Kelembagaan Eksisting Pengelolaan Waduk Cirata

Gambar 8.3. Struktur kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat sesuai dasar hukum yang berlaku Kementerian PU Kementerian BUMN Gubernur PT. PJB BPWC BBWS Citarum DKP Provinsi Jawa Barat BPMPT Provinsi Jawa Barat Satpol PP Provinsi Satpol PP Kabupaten BP3UIH Dinas Perikanan Kabupaten Petani IkanKelompok Tani : Garis Koordinasi : Garis Perintah : Garis Pertanggungjawaban : Garis Pembinaan : Garis Komunikasi Personal

8.5 Levelling Aturan Main yang Berlaku di Waduk Cirata

Mengingat Waduk Cirata merupakan CPRs yang dikelola dan dimanfaatkan oleh beberapa pihak, maka dalam melakukan pengelolaan dan pemanfaatan tersebut juga dibatasi oleh beberapa aturan main yang berlaku. Berdasarka hasil pengamatan, aturan main yang berlaku dalam pengelolaan Waduk Cirata terdiri dari dua level, yaitu collective choice level dan operational level. Aturan yang berkaitan dengan penyusunan kebijakanaturan main tentang pengelolaan Waduk Cirata berada dalam collective choice level, sedangkan aturan mengenai operasional pengelolaan Waduk Cirata berada dalam operational level. Levelling aturan main yang berlaku di Waduk Cirata tersaji dalam Tabel 8.4 sebagai berikut: Tabel 8.4 Leveling aturan main yang berlaku di Waduk Cirata No. Level Peraturan Hal yang Diatur Aktor 1. Collective Choice-rules Koordinasi diantara stakeholder yang terlibat DKP Provinsi Jawa Barat, BBWS Citarum Pihak yang memiliki akses terhadap Waduk Cirata DKP Provinsi Jawa Barat, PT. PJB Pemanfaatan Waduk Cirata DKP Provinsi Jawa Barat, BPMPT, PT. PJB Larangan dalam pemanfaatan Waduk Cirata DKP Provinsi Jawa Barat, BPMPT, PT. PJB Izin pemanfaatan Waduk Cirata termasuk KJA DKP Provinsi Jawa Barat, BPMPT, BPWC Jumlah maksimum KJA DKP Provinsi Jawa Barat, BPMPT, PT PJB Pemantauan dan pengawasan DKP Provinsi Jawa Barat, PT. PJB Penindakan dan Penegakan Hukum DKP Provinsi Jawa Barat, BPWC, Satpol PP Sanksi yang Diberlakukan DKP Provinsi Jawa Barat, PT. PJB, BPWC 2. Operational Choice-rules Pengawasan kegiatan pemanfaatan termasuk KJA BPWC, Dinas perikanan kabupaten, BP3UIH, Satpol PP, MPCpetani KJA Penegakan Perda yang terkait pemanfaatan Waduk Cirata Satpol PP, BPWC Izin pemanfaatan Waduk Cirata termasuk KJA BPWC, BPMPT, Dinas Perikanan kabupaten, DKP Provinsi Jawa Barat Pencatatan kegiatan dan pelaporan BPWC, MPCpetani KJA, dinas perikanan kabupaten Penindakan dan Penegakan Hukum Satpol PP, BPWC Pemberlakuan sanksi Satpol PP, BPWC, MPCpetani KJA Sumber: data primer, diolah 2016 Collective choice level merupakan pihak pembuat aturankebijakan. Operational choice level merupakan pihak pelaksana kegiatan operasional berdasarkan aturankebijakan yang telah dibuat oleh collective choice level. Jika terjadi perubahan aturan dalam operational level, maka akan dilakukan oleh aktor- aktor yang ada dalam collective choice level. Pihak yang terlibat dalam collective choice level bisa juga terlibat dalam operational level, begitu pula sebaliknya. Dalam kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata, pihak yang termasuk dalam collective choice level antara lain adalah DKP Provinsi Jawa Barat, BBWS Citarum , PT. PJB, BPWC, dan Satpol PP. Para pihak yang tergabung dalam collective choice level tersebut membuat kebijakanaturan mengenai koordinator diantara stakeholder yag terlibat, pihak yang memiliki akses terhadap Waduk Cirata, pemanfaatan Waduk Cirata, larangan dalam pemanfaatan Waduk Cirata, izin pemanfaatan Waduk Cirata termasuk KJA, jumlah maksimum KJA, pemantauan dan pengawasan, penindakan dan penegakan hukum, serta sanksi yang diberlakukan. Sedangkan pihak yang termasuk dalam operational choice level adalah BPWC, BP3UIH, Dinas Perikanan Kabupaten, BPMPT, dan Masyarakat Peduli Cirata MPC dan petani KJA. Para pihak yang tergabung dalam operational level tersebut menjalankan aturankebijakan yang telah dibuat oleh collective choice level yaitu mengawasi kegiatan, melakukan pemantauan, memberlakukan sanksi, dan melakukan penindakan serta penegakan hukum bagi pelanggar aturan. Untuk kasus Waduk Cirata, aturan main dalam collective choice level sudah jelas. Terdapat beberapa aturan main yang dibuat oleh para stakeholder dan menjadi dasar dalam pengelolaan Waduk Cirata. Peraturan-peraturan tersebut antara lain adalah: 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27PRTM2015 tentang Bendungan; 2 Keputusan Direktur Jenderal Sumberdaya Air Nomor 21KTPSD2014 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengoperasian Bendungan Kaskade Saguling, Cirata, dan DjuandaJatiluhur; 3 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011; 4 Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian, dan Kawasan Waduk Cirata; dan 5 Keputusan Direksi PT. Pembangkitan Jawa-Bali Nomor 023.K020DIR2014 tentang Penyempurnaan Organisasi Badan Pengelola Waduk Cirata pada PT. Pembangkitan Jawa-Bali. Namun dalam operational level aturan main tidak berjalan dengan semestinya. Peran stakeholder dalam melakukan tindakan-tindakan operasional di lapangan masih belum optimal. Minimnya pengawasan rutin yang dilakukan dan terjadi pembiaran dari pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pemanfaat waduk menjadikan kondisi waduk semakin terancam. Waduk Cirata mengalami pencemaran akibat usaha-usaha yang dilakukan oleh pemanfaat, khususnya KJA yang over-capacity. Selain itu juga terjadi blooming eceng gondok yang menimbulkan kerugian bagi multipihak, akibat limbah organik KJA yang terbuang ke perairan dengan jumlah yang sangat berlebih. Lebih lanjut, umur masa layan Waduk Cirata menjadi berkurang dan supply air untuk PLTA mengalami penurunan kualitas. Operational level memiliki peranan penting sebagai pelaksana aturan main yang ada di lapangan. Jika aturan main sudah tersedia namun pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan, sebaik apapun aturan main tersebut hanyalah akan menjadi dokumen semata. Kondisi ‘chaotic’ di Waduk Cirata saat ini merupakan implikasi akibat belum berjalannya operational level secara optimal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

8.6 Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata

Banyak stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata, sehingga kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang kompleks. Berbagai kepentingan diantara stakeholder yang terlibat menimbulkan kepentingan yang berbeda-beda pula, dan tak jarang menimbulkan benturan kepentingan. Padahal, untuk mewujudkan Cirata yang berkelanjutan diperlukan visi yang seragam diantara para stakeholder. Kondisi Cirata yang saat ini sudah beg itu ‘chaotic’, memerlukan penanganan secepatnya untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan. Kelembagaan yang sudah terbentuk sebenarnya sudah memiliki dasar dan payung hukum yang jelas, namun implementasinya di lapangan masih belum optimal. Hal ini terjadi karena beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, stakeholder masih belum memahami peran yang seharusnya dilakukan. Stakeholder hanya sebatas mengetahui saja namun tidak memahami perannya sehingga saat impelemnetasi banyak hal yang terlewatkan, sehingga perannya menjadi tidak optimal. Contohnya yaitu kelompok petani ikan KJA. Mereka hanya sebatas tahu jika peran mereka adalah untuk membudidayakan ikan di Waduk Cirata, namun belum memahami jika sebagai petani ikan juga harus ikut menjaga kelestarian Waduk Cirata. Perlu kerjasama dari stakeholder lain untuk membantu petani KJA agar memahami perannya. Jika mereka paham betul akan perannya, maka mereka akan melakukan usaha KJA dengan baik dan sesuai prosedur, demi menjaga kelestarian Waduk Cirata. Kedua, informasi yang tidak sampai kepada sasaran. Keberadaan informasi dan tukar menukar informasi sangat penting dalam kelembagaan, khususnya yang melibatkan banyak stakeholder. Jika infomasi tidak sampai ke sasaran, tidak menutup kemungkinan permasalahan yang akan dicari solusinya justru malah semakin parah. Contoh dalam kasus Cirata ini adalah informasi mengenai jumlah KJA yang sangat berlebih dari jumlah yang dipersyaratkan dalam Pergub yang tidak sampai ke satpol PP. Berdasarkan penelusuran lapangan, pihak satpol PP menyatakan jika mereka miskin informasi mengenai Waduk Cirata sehingga tidak mengetahui jika jumlah KJA telah jauh melebihi peraturan yang ada dan harus ditertibkan. Satpol PP tidak akan bisa bergerak tanpa ada laporan ataupun perintah. Seharusnya pihak yang terlibat langsung dengan Waduk Cirata melaporkan kondisi terkini Waduk Cirata kepada semua stakeholder, sehingga dapat segera bergerak jika terjadi permasalahan. Ketiga, tingkat koordinasi yang masih rendah. Dalam pengelolaan Waduk Cirata, koordinasi masih sebatas formalitas saja, belum dilakukan dengan sebaik mungkin. Koordinasi yang minim mengakibatkan pergerakan yang tidak terintegrasi satu sama lain, sehingga stakeholder yang terlibat terkesan bergerak secara sendiri- sendiri sesuai dengan kepentingan masing-masing. Ini yang menyebabkan visi yang tidak seragam diantara para stakeholder dalam pengelolaan Waduk Cirata. Sebagai contoh yaitu kegiatan pengangkatan eceng gondok di Waduk Cirata. Kegiatan ini rutin dilakukan namun stakeholder yang terlibat tidak bekerja sama sehingga hasilnya tidak optimal. Alangkah lebih baik jika para stakeholder melakukan koordinasi sehingga pelaksanaan kegiatan di lapangan dapat terintegrasi satu sama lain namun tidak saling overlapping. Overlapping yang berkepenajangan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dampak lanjutan yang merugikan bagi semua pihak. Kondisi ‘chaotic’ yang terjadi di Waduk Cirata akan dapat diatasi apabila kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata dapat berjalan sesuai dengan yang seharusnya. Merupakan sebuah tantangan besar untuk dapat menjalankan kelembagaan yang sudah ada sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selama ini sebagian besar peraturan belum berjalan dengan optimal, bahkan terjadi pembiaran dari banyak pelanggaran. Padahal pelanggaran yang terjadi sudah jelas sanksi dan penegakan hukumnya. Namun lagi-lagi kebanyakan peraturan hanyalah peraturan semata dan menjadi ‘mandul’ dalam impelmentasinya. Sebagai langkah awal perlu dilakukan identifikasi untuk memperjelas dan mempertegas peranan maupun kepentingan masing-masing stakeholder untuk terwujudnya keberlanjutan Waduk Cirata kemudian menggambarkannya dalam sebuah struktur kelembagaan. Identifikasi peran dan kepentingan stakeholder tersaji dalam Tabel 8.4. Selanjutnya untuk struktur kelembagaan yang menggambarkan koordinasi antara stakeholder sesuai dengan aturan yang berlaku dapat dilihat pada Gambar 8.4 sebagai berikut: Tabel 8.4. Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan Waduk Cirata No. Stakeholder Peran dan Kepentingan 1. Dinas Perikanan Kelautan Provinsi Jawa Barat 1 Pemanfaat SDA untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya 2 Memiliki kewajiban bertanggung jawab kepada Gubernur terkait dengan kegiatan yang diselenggarakan di Waduk Cirata 3 Mengatur pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya 4 Memiliki Unit Pelaksana Teknis di lapangan, yaitu BP3UIH yang menerima perintah dari Dinas Perikanan Kelautan Provinsi Jawa Barat 5 Koordinasi dengan BPWC sebagai pemegang otoritas kawasan Waduk Cirata 6 Koordinasi dengan Satpol PP dalam hal pengawasan, penindakan, dan penegakan Perda maupun Keputusan Gubernur 7 Koordinasi dengan BPMPT Provinsi Jawa Barat dan BPWC terkait dengan perizinan pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan 8 Menyelenggarakan konservasi kawasan Waduk Cirata 9 Menyelenggarakan pembinaan petani sebagai pemanfaat perikanan Waduk Cirata 10 Koordinasi dengan Dinas terkait tingkat kabupaten terkait dengan pembinaan petani 2. Dinas Perikanan Kabupaten 1 Pemanfaat SDA untuk kegiatan perikanan, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya 2 Memiliki kewajiban bertanggung jawab kepada Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat terkait dengan kegiatan yang diselenggarakan di Waduk Cirata No. Stakeholder Peran dan Kepentingan 3 Mengatur pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan perikanan di tiap zona masing-masing, baik itu perikanan tangkap maupun perikanan budidaya 4 Melakukan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Barat 3. PT. PJB PT. PJB 1 Sebagai pemilik aset atas nama Kementerian BUMN 4. Badan Pengelola Waduk Cirata BPWC 1 Pemegang otoritas pengelolaan kawasan waduk untuk keperluan produksi energi listrik 2 Pemeliharaan kawasan dan penerbitan surat penentuan lokasi SPL untuk kegiatan perikanan 3 Koordinasi dengan Dinas Perhubungan dan Dinas Perikanan dan Kelautan dalam penentuan zonasi KJA 4 Berwenang untuk menindak setiap pelangaran dalam pemanfaatan kawasan 5 Koordinasi dengan dinas terkait dan Satpol PP terkait dengan penindakanpenegakan aturan 6 Koordinasi dengan BBWS Citarum yang juga memiliki kewenangan terhadap badan air dalam pengelolaan kawasan 7 Dalam kegiatan pengawasan, BPWC bisa dibantu oleh masyarakat MPC, Pokmaswas, kelompok tani 5. Balai Pengelolaan Perairan Umum Perikanan dan Ikan Hias BP3UIH 1 Menerbitkan rekomendasi teknis berdasarkan kajian ilmiah 2 Melakukan pembinaan petani KJA maupun nelayan 3 Melakukan pembinaan pengelolaan termasuk pembersihan eceng gondok, gulma, dkk 6. Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu 1 Pemanfaatan permukaan air terkait dengan transportasi 2 Penataan lokasizona KJA agar tidak menggangu transportasi 3 Penentuan zona berkoordinasi dengan DKP dan BPWC 4 Dalam pemanfaatan permukaan air untuk transportasi melakukan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat 7. Satpol PP 1 Melakukan penindakan dan penertiban terkait dengan penegakan perda dan peraturan kepala daerah 2 Melakukan patroli dalam rangka penegakan perda dan peraturan daerah 3 Dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan TNI Kodam Siliwangi dan Polisi Polda No. Stakeholder Peran dan Kepentingan Jabar, serta Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan BPWC 4 Berkoordinasi dengan Satpol PP tingkat kabupaten dalam rangka meminta bantuan pasukan 5 Dalam melakukan tindakan tersebut bertanggung jawab terhadap Gubernur 8. Gubernur 1 Merupakan penanggung jawab pemanfaatan kawasan Waduk Cirata untuk keperluan terkait dengan SKPD Satuan Kerja Pemerintahan Daerah 2 Gubernur melaksanakan Perda terkait dengan pemanfaatan Waduk Cirata 3 Gubernur mengalokasikan anggaran terkait dengan pemanfaatan Waduk Cirata 4 Dalam penegakan perda, Gubernur berkoordinasi dengan TNI Pangdam Siliwangi dan Polri Kapolda Jabar 5 Pelaksanaan penertiban perda dilakukan oleh Satpol PP dengan perintahinstruksi dari Gubernur Sumber: Data Primer, diolah 2016 : Garis Koordinasi : Garis Perintah : Garis Pertanggungjawaban : Garis Pembinaan : Garis Komunikasi Personal Gambar 8.4. Redesign struktur kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata Jawa Barat POKMASWAS Kementerian PU Kementerian BUMN Gubernur Polda Polri PT. PJB BPWC BBWS Citarum DKP BPMPT Dishub BPLHD Satpol PP Provinsi Satpol PP Kabupaten BP3UIH Dinas Perikanan Kabupaten Petani IkanKelompok Tani Balai Besar Wilayah BBWS Sungai Citarum merupakan instansi yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. BBWS Sungai Citarum memiliki otoritas dalam pengelolaan wilayah Sungai Citarum yang menjadi sumber air bagi Waduk Cirata. Sehingga dalam tata kelola Waduk Cirata, BBWS memiliki hubungan koordinasi dengan pihak pengelola Waduk Cirata yaitu Badan Pengelola Waduk Cirata BPWC. BPWC merupakan perpanjangan tangan dari PT. Pembangkitan Jawa dan Bali PT. PJB yang merupakan pemilik aset Waduk Cirata dan berada di bawah kementerian Badan Usaha Milik Negara BUMN. Sehingga BPWC menerima perintah dari PT. PJB dan melakukan pertanggung jawaban kepada PT. PJB terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata, khususnya dalam mengelola waduk dan lingkungan waduk sehingga ketersediaan energi listrik dapat terjaga. BPWC merupakan pihak pengelola yang berhubungan langsung dengan Waduk Cirata dan memegang peranan sentral saat eksekusi di lapangan. Dengan demikian BPWC melakukan koordinasi dengan stakeholder lain yang terkait, diantaranya Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu BPMPT, Dinas Perhubungan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah BPLHD, Dinas Perikanan dan Kelautan DPK, BP3UIH, dan Kelompok Masyarakat Pengawas Pokmaswas. Dinas-dinas terkait menerima perintah langsung dari Gubernur dan melakukan pertanggung jawaban terhadap Gubernur. BP3UIH merupakan perpanjangan tangan dari DPK yang bertugas melakukan urusan teknis di lapangan. DPK Provinsi melakukan koordinasi dengan DPK kabupaten, mengingat keberadaan Waduk Cirata yang lintas kabupaten. DKP Provinsi, BP3UIH, dan DPK kabupaten melakukan pembinaan kepada petani ikankelompok tani KJA yang dilakukan secara rutin untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan petani dalam mengusahakan KJA. DPK juga melakukan koordinasi dengan Pokmaswas, dan Pokmaswas melakukan koordinasi dengan petani ikankelompok tani KJA. Gubernur melakukan koordinasi dengan Polda dan Polri, khususnya dalam penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Gubernur memberikan perintah kepada instansi di bawahnya yang ikut berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Selanjutnya instansi tersebut harus bertanggung jawab dan memberikan laporan terhadap Gubernur tentang kegiatan yang telah dilakukan. Satpol PP provinsi sebagai penegak peraturan daerah melakukan koordinasi dengan satpol PP kabupaten terkait dengan penindakan ataupun penertiban yang akan dilakukan. Jika akan dilakukan penindakan kepada pihak yang melakukan pelanggaran, satpol PP dapat bekerjasama dengan satpol PP kabupaten. Untuk kasus berlebihnya KJA di Waduk yang telah melebihi aturan yang berlaku, satpol PP dapat melakukan penindakan atau penertiban terhadap petani KJA melalui komunikasi personal. Penindakan atau penertiban petani KJA dapat dilakukan apabila pihak yang terlibat meminta bantuan kepada satpol PP ataupun satpol PP mendapat perintah langsung dari Gubernur. Kriteria siapa saja petani KJA yang ditertibkanditindak dapat mengacu kepada perizinan, kriteria kepemilikan, dan hal-hal lain yang telah disepakati oleh stakeholder terkait.