dan mikromineral (Sambanthamurthi et al. 2000). Kandungan komponen minor pada MSMn ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Komponen minor pada MSMn

Komponen minor Konsentrasi (ppm)

Karotenoid 500-700

Tokoferol dan tokotrienol 600-1000

Sterol 326-527

Fosfolipid 5-130

Triterpen alkohol 40-80

Metil sterol 40-80

Squalen 200-500

Alkohol alifatik 100-200

Hidrokarbon alifatik 50

Sumber: Choo et al. (1994)

Minyak kelapa sawit terdiri dari dua fraksi, fraksi cair disebut dengan olein sedangkan fraksi padat disebut dengan stearin. Untuk memisahkan kedua fraksi dilakukan fraksinasi, proses fraksinasi berdasarkan titik beku dari kedua jenis fraksi tersebut. Karakteristik stearin dan olein ditunjukkan oleh Tabel 6.

Tabel 6. Karekteristik stearin dan olein MSMn

Karekteristik Olein Stearin

Titik cair (oC) 21,6 44,5-56

Bilangan iod 58 21,6-49,4 Sumber : Bernadini (1983)

Setiap fraksi pada kelapa sawit mengandung karotenoid yang berbeda-beda. Besarnya kandungan pada setiap fraksi ditunjukkan oleh Tabel 7.


(10)

9

Tabel 7. Kandungan karotenoid pada berbagai fraksi kelapa sawit

Fraksi Ppm

Crude palm oil 630-700

Crude palm olein 680-760

Crude palm stearin 380-540

Residual oil from fiber 4000-6000

Second-pressed oil 1800-2400

Sumber : Choo et al. (1994)

Olein hasil fraksinasi MSMn umumnya digunakan sebagai minyak goreng. Olein mempunyai sifat yang tahan terhadap oksidasi dan mempunyai umur simpan yang lama sebagai produk jadi. Stearin pada umumnya digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan shortening, margarin dan pasta (Ketaren 2005).

Tabel 8. Komposisi asam lemak olein kelapa sawit

Asam Lemak Atom C Komposisi (%)

Laurat C12:0 0,1-0,5

Miristat C14:0 0,9-1,4

Palmitat C16:0 38,2-49,2

Stearat C18:0 3,7-4,8

Oleat C18:1 39,8-43,9

Linoleat C18:2 10,4-13,4

Komponen lain 0,1-0,6

Sumber : Beare-Roger et al. (2001)

Stearin memiliki sifat plastis. Hal utama yang menyebabkan stearin mempunyai sifat plastis dan beku pada suhu ruang adalah tingginya kandungan asam lemak palmitat. Distribusi asam lemak pada olein dan stearin dapat dilihat pada Tabel 8 dan 9.

Tabel 9. Komposisi asam lemak stearin kelapa sawit

Asam Lemak Atom C Komposisi (%)

Laurat C12:0 0,1

Miristat C14:0 0,3

Palmitat C16:0 55,2

Stearat C18:0 5,3

Oleat C18:1 29,5

Linoleat C18:2 8,0

Linolenat C18:3 0,2

Arakhidat C20:0 0,3

Sumber : Beare-Roger et al. (2001)

Minyak sawit mentah (MSMn) merupakan salah sumber karotenoid alami terkaya. Tubuh manusia menggunakan karotenoid sebagai vitamin A. Beberapa studi telah mengilustrasikan bahwa minyak sawit merah (MSM) merupakan bahan pangan yang kaya akan senyawa antioksidan larut lemak seperti karotenoid (sebagian besar alfa- dan beta-karoten, likopen), vitamin E (dalam bentuk α-, -, δ- tokotrienol dan tokoferol) dan ubiquinon (sebagian besar koenzim Q10) (Ebong et al. 1999, Edem 2002, Van Rooyen et al. 2008). Karotenoid juga memperkuat fungsi sistem imun melalui berbagai mekanisme dan mengimprovisasi kesehatan kardiovaskular, serta melindungi sel dan jaringan dari kerusakan akibat radikal bebas. Minyak sawit juga merupakan sumber vitamin E terkaya bila dibandingkan dengan sumber lainnya. Vitamin E di dalam minyak sawit terdapat dalam bentuk α

-, -, -, δ-tokoferol dan tokotrienol. Tokotrienol telah ditemukan sebagai antioksidan dan memiliki aktivitas antikanker. Aktivitas antioksidan vitamin E membawa beberapa manfaat yang baik bagi tubuh manusia di antaranya mencegah penuaan kulit, mencegah oksidasi lipid, dan mengurangi tekanan darah. Studi pada manusia menunjukkan bahwa tokotrienol kelapa sawit memiliki kemampuan menghalangi balik dari carotid arteri dan agregasi platelet, dengan cara demikian tokotrienol mengurangi resiko stroke, arteriosklerosis, dan penyakit hati. Fraksi kaya akan tokotrienol


(11)

10

minyak sawit mampu melindungi otak dari kerusakan oksidatif. Kemampuan antioksidan dari gamma tokotrienol dapat mencegah perkembangan dari peningkatan tekanan darah dengan cara mengurangi peroksida lipid dan memperkuat status antioksidan termasuk aktivitas superoksida dismutase (Mukherjee & Mitra 2009).

Hasil penelitian Subekti (1997) menunjukkan bahwa pemberian minyak sawit mentah sebesar 7,35 gram/kg pada ransum tikus mampu meningkatkan secara signifikan enzim katalase pada plasma tikus dan peningkatan tersebut merupakan peningkatan paling tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan minyak sawit mentah sangat efektif dalam menangkal efek toksik malathion. Hasil proliferasi limfosit hampir sama dengan perlakuan lainnya yang menandakan bahwa minyak sawit kasar hampir sama kekuatannya dengan gabungan vitamin A, E, dan C (Subekti 1997).

C.

KAROTENOID

Karotenoid adalah tetraterpene tidak jenuh yang disintesis dari delapan unit isoprena. Bentuk karotenoid di alam lebih banyak dalam bentuk trans karena lebih stabil (Basiron 2005). Senyawa karotenoid pada tumbuhan ditemukan dalam non-green plastida, kloroplas dan kromoplas (Gross 1991). Struktur dasar karotenoid terdiri dari ikatan hidrokarbon tidak jenuh yang dibentuk oleh 40 atom karbon atau 8 unit isoprena dan memiliki dua buah gugus cincin. Berdasarkan unsur penyusunnya karotenoid dibagi menjadi 2 golongan utama, yaitu :

1. Golongan karotenoid yang tersusun oleh atom C dan H seperti α-, -, dan -karoten.

2. Golongan oksi karoten dan xantofil yang tersusun oleh atom C, H dan OH seperti lutein, violaxantin, zeaxantin, dan kriptosantin.

Gambar 3. Struktur isoprena

Meyer (1966) menyatakan karotenoid dibagi atas 4 golongan, yaitu 1) Karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α, , karoten dan likopen β) Xantofil dan turunan karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin dan lutein 3) Asam karotenoid yang mengandung gugus hidroksil 4) Ester xantofil asam lemak. Sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam klorofom, benzena, karbondisulfida, dan petroleum eter, tidak larut dalam metanol dan etanol dingin, tahan terhadap panas apabila keadaan vacuum, peka oksidasi, autooksidasi dan cahaya serta mempunyai ciri khas absorpsi cahaya.

Crude palm oil (CPO) adalah salah satu sumber terkaya karotenoid alami dengan konsentrasi 500-700 ppm. Kandungan karotenoid tersebut 15 kali lebih banyak sebagai retinol equivalen dibandingkan dengan dengan wortel dan 300 kali dibandingkan tomat (Choo et al. 1994). Kandungan karotenoid pada berbagai varietas kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 10.

Karotenoid dapat ditemukan bebas di dalam jaringan tumbuhan dalam bentuk kristal atau padatan amorf atau terlarut dalam lipid. Senyawa ini juga berikatan ester dengan gula dan protein. Bentuk asosiasi karotenoid dengan protein membantu menstabilkan pigmen dan merubah warna. Sebagai contoh karotenoid berwarna merah astaxanthin ketika berasosiasi dengan protein pada cangkang lobster akan berwarna biru, ovoverdin berwarna hijau pada telur lobster. Karotenoid juga dapat berkombinasi dengan gula pereduksi melalui ikatan glikosidik. Sebagai contoh crocin sebagai pigmen pada saffron berisi dua gula gentibiosa yang bersatu dengan crocetin (Francis 1985).


(12)

11

Tabel 10. Profil karotenoid pada berbagai varietas kelapa sawit.

Karoten Komposisi karoten (%)

M P D T

Phytoene 1,12 1,68 2,49 1,27

Cis- -karoten 0,48 0,10 0,15 0,68

-karoten 54,08 54,39 56,02 56,02

α-karoten 40,38 33,11 54,35 35,16

Cis- α-karoten 2,30 1,64 0,86 2,49

-karoten 0,09 0,48 1,10 0,33

δ-karoten 0,09 0,27 2,00 0,83

-zeacarotene 0,57 0,97 0,56 0,74

α-zeacarotene 0,43 0,21 0,30 0,23

Lycopene 0,07 4,50 7,81 1,30

Total karoten (ppm) 4592 428 997 673

*Keterangan M: E.oleifera (Melanococca) P: E. guineensis (pisifera)

D: E. guineensis (dura) T : E. guineensis (tenera) Sumber : Basiron (2005)

a.

Stabilitas Karotenoid

Adanya ikatan ganda menyebabkan karotenoid peka terhadap oksidasi yang akan lebih cepat dengan adanya sinar dan logam, khususnya tembaga, besi dan mangan (Walfford 1980). Oksidasi terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Klaui dan Bauernfeid (1981) menyatakan faktor utama yang mempengaruhi karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen maupun perubahan struktur oleh panas. Panas akan mendekomposisi karotenoid dan menyebabkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai pada suhu 60 oC tidak mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid tetapi stereoisomer mengalami perubahan (Meyer 1966).

Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak tidak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih mudah menerima radikal bebas bila dibandingkan dengan karotenoid. Dengan demikian oksidasi pertama kali akan terjadi pada asam lemak dan karotenoid terlindungi dari oksidasi. Pada suasana asam, karotenoid mengalami isomerisasi dan membentuk policis-isomer (Chichester & Feeters 1970). Karotenoid mempunyai kisaran warna kuning hingga merah, sehingga deteksi panjang gelombangnya diperkirakan 430-480 nm (Fennema 1996).

b.

Karotenoid Sebagai Provitamin A

Karotenoid mempunyai peranan penting sebagai provitamin A. Khususnya -karoten merupakan sumber provitamin yang paling aktif. Senyawa ini akan dirubah selama di dalam saluran pencernaan sebagai vitamin A. Vitamin A mempunyai fungsi dalam meregulasi penglihatan, pertumbuhan dan reproduksi. Selain itu, vitamin A berfungsi dalam diferensiasi sebagian besar sel epitel, termasuk kulit, bronkus, trakea, lambung, usus halus, uterus, ginjal dan organ lainnya.

Minyak sawit telah dikonsumsi manusia lebih dari 5000 tahun. Laju pencernaan dan penyerapan minyak sawit oleh tubuh manusia adalah lebih dari 97%, seperti halnya pada minyak dan lemak lainnya (Basiron 2005). Bioavailabiliti karotenoid dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah komposisi karotenoid pangan, lemak pangan dan serat, sifat matriks pangan, preparasi pangan sebelum di konsumsi, ukuran partikel, interaksi karotenoid selama penyerapan, metabolisme, dan transportasi (Olson 1999, Parker et al. 1999, Hof et al. 2000). Bioavailabilitas (prosentase penyerapan) karotenoid sangat bervariasi mulai dari 1% hingga 99%. Karotenoid dalam larutan minyak memiliki bioavailabilitas tertinggi jika dibandingkan degan karotenoid yang masih tersimpan dalam matrik pangan (Parker et al. 1999).

Beta karoten merupakan provitamin A yang paling banyak tersebar luas di alam. Senyawa ini


(13)

12

tersebut untuk membentuk dua molekul vitamin A. Konversi -karoten menjadi senyawa vitamin A terjadi pada permukaan usus halus (Gross 1991). Menurut Gross (1991) karotenoid biasanya ditemukan di dalam lemak dan darah, selain itu juga terdapat pada susu, retina, hati, pankreas. Total karotenoid dapat bervariasi hingga 40 kali pada individu yang berbeda. Rata-rata total karotenoid adalah 0,34-13 µg g-1 jaringan adiposa. Dari jumlah tersebut -karoten dan likopen merupakan karotenoid terbesar (20,2% dan 18,5%). Jika konsumsi karotenoid berlebih maka akan ditemukan karotenoid yang tinggi di dalam darah (karotenemia) dan di kulit, yang menyebabkannya berwarna kuning (karotenoderma), namun hal tersebut tidak berbahaya karena tidak menyebabkan hipervitaminosis A (Gross 1991).

Enzim yang berperan dalam konversi senyawa karotenoid menjadi vitamin A adalah -karoten

15,15’-dioksigenase. Enzim tersebut dapat ditemukan pada banyak spesies mamalia termasuk tikus, kelinci, dan babi. Selain itu juga terdapat pada usus ikan, kura-kura namun tidak terdapat pada kucing.

Konversi -karoten menjadi vitamin A dikontrol oleh hormon tiroid dan androgen. Kedua hormon ini

akan menstimulasi penyerapan -karoten, sebaliknya tiroid inhibitor thiouracil akan menghambat penyerapannya. Asupan protein pada makanan juga mempengaruhi pada perubahan karoten menjadi vitamin A yaitu secara langsung berpengaruh pada produksi enzim oksigenase (Goodwin 1994).

Gambar 4. Struktur -karoten

Beta karoten 15,15’-dioksigenase akan menghasilkan dua molekul retinal kemudian retinal akan direduksi menjadi retinol. Selanjutnya retinol akan diesterifikasi dengan asam lemak rantai panjang, ditranspor ke limfa dan disimpan dalam hati (Gross 1991). Vitamin A dalam hati disimpan dalam bentuk retinol, sedangkan ketika diangkut dalam darah terikat oleh protein spesifik disebut retinol binding protein (RBP) yang akan diangkut ke organ mata dan organ lainnya (Winarno 1995).

Selain -karoten senyawa karotenoid lainnya juga memiliki aktivitas vitamin A. Tabel 11 menunjukkan aktivitas berbagai senyawa karotenoid sebagai vitamin A.

Tabel 11. Aktivitas vitamin A pada beberapa senyawa karotenoid

Karotenoid Aktivitas Vit.A (%)

All-trans- -carotene 100

9-cis- -carotene 38

13-cis- -carotene 53

All-trans- α-carotene 53

9-cis- α-carotene 13

13-cis- α-carotene 16

All-trans-Cryptoxanthin 57

9-cis- Cryptoxanthin 27

15-cis- Cryptoxanthin 42

-carotene 5,8-epoxide 21

-carotene 5,8-epoxide (mutatochrome) 50

-carotene 42-50

-Zeacarotene 20-40

Sumber: Gross (1991)

Asupan vitamin A dapat diperoleh dari hewan dalam bentuk vitamin A dan dari tumbuhan dalam bentuk provitamin A yaitu karotenoid. Aktivitas vitamin A dari karotenoid tergantung dari sifat dan jumlah karotenoid yang aktif sebagai vitamin A, bentuk isomer, stabilitas selama dalam saluran pencernaan serta kemampuan senyawa tersebut dicerna (Gross 1991). Pada tahun 1967 FAO/WHO merekomendasikan bahwa satu per enam dari asupan karotenoid dari bahan makanan secara umum secara metabolisme sebagai vitamin A, dengan asumsi satu per tiga penyerapan di usus halus adalah

-karoten dan efesiensi konversi senyawa tersebut menjadi vitamin A adalah 50%.

Salah satu sumber karotenoid terkaya adalah minyak sawit. Minyak sawit mengandung beberapa karotenoid esensial yang penting sebagai antioksidan. Salah satu di antaranya adalah likopen. Likopen adalah karotenoid yng paling efesien dalam meredam singlet oksigen yaitu dua kali


(14)

13

lebih efisien dibandingkan dengan beta karoten dan 100 kali bila dibandingkan dengan vitamin E. Senyawa karotenoid bekerja pada sistem pertahanan utama atau preventive antioxidant di mana senyawa karotenoid akan meredam (quenching) singlet oksigen, sekaligus sebagai sistem pertahanan kedua atau radical scavenging antioxidant di mana senyawa karotenoid menangkap radikal bebas sehingga menghambat inisiasi dari proses oksidasi (Noguchi & Niki 1999). Interaksi antara karotenoid dan singlet oksigen salah satunya melalui mekanisme physical quenching di mana energi dari singlet oksigen ditransfer ke karotenoid dan membebaskannya ke lingkungan sebagai panas. Selain itu juga dapat melalui mekanisme chemical quenching di mana karotenoid dihancurkan melalui proses penambahan oksigen ke dalam ikatan ganda karotenoid (Boeliau et al. 1999).

D.

VITAMIN A

Masalah kekurangan vitamin A merupakan masalah malnutrisi penduduk dunia. Setidaknya terdapat lebih dari 40% populasi penduduk dunia menderita malnutrisi seperti kekurangan vitamin A, zat besi, zink dan iodium (Misra et al. 2004). Terdapat 25-30% kematian bayi dan balita di dunia disebabkan oleh masalah kekurangan vitamin A (KVA). Data WHO pada Tahun 2009 menunjukkan lebih dari sembilan juta anak-anak Indonesia dan satu juta penduduk Indonesia menderita KVA. Sebagian besar masalah KVA dialami penduduk negara berkembang termasuk Indonesia.

Kemiskinan merupakan penyebab penting terjadinya masalah kekurangan gizi, termasuk di dalamnya defisiensi vitamin A. Hal ini disebabkan rendahnya asupan makanan bergizi dan berkualitas, serta rendahnya pengetahuan pangan. Di Indonesia sebagian besar KVA terjadi pada penduduk miskin. Pada Maret 2011 masih terdapat 30,02 juta orang (12,49%) penduduk Indonesia tergolong miskin. Sebanyak 12,14% jumlah penduduk miskin pada Tahun 2011 terdapat di Pulau Jawa (BPS 2011). Bogor merupakan kabupaten terbesar di Jawa Barat dengan jumlah penduduk 4,7 juta jiwa. Sekitar 30% penduduk Bogor merupakan penduduk miskin (BPS 2010).

Di Indonesia penanggulangan masalah vitamin A merupakan salah satu sasaran rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) pada Tahun 2011-2015 (BAPPENAS 2011). Usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan vitamin A meliputi diversifikasi konsumsi pangan, suplementasi vitamin A dosis tinggi, fortifikasi pangan, biofortifikasi, dan edukasi nutrisi (Mwaniki 2007). Suplementasi vitamin A pada balita usia 6-59 bulan dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pada tahun 2010 cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita mencapai 69,8% (BAPPENAS 2011).

Vitamin A merupakan zat gizi esensial, yaitu vitamin larut lemak dimana aktivitas biologis senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Di dalam tubuh, vitamin A ditemukan dalam tiga bentuk utama yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid) dan retinoat (asam). Retinol dapat dirubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson 1991).

Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani. Sumber vitamin A dari tumbuhan sering dikenal sebagai provitamin A, yang sebagian besar berasal dari karotenoid. Secara

biologis, karotenoid yang dapat diubah menjadi vitamin A yaitu α-karoten, -karoten, dan -kriptosanthin (Bredbenner et al. 2009).

Kebutuhan vitamin A adalah 900 µg RAE (retinol activity equivalents) tiap hari untuk pria dewasa dan 700 µg RAE untuk wanita dewasa, namun tidak ada nilai batasan untuk provitamin A karotenoid. Sumber vitamin yang berasal dari hewan adalah dalam bentuk retinol dan retinil ester (retinol yang berikatan dengan asam lemak). Retinil ester tidak memiliki aktivitas sebagai vitamin A sebelum retinol dipisahkan dari asam lemak di dalam saluran penernaan. Proses tersebut melibatkan getah empedu dan enzim lipase dan diserap oleh usus hingga 90%. Setelah terjadi diabsorbsi asam lemak kembali bersatu membentuk retinil ester dan dibawa melalui kilomikron sebelum memasuki saluran limfa. Provitamin A karotenoid akan dirubah secara enzimatis menjadi retinal atau asam retinoat. Karotenoid juga dapat diserap secara langsung dengan perbandingan yang lebih rendah dibandingkan dengan retinol. Lebih dari 90% vitamin A disimpan di dalam hati untuk memenuhi kebutuhan vitamin A beberapa bulan (Bredbenner et al. 2009).


(15)

14

Asam retinoat memiliki fungsi penting sebagai vitamin A diantaranya adalah diferensiasi sel, berperan dalam embriogenesis, sintesis glikoprotein, imunitas, dan pertumbuhan. Retinol berperan penting dalam penglihatan dan reproduksi sel (Thurnham 2007). Defisiensi vitamin A menghasilkan banyak perubahan pada mata. Ketika retinol dalam darah tidak cukup untuk menggantikan retinal pada siklus penglihatan, sel batang pada retina akan meregenerasi rodopsin lebih lambat. Kebutaan pada malam hari adalah gejala umum yang timbul sebagai akibat defisiensi vitamin A, selain itu bentuk gangguan lainnya yaitu bintik bitot dan xerosis. Bintik bitot dapat berlanjut menjadi keratomalasia yaitu pelunakan kornea. Perubahan yang terjadi pada mata dapat berlanjut pada xerophthalmia yang menyebabkan kebutaan permanen. Lebih lanjut defisiensi vitamin A menyebabkan perubahan pada kulit atau keratosis. Pada bayi dan anak-anak defisiensi vitamin A akan mempengaruhi pertumbuhan (Bredbenner et al. 2009).

Kebutuhan vitamin A setiap orang berbeda-berbeda tergantung dari umur dan jenis kelamin. Tabel 12 menunjukkan recommended dietary intake (RDI) vitamin A berdasarkan FAO/WHO 1998. Tabel 12. Recommended dietary intake (RDI) vitamin A

Umur dan Jenis Kelamin FAO/WHO (µg RE/hari

0-1 tahun/bayi 350-500

1-6 tahun 400

7-12 tahun 500

Remaja 600

Laki-laki dewasa 600-900

Wanita dewasa 600-900

Hamil 700-800

Menyusui 850,1100,1300

Sumber : Thurnham (2007)

Kelebihan vitamin A disebut sebagai hipervitaminosis A, muncul pada suplementasi pada waktu yang lama 5 hingga 10 kali lebih besar dari RDA vitamin A. Untuk mencegah efek berbahaya ditetapkan upper level vitamin A 3000 µg/hari. Tidak ada batas atas untuk karotenoid karena toksisitas vitamin A hanya dihasilkan dari kelebihan vitamin A bukan provitamin A. Kelebihan vitamin A dapat menyebabkan toksisitas akut, kronik, dan teratogenik. Toksisitas akut meliputi gangguan saluran pencernaan, sakit kepala, hilangnya penglihatan, dan rendahnya koordinasi otot. Toksisitas akut diantaranya menyebabkan kerusakan hati, pengurangan mineral tulang, koma dan sebagainya. Sementara toksisitas teratogenik menyebabkan keguguran, dan fetal malformations. Konsumsi karotenoid dalam jumlah besar tidak secara langsung menyebabkan toksisitas. Asupan karotenoid berlebih menyebabkan tingginya konsentrasi karotenoid di kulit sehingga kulit menjadi warna kuning atau hiperkarotemia (Bredbenner et al. 2009). Thurnham (2007) menambahkan tingginya asupan karotenoid tidak berasosiasi dengan efek toksik. Namun ada kecemasan jika konsumsi dalam waktu

yang lama -karoten bagi perokok yang dapat meningkatkan resiko kanker paru-paru.

E.

VITAMIN E

a.

Struktur Kimia dan Sumber Vitamin E

Vitamin E atau tokoferol pertama kali dideskripsikan oleh Evan dan Bishop sebagai nutrien essensial untuk reproduksi tikus. Secara kimia vitamin E adalah senyawa penangkap radikal bebas di dalam membran sel. Pengetahuan tentang vitamin E terus berkembang tidak hanya terlibat sebagai antioksidan, tetapi juga berperan penting dalam signal seluler, aktivitas enzim serta ekspresi gen (Zingg & Azzi 2006). Vitamin E merupakan vitamin larut lemak yang terdiri atas dua senyawa tocochromanol utama yaitu tokoferol dan tokotrienol. Kedua struktur tersebut merupakan turunan dari 6-hidroksi chroman. Kelompok tokoferol mempunyai rantai samping isoprena jenuh sedangkan tokotrienol tidak jenuh. Tokoferol tersusun atas cincin aromatik tersubstitusi oleh logam dan rantai panjang isoprenoid sebagai rantai samping (Lehninger 1982). Secara alami vitamin E tersusun atas

α-, -, -,dan δ- tokoferol dan tokotrienol.

Menurut Sambanthamurthi et al. (2000) pada MSM terkandung vitamin E sebesar 600-1000 ppm, terdiri atas campuran tokoferol (18-22%) dan tokotrienol (78-82%). Tokotrienol utama dalam


(16)

15

minyak meliputi α–tokotrienol (ββ%), –tokotrienol (46%), δ–tokotrienol (12%). Kandungan vitamin E pada MSM dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Kandungan tokoferol dan tokotrienol pada MSM

Tipe Prosentase (%)

α–tokoferol 21,5

–tokoferol 3,7

–tokoferol 3,2

δ–tokoferol 1,6

α–tokotrienol 7,3

–tokotrienol 7,3

–tokotrienol 43,7

δ–tokotrienol 11,7 Sumber : Basiron (2005)

Tokoferol di alam dihasilkan dari kondensasi antara phytyldiphosphate dan homegentistic acid (HGA). Selanjutnya diikuti oleh reaksi siklisasi dan metilisasi (Zingg & Azzi 006). Meskipun vitamin E secara alami tersebar luas di alam, tetapi kandungan pada setiap sumber vitamin akan sangat

berbeda. Misalnya biji bunga matahari mengandung α-tokoferol yang tinggi (59,5 mg/g), minyak

kedelai mengandung -, δ dan α-tokoferol dengan berturut-turut kandungannya 62,4 mg/g, 20,4 mg/g dan 11,0 mg/g minyak, sedangkan pada minyak sawit justru memiliki kandungan tokotrienol yang tinggi (17,2 mg/g minyak) dan tokoferol tinggi (18,3 mg/g minyak) (Zingg & Azzi 2006).Tabel 14 menunjukkan kandungan vitamin E pada minyak kelapa sawit.

Tabel 14. Kandungan vitamin E pada minyak kelapa sawit Kandungan (ppm)

Crude palm oil 600-1000

Crude palm olein 800-1000

Crude palm stearin 250-350

Palm fatty acis distillate 150-8500

RBD palm oil 356-630

RBD palm olein 80-100

Second press oil 1600-1800 Sumber: Shahidi (1999)

Pada manusia, vitamin E diserap bersama dengan lemak dan getah empedu di dalam usus halus, dengan rata-rata efesiensi penyerapan adalah γ0%. Baik α-, -, -,dan δ- tokoferol diambil secara seimbang tanpa dipilah-pilah. Tokoferol dibawa bersama-sama trigleserida, kolesterol, phospolipid dan apolipoprotein dengan chylomicron. Selanjutnya tokoferol didistribusikan ke berbagai jaringan dan hati. Konsentrasi vitamin E selalu dijaga pada jumlah tertentu dengan cara disimpan secara selektif atau dengan metabolisme spesifik tehadap semua bentuk tokoferol. Hasil metabolisme tokoferol juga dapat berperan sebagai senyawa bioaktif yang dapat berikatan dengan faktor transkripsi, signal membran, dan enzim. Dua senyawa utama hasil metabolisme tokoferol yang dikenal sebagai simon metabolites (asam tokopheronic dan tokopheronolactone) telah dilaporkan

untuk mendemonstrasikan peran antioksidan α-tokoferol secara in vivo. Metabolit tersebut dikeluarkan melalui urin dalam bentuk glucuronides atau sulfat.

Konsentrasi vitamin E yang tinggi telah dilaporkan berada dalam organel sel seperti badan

golgi, lisosom dan mitokondria. Sebagian besar α-tokoferol ditemukan dalam fraksi mitokondria dan retikulum endoplasma serta ditemukan sedikit pada sitoplasma dan peroksisom. Pada mitokondria α -tokoferol ditemukan pada membran dalam sebesar 83,7% dan membran luar 14,3%. Selama beberapa dekade terakhir telah ditemukan beberapa protein yang berikatan dengan tokoferol yang memegang peranan penting dalam distribusi senyawa tersebut. Protein ini dikenal sebagai tocopherol-binding protein (TBP).

Di dalam plasma manusia, rata-rata konsentrasi α-tokoferol adalah 22-28 µM. Konsentrasi ini 10-100 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan -tokoferol (β,5 µM) dan δ-tokoferol (0,3 µM). Di dalam jaringan tubuh konsentrasi α-tokoferol tertinggi ditemukan pada jaringan adiposa (150 µg/g jaringan) dan dalam kelenjar adrenal (132 µg/g jaringan). Pada organ lainnya seperti ginjal, hati, dan


(17)

16

jantung berkisar antara 7-40 µg/g jaringan. Sementara pada sel darah merah atau eritrosit konsentrasi

α-tokoferol relatif rendah (2 µg/g jaringan) (Zingg & Azzi 2006).

b.

Stabilitas Vitamin E

Tokoferol lebih stabil terhadap pengaruh asam, panas dan alkali tetapi dapat rusak oleh oksigen dan proses oksidasi. Adanya ikatan tidak jenuh pada tokoferol membuat senyawa tersebut lebih mudah mengalami oksidasi. Oksidasi tokoferol dipercepat dengan adanya cahaya, panas, kondisi alkali dan adanya beberapa mineral seperti Fe3+ dan Cu2+. Kehadiran asam askorbat akan mencegah efek katalitik dari ion besi dan tembaga terhadap reaksi oksidasi (Ball 1988).

Perubahan struktur α-tokoferol dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas biologis, misalnya terjadinya penambahan ikatan rangkap pada rantai samping, pemendekan dan pemanjangan rantai samping, oksidasi cincin kromanol, kehilangan gugus metal dan perubahan gugus hidroksi menjadi eter. Ada dua modifikasi struktur vitamin E yang tidak melibatkan hilangnya aktivitas biologis yaitu subtitusi gugus amina atau n-metil amin ke dalam grup hidroksi cincin kromanol dan substitusi dihidrobenzofuran ke dalam cincin kromanol.

F.

RADIKAL BEBAS

a.

Pengertian Radikal Bebas

Molekul tersusun atas atom dan elektron yang pada umumnya elektron ini saling berpasangan. Elektron yang tidak berpasangan biasanya mencari elektron lain untuk menjadi pasangannya. Pada kondisi tertentu molekul dengan elektron yang tidak berpasangan sering disebut sebagai radikal bebas. Radikal bebas bersifat reaktif dan menyerang molekul lain, namun beberapa radikal bebas tertentu bersifat stabil dalam waktu yang relatif lama. Radikal bebas di dalam tubuh sebagian besar berasal dari oksigen sehingga juga sering disebut sebagai senyawa oksigen reaktif (reactive oxygen species) atau ROS (Noguchi & Niki 1999). Selain itu, radikal bebas yang berasal dari senyawa nitrogen dikenal sebagai reactive nitrogen species (RNS).

Senyawa oksigen reaktif adalah senyawa yang mengandung molekul oksigen yang lebih reaktif dibandingkan dengan triplet oksigen yang ada di udara. Tabel 15 menggambarkan beberapa senyawa oksigen reaktif.

Tabel 15. Senyawa reaktif oksigen dan spesies yang berkaitan

Radikal Non-radikal

O2o- Superoksida H2O2 Hydrogen peroksida

HOo Radikal hidroksil 1O2 Singlet oksigen

HO2o Radikal hidroperoksil LOOH Hidroperoksida lipid

Lo Radikal lipid Fe=O Besi-oksigen kompleks

LO2o Radikal peroksil lipid HOCl Hipoklorit LOo Radikal alkoksil lipid

NO2o Nitrogen dioksida o

NO Nitrit oksida RSo Radikal thiil Po Radikal protein Sumber : Noguchi & Niki (1999)

b.

Fungsi Fisiologi dan Dampak Negatif Radikal Bebas

Reactive oxygen species mempunyai peranan fisiologis yang penting, namun di sisi lain senyawa ini memiliki efek beracun bagi tubuh. Senyawa oksigen reaktif berperan essensial dalam produksi energi, Pembentukan senyawa biologis esensial, dan juga berperan dalam fagositosis yang


(18)

17

merupakan salah satu proses kritis dalam sistem imun. Selanjutnya ROS berperan sebagai sinyal transduksi, yang penting dalam fungsi dan komunikasi sel. Radikal bebas menyebabkan berbagai penyakit seperti penyakit hati dan kanker, dan juga penuaan (Noguchi & Niki 1999).

Di dalam tubuh radikal bebas terlibat dalam sejumlah panyakit dan kerusakan jaringan seperti paru-paru, hati, jantung dan sistem peredaran, ginjal, hati, saluran pencernaan, darah, mata, kulit, otot, dan otak (Shahidi & Zhong 2005). Radikal bebas terutama ROS merupakan oksidan yang sangat kuat. Dampak negatif senyawa radikal bebas disebabkan oleh reaktivitasnya sehingga dapat merusak komponen sel yang penting untuk mempertahankan integritas dan kehidupan sel. Kerusakan yang terjadi dapat berupa kerusakan membran sel, kerusakan protein, kerusakan DNA, autoimun, penuaan dan aterosklerosis.

c.

Pembentukan Radikal Bebas

Pembentukan radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif disebabkan oleh berbagai faktor ekstrinsik dan intrinsik seperti cahaya dan panas. Radikal bebas dan ROS menyerang lipid, gula, protein dan DNA, dengan menginduksi oksidasi yang mungkin menghasilkan kerusakan oksidatif seperti kerusakan membran, modifikasi protein, inaktivasi enzim, serta merusak utas DNA dan memodifikasi basanya (Shahidi & Zhong 2005).

Terbentuknya radikal bebas dalam tubuh, di antaranya disebabkan oleh proses reduksi molekul oksigen dalam rangkaian transpor elektron pada mitokondria atau dalam proses-proses lain yang terjadi secara acak dari berbagai proses kimiawi dalam tubuh. Proses ini melibatkan baik senyawa organik maupun senyawa non organik (Muhilal 1991).

Secara berkesinambungan di dalam tubuh radikal bebas terbentuk sebagai berikut (Wijaya 1996).

a. Umumnya sebagai reaksi redoks biokimiawi yang melibatkan oksigen, yang merupakan bagian dari metabolisme sel normal. Pada saat terjadi proses oksidasi molekul dengan oksigen, molekul oksigen dengan sendirinya membentuk senyawa intermediet yang tereduksi. Beberapa senyawa intermediet tersebut merupakan radikal bebas.

O2 + e- + H+ HO2o

HO2o H+ + O2-o

O2-o + 2H+ + e- H2O2

H2O2 + e- OH- + OHo

Husaini (1991) menyatakan secara umum sebagai senyawa intermediet, radikal bebas tersebut tidak berumur lama, tetapi dalam jangka waktu yang pendek itu, bila radikal bebas dapat bertemu dengan DNA, enzim, dan asam lemak tak jenuh, maka hal ini mengawali terjadinya kerusakan sel. b. Dalam proses fagositosis, sebagai bagian dari reaksi inflamatori yang terkontrol. Proses

fagositosis akan menghasilkan sebagian besar superoksida sebagai bagian dari mekanisme yang bertujuan untuk membunuh mikroorganisme asing. Pada inflamasi kronis, mekanisme perlindungan yang normal ini akan bersifat merusak.

c. Sebagai respon terhadap radiasi, sinar ultraviolet, polusi lingkungan, asap rokok, hiperoksia, olahraga yang berlebihan dan iskemia. Radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang rendah (misalnya sinar gamma) dapat memecah air dalam tubuh kita untuk menghasilkan radikal hidroksil (OHo). Radikal ini akan menyerang semua molekul yang berdekatan dengannya, dan menimbulkan reaksi berantai.

Terbentuknya radikal bebas di dalam tubuh juga dapat diakibatkan dari bahan pangan tercemar yang dikonsumsi. Senyawa logam seperti Pb, akan mengkatalisis terbentuknya hidroksil radikal jika bertemu dengan peroksida. Senyawa pemutih bahan pangan seperti benzoil peroksida dalam tubuh dapat dirubah menjadi senyawa radikal yang telah diteliti berperan dalam kerusakan DNA sehingga dapat menyebabkan terbentuknya tumor dan kanker. Senyawa hidrokarbon aromatik yang mengkontaminasi bahan pangan dari asap rokok, tanah, polusi udara dan air, bahan tambahan pangan, melalui reaksi oksidasi, reduksi dan hidroksilasi akan diubah menjadi senyawa epoksi yang bersifat elektrofil dan dapat menyerang DNA. Senyawa amin heterosiklik yang terbentuk selama proses pemanggangan dan pembakaran, bila masuk ke dalam tubuh akan berubah menjadi senyawa radikal yang dapat bereaksi dengan rantai DNA. Senyawa pestisida seperti karbon tetraklorida, paraquat dan diquat yang sering terdapat dalam produk sayur dan buah, dapat juga menjadi radikal yang reaktif yang dapat menyebabkan peroksidasi lemak (Zakaria 1996).


(19)

18

G.

ANTIOKSIDAN

a.

Pengertian Antioksidan

Halliwell (1994) dalam Lambert (1999) mendifinisikan antioksidan sebagai suatu substansi kimia yang berada dalam konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan substansi yang dapat teroksidasi secara signifikan menghambat dan mencegah proses oksidasi dari substrat. Lebih lanjut Lambert menyatakan antioksidan harus memiliki sifat 1) bersaing secara efektif dengan senyawa intermediet reaktif terhadap substrat, 2) mampu dengan cepat diperbaiki oleh sistem biologis, 3) dapat mencapai senyawa intermediet reaktif pada lingkungan yang kecil, 4) relatif tidak reaktif dengan substrat, dan 5) sebagai katalitik dalam mekanisme peredaman/quenching radikal.

Wanasundara dan shahidi (2005) mengklasifikasikan antioksidan ke dalam dua golongan utama yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer disebut sebagai antioksidan tipe 1 atau chain-breaking antioxidant. Struktur kimia senyawa antioksidan ini berfungsi sebagai akseptor atau penangkal radikal bebas sehingga mencegah atau menghambat oksidasi lipid. Antioksidan primer mampu mendonorkan atom hidrogen kepada radikal bebas seperti radikal lipid, menghasilkan turunan lipid dan radikal antioksidan yang lebih stabil dibandingkan dengan radikal lipid. Radikal antioksidan primer memiliki afinitas yang lebih tinggi terhadap radikal peroksil dibandingkan dengan lipid. Sebagian besar antioksidan primer adalah mono-polihidroksi fenol dengan berbagai variasi substitusi pada struktur cincin. Efektivitas antioksidan dipengaruhi oleh energi ikatan hidrogen, resonansi delokalisasi, dan kerentanan terhadap autooksidasi. Mekanisme kerja antioksidan primer dapat dilihat pada Gambar 5. Antioksidan sekunder sering diklasifikasikan sebagai preventive antioxidant. Aktivitas antioksidan golongan sekunder bekarja melalui beberapa mekanisme untuk menghambat kecepatan reaksi oksidasi. Perbedaan utama antara antioksidan primer dan antioksidan sekunder, yaitu antioksidan sekunder tidak merubah radikal bebas menjadi molekul menjadi molekul yang stabil. Antioksidan sekunder bekerja sebagai kelator bagi prooksidan atau katalis ion logam, menyediakan atom hidrogen untuk antioksidan primer, mendekomposisi hidroperoksida menjadi spesies nonradikal, dan inaktivasi singlet oksigen.

Gambar 5. Mekanisme kerja antioksidan primer

Papas (1999b) menjelaskan organisme aerobik dilindungi dari stres oksidatif yang diinduksi oleh radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif dengan serangkaian sistem pertahanan. Sistem pertahan tersebut dirangkum sebagai berikut:

a. Sistem pertahanan pertama atau preventive antioxidant, bekerja dengan cara menekan terbentuknya senyawa radikal bebas. Penekanan radikal bebas dapat dilakukan dengan cara mendekomposisi senyawa non radikal hidroperoksida dan hidrogen peroksida diantaranya adalah katalase, glutation peroksidase, fosfolipid hidroperoksidase. Kemudian dengan mengkelat logam penyebab terbentuknya radikal seperti transferin, haptoglobin, hemopeksin, serta dengan cara memadamkan senyawa oksigen reaktif seperti superoksida dismutase (SOD), karotenoid dan vitamin E.

b. Pada sistem pertahanan kedua atau radical scavenging antioxidant, bekerja dengan cara menangkap radikal bebas untuk menghambat rantai inisiasi dan mematahkan reaksi propagasi pada proses oksidasi. Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini diantaranya adalah vitamin C, vitamin E, ubiquinol, karotenoid, flavonoid dan sebagainya


(20)

19

c. Pada sistem pertahanan yang ketiga, bekerja dengan cara memperbaiki kerusakan dan membangun membran yang telah rusak. Antioksidan yang masuk ke dalam kelompok ini adalah lipase, protease, DNA repair enzyme, dan transferase.

d. Pada sistem pertahanan terakhir (keempat) berupa proses adaptasi, dimana tubuh memproduksi enzim antioksidan yang sesuai untuk ditransfer ke sisi tertentu pada waktu dan konsentrasi yang tepat.

b.

Faktor yang Mempengaruhi Kerja Antioksidan

Noguchi dan Niki (1999) menyatakan faktor yang mempengaruhi kerja antioksidan adalah kelarutan dan lokasi, radikal antioksidan dan produk metabolit lain, interaksi dari berbagai antioksidan serta bentuk senyawa kimia dan analognya.

Letak radikal bebas dan lokasi antioksidan memiliki peranan penting. Sebagai contoh vitamin C dan E memiliki reaktivitas yang hampir sama terhadap radikal oksigen, namun lokasi keduanya sangat berbeda. Vitamin C berada pada fase cair karena lebih bersifat hidrofilik, sementara vitamin E bersifat lipofilik dan berada pada daerah seperti membran sel dan lipoprotein. Hal tersebut menyebabkan pada kondisi fase cair vitamin C lebih efektif menangkap radikal bebas dibandingkan dengan vitamin E, begitupun sebaliknya pada kondisi lipofilik vitamin E lebih efektif. Efesiensi penangkapan radikal bebas juga tergantung dari serangan radikal. Misalnya radikal hidroksil bersifat sangat reaktif untuk beberapa antioksidan. Vitamin C memiliki konstanta penangkapan terhadap radikal hidroksil yaitu 109 M-1s-1. Sementara radikal hidroksil bereaksi dengan biomolekul seperti protein, lemak dan gula dengan konstanta 108 M-1s-1. Akibatnya radikal hiroksil terlebih dahulu bereaksi dengan biomolekul tersebut sebelum vitamin C menangkapnya. Vitamin E lebih efektif menangkap radikal peroksil, tetapi tidak untuk radikal alkoksil dan hidroksil.

Suatu senyawa antioksidan ketika menangkap radikal, pada akhirnya juga menjadi radikal antioksidan. Vitamin E ketika menangkap radikal peroksil akan menjadi radikal α-tokoperoksil. Radikal ini mungkin menangkap radikal peroksil yang lain dengan cara berikatan, bereaksi dengan vitamin E lainnya membentuk dimer, atau direduksi oleh vitamin C atau ubiquinol untuk membentuk kembali vitamin E, atau malah bereaksi dengan lipid atau lipid hidroperoksida untuk membentuk lipid

atau lipid peroksil yang bisa menginisiasi reaksi baru. Radikal -karoten stabil karena resonansi, tetapi ia bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal peroksil yang tidak stabil dan melanjutkan

tahap oksidasi. Oleh karena itu potensi -karoten baik pada kondisi rendah oksigen.

Faktor penting lain adalah interaksi sesama antioksidan. Interaksi ini dapat menghasilkan kerjasama dalam menghambat proses oksidasi. Misalnya antara vitamin E dan vitamin C serta vitamin

E dan ubiquinol. Bentuk senyawa kimia dan analognya juga penting, α-tokoferol memiliki bioaktivitas

yang paling tinggi diantara grup vitamin E lainnya, α-tokotrienol lebih berpotensi sebagai antioksidan

dibandingkan dengan α-tokoferol.

c.

Status Antioksidan pada Manusia

Oksidasi dan pembentukan radikal bebas dan senyawa oksigen reaktif merupakan bagian integral dalam hidup dan metabolisme. Sesungguhnya radikal bebas dan ROS diproduksi di dalam tubuh secara sengaja untuk memenuhi fungsi biologis yang penting. Misalnya aktivasi fagosit oleh ROS untuk membunuh beberapa jenis bakteri dan fungi. Superoksida berguna dalam regulasi pertumbuhan sel dan sinyal intraseluler. Radikal bebas dan ROS berguna jika diproduksi pada waktu dan tempat yang tepat, sebaliknya senyawa ini dapat menjadi sangat perusak karena bersifat reaktif dan dengan segera menyerang molekul yang sangat dekat dengan mereka. Radikal bebas dan ROS bereaksi dengan senyawa non-radikal dan menginisiasi reaksi balik seperti peroksidasi lipid. Radikal bebas juga merusak molekul penting seperti protein, karbohidrat, dan DNA (Papas 1999a).

Untuk mengatasi kerusakan dari radikal bebas dan ROS, manusia dan organisme lainnya mengembangkan sistem pertahanan dan kompleks antioksidan suatu molekul yang berlawanan untuk melindungi dari kerusakan oksidatif. Antioksidan biasanya bekerja dengan cara membuang dan menginaktivasi senyawa intermidiet yang memproduksi radikal bebas. Antioksidan dapat berasal dari dalam tubuh (endogenus) atau didapatkan dari makanan (eksogenus). Antioksidan tersebut diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria seperti kelarutan, karakteristik kimia dan fisik dan sebagainya.


(21)

20

Komponen antioksidan endogenus meliputi Glutation (GSH) dan Se-glutation peroksidase Fe-katalase

Ubiquinol-10 (Q10)

Mn, Cu,Zn-superoksida dismutase (SOD) Asam urat

Asam lipoat

Hormon dengan aktivitas antioksidan (melation, DHEA) Metal binding proteins seperti albumin

Komponen antioksidan eksogenus vitamin E dan C

Vitamin A dan karotenoid ( -karoten, likopen, lutein)

Se

Senyawa fitokimia yang memiliki aktivitas antioksidan Supplemen lain (CoQ10, glutation, asam lipoat)

Antioksidan makanan ( BHA,BHT, propil galat, TBHQ)

Status antioksidan menggambarkan keseimbangan antara sistem antioksidan dan prooksidan dalam tubuh organisme. Keseimbangan tersebut bersifat dinamik. Tubuh telah beradaptasi untuk mengatasi ketidakseimbangan antara antioksidan dan prooksidan dengan mengembangkan sistem perbaikan yang melibatkan beberapa enzim seperti ligase, nuklease, polimerase, proteinase, pospolipase dan sebagainya. Masalah serius akibat ketidakseimbangan antara antioksidan dan prooksidan dikenal dengan stres oksidatif. Stres oksidatif dapat timbul sebagai akibat tingginya produksi radikal bebas dan ROS serta lemahnya sistem antioksidan karena rendahnya suplai antioksidan eksogenus dan produksi antioksidan endogenus. Stres oksidatif dapat menyebabkan kerusakan sel dan hal tersebut dipercaya berkontribusi terhadap penuaan dan perkembangan penyakit kronis seperti penyakit jantung dan kanker (Papas 1999b).

Status antioksidan dipengaruhi oleh asupan makanan yang mengandung antioksidan atau produksi antioksidan endogenus. Selain itu juga dipengaruhi oleh produksi radikal bebas dan ROS, yang menyebabkan tingginya penggunaan antioksidan. Makanan dapat mempengaruhi status antioksidan secara langsung atau tidak langsung dengan cara positif atau negatif. Secara positif dengan cara menyuplai antioksidan dan kofaktor yang dibutuhkan antioksidan endogenus yang menyebabkan sistem antioksidan menjadi kuat, namun disisi lain makanan juga dapat membawa senyawa yang bersifat prooksidan seperti asam lemak tidak jenuh dan mineral seperti zat besi dan tembaga. Makanan mempengaruhi status antioksidan dengan berbagai cara. Termasuk jumlah, bentuk senyawa kimia, kiralitas, absorpsi, bioavabilitas dan interaksi biokimia antara antioksidan dan faktor lain. Faktor selama penyimpanan, penanganan, proses dan pemasakan juga merupakan hal yang penting.

H.

DARAH

a.

Komponen dan Fungsi Darah

Darah merupakan kumpulan elemen-elemen dalam bentuk suspensi atau kumpulan sel yang terendam di dalam cairan transparan berwarna kuning yang disebut plasma darah (William 1987). Plasma dan sel darah merupakan salah satu cairan tubuh yang bersirkulasi di dalam tubuh. Seluruh cairan tubuh didistribusikan oleh dua kompartemen utama, yaitu cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Komponen cairan intraseluler memiliki berat 40% berat badan dan komponen cairan ekstraseluler memiliki berat sekitar 20% berat badan. Cairan ekstraseluler pada hewan dengan susunan vaskular tertutup dibagi ke dalam dua komponen yaitu cairan interstitial yang merupakan tiga

perempat cairan ekstraseluler, dan cairan intravaskular yang terdiri atas plasma darah (Guyton & Hall 2006).

Darah manusia mempunyai berat kurang lebih sebesar 8% dari berat tubuh manusia. Darah tersusun atas unsur-unsur seluler sebanyak 45% yang tersuspensi dalam suatu larutan yang bersifat cair, yaitu plasma yang bervolume 55% dari keseluruhan volume. Komponen seluler yang dimaksud meliputi eritrosit atau sel darah merah, platelet atau trombosit, dan leukosit atau sel darah putih. Leukosit dibagi menjadi dua golongan yaitu sel bergranula seperti netrofil, eosinofil, basofil serta


(1)

81 Lampiran 4. Kurva standar trolox

Konsentrasi Trolox (mM) Absorbansi

0,000 1,902

0,015 1,866

0,045 1,476

0,105 1,385

0,210 0,821

0,420 0,134

Diperoleh persamaan kurva standar y = 1,8173-4,176X dengan nilai R2= 0,9729

Lampiran 5. Total antioksidan serum dan plasma Desa Sukadamai

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

MS1 1,083 0,994 0,665 0,685

MS2 0,797 0,780 0,633 0,679

MS3 1,103 0,691 0,549 0,491

MS4 1,380 1,318 0,488 0,491

MS5 0,611 0,683 0,548 0,476

MS6 0,642 0,752 0,401 0,410

MS7 0,652 0,740 0,685 0,692

MS8 0,963 1,398 0,428 0,552

MS9 0,932 0,926 0,516 0,546

NS1 0,937 1,041 0,668 0,729

NS2 0,669 0,630 0,453 0,531

NS3 1,239 1,373 0,673 0,697

NS4 0,553 0,697 0,536 0,703

Responden Total antioksidan sebelum intervensi Total antioksidan setelah intervensi U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata MS1 0,1758 0,1972 0,1865 0,2759 0,2711 0,2735 MS2 0,2443 0,2484 0,2464 0,2836 0,2726 0,2781 MS3 0,1710 0,2697 0,2204 0,3037 0,3176 0,3107 MS4 0,1047 0,1196 0,1121 0,3183 0,3176 0,3180 MS5 0,2889 0,2716 0,2802 0,3040 0,3212 0,3126 MS6 0,2814 0,2551 0,2683 0,3392 0,3370 0,3381 MS7 0,2790 0,2580 0,2685 0,2711 0,2695 0,2703 MS8 0,2046 0,1004 0,1525 0,3327 0,3030 0,3178 MS9 0,2120 0,2134 0,2127 0,3116 0,3044 0,3080 NS1 0,2108 0,1859 0,1983 0,2752 0,2606 0,2679 NS2 0,2750 0,2843 0,2796 0,3267 0,3080 0,3174 NS3 0,1385 0,1064 0,1224 0,2740 0,2683 0,2711 NS4 0,3028 0,2683 0,2855 0,3068 0,2668 0,2868

Lampiran 6. Total antioksidan serum dan plasma Desa Babakan

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

P1A 1,012 0,930 0,541 0,537

P1B 0,978 0,993 0,278 0,37

P1C 0,739 0,658 0,465 0,569

P1D 0,584 0,506 0,313 0,414

P1E 0,559 0,526 0,415 0,518

PIF 0,909 0,901 0,663 0,673

P1G 0,869 0,883 0,579 0,467

P1H 1,059 0,917 0,731 0,608

P1I 0,596 0,646 0,631 0,608

P1J 0,956 0,947 0,554 0,56


(2)

82

Responden Total antioksidan sebelum intervensi Total antioksidan setelah intervensi U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata P1A 0,1928 0,2125 0,2386 0,3056 0,3066 0,3150 P1B 0,2010 0,1974 0,1992 0,3686 0,3466 0,3576 P1C 0,2582 0,2776 0,2679 0,3238 0,2989 0,3114 P1D 0,2953 0,3140 0,3047 0,3602 0,3360 0,3481 P1E 0,3013 0,3092 0,3053 0,3358 0,3111 0,3235 PIF 0,2175 0,2194 0,2185 0,2764 0,2740 0,2752 P1G 0,2271 0,2237 0,2254 0,2965 0,3233 0,3099 P1H 0,1816 0,2156 0,1986 0,2601 0,2896 0,2749 P1I 0,2925 0,2805 0,2865 0,2841 0,2896 0,2868 P1J 0,2063 0,2084 0,2073 0,3025 0,3011 0,3018 P1K 0,3066 0,2951 0,3008 0,3698 0,3765 0,3732

Lampiran 7. Total antioksidan serum dan plasma Desa Dramaga

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

P2A 0,782 0,773 0,467 0,472

P2B 0,484 0,566 0,425 0,463

P2C 0,835 0,828 0,617 0,618

P2D 0,649 0,693 0,348 0,295

P2E 0,596 0,644 0,339 0,348

P2F 1,051 0,962 0,631 0,601

P2G 1,192 0,987 0,442 0,442

P2H 1,738 1,704 0,618 0,617

P2I 0,986 0,983 0,876 0,807

P2J 1,062 1,066 0,546 0,571

P2K 0,482 0,472 0,327 0,343

Responden Total antioksidan sebelum intervensi Total antioksidan setelah intervensi U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata U1 (mM) U2 (mM) Rata-rata

P2A 0,2479 0,2501 0,2490 0,3233 0,3222 0,3227

P2B 0,3193 0,2996 0,3095 0,3334 0,3243 0,3289

P2C 0,2352 0,2369 0,2361 0,2874 0,2872 0,2873

P2D 0,2798 0,2692 0,2745 0,3518 0,3645 0,3582

P2E 0,2925 0,2810 0,2867 0,3540 0,3518 0,3529

P2F 0,1835 0,2048 0,1942 0,2841 0,2913 0,2877

P2G 0,1497 0,1988 0,1743 0,3293 0,3293 0,3293

P2H 0,0190 0,0271 0,0231 0,2872 0,2874 0,2873

P2I 0,1991 0,1998 0,1994 0,2254 0,2419 0,2337

P2J 0,1809 0,1799 0,1804 0,3044 0,2984 0,3014

P2K 0,3198 0,3222 0,3210 0,3569 0,3530 0,3550

Lampiran 8. Kapasitas antioksidan eritrosit Desa Sukadamai

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

MS1 0,099 0,098 0,096 0,097

MS3 0,107 0,105 0,102 0,094

MS4 0,108 0,103 0,077 0,090

MS5 0,095 0,102 0,102 0,092

MS7 0,113 0,108 0,097 0,100

MS8 0,109 0,108 0,084 0,087

MS9 0,111 0,113 0,103 0,091

NS1 0,109 0,108 0,105 0,105

NS2 0,111 0,104 0,093 0,098

NS3 0,112 0,113 0,099 0,094


(3)

83

Responden Kapasitas antioksidan sebelum intervensi Kapasitas antioksidan setelah intervensi U1 (%) U2 (%) Rata-rata U1 (%) U2 (%) Rata-rata

MS1 36,13 36,77 36,45 38,06 37,42 37,74

MS3 30,97 32,26 31,61 34,19 39,35 36,77

MS4 30,32 33,55 31,94 50,32 41,94 46,13

MS5 38,71 34,19 36,45 34,19 40,65 37,42

MS7 27,10 30,32 28,71 37,42 35,48 36,45

MS8 29,68 30,32 30,00 45,81 43,87 44,84

MS9 28,39 27,10 27,74 33,55 41,29 37,42

NS1 29,68 30,32 30,00 32,26 32,26 32,26

NS2 28,39 32,90 30,65 40,00 36,77 38,39

NS3 27,74 27,10 27,42 36,13 39,35 37,74

NS4 34,84 39,35 37,10 49,03 39,35 44,19

Lampiran 9. Kapasitas antioksidan eritrosit Desa Babakan

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

P1A 0,089 0,095 0,088 0,088

P1B 0,091 0,095 0,084 0,090

P1C 0,097 0,101 0,055 0,060

P1D 0,096 0,096 0,065 0,071

P1E 0,105 0,105 0,084 0,079

PIF 0,107 0,106 0,069 0,072

P1G 0,096 0,102 0,070 0,064

P1H 0,096 0,096 0,074 0,070

P1I 0,106 0,106 0,069 0,101

P1J 0,070 0,069 0,064 0,066

P1K 0,083 0,070 0,062 0,061

Responden Kapasitas antioksidan sebelum intervensi Kapasitas antioksidan setelah intervensi U1 (%) U2 (%) Rata-rata U1 (%) U2 (%) Rata-rata

P1A 42,58 38,71 40,65 43,23 43,23 43,23

P1B 41,29 38,71 40,00 45,81 41,94 43,87

P1C 37,42 34,84 36,13 64,52 61,29 62,90

P1D 38,06 38,06 38,06 58,06 54,19 56,13

P1E 32,26 32,26 32,26 45,81 49,03 47,42

PIF 30,97 31,61 31,29 55,48 53,55 54,52

P1G 38,06 34,19 36,13 54,84 58,71 56,77

P1H 38,06 38,06 38,06 52,26 54,84 53,55

P1I 31,61 31,61 31,61 55,48 34,84 45,16

P1J 54,84 55,48 55,16 58,71 57,42 58,06


(4)

84 Lampiran 10. Kapasitas antioksidan eritrosit Desa Dramaga

Responden Absorbansi sebelum intervensi Absorbansi setelah intervensi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2

P2A 0,102 0,101 0,071 0,061

P2B 0,096 0,096 0,073 0,062

P2C 0,111 0,110 0,088 0,076

P2D 0,093 0,095 0,088 0,086

P2E 0,097 0,097 0,092 0,096

P2F 0,113 0,106 0,106 0,111

P2G 0,092 0,092 0,062 0,068

P2H 0,087 0,086 0,062 0,067

P2I 0,106 0,108 0,098 0,098

P2J 0,112 0,110 0,085 0,086

P2K 0,110 0,105 0,092 0,074

Responden Kapasitas antioksidan sebelum intervensi Kapasitas antioksidan setelah intervensi U1 (%) U2 (%) Rata-rata U1 (%) U2 (%) Rata-rata

P2A 34,19 34,84 34,52 54,19 60,65 57,42

P2B 38,06 38,06 38,06 52,90 60,00 56,45

P2C 28,39 29,03 28,71 43,23 50,97 47,10

P2D 40,00 38,71 39,35 43,23 44,52 43,87

P2E 37,42 37,42 37,42 40,65 38,06 39,35

P2F 27,10 31,61 29,35 31,61 28,39 30,00

P2G 40,65 40,65 40,65 60,00 56,13 58,06

P2H 43,87 44,52 44,19 60,00 56,77 58,39

P2I 31,61 30,32 30,97 36,77 36,77 36,77

P2J 27,74 29,03 28,39 45,16 44,52 44,84

P2K 29,03 32,26 30,65 40,65 52,26 46,45

Lampiran 11. Kurva standar asam askorbat

Konsentrasi Asam askorbat (ppm) Absorbansi

0 0,120

25 0,094

50 0,071

100 0,040

125 0,023


(5)

Misran. F24080091

. Penerimaan Konsumen Setelah Mengkonsumsi Minyak Sawit Mentah (MSMn) Dan Pengaruh Konsumsi Terhadap Kapasitas Antioksidan Plasma Dan Eritrosit Di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

. Prof. Dr. Ir. Fransiska R. Zakaria, MSc. dan

Dr. Dra. Waysima, MSc. 2012

RINGKASAN

Masalah kekurangan vitamin A merupakan salah satu masalah malnutrisi penduduk dunia terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Defisiensi vitamin A sebagian besar diderita oleh masyarakat miskin karena kurangnya asupan makanan bergizi. Di Indonesia telah dilakukan upaya pencegahan kekurangan vitamin A termasuk melalui suplementasi dan fortifikasi pada bahan pangan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah melalui diversifikasi konsumsi pangan seperti penggunaan minyak sawit mentah (MSMn). Minyak sawit mentah (MSMn) merupakan bahan pangan yang kaya provitamin A yang berasal dari kandungan karotenoid di dalamnya. Dalam MSM terkandung 500-700 ppm senyawa karotenoid, terutama beta karoten untuk memenuhi kebutuhan vitamin A. Selain bermanfaat sebagai provitamin A, minyak sawit memiliki potensi lain sebagai sumber komponen antioksidan. Hal ini didukung oleh selain kandungan senyawa karotenoid, pada minyak sawit mentah terkandung vitamin E. Pada minyak sawit mentah terkandung vitamin E sebesar 600-1000 ppm, yang terdiri atas campuran tokoferol (18-22%) dan tokotrienol (78-82%). Tokotrienol utama dalam minyak meliputi α–tokotrienol (ββ%), –tokotrienol (46%), dan δ–tokotrienol (12%).

Secara umum penelitian ini bertujuan mengatasi kekurangan vitamin A di Indonesia melalui pemberian minyak sawit mentah (MSMn). Secara khusus penelitian bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi penerimaan responden mengkonsumsi Produk SawitA, 2) Menganalisis perilaku mengkonsumsi Produk SawitA, 3) Menganalisis pengaruh mengkonsumsi Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan plasma, dan 4) Menganalisis pengaruh mengkonsumsi Produk SawitA terhadap kapasitas antioksidan sel darah merah.

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Kecamatan Dramaga. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei 2011 hingga bulan Juli 2011. Penentuan lokasi dan pengambilan sampel penelitian dilakukan secara purfosif, dan teknik penarikan contoh acak sederhana atau simple random sampling. Sebanyak 75 orang responden dengan rata-rata usia 30,7 tahun terlibat sebagai partisipan, 33 orang diantaranya terlibat sebagai partisipan yang bersedia diambil darah. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan SPSS 16 dan Microsoft excel 2007 sehingga diperoleh data yang lebih bermakna.

Karekteristik responden yang diperoleh meliputi usia dan jenis kelamin, pendidikan terakhir, pendapatan perkapita per bulan, besar keluarga dan status responden dalam keluarga, serta pekerjaan. Sebagian besar responden adalah responden perempuan (92%) dengan pekerjaan utama sebagai ibu rumah tangga. Sebanyak 89,1% responden merupakan keluarga tidak mampu dengan pendapatan per kapita kurang dari Rp. 233.740,00.

Dalam penelitian juga dilakukan sosialisasi mengenai manfaat dan cara penggunaan produk minyak sawit mentah, serta pengetahuan mengenai sawit. Setelah dilakukan penyuluhan terjadi peningkatan pengetahuan responden mengenai sawit dan produknya. Dalam masalah penerimaan responden terhadap atribut produk, hampir semua responden ibu (89,06-100%) dan hampir semua responden anak (81,82-100%) menerima dengan baik untuk mengkonsumsi Produk SawitA yaitu terhadap atribut rasa, aroma, warna, dan overall. Perilaku mengkonsumsi Produk SawitA dilihat dari frekuensi konsumsi produk menunjukkan bahwa lebih dari separuh (62,7%) responden telah


(6)

mengkonsumsi Produk SawitA setiap hari. Responden yang pernah tidak mengkonsumsi setiap hari disebabkan tidak setiap hari mereka memasak. Dilihat dari cara penggunaan produk, terjadi peningkatan variasi cara penggunaan produk. Diawal sosialisasi hanya terdapat tiga cara penggunaan yaitu untuk menumis, dikecrotkan, dan dikonsumsi langsung meningkat menjadi 15 cara penggunaan produk diakhir sosialisasi. Peningkatan cara penggunaan produk menunjukkan bahwa telah dapat menerima dan mengkonsumsi Produk SawitA

Hasil analisis kapasitas antioksidan plasma dan sel darah merah menunjukkan peningkatan setelah mengkonsumsi produk minyak sawit. Peningkatan kapasitas antioksidan diduga berasal dari komponen MSM yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan meningkatnya produksi antioksidan endogenus responden setelah mengkonsumsi MSM. Berdasarkan uji-t diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kapasitas antioksidan plasma dan sel darah merah antara sebelum dan sesudah mengkonsumsi produk.

Hasil analisis kapasitas antioksidan responden baik konsentrasi antioksidan total plasma maupun kapasitas antioksidan sel darah merah, menunjukkan peningkatan setelah konsumsi Produk SawitA selama dua bulan jika dibandingkan dengan sebelum konsumsi Produk SawitA. Konsentasi antioksidan plasma meningkat dari rata-rata 0,229±0,064 mM sebelum pemberian produk menjadi 0,308±0,032 mM setelah konsumsi produk selama dua bulan. Hasil uji-t menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% antara konsentrasi total plasma sebelum dan setelah pemberian produk (P=0,000). Kapasitas antioksidan sel darah merah meningkat dari rata-rata 35,16% sebelum diberikan produk, menjadi 46,36% setelah diberikan produk berdasarkan kapasitas antioksidan DPPH. Hasil uji-t juga menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95% pada kapasitas antioksidan sel darah merah sebelum dan sesudah konsumsi produk (P=0,000). Peningkatan kapasitas antioksidan baik di plasma maupun di sel darah merah diduga berasal komponen yang memiliki aktivitas antioksidan pada produk seperti karotenoid dan vitamin E dengan asumsi pola makan responden adalah tetap.