ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA PROVINSI JAWA BARAT

(1)

ANALISIS BIAYA DAN MANFAAT KELEMBAGAAN

PENGELOLAAN WADUK CIRATA

PROVINSI JAWA BARAT

ANDINI KUSUMAWARDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Biaya dan ManfaatKelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2017

Andini Kusumawardhani NIM H451140101


(4)

(5)

ANDINI KUSUMAWARDHANI. Analisis Biaya dan Manfaat Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan AHYAR ISMAIL.

Waduk Cirata dibangun dengan membendung Sungai Citarum yang memiliki tujuan utama untuk menyediakan pasokan air bagi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memasok kebutuhan listrik Pulau Jawa dan Bali. Budidaya perikanan menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) diperbolehkan sebagai kompensasi bagi korban genangan pembangunan Waduk Cirata. Seiring berjalannya waktu, kegiatan KJA di Waduk Cirata semakin berkembang karena dianggap sebagai usaha yang menguntungkan. Jumlah KJA semakin meningkat setiap tahunnya, bahkan hingga melebihi jumlah yang direkomendasikan. Pada tahun 2014 jumlah KJA di Waduk Cirata tercatat sebanyak 68.481 petak KJA. Jumlah tersebut jauh melebihi batas maksimum KJA sesuai yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 tentang

tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata yaitu sebanyak 12.000 petak. Permasalahan yang timbul akibat situasi tersebut adalah timbulnya eksternalitas berupa penurunan kualitas perairan, meningkatnya blooming alga/eceng gondok, laju sedimentasi yang meningkat, dan upwelling yang menimbulkan kematian ikan secara massal. Kondisi yang terjadi di Waduk Cirata ini mengindikasikan adanya ketidakefektifan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya waduk. Jika kondisi ketidakefektifan kelembagaan seperti ini terus berlangsung maka akan mengancam keberlanjutan Waduk Cirata.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mereview aturan main dalam pengelolaan Waduk Cirata; (2) menganalisis persepsi stakeholder mengenai keberlanjutan Waduk Cirata; (3) menganalisis redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata yang dapat mengakomodir semua kepentingan; dan (4) mengestimasi biaya dan manfaat dari penerapan kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Aturan main terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata sudah ada namun pelaksanaannya masih belum optimal. Berbagai hal yang ada hubungannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata telah diuraikan di dalam peraturan-peraturan yang ada, seperti stakeholder yang terlibat, peran masing-masing stakeholder, koordinasi antara stakeholder, perizinan pemanfataan, pelestarian kawasan, larangan, pengawasan, sanksi, dan penegakan hukum. Kurangnya sosialisasi menjadi kendala tidak terealisasinya peraturan-peraturan tersebut di lapangan. Pengawasan yang masih minim dan penegakan yang masih longgar menjadikan banyak terjadinya pelanggaran aturan main yang telah ada.

Persepsi responden mengenai keberlanjutan Waduk yang ditinjau berdasarkan dimensi ekonomi, ekologi, pengelolaan, dan pemanfaatan adalah bahwa Waduk Cirata saat ini dalam kondisi yang kurang berkelanjutan. Responden KJA menyatakan bahwa dimensi pengelolaan menjadi dimensi dominan yang menyebabkan kurangnya keberlanjutan Waduk Cirata sedangkan responden


(6)

non-dengan efektif. Kelembagaan yang sesuai non-dengan aturan main (de jure) tidak berjalan di lapangan. Hasil redesign kelembagaan merupakan kelembagaan yang diharapkan dari para stakeholder untuk dapat mengakomodir semua kepentingan di Waduk Cirata. Koordinasi, pemahaman dari stakeholder, pengawasan, dan penegakan hukum menjadi kunci penting dari implementasi redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata untuk mewujudkan Waduk Cirata yang berkelanjutan.

Estimasi biaya transaksi dari penerapan kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata berdasarkan anggaran dari para stakeholder terkait adalah sebesar Rp 9.674.068.000,00 per tahun. Estimasi manfaat dari penerapan hasil redesign kelembagaan adalah penghematan pengerukan sedimen yang berkisar Rp. 771.213.700,92 – Rp. 1.166.607.527,28 per tahun; pengurangan biaya pengerukan eceng gondok sebesar Rp. 1.098.000.000,00 per tahun; penurunan laju sedimentasi sebesar Rp. 2.748.651.743,00 per tahun; dan penurunan kematian ikan sebesar Rp. 55.469.494.165,00 per tahun

Keywords: stakeholder perception, transaction cost, Cirata Dam, floating net cages, institutional management


(7)

ANDINI KUSUMAWARDHANI. Cost and Benefit Analysis of Cirata Dam Institutional Management, West Java Province. Supervised by ACENG HIDAYAT and AHYAR ISMAIL.

Cirata Dam built by damming the Citarum River which has the primary objective to provide a water supply for the Hydroelectric Power Plant (HEPP), which supplies the electricity needs of Java and Bali islands. Aquaculture uses floating net cages system (Keramba Jaring Apung/KJA) is allowed as compensation for victims of puddle development Cirata Dam. Over time, the KJA activities in Cirata is growing because it is considered as a profitable business. Number of KJA increasing every year, even exceeding the recommended amounts. In 2014 the number of KJA in Cirata recorded as many as 68.481 plots KJA. This amount far exceeds the maximum limit set by KJA accordance West Java Governor Decree No. 41 of 2002 on Development Utilization of Water Works, Agriculture Land and Region Cirata as many as 12.000 plots. The problems arising from this situation is the emergence of externalities in the form of a decrease in water quality, increased algae blooming/hyacinth, increased sedimentation rate, and upwelling that cause mass fish mortality. Conditions that occured in Cirata was indicates the ineffectiveness of institutional dam/reservoir resources management. If conditions such institutional ineffectiveness continues it would threaten the sustainability of Cirata Dam.

This study aims to: (1) review the rules of the game Cirata Dam management; (2) analyze the perceptions of stakeholders about the sustainability of Cirata Dam; (3) analyze the institutional redesign Cirata Dam management that can accommodate all interests; and (4) estimate the costs and benefits of Cirata Dam institutional management implementation.

Results showed that the rules of the game relating to the management and utilization of existing Cirata but its implementation is still not optimal. Various things have to do with the management and utilization Cirata has been described in the regulations that exist, such as the stakeholders involved, the role of each stakeholder, coordination between stakeholders, permitting utilization, preservation district, prohibitions, supervision, sanctions and law enforcement. Lack of coordination and stakeholder understanding are the constraints why regulations can be realized in the field. Minimal supervision and loose enforcement makes many violations of the rules that already exist.

Respondents Perception of Cirata Dam sustainability which is reviewed based on the dimensions of economy, ecology, management, and utilization show that Cirata Dam condition today are less sustainable. KJA farmer respondents stated that dimension management is becoming the dominant dimension which leads to a lack of sustainability Cirata non-farmers, while non-farmer KJA respondents stated social aspects become dominant dimension that should get more attention from the relevant stakeholders.


(8)

multi-for implementation of institutional redesign management to achieve sustainable Cirata Dam.

Estimated transaction costs of the application of the results of the institutional redesign Cirata management based on the budget of the stakeholders was Rp 9.674.068.000,00 per year. Estimated benefits from institutional management implementation is saving dredging cost of sediments which ranges from Rp. 771.213.700,92 - Rp. 1.166.607.527,28 per year; dredging cost of hyacinth reduction Rp. 1.098.000.000,00 per year; decrease in sedimentation rate of Rp. 2,748,651,743.00 per year; and reduction in fish mortality Rp. 55.469.494.165,00 per year.

Keywords: stakeholder perception, transaction cost, Cirata Dam, floating net cages, institutional management


(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.


(10)

(11)

PROVINSI JAWA BARAT

ANDINI KUSUMAWARDHANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan


(12)

(13)

(14)

(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang berjudul Analisis Biaya dan Manfaat Kelembagaan Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Aceng Hidayat, MT dan Bapak Dr Ir Ahyar Ismail, MAgr selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan motivasi dalam penyusunan tesis ini; Ibu Dr Eva Anggraini, SPi, MSi selaku dosen penguji utama yang telah memberikan banyak masukan untuk penyempurnaan tesis ini; Bapak Ade Jahidin dari BPWC, Bapak Yanto dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Bapak Yoyo dari Kelompok Tani KJA, staf-staf instansi lain di Provinsi Jawa Barat maupun di Kabupaten Bandung Barat, Purwakarta, dan Cianjur, serta para petani KJA yang telah membantu dalam pemenuhan kebutuhan data; Almarhum Ayahanda Edy Raharjo, Ibunda Ririn Triastuti, adik tercinta Bramantya Adhi Nugraha, serta mas Agung Setiabudi atas doa, kasih sayang, motivasi, dan kesabaran yang tiada henti dalam mendengarkan segala keluhan; serta seluruh keluarga, sahabat, dan rekan-rekan sekalian atas doa, semangat, perhatian, dukungan, serta kasih sayang selama proses penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Dengan demikian diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Maret 2017


(16)

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup Penelitian 8

Batasan Penelitian 8

TINJAUAN PUSTAKA 9

Property Rights dan Common Pool Resources (CPRs) 9

Eksternalitas 11

Kelembagaan 12

Collective Action 13

Biaya Transaksi 14

Penelitian Terdahulu 17

KERANGKA PEMIKIRAN 19

METODE PENELITIAN 21

Lokasi dan Waktu Penelitian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengambilan Sampel 22

Metode Analisis Data 23

Audit Aturan Main Pengelolaan Waduk Cirata 23

Analisis Persepsi Stakeholder 24

Analisis Redesign Kelembagaan 25

Analisis Biaya Transaksi dan Manfaat Kelembagaan 28

Biaya Transaksi 22

Manfaat Ekonomi 32

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 35

Lokasi Waduk Cirata 35

Waduk Cirata sebagai Pembangkit Tenaga Listrik 37

Kondisi Perairan Waduk Cirata 38

AUDIT ATURAN MAIN PENGELOLAAN WADUK CIRATA 41

ANALISIS PERSEPSI STAKEHOLDER MENGENAI KEBERLANJUTAN WADUK CIRATA


(18)

ANALISIS KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

61

Property Rights di Waduk Cirata 62

Identifikasi Property Rights di Waduk Cirata 62 Mekanisme Perizinan Usaha KJA di Waduk Cirata 65 Stakeholder yang Terlibat dalam Pengelolaan Waduk Cirata 66 Kelembagaan Eksisting Pengelolaan Waduk Cirata 63 Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata sesuai Dasar Hukum

yang Berlaku

67

Levelling Aturan Main yang Berlaku di Waduk Cirata 80

Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata 82

ESTIMASI BIAYA DAN MANFAAT KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

88 Estimasi Biaya Transaksi Kelembagaan Pengelolaan Waduk

Cirata

88 Estimasi Manfaat Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata 93

Manfaat dari Pengurangan Limbah Pakan dan Feses Ikan yang Terbuang ke Perairan Waduk Cirata

93 Manfaat dari Pengurangan Blooming Eceng Gondok di

Perairan Waduk Cirata

98

Manfaat dari Penurunan Laju Sedimentasi 99

Manfaat dari Pengurangan Kematian Ikan 100

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 102

Saran 102

DAFTAR PUSTAKA 104


(19)

DAFTAR TABEL

1.1 Data kepemilikan KJA di Waduk Cirata tahun 2011 2 1.2 Perkembangan KJA di Waduk Cirata tahun 1988-2014 3 4.1 Matriks keterkaitan tujuan, kebutuhan data, sumber data, dan metode

analisis data

21

4.2 Daftar kelompok target wawancara dan FGD 22

4.3 Peraturan-peraturan terkait dengan Waduk Cirata 23 4.4 Unit analisis, kategori, dan parameter content analysis 24 4.5 Matriks panduan pertanyaan persepsi dan motivasi untuk stakeholder

ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, sosial, pengelolaan, dan pemanfaatan

25

4.6 Indikator-indikator kelembagaan ideal 27

5.1 Kualitas air di Waduk Cirata 39

6.1 Hasil content analysis beberapa peraturan terkait pengelolaan Waduk Cirata

42 7.1 Komposisi responden petani KJA di Waduk Cirata 50 7.2 Komposisi responden non-petani KJA di Waduk Cirata 52 7.3 Hubungan antara satakeholder dan pertanyaan yang diberikan dalam

wawancara

53 7.4 Penilaian skor tiap aspek keberlanjutan Waduk Cirata 54 8.1 Peran stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata 61 8.2 Identifikasi mengenai property rights stakeholder yang terlibat dalam

pengelolaan dan pemanfaatan di Waduk Cirata

64 8.3 Analisis kelembagaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata

berdasarkan indikator kelembagaan ideal

73 8.4 Dasar hukum dalam analisis kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata 78 8.5 Levelling aturan main yang berlaku di Waduk Cirata 80 8.6 Peran dan kepentingan stakeholder dalam pengelolaan Waduk Cirata 83 9.1 Biaya sosialisasi redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata 89

9.2 Biaya patroli KJA Waduk Cirata 90

9.3 Biaya pengukuran indikator di Waduk Cirata 90

9.4 Biaya pemantauan dan pengawasan kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata

90

9.5 Biaya penarikan KJA 91

9.6 Total biaya penertiban KJA di Waduk Cirata 91


(20)

9.10 Biaya Administrasi dalam Redesign Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata

93 9.11 Perhitungan jumlah KJA aktif dan target KJA yang harus dikurangi

di Waduk Cirata

94 9.12 Estimasi jumlah pakan yang tidak terbuang ke perairan Waduk Cirata

dari pengurangan KJA

94 9.13 Estimasi pengurangan jumlah sedimen dari limbah pakan akibat

pengurangan KJA di Waduk Cirata

95 9.14 Estimasi pengurangan jumlah sedimen dari limbah feses akibat

pengurangan KJA di Waduk Cirata

95 9.15 Jumlah Sedimen di Waduk Cirata yang berkurang dari limbah KJA 96 9.16 Estimasi biaya pengerukan sedimen di Waduk Cirata 97 9.17 Estimasi penghematan biaya pengerukan sedimen dari pengurangan

limbah KJA

97 9.18 Biaya Pengerukan Eceng Gondok di Waduk Cirata 98 9.19 Kerugian akibat kematian ikan di Waduk Cirata tahun 2001-2015 99 9.20 Hasil estimasi kerugian akibat kematian ikan di Waduk Cirata tahun

2001-2015

100

DAFTAR GAMBAR

1.1 Data sedimentasi Waduk Cirata tahun 1987-2007 4 1.2 Jumlah dan trend kasus kematian ikan akibat upwelling di Waduk

Cirata tahun 2001-2015

5

3.1 Kerangka pemikiran penelitian 20

4.1 Gambaran matriks polarisasi secara sederhana 25

5.1 Lokasi Waduk Cirata 36

5.2 Waduk kaskade Jawa Barat (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) 36

5.3 Aliran sungai yang masuk ke Waduk Cirata 37

7.1 Sebaran usia responden petani KJA 50

7.2 Sebaran tingkat pendidikan responden petani KJA 51 7.3 Presentase sebaran lama bekerja responden petani KJA 51

7.4 Sebaran persepsi responden petani KJA 57

7.5 Sebaran persepsi responden non-petani KJA 59

7.6 Sebaran persepsi responden petani KJA dan non-petani KJA 60

8.1 Mekanisme perizinan KJA 65

8.2 Kelembagaan eksisting pengelolaan Waduk Cirata 74 8.3 Kelembagaan Waduk Cirata sesuai aturan main yang berlaku 79


(21)

1 Hasil Analisis Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Perikanan

111 2 Hasil Analisis Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 41 Tahun

2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata

118

3 Hasil Analisis Keputusan Direktur Jenderal Sumberdaya Air Nomor 21/KTPS/D/2014 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pengoperasian Bendungan Kaskade Saguling, Cirata, dan Djuanda/Jatiluhur

124

4 Hasil Analisis Keputusan Direksi PT. Pembangkitan Jawa-Bali Nomor 023.K/020/DIR/2014 tentang Penyempurnaan Organisasi Badan Pengelola Waduk Cirata pada PT. Pembangkitan Jawa-Bali

131

5 Hasil Analisis Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 27/PRT/M/2015 tentang Bendungan

134

6 Komponen baiaya sosialisasi kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

139 7 Komponen biaya pengukuran indikator kelembagaan pengelolaan

Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

140 8 Komponen biaya koordinasi kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata

Provinsi Jawa Barat

141 9 Komponen biaya pemeliharaan kelembagaan pengelolaan Waduk

Cirata Provinsi Jawa Barat

141 10 Komponen biaya pembinaan dan pelatihan kelembagaan pengelolaan

Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

142 11 Komponen biaya administrasi kelembagaan pengelolaan Waduk

Cirata Provinsi Jawa Barat

142 12 Biaya transaksi kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata Provinsi

Jawa Barat

143


(22)

(23)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Waduk merupakan salah satu sumberdaya air permukaan, yang sumber airnya berasal dari aliran sungai yang sengaja ditahan menggunakan bendungan sehingga permukaannya naik dan menggenangi wilayah rendah yang ada di sekitar bendungan tersebut. Waduk juga disebut dengan danau buatan dengan tujuan mendapatkan air untuk keperluan rumah tangga, pertanian, perikanan, pembangkit energi, dan lain-lain. Secara natural waduk adalah tempat hidup bagi biota perairan, penjaga keseimbangan alam, media sosial budaya, dan penggerak perekonomian (DKP 2013). Waduk memiliki manfaat baik secara ekologi maupun sosio-ekonomis. Manfaat secara ekologi adalah sebagai sistem penyerapan air dan tendon air serta keberlangsungan proses ekologi di dalamnya. Manfaat secara sosio-ekonomis antara lain adalah sebagai cadangan sumber air bersih, pengendali banjir, irigasi, sumber penyedia protein dari sektor perikanan darat, dan sebagai sarana rekreasi. Apapun tujuan pemanfaatannya, keberadaan waduk secara berkelanjutan sangat diperlukan sebagai penopang keberlanjutan kehidupan manusia.

Salah satu waduk yang penting dan terkenal di Jawa Barat adalah Waduk Cirata. Waduk Cirata dibangun dengan sumber air berasal dari sungai Citarum dan merupakan kaskade dari dua waduk lainnya yaitu Waduk Saguling (hulu) dan Jatiluhur (hilir). Secara administratif, Waduk Cirata berada pada lintas kabupaten, yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Cianjur. Waduk ini terletak di ketinggian 221 m dari permukaan laut, dengan luas wilayah 6.200 Ha, rata-rata kedalaman mencapai 39,4 m, dan memiliki daya tampung sebesar 2.165 juta m3 air. Waduk Cirata dibangun dengan tujuan utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang memasok listrik terbesar bagi Pulau Jawa dan Bali dengan kapasitas terpasang 1008 MW dan menghasilkan energi sebesar 1426 GWH/tahun. (BPWC, 2013). Walaupun tujuan utamanya sebagai PLTA, dengan volume air yang demikian besar Waduk Cirata juga memiliki fungsi sebagai sumber irigasi, perikanan, pengendali banjir, pariwisata, dan konservasi air.

Pembangunan Waduk Cirata pada tahun 1986 mengakibatkan 32 desa dan 7 kecamatan yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Purwakarta harus ditenggelamkan. Sebagai konsekuensi dari penenggelaman pemukiman masyarakat tersebut, usaha budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) diperbolehkan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada awalnya, pemberian hak pengembangan usaha KJA ini hanya diperuntukkan bagi masyarakat korban genangan pembangunan Waduk Cirata sebagai alternatif sumber mata pencaharian. Budidaya KJA ini menyebar di seluruh bagian waduk (Zona 1 Kabupaten Bandung Barat, Zona 2 Kabupaten Purwakarta, dan Zona 3 Kabupaten Cianjur). Waduk Cirata telah menjadi salah satu sentra kegiatan budidaya ikan air tawar di Jawa Barat yang menggunakan sistem KJA. Beberapa jenis ikan air tawar utama yang dibudidayakan di Waduk Cirata adalah ikan mas (Cyprinus caprio), nila (Oreochromis nimoticus), dan gurame (Osphronemus gouramy).

Saat ini, pengelolaan Waduk Cirata dilakukan oleh Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) yang dibentuk oleh PT. Pembangkitan Jawa Bali (PJB). PT. PJB merupakan pemilik aset tanah, bendungan, waduk, dan PLTA Cirata. Lokasi


(24)

Waduk Cirata yang berada pada wilayah lintas kabupaten menimbulkan konsekuensi pengelolaan waduk juga dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat dengan dibantu oleh Dinas terkait di Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, dan Purwakarta. Pada awalnya, pemberian hak pengembangan usaha KJA hanya diperuntukkan bagi korban genangan pembangunan Waduk Cirata saja. Namun seiring berjalannya waktu, pemanfaatan waduk untuk budidaya perikanan air tawar ini terus berkembang. Tidak hanya penduduk setempat yang terlibat dalam usaha KJA di Waduk Cirata, tetapi juga banyak pendatang dari daerah lain. Pada tahun 2011, kepemilikan KJA petani lokal adalah sebesar 83,71%, dan sebanyak 16,29% merupakan kepemilikan petani pendatang. Data kepemilikan KJA di Waduk Cirata Tahun 2011 tersaji dalam Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1.1 Data kepemilikan KJA di Waduk Cirata tahun 2011

Wilayah Petani (RTP) Presentase (%)

Lokal Pendatang Jumlah Lokal Pendatang Jumlah Kab. Bandung

Barat

1023 175 1198 85,39 14,61 100

Kab. Purwakarta

442 50 492 89,84 10,36 100

Kab. Cianjur 637 184 821 77,59 22,41 100

Total 2102 409 2511 83,71 16,29 100

Sumber: BPWC (2011)

Jumlah KJA di Waduk Cirata terus-menerus mengalami peningkatan sepanjang waktu. Pada awal didirikan, jumlah KJA di Waduk Cirata yang diizinkan hanya 2000 petak sesuai dengan rekomendasi BPWC. Saat awal dioperasikan pada tahun 1988 jumlah KJA hanya 74 petak. Tahun 1992 jumlah KJA telah mencapai 2.056 petak, melebihi jumlah yang direkomendasikan BPWC. Jumlah KJA yang semakin meningkat setiap tahunnya telah melebihi kapasitas yang dapat didukung oleh Waduk Cirata sehingga Gubernur turun tangan untuk membatasi jumlah KJA dengan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat no. 41 tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata. Peraturan tersebut memuat bahwa jumlah KJA di Waduk

Cirata yang diizinkan beroperasi dibatasi sebanyak 12.000 petak. Namun instrumen ini tidak efektif, kerena sejak SK diterbitkan, jumlah KJA terus-menerus bertambah. Dengan demikian, sebenarnya sejak tahun 1996, jumlah KJA di Waduk Cirata telah melebihi kedua ketentuan tersebut, dan kedua peraturan tersebut tidak efektif. Pada tahun 2011, jumlah KJA mencapai lebih dari 53.031 petak dan tidak menutup kemungkinan akan mengalami peningkatan lagi di tahun-tahun selanjutnya. Pada tahun 2014 jumlah KJA di Waduk Cirata mencapai 68.461 petak. Perkembangan KJA di Waduk Cirata Tahun 1998-2014 tersaji dalam Tabel 1.2 sebagai berikut.


(25)

Tabel 1.2 Perkembangan jumlah KJA di Waduk Cirata tahun 1988-2014

No. Tahun Jumlah KJA

maksimum yang diizinkan (petak)

Jumlah KJA yg ada (petak)

Jumlah RTP

1. 1988 - 74 25

2. 1989 - 351 80

3. 1990 - 899 210

4. 1991 2.000* 1.613 358

5. 1992 2.000* 2.056 469

6. 1993 2.000* 3.820 936

7. 1994 2.000* 6.473 1.498

8. 1995 2.000* 7.690 1.716

9. 1996 2.000* 15.289 2.472

10. 1997 2.000* 25.558 2.472

11. 1998 2.000* 17.477 1.602

12. 2000 2.000* 28.738 1.635

13. 2001 2.000* 30.429 1.672

14. 2003 12.000** 39.690 2.899

15. 2007 12.000** 51.418 2.899

16. 2011 12.000** 53.031 2.511

17. 2014 12.000** 68.461 3.481

Sumber: BPWC (2011); Rahmani (2012); Widiastuti (2013); BPWC (2014) * berdasarkan rekomendasi BPWC

** berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat no. 41 tahun 2002

Pemanfaatan Waduk Cirata untuk usaha KJA yang terus berkembang tidak hanya melibatkan penduduk setempat, melainkan juga yang berasal dari daerah lain. Dengan demikian tak heran jika jumlah KJA telah melampaui 53.000 petak pada tahun 2011. Jumlah KJA ini masih dapat terus mengalami peningkatan, dikarenakan usaha ini dianggap menguntungkan. Namun, jika jumlahnya terus meningkat dikhawatirkan dapat mengganggu fungsi lain dari waduk tersebut, bahkan berujung pada kerugian akibat penurunan kualitas lingkungan. Data rekapitulasi pada tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah KJA di Waduk Cirata telah mencapai angka 68.461 petak KJA (BPWC, 2014).

Pemanfaatan Waduk Cirata untuk kegiatan budidaya perikanan air tawar dengan sistem KJA memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Perekonomian masyarakat yang memanfaatkan waduk untuk perikanan mengalami peningkatan. Lapangan kerja dan peluang usaha semakin terbuka lebar bagi masyarakat. Selain memberikan dampak positif, berkembangnya budidaya perikanan air tawar sistem KJA juga menimbulkan dampak negatif. Eksternalitas negatif pun tidak bisa dihindarkan sebagai akibat jumlah KJA yang tidak terkontrol dan melebihi kapasitas Waduk Cirata. Kepadatan jumlah KJA di Waduk Cirata menyebabkan degradasi kualitas air waduk akibat bahan kimia yang berasal dari limbah pakan, feses ikan, dan limbah domestik. Freed and Dobson (2002) menyatakan bahwa pada umumnya dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan, hanya 80% yang dapat diserap oleh ikan dan sisanya sebanyak 20% akan terbuang ke perairan. Dari 80% pakan ikan yang terserap oleh ikan mas tersebut,


(26)

10% akan tersekresikan dalam bentuk feses. Sehingga sekitar 20-30% pakan yang diberikan kepada ikan akan terbuang ke perairan (Krismono, 2001).

Data sedimentasi Waduk Cirata menunjukkan peningkatan endapan akumulasi sedimentasi dibandingkan dengan data perkiraan sedimentasi berdasarkan design perencanaan waduk. Data teknis pada saat pembangunan waduk tahun 1986 menunjukkan kapasitas total waduk diperkirakan sebesar 2.165 juta m3. Pengukuran terakhir pada tahun 2007, daya tampung Waduk Cirata tinggal 1.827 juta m3. Perbedaan daya tampung waduk tersebut disebabkan oleh besarnya

akumulasi sedimen. Artinya, selama 20 tahun (antara tahun 1987 sampai dengan 2007) sedimentasi telah menurunkan daya tampung air sebesar 146 juta m3. Jika dirata-rata, laju sedimentasi yang terjadi di Waduk Cirata pada kondisi tersebut adalah sebesar 7,28 juta m3 per tahun. Data sedimentasi Waduk Cirata dari tahun 1987-2007 ditampilkan dalam Gambar 1.1 sebagai berikut.

Sumber: BPWC (2007)

Gambar 1.1 Data sedimentasi Waduk Cirata tahun 1987-2007

Perairan yang tercemar dan degradasi kualitas air di Waduk Cirata menimbulkan permasalahan dalam siklus biologi ikan. Pembudidaya ikan KJA dan nelayan perikanan tangkap mengalami kerugian akibat terjadinya upwelling dan penyakit koiherpesvirus. Upwelling disebabkan karena faktor alam, yaitu pergantian antara musim penghujan ke musim kemarau yang diperburuk oleh jarak antar KJA yang terlalu dekat sehingga menyebabkan minimnya oksigen bagi proses respirasi ikan sehingga ikan kekurangan oksigen kemudian mati (Rahmani et al. 2013). Kasus kematian massal ikan terjadi hampir setiap tahun yang menunjukkan bahwa kondisi perairan Waduk Cirata sudah termasuk dalam kondisi yang mengkhawatirkan untuk budidaya dan pertumbuhan ikan. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat (2016), rata-rata jumlah ikan yang mati di Waduk Cirata akibat upwelling pada tahun 2001-2015 adalah sebanyak 3.685,497 ton/tahun. Kasus kematian ikan akibat upwelling di Waduk Cirata menunjukkan trend yang meningkat pada tahun 2001-2015 seperti tersaji dalam Gambar 1.2 sebagai berikut:

0 20 40 60 80 100 120 140 160

1987 1989 1991 1993 1997 2000 2007


(27)

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat (2016)

Gambar 1.2 Jumlah dan trend kasus kematian ikan akibat upwelling di Waduk Cirata tahun 2001-2015

Kondisi penurunan kualitas air dan tingginya tingkat sedimentasi di Waduk Cirata menimbulkan kerugian ekonomi terhadap fungsi utama dibangunnya waduk dan kerugian ekonomi bagi pengguna waduk lainnya. Korosivitas pada alat PLTA menyebabkan biaya perawatan meningkat dan penurunan profit dalm jangka panjang. Sedimentasi yang tinggi menyebabkan umur layan Waduk Cirata menjadi berkurang. Umur layan waduk yang seharusnya 87 tahun sesuai dengan perencanaan teknis menjadi tinggal 60 tahun. Dengan demikian pada tahun 2012 dimana perhitungan ini dilakukan umur waduk tinggal 68 tahun lagi, yang artinya waduk mengalami perpendekan masa layan selama 8 tahun. Selain itu, kematian ikan secara masal menyebabkan menurunnya produksi ikan dan berkurangnya hasil tangkapan ikan sehingga menimbulkan kerugian bagi petani KJA maupun nelayan tangkap.

Sedimentasi dan penurunan kulitas lingkungan perairan Waduk Cirata tidak sepenuhnya diakibatkan oleh kegiatan KJA. Hal ini dikarenakan perairan Waduk Cirata juga tercemar akibat kegiatan pertanian, peternakan dan kegiatan lain yang membuang limbahnya ke Waduk Cirata. Hulu Waduk Cirata juga menjadi tempat tinggal masyarakat dimana limbah domestik aktivitas manusia juga terbuang ke aliran sungai dan bermuara di Waduk Cirata. Namun demikian, kontribusi KJA terhadap sedimentasi tidak bisa dinihilkan, mengingat kegiatan KJA di Waduk Cirata lebih menonjol dibandingkan dengan kegiatan lain yang memanfaatkan potensi sumberdaya setempat (Komarawidjaja, 2005). Jumlah KJA yang jauh melebihi kapasitas daya dukungnya menimbulkan berbagai kerugian bagi pengguna Waduk Cirata. Kejadian-kejadian yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terjadi tragedy of the commons di Waduk Cirata. Menurut Hardin (1968), tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang menyebabkan individu memandang sumberdaya sebagai milik bersama yang harus dijaga serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Kasus untuk Waduk Cirata, penyebab

1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 6.000.000

2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016

Ju

m

lah

I

k

an

y

an

g

Mati

(k

g

)


(28)

terjadinya tragedy of the commons adalahkarena kelembagaan yang belum berjalan dengan baik, khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan aturan main yang ada. Kelembagaan telah dibentuk dalam usaha untuk menjaga kelestarian Waduk Cirata, termasuk membatasi jumlah KJA. Namun dalam pelaksanaan aturan main tersebut banyak terjadi penyimpangan, bahkan seringkali hanya dianggap sebagai formalitas saja tanpa adanya pengawasan maupun penegakan terhadap aturan main tersebut. 1.2 Perumusan Masalah

Waduk Cirata merupakan sebuah waduk multifungsi yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Waduk Cirata dialokasikan untuk kegiatan usaha KJA sebagai bentuk kompensasi bagi 6.335 kepala keluarga yang harus kehilangan tempat tinggalnya akibat pembangunan waduk ini (BPWC, 2011). Keuntungan ekonomi yang menjanjikan dari usaha KJA membuat daya tarik tersendiri bagi masyarakat sehingga tidak hanya warga korban genangan saja yang menjadi petani KJA, namun juga warga pendatang dari daerah lain. Kondisi ini menyebabkan jumlah KJA yang cenderung meningkat setiap tahun. Berdasarkan Surat keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian, dan Kawasan Waduk Cirata menyatakan bahwa luasan yang aman untu KJA, yaitu seluas 1% dari seluruh perairan waduk, namun kondisi saat ini telah mencapai 4% (BPWC, 2013). Petak KJA yang dianjurkan adalah hanya 12.000 petak, namun terjadi peningkatan setiap tahunnya melebihi kapasitas yang seharusnya. Kondisi ini menimbulkan eksternalitas dan dampak negatif bagi Waduk Cirata, seperti penurunan produksi perikanan, penurunan fungsi waduk, dan terjadinya sedimentasi pada waduk.

Sedimentasi dan penurunan kualitas lingkungan Waduk Cirata tidak sepenuhnya diakibatkan oleh kegiatan usaha KJA. Hal ini dikarenakan perairan Waduk Cirata juga tercemar oleh kegiatan pertanian, rumah tangga, maupun limbah perusahaan dan industri. Secara umum, berdasarkan hasil pemantauan BPWC tahun 2011, kondisi mutu air di Waduk Cirata tergolong buruk, kecuali untuk kegiatan pertanian dan PLTA (BPWC, 2011). Mutu air di Waduk Cirata bagi peruntukan air baku air minum (golongan B) tergolong buruk karena parameter H2S, DO, COD,

BOD, Cd, E.Coli, dan Coliform yang tidak memenuhi standar baku mutu. Selain itu, mutu air bagi peruntukan kegiatan perikanan dan peternakan (Golongan C) tergolong buruk karena parameter H2S, NH3, NO2-N, Cl2, DO, Cu, Zn, dan Cd.

Parameter-parameter kualitas air di Waduk Cirata yang melebihi baku mutu air mengganggu kondisi perairan dan semua aktivitas pemanfaatan. Salah satu parameter kualitas air yang perlu diperhatikan (terutama terkait dengan budidaya KJA) adalah unsur hara/Fosfor (P). Kandungan P yang melebihi baku mutu air merupakan salah satu penyebab utama terjadinya eutrofikasi yang selanjutnya menjadi toksik Setiap harinya, Waduk Cirata diperkirakan menerima 47,82 ton limbah Nitrogen (N) dan 6,19 ton Fosfor (P) yang berasal dari aktivitas pemukiman dan perikanan (Widiastuti, 2013) Dengan demikian, kontribusi KJA terhadap sedimentasi di Waduk Cirata tidak bisa diabaikan. Melarang usaha KJA secara mutlak akan berimplikasi sangat besar, sedangkan membiarkan jumlah KJA secara liar akan mengganggu fungsi utama pendirian waduk.

Banyaknya petani ikan KJA yang tidak memiliki izin semakin menambah permasalahan yang ada di Waduk Cirata. Peraturan mengenai usaha KJA secara legal pun banyak yang dilanggar. Kondisi yang terjadi di Waduk Cirata ini


(29)

mengindikasikan adanya ketidakefektifan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya waduk. Jika kondisi ketidakefektifan kelembagaan seperti ini terus berlangsung maka akan mengancam keberadaan Waduk Cirata yang fungsinya dibutuhkan oleh banyak pihak, baik PT. PJB, masyarakat sekitar, pengusaha, serta seluruh pihak yang memafaatkan waduk.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana aturan main dalam pengelolaan Waduk Cirata?

2. Bagaimana persepsi stakeholder mengenai keberlanjutan Waduk Cirata?

3. Bagaimana redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata yang dapat mengakomodir semua kepentingan?

4. Bagaimana estimasi biaya transaksi dan manfaat dari kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengaudit aturan main dalam pengelolaan Waduk Cirata

2. Menganalisis persepsi stakeholder mengenai keberlanjutan Waduk Cirata 3. Menganalisis redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata yang dapat

mengakomodir semua kepentingan

4. Mengestimasi biaya transaksi dan manfaat dari kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian yang akan dilaksanakan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak-pihak sebagai berikut:

1. Bagi peneliti diharapkan akan memperoleh tambahan ilmu teori dan praktek di lapangan terkait dengan analisis manfaat dan biaya pengembangan pengelolaan Waduk Cirata yang kemudian dapat menjadi pengalaman untuk menyelesaikan kasus-kasus terkait lainnya

2. Bagi pemerintah daerah setempat diharapkan bahwa hasil penelitian dapat menjadi tambahan informasi bagi pemerintah daerah setempat untuk merumuskan kebijakan yang tepat terkait dengan permasalahan yang ada di lokasi penelitian

3. Bagi masyarakat setempat diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi ilmiah bagi masyarakat setempat mengenai kondisi terkini lingkungan di sekitar mereka, terutama Waduk Cirata sehingga diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan

4. Bagi pemanfaat Waduk Cirata diharapkan dapat menjadi informasi tambahan mengenai gambaran terkini kondisi Waduk Cirata sehingga membantu proses pengambilan keputusan bagi usaha mereka.


(30)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup Waduk Cirata sebagai genangan (tidak termasuk hulu dan hilir) dan kegiatan-kegiatan pemanfaatan oleh masyarakat sekitar yang potensial memberikan dampak kepada Waduk Cirata. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan dalam pengelolaan waduk Cirata sebagai genangan, sedangkan kajian mengenai biaya dan manfaat terkait dengan penyusunan dan penerapan hasil redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata.

1.6 Batasan Penelitian

Batasan penelitian dalam penelitian ini meliputi beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Wilayah penelitian adalah perairan Waduk Cirata yang meliputi genangan, tidak termasuk hulu dan hilir

b. Lokasi penelitian adalah Waduk Cirata yang terletak di Kabupaten Cianjur, Bandung Barat, dan Purwakarta yang fokus terhadap kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata

c. Masyarakat Waduk Cirata dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memanfaatkan Waduk Cirata sebagai sumber penghasilan

d. Pihak pengelola Waduk Cirata dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Cirata, baik pihak lokal maupun pihak yang memiliki otoritas di atasnya.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Property Rights dan Common Pool Resources (CPRs)

Property rights didefinisikan sebagai hak untuk mendapatkan laba/keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respect terhadap aliran laba tersebut (Broomley, 1992). Property rights juga dapat diartikan sebagai kepemilikan atas sesuatu yang di dalamnya terkandung makna hak untuk mengambil manfaat dari sesuatu tersebut. Oleh karena property merupakan hak yang harus ditegakkan/dihormati oleh pihak lain, maka property dalam penegakannya memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegak-tegaknya hak tersebut (Hidayat 2010). Property rights memiliki karakteristik yang melekat dan tidak bisa dipisahkan. Beberapa karakteristik property rights menurut Titienberg (1988) adalah sebagai berikut: (1) Exclusivity: meliputi pemanfaatan, nilai manfaat dari ssesuatu dan biaya penegakan, dimana secara ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk juga keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut; (2) Transferability: seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, dan lain-lain; dan (3) Enforceability: hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormati, dan dijamin dari praktek perampasan oleh pihak lain. Property rights mencakup hak memiliki, hak istimewa (privilages) dan batasan dalam memanfaatkan sumberdaya. Sandberg (1993) membagi property rights ke dalam lima elemen yang berbeda yaitu hak mengakses (right to access), hak memanen (right to harvest), hak mengelola (right to manage), hak untuk melarang masuk (right to exclude), dan hak untuk memindahkan sumberdaya (right to alienate). Seluruh elemen ini tidak harus selalu ada dalam sebuah hak kepemilikan.

Ostrom (1990) membagi property right ke dalam beberapa tipe rezim kepemilikian. Pertama adalah rezim kepemilikan individu (private property regime), yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu, dimana hak tersebut melekat kepada pemiliknya sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Kedua yaitu rezim kepemilikan bersama (common property regime), yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban, dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Ketiga adalah rezim kepemilikan negara (state property regime) dimana memiliki ciri bahwa hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya. Keempat yaitu rezim akses terbuka (open access regime) yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Rezim open access biasanya terjadi pada sumberdaya dengan skala besar dan sulit dijangkau penegakannya. Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah dan pemilik waduk telah memberikan komitmen pemanfaatan area waduk bagi masyarakat terdampak yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk berupa usaha KJA. Masyarakat terdampak dapat melakukan pengembangan budidaya ikan dengan KJA dalam rangka upaya pemanfaatan Waduk Cirata untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Bentuk hak yang diberikan oleh pemerintah tersebut termasuk dalam common property regime, yang berarti hak kepemilikan sumberdaya Waduk Cirata adalah milik bersama. Ostrom (1990) menyebut sumberdaya dalam common property regime sebagai common pool resources (CPRs).


(32)

Istilah Common Pool Resources (CPRs) diperkenalkan secara spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1990) yang menyebutkan bahwa CPRs merujuk kepada sumberdaya alami atau buatan manusia yang cukup luas dan untuk membuatnya membutuhkan biaya yang besar serta dibuat untuk tujuan terbatas dengan pengguna sumberdaya yang terbatas pula. CPRs dicirikan dengan sifatnya yang rivalness/substractable dan non-excludable. Rivalness atau ketersaingan berarti dalam pemanfaatan oleh seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. Excludability merupakan kemampuan untuk melarang pihak lain dalam memanfaatkan suatu sumberdaya. Contoh sumberdaya dengan karakteristik rivalness adalah sumberdaya yang tidak dapat diperbarui, sumberdaya yang dapat diperbarui, dan sumberdaya buatan dimana waduk termasuk di dalamnya. Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagaan sehingga semakin terlindungi sumberdaya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumberdaya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset, dan karakteristik dari kelompok (koherensi, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok) mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumberdaya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri, dan ketersediaan teknologi (Dolsak & Ostrom 2003).

Istilah CPRs juga digunakan untuk mengacu kepada setiap sumberdaya alami/buatan manusia yang dimanfaatkan oleh beberapa individu, terlepas dari jenis hak milik (property rights) yang terlibat. Menurut Schlager dan Ostrom (1992), skema property rights dalam pemanfaatan sumberdaya adalah mulai dari authorized user, claimant, proprietor, dan owner. Sebagai individu yag melakukan kegiatan sehari-hari dan mengatur kegiatan tersebut, mereka terlibat dalam dua level baik operational maupun collective choice levels of action (Kiser dan Ostrom 1982). Kegiatan operasional dibatasi dan diprediksi berdasarkan operational-level rules terlepas dari sumber aturan tersebut. Aturan operasional (operational rules) diubah oleh collective-choice actions. Tindakan tersebut dilakukan dalam seperangkat collective-choice rules yang menentukan siapa yang dapat berpartisipasi dalam mengubah aturan operasional dan tingkat kesepakatan yang dibutuhkan untuk perubahan mereka.

Kecenderungan pemanfaatan secara berlebihan (overuse) dan adanya pihak-pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara, serta mengatur pemanfaatan sumberdaya (free rider) merupakan masalah yang sekaligus menjadi penciri dari CPRs. Permasalahan-permasalahan tersebut memerlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat memberikan solusi. Salah satu tantangan paling penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan CPRs terletak pada fakta bahwa persediaan dan aliran sumberdaya ini seringkali sulit untuk dipastikan, bahkan penggunaan CPRs tak jarang mengakibatkan eksternalitas bagi pihak lain. Begitu pula keberadaan Waduk Cirata dengan usaha KJA di dalamnya, apabila tidak dikelola secara baik melalui suatu kelembagaan akan terjadi overuse untuk mengejar target produksi yang akhirnya menimbulkan eksternalitas dan berakibat pada penurunan kualitas perairan.


(33)

2.2 Eksternalitas

Rosen (1988) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi ketika aktivitas suatu satu kesatuan mempengaruhi kesejahteraan kesatuan lain yang terjadi di luar mekanisme pasar (non-market mechanism). Tidak seperti pengaruh yang ditransmisikan melalui mekanisme harga pasar, eksternalitas dapat mempengaruhi efisiensi ekonomi. Fisher (1996) menyatakan bahwa eksternalitas terjadi bila satu aktivitas pelaku ekonomi (baik produksi maupun konsumsi) mempengaruhi kesejahteraan pelaku ekonomi lain dan peristiwa yang terjadi di luar mekanisme pasar. Sehingga ketika terjadi eksternalitas, umumnya tidak menghasilkan sesuatu yang efisien secara ekonomi. Fauzi (2004) mendefinisikan eksternalitas sebagai dampak (baik positif maupun negatif) atau net cost/benefit dari tindakan satu pihak terhadap pihak lain. Eskternalitas terjadi ketika kegiatan produksi atau konsumsi dari satu pihak mempengaruhi utilitas (kegunaan) dari pihak lain secara tidak diinginkan, dan pihak pembuat eksternalitas tidak menyediakan kompensasi terhadap pihak yang terkena dampak. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan eksternalitas yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

Eksternalitas timbul setiap kali kesejahteraan beberapa pelaku ekonomi yang secara langsung dipengaruhi oleh tindakan pelaku lain baik konsumen ataupun produsen di dalam perekonomian. Contohnya yaitu eksternalitas produktivitas perikanan dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di hulu sungai yang mencemari air sungai sehingga produktivitas perikanan menjadi menurun. Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-pinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah, merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak kepemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan tidak bisa dihindari. Namun jika kondisi tersebut dibiarkan

Secara umum ada beberapa tindakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eskternalitas yaitu dengan memberikan hak kepemilikan (property rights), internalisasi, dan pemberlakuan pajak. Internalisasi merupakan upaya untuk menginternalkan dampak yang ditimbulkan dengan cara menyatukan proses pengambilan keputusan dalam satu unit usaha. Pemberian hak milik yang tepat, walaupun tetap akan ada eksternalitas tetapi bisa menimbulkan tawar-menawar antara pihak-pihak terkait sehingga pihak-pihak terkait bisa bersama-sama mencari solusi yang terbaik yang dikenal dengan teorema Coase. Terorema Coase adalah suatu pendapat bahwa jika pihak-pihak swasta dapat melakukan tawar-menawar mengenai alokasi sumberdaya tanpa harus mengeluarkan biaya, mereka dapat menyelesaikan masalah eksternalitas mereka dengan sendirinya. Teorema Coase sangat penting untuk memahami implikasi kebijakan dari eksternalitas. Aturan hukum dan hak milik menjadi pusat dari teorema Coase. Eksternalitas yang terjadi di Waduk Cirata, berupa pencemaran badan air di perairan waduk merupakan ekses dari pemanfaatan waduk sebagai Common Pool Resources dan di sisi lain karena tidak efektifnya kelembagaan dimana kelembagaan-kelembagaan pengelola Waduk


(34)

Cirata tidak berperan secara optimal. Tragedy of the commons yang terjadi di Waduk Cirata muncul dari hak umum dalam memanfaatkan sumberdaya waduk. 2.3 Kelembagaan

Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam ilmu sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi, maupun ilmu lingkungan. Saat ini kelembagaan kemudian berkembang ke dalam ilmu ekonomi karena banyak ekonom berkesimpulan bahwa kegagalan pambangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi dan antropologi kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku, dan adat istiadat. Dalam bidang politik ilmu kelembagaan banyak ditekankan pada aturan main (the rules) dan kegiatan kolektif (collective action)untuk kepentingan bersama. Ilmu psikologi melihat kelembagaan dari sudut tingkah laku manusia (behaviour). Ilmu hukum menegaskan pentingnya kelembagaan dasri sudut hukum, aturan, dan penegakan hukum serta instrumen dan proses litigasinya. Pendekatan ilmu biologi, ekologi, atau lingkungan melihat institusi dari sudut analisis sistem lingkungan (ecosystem) atau sistem produksi dengan menekankan struktur dan fungsi sistem produksi atau sistem lingkungan kemudian dapat dianalisis keluaran serta kinerja dari sistem tersebut dalam beberapa karakteristik atau kinerja (system performance atau system propeties) seperti produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, penyebaran dan kemerataannya. Ilmu ekonomi yang berkembang dalam cabang barunya ilmu ekonomi institusi baru (neo institutional economics) melihat kelembagaan dari sudut biaya transaksi (transaction costs) dan tindakan kolektif (collective action). Di dalam analisis biaya transaksi termasuk analisis tentang kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam atau faktor produksi (property rights), ketidakseimbangan akses dan penguasaan informasi (information asymmetry) serta tingkah laku opportunistik (opportunistic behaviour). Ilmu ekonomi institusi baru ini sering pula disebut sebagai ilmu ekonomi biaya transaksi (transaction cost economics) sedangkan yang lain menyebutkannya sebagai peradigma informasi yang tidak sempurna (imperfect information paradigm).

Kelembagaan (institusi) adalah aturan dan rambu-rambu yang digunakan sebagai panduan oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain (Ostrom et al. 1994). North (1990) mendefinisikan kelembagaan sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Schmid (2004) menyatakan kelembagaan sebagai sejumlah aturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok, atau komunitas yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Wlliamson (1985) menyatakan bahwa kelembagaan mencakup penataan institusi untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan istilah institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi dimana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi.

Pejovich (1990) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yaitu: (1) aturan formal yang meliputi konstitusi, status hukum, dan regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur


(35)

pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kemilikan dalam kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, penegakan); (2) aturan informal meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama, dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu; serta (3) mekanisme penegakan dimana semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif jika tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. Ciri umum kelembagaan menurut Bogason (2000) adalah adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi antar aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan disepakati/ditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya.

Untuk kasus Waduk Cirata, lembaga yang berwenang dalam melakukan pengelolaan mengalami kesulitan dalam mengatasi pencemaran yang terjadi di badan air perairan Waduk Cirata. Pada satu sisi aturan Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan sinyal bagi pembatasan jumla KJA di perairan waduk, namun di sisi lain begitu banyak investor yang masuk untuk ikut serta dalam usaha budiaya KJA. Tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak menyebabkan sulitnya BPWC membuat keputusan yang mengarah pada optimalisasi penggunaan perairan Waduk Cirata bagi semua pihak. Keyakinan bahwa kelembagaan dapat menjadi sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi telah diterima oleh sebagian besar ekonom, bahkan yang paling liberal sekalipun. Hanya saja sampai saat ini masih banyak kendala dalam pembentukan maupun penerapan kelembagan.

2.4 Collective Action

Selama beberapa dekade terakhir jumlah literatur mengenai collective action dan sumberdaya mengalami peningkatan dengan penekanan besar pada konseptualisasi tindakan kolektif dan pada kerangka analisis yang diperlukan untuk mempelajarinya (Olson 1965; Wade 1987; dan Ostrom 1990). Teori collective action pertama kali diformulasikan oleh Olson (1971) khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok kepentingan (interest group). Marshall (1998) mendefinisikan collective action sebagai tindakan yang diambil oleh sebuah kelompok (baik langsung atau atas nama organisasi) dalam usaha untuk mencapai kepentingan bersama. Seperti yang diamati oleh Meinzen-Dick et al (2004), definisi lebih spesifik dan bervariasi yang telah ditambahkan kemudian memiliki beberapa fitur berikut, yaitu keterlibatan sekelompok orang, kepentingan bersama, tindakan umum dan sukarela untuk mengejar kepentingan bersama. Sebuah aspek yang sangat relevan untuk dipertimbangkan ketika menganalisis dinamika collective action adalah jenis organisasi yang telah dikembangkan/organisasi yang mendukung aksi tersebut. Dalam berbagai kasus, hasil dari collective action sangat tergantung pada jenis organisasi yang terlibat dan juga pengaturan kelembagaan setempat yang berada di tingkat lokal. Dalam kasus perikanan misalnya, perlu untuk membedakan apakah collective action dikembangkan oleh sebuah organisasi yang dikendalikan langsung oleh nelayan/pembudidaya atau dikendalikan dan didukung oleh pemerintah nasional/daerah yang berwenang. Dari perspektif tersebut, Davies et al. (2004) membedakan dua jenis collective action, pertama yaitu kerjasama: bottom-up, collective action dari pelaku di lapangan (petani/nelayan/pembudidaya); dan kedua adalah koordinasi: top-down, collective action yang dipimpin oleh lembaga. Sementara beberapa bottom-up collective action dapat menerima


(36)

dukungan pemerintah, sementara yang lainnya dapat dilakukan tanpa dukungan pemerintah. Demikian pula, beberapa top-down collective action dipromosikan oleh kebijakan pemerintah tetapi tidak menerima dukungan apapun, sementara collective action lainnya menerima dukungan dari lokal ataupun pemerintah. Kategorisasi ini menyiratkan keterlibatan berbagai tingkat pemerintahan (baik pusat atau daerah), yang dpat memberikan dukungan yang paling efektif untuk strategi yang berbeda. Dari perspektif ini, literatur tentang collective action dan pengaturan kelembagaan untuk mengelola CPRs telah semakin diakui dimana dimensi kelembagaan merupakan sesuatu dinamis, yaitu tergantung konteks dan berkembang seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu perlu memahami bagaimana individu menanggapi dan menginterpretasikan pengaturan kelembagaan yang berbeda dalam konteks yang berbeda.

Teori collective action ini dipergunakan untuk mengatasi masalah free rider dan mendesain cooperative solutions bagi pengelolaan common pool resources atau barang-barang publik. Determinan penting bagi keberhasilan suatu tindakan collective action adalah ukuran/size, homogenitas, dan tujuan kelompok. Tindakan kolektif akan bekerja optimum tergantung dari ketiga determinan tersebut. Secara hipotetik, semakin besar ukuran suatu kelompok kepentingan, maka akan semakin sulit bagi kelompok tersebut untuk menegosiasikan kepentingan diantara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya, kelompok yang dibangun dengan ukuran kecil (small group) dimungkinkan untuk bekerja lebih efektif. Selain itu, semakin beragam kepentingan anggota kelompok, maka semakin rumit untuk memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing anggota memiliki kepentingan sendiri-sendiri, begitu pula sebaliknya. Dengan demikian, homogenitas kepentingan akan lebih memudahkan kerja suatu kelompok. Lebih khusus lagi, tantangan yang sangat penting tentang collective action adalah mengacu pada pemahaman tentang peran organisasi formal dan informal yang mengkoordinasikan dan mendukung tindakan tersebut, karena dalam beberapa kasus kelembagaan ini hanya di atas kertas dan collective action terjadi secara spontan, sementara di kasus lain kelembagaan mungkin memainkan peran penting dalam menciptakan dan mengkoordinasikan tindakan lokal untuk kepentingan bersama. Meskipun collective action sering dikaitkan dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi resmi, menurut Ostrom (2004), perhatian lebih harus diberikan terhadap informasi mengenai collective action dimana jaringan lokal atau kelompok lokal mengatur dan mengkoordinasikan aksi lokal dalam rangka mencapai tujuan spesifik jangka pendek.

2.5 Biaya Transaksi

Biaya transaksi diperkenalkan secara konseptual oleh Ronald Coase pada tahun 1937 melalui karyanya yang berjudul “The nature of firm”. Dalam karyanya tersebut, Coase menyatakan bahwa biaya transaksi merupakan biaya yang timbul karena pelaksanaan mekanisme harga (the cost of using the price mechanism). Konsep biaya transaksi dipertegas oleh Coase dalam karyanya yang ditulis pada tahun 1961 yaitu biaya dari pelaksanaan transaksi atau pertukaran dalam pasar terbuka (the cost of carrying out a transaction by means of an exchange on the open market). Pendekatan neoklasik terhadap biaya transaksi lebih didominasi oleh sektor keuangan dan teori murni. Komponen dalam biaya transaksi mencakup komponen yang tetap (fixed components) ataupun komponen yang tidak tetap


(37)

(variable components). Furubotn & Richter (1997) mendefinisikan dua varian dalam setiap tipe biaya transaksi yaitu: 1) biaya transaksi tetap (fixed transaction cost) merupakan investasi khusus yang menentukan susunan kelembagaan; dan 2) biaya transaksi variabel (variable transaction cost) yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Konsep biaya transaksi yang mendasar pada pendekatan neoklasik adalah biaya-biaya yang timbul antara perusahaan dan individu dari proses pertukaran pasar. Oleh karena itu dalam pendekatan neoklasik, biaya penegakan dalam perusahaan bukan merupakan biaya transaksi.

Dalam ekonomi kelembagaan, biaya untuk menjalankan sistem ekonomi disebut dengan biaya transaksi (Marinescu 2012). Biaya transaksi (transaction costs) didefinisikan sebagai biaya aktor yang terkait dengan informasi. Di sisi lain, North (1990) menyatakan bahwa biaya transaksi meliputi biaya informasi, biaya negosiasi, biaya membuat kesepakatan dan kontrak, biaya perlindungan suberdaya, dan biaya penegakan peraturan. Dahlmann (1979) berpendapat bahwa biaya transaksi meliputi costs of negotiating, aggreing, monitoring, enforcing, dan adapting institutions. Young (2002) mendefinisikan biaya transaksi sebagai biaya yang berhubungan dengan pemindahan, pemilikan, dan perlindungan dari property rights. Persepsi tentang transaksi atau governance costs tergantung dari keterkaitan teknologi dan costliness serta fungsi horisontal maupun vertikal diantara interplays. Selain itu, biaya transaksi tergantung dari kepentingan relatif atau karateristik yang dimiliki. Sebagai contoh, nilai biaya transaksi bisa lebih tinggi apabila sebagian besar transaksi sulit untuk dipisahkan. (Lin 1989, Ostrom 2000)

Definisi mengenai biaya transaksi semakin berkembang seiring dilakukannya studi pada beberapa sektor antara lain sektor industri perbankan dan lingkungan. Pengukuran biaya transaksi di sektor industri perbankan yang dilakukan oleh Wallis dan North yang diacu dalam Wang (2003) menyebutkan bahwa seluruh ekonomi dibagi dalam dua bagian yaitu transformasi/produksi dan transaksi, dengan mengukur total nilai dari sumberdaya yang digunakan dalam sektor transaksi/jasa dan menjadi agregasi biaya transaksi dari ekonomi. Sedangkan North dan Thomas (1973) membagi biaya transaksi menjadi 3 tipe yaitu: 1) biaya pencarian (search costs) yaitu biaya untuk mendapatkan informasi tentang keuntungan atau kerugian suatu transaksi/pertukaran (cost of allocating information about opportunity of the exchange); 2) biaya negosiasi (negotiation costs) yaitu biaya merundingkan syarat-syarat suatu transaksi/pertukaran (costs of negotiating the terms of the exchange); dan 3) biaya pelaksanaan (enforcement costs) yaitu biaya untuk melaksanakan suatu kontrak/transaksi (costs of enforcing the contract). Selain diukur dalam nilai pasar, biaya transaksi juga harus diukur dari aspek yang bukan nilai pasar/non-marketed transaction cost (de Soto 1989). Biaya yang termasuk dalam non-marketed transaction cost antara lain adalah sumberdaya yang dikeluarkan/dihabiskan dalam kondisi menunggu (resources spent in waiting), mendapatkan izin usaha, peresmian (cutting through red tapes), menyuap pejabat (bribing officials), dan lain sebagainya. Biaya transaksi non-pasar ini merajalela dalam pembangunan ekonomi dari masa ke masa.

Pada mulanya, Coase menggunakan pendekatan neoklasik dalam menjelaskan konsep tentang biaya transaksi. Lebih lanjut pemikirannya dilengkapi dalam Coase (1959) tentang biaya transaksi yang awalnya hanya menggunakan pendekatan neoklasik kemudian berkembang menggunakan pendekatan hak kepemilikan (property right approach) yang terangkum teorema Coase. Dalam


(38)

teorema ini Coase menyatakan bahwa hak kepemilikan yang penuh terhadap suatu sumberdaya akan mendukung alokasi sumberdaya tanpa menimbulkan biaya transaksi. Jelas dalam hal ini Coase berpendapat bahwa faktor hak kepemilikan sangat menentukan ada atau tidaknya biaya transaksi. Allen (1999) menyatakan bahwa konsep tentang property right dan biaya transaksi secara fundamental terkait satu sama lain (interlinked). Keterkaitan ini juga yang membedakan (distinguished) pendekatan property right dengan pendekatan neoklasik dalam studi biaya transaksi. Keberadaan property right sangat penting dalam menentukan efisiensi suatu kegiatan, oleh karena itu pemahaman yang jelas tentang hak kepemilikan seseorang terhadap suatu barang atau sumberdaya sangat diperlukan untuk menghindari klaim kepemilikan oleh pihak lain yang ingin menguasai atau merebut barang/sumberdaya tersebut.

Randal (1972) diacu dalam Abdullah et al. (1998) mendefiniskan bahwa biaya transaksi mencakup: a) biaya memperoleh infomasi, b) biaya untuk memperkuat posisi tawar dalam sebuah kelompok pengambil keputusan, dan iii) biaya untuk menegakkan keputusan yang telah dibuat. Lebih lengkap Gray (1994) diacu dalam Abdullah et al. (1998) mengemukakan beberapa komponen yang termasuk ke dalam biaya transaksi adalah sebagai berikut: (i) Biaya negosiasi kontrak: mencakup biaya mengumpulkan informasi dan negosiasi dalam membuat kesepakatan; (ii) Moral hazard (perilaku oportunistik dari pelaku (iii) Biaya monitoring dan penegakan; (iv) Signalling cost; (v) Tingkah laku untuk menghindari resiko; (vi) Mengurangi investasi karena kondisi yang tidak aman; serta (vii) Keterbatasan ukuran ekonomi.

Dalam pembentukan suatu kelembagaan baru atau melakukan redesign kelembagaan diperlukan beberapa tahapan yang tidak terlepas dari biaya yang harus dikeluarkan. Biaya-biaya tersebut adalah biaya untuk menyelesaikan tahapan-tahapan hingga kelembagaan tercipta, serta biaya untuk menerapkan kelembagaan tersebut. Biaya yang harus dikeluarkan dalam pembentukan dan penerapan suatu kelembagaan disebut dengan biaya transaksi. Biaya transaksi meliputi biaya pencarian informasi, biaya pengukuran, biaya negosiasi, biaya pembuatan keputusan, biaya pelaksanaan, biaya pengawasan, dan biaya penegakan hukum (Mburu, 2002). Dalam definisi yang lain, biaya transaksi merupakan biaya untuk menjalankan sistem ekonomi (Williamson, 1985). Menurut Dorfman (1981), biaya transaksi merupakan biaya untuk menyesuaikan terhadap perubahna lingkungan. North (1991) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah biaya untuk menspesifikasi dan memaksakan kontrak yang mendasari pertukaran, sehingga mencakup biaya organisasi politik dan ekonomi, negosiasi, mengukur, dan memaksakan pertukaran. Biaya transaksi diklasifikasikan dalam 3 jenis; yaitu biaya transaksi pasar, biaya transaksi pengelolaan/managerial, dan biaya transaksi politik (Richter dan Furubotn, 2000).

Abdullah, Kuperan, dan Pomeroy mengembangkan definisi biaya transaksi menurut Williamsonian untuk menelaah biaya transaksi di bidang perikanan. Abdullah et al. (1998) mengelompokkan biaya transaksi dalam ko-manajemen perikanan menjadi tiga kategori. Pertama yaitu biaya informasi yang mencakup beberapa aktivitas seperti upaya untuk mencari dan memperoleh pengetahuan tentang sumberdaya, memperoleh dan menggunakan informasi, serta biaya penyusunan strategi dan free riding. Kedua adalah biaya pengambilan keputusan bersama yang mencakup aktivitas menghadapi permasalahan di bidang perikanan,


(39)

keikutsertaan dalam pertemuan atau rapat, membuat kebijakan atau aturan, menyampaikan hasil keputusan, serta koordinasi dengan pihak yang berwenang di tingkat lokal dan pusat. Ketiga merupakan biaya operasional bersama dalam kon-manajemen perikanan yang dijabarkan lagi menjadi tiga kelompok biaya, dimana setiap kelompok mencakup beberapa aktivitas yaitu: 1) Biaya pemantauan penegakan, dan pengendalian terdiri dari pemantauan aturan-aturan perikanan, pengelolaan laporan hasil tangkapan/budidaya, pemantauan lokasi penangkapan/budidaya, pemantauan input untuk kegiatan penangkapan/budidaya, manajemen atau resolusi konflik, serta pemberian sanksi terhadap setiap pelanggaran; 2) Biaya mempertahankan kondisi sumberdaya terdiri dari perlindungan terhadap hak-hak penangkapan/budidaya, peningkatan stok sumberdaya, dan evaluasi terhadap kondisi sumberdaya; serta 3) Biaya distribusi sumberdaya terdiri dari distribusi hak penangkapan/budidaya, dan biaya kelembagaan atau keikutsertaan. Kategori pertama dan kedua merupakan biaya transaksi sebelum kegiatan kontrak (ex-ante transaction cost) sedangkan kategori ketiga merupakan biaya transaksi sesudah kegiatan kontrak (ex-post transaction cost).

2.6 Penelitian Terdahulu

Studi mengenai penilaian kerusakan lingkungan, Waduk Cirata, dan pencemaran air telah banyak dilakukan sebelumnya sehingga bis amenjadi referensi dalam penelitian ini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2013) menunjukkan bahwa kerugian yang ditanggung oleh PLTA di Waduk Cirata adalah sebesar 11 milyar rupiah dikarenakan profit yang menurun akibat berkurangnya masa layan waduk. Pengelolaan Waduk Cirata belum maksimal karena tidak ada kekuatan yang lebih besar yang dapat menegakkan peraturan dan menekan free rider. Konflik kepentingan terjadi karena dipengaruhi oleh karakteristik waduk yang besar sehingga sulit untuk mengatur tata kelolanya, demand yang tinggi terhadap perikanan dan pertanian, kepentingan politik para stakeholder, tidak adanya leading sector yang mampu menggerakkan masyarakat untuk melakukan collective action, dan lemahnya penegakan aturan main yang ada.

Waduk Cirata telah mengalami eutrofikasi karena tercemar oleh nutrien dari berbagai sumber seperti pemukiman, industri, pertanian, dan perikanan. Tingkat kesuburan perairan berdasarkan konsentrasi fosfat, di Waduk Cirata telah mencapai tingkat kesuburan eutrofik hingga hipereutrofik. Hal ini disebabkan oleh tingginya pencemaran organik dari kegiatan KJA. Tingginya nilai konsentrasi klorofil-a dan total N di perairan Waduk Cirata menyebabkan terganggunya pertumbuhan ikan (Komarawidjaja, 2005). Hasil evaluasi kondisi kualitas air Waduk Cirata yang menggunakan parameter kualitas air fisika dan kimia selama periode 2000-2004 menyatakan bahwa status mutu air berada pada kisaran status tercemar sedang hingga tercemar buruk. Parameter-parameter kualitas air yang melampaui baku mutu secara umum adalah BOD, COD, TSS, sulfida, amonia, merkuri, kadmium, tembaga, dan timbal (Feriningtyas 2005). Penelitian kualitas air lain yang dilakukan di waduk Cirata terhadap jumlah KJA yang telah melebihi daya dukung menyimpulkan adanya pencemaran bahan organik yang disebabkan oleh aktivitas KJA (Oktaviana 2007).

Hasil penelitian Ummah (2015) tentang analisis kelembagaan dalam pengelolaan KJA Waduk Cirata menjelaskan bahwa pihak pemerintah dan swasta


(40)

menganggap bahwa aturan main yang ada di Waduk Cirata sudah jelas. Namun hal ini berbeda dengan persepsi petani ikan yang sebagian besar menganggap bahwa aturan main belum jelas. Terjadi berbagai konflik kepentingan antar stakeholder, termasuk pihak-pihak yang menerbitkan aturan-aturan tersebut. Peraturan informal berupa kesepakatan antar petani ikan di Waduk Cirata menunjukkan telah ada kesadaran dari masyarakat tentang pentingnya menjaga kelestarian waduk. Oktaviani (2015) menjelaskan bahwa pengelolaan di Waduk Cirata perlu ditingkatkan dalam beberapa dimensi. Secara ekologi, diperlukan adanya perbaikan kualitas air dan pengurangan limbah yang masuk ke dalam waduk. Secara ekonomi, diperlukan adanya penciptaan lapangan kerja baru di luar sektor perikanan KJA untuk mengurangi jumlah KJA yang ada. Secara sosial, diperlukan peningkatan pengetahuan, seperti diadakannya penyuluhan untuk para petani ikan agar lebih peduli terhadap lingkungan waduk. Secara teknologi, diperlukan teknologi yang efektif serta KJA yang ramah lingkungan. Secara kelembagaan, diperlukan aturan yang jelas dan implementasi yang benar, khususnya dalam membatasi jumlah KJA. Koordinasi yang baik harus diperhatikan oleh para stakeholder dan sanksi yang tegas harus diberikan kepada pihak yang melanggar aturan tersebut.

Anhar (2014) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa masyarakat di Zona 3 (Kabupaten Cianjur) merasakan dampak dari pencemaran air di Waduk Cirata. Adanya pencemaran air di Waduk Cirata menimbulkan penurunan kualitas air yang berujung pada kerugian bagi pemanfaat Waduk Cirata. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa umumnya masyarakat mengerti dengan pencemaran air dan merasakan dampaknya. Dampak yang dirasakan adalah hasil panen yang menurun, waktu produksi yang semakin lama, tingkat kematian ikan yang meningkat, dan kualitas hasil panen yang menurun. Estimasi kerugian total akibat pencemaran air di waduk Cirata tahun 2013 (untuk Kabupaten Cianjur) adalah sebesar Rp 628.175.974.343,67. Hasil penelitian Radityo (2013) tentang dampak ekonomi pencemaran air terhadap perikanan budidaya sitem KJA di waduk Cirata, Kabupaten Bandung Barat menyatakan bahwa nilai kerugian selama 5 tahun terakhir adalah sebwsar Rp. 4.219.702.954.280,00. Analisis dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP) diperoleh bahwa prioritas kebijakan penanganan air di waduk Cirata adalah kebijakan pemasangan penyaring sampah, diikuti prioritas selanjutnya adalah kebijakan pembersihan biologi dengan restocking ikan yang memakan kotoran dan lumut.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah urgensi penelitian untuk menganalisis biaya dan manfaat redesign kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata. Kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan yang mampu menghimpun, mengikat, dan mengarahkan masyarakat untuk melakukan collective action dalam mengelola Waduk Cirata. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi pertimbangan atau rekomendasi dalam pengembangan kelembagaan di Waduk Cirata demi terwujudnya kondisi Waduk Cirata yang berkelanjutan.


(41)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Waduk Cirata dibangun pada tahun 1986 dan selesai pada tahun 1988. Operasi Waduk Cirata dimulai pada tahun 1988 dengan tujuan utama sebagai pembangkit tenaga listrik yang diharapkan dapat memenuhi pasokan energi listrik untuk pulau Jawa dan Bali. Waduk Cirata juga dipersiapkan jika terjadi beban puncak yang tinggi terhadap kebutuhan listrik atau sebagai cadangan listrik bagi kebutuhan energi listrik sistem interkoneksi Pulau Jawa dan Bali. Pembangunan Waduk Cirata menyebabkan 32 desa harus ditenggelamkan dan ribuan masyarakat harus direlokasi. Sebagai kompensasi, usaha budidaya KJA diperbolehkan sebagai alternatif sumber mata pencaharian baru bagi warga yang kehilangan pekerjaan karena menjadi korban genangan pembangunan Waduk Cirata. Pemanfaatan Waduk Cirata melalui usaha KJA yang terus mengalami peningkatan telah melebihi kapasitas pendukungnya. Sedimentasi akibat limbah KJA tidak bisa dihindarkan bahkan semakin meningkat seiring jumlah KJA yang tidak terkontrol, dengan rata-rata laju sedimentasi mencapai 4,37 juta ton/tahun. Feedback negatif akibat berlebihnya jumlah KJA adalah tingkat sedimentasi dan pencemaran yang tinggi di perairan Waduk Cirata yang menimbulkan penurunan kinerja PLTA maupun penurunan kualitas ekosistem. Biaya operasional dan maintenance untuk perawatan alat-alat pembangkit meningkat akibat tingkat korosivitas yang tinggi. Biaya untuk memproduksi listrik juga menjadi meningkat seiring dengan peningkatan biaya operasional. Dampak dari laju sedimentasi yang tinggi menyebabkan penurunan masa layan dari Waduk Cirata karena umur operasional yang berkurang. Penurunan kualitas ekosistem yang terjadi di Waduk Cirata adalah terjadinya blooming alga/eceng gondok di permukaan perairan Waduk Cirata. Upwelling dan penyakit ikan menyebabkan kematian ikan yang masiv dan terjadi hampir setiap tahun. Penurunan kinerja PLTA dan penurunan kualitas ekosistem berdampak pada kerugian ekonomi bagi pihak PT. PJB sebagai pemilik aset maupun masyarakat sebagai pemanfaat Waduk Cirata.Nilai kerugian kehilangan produktivitas dalam 5 tahun terakhir sebesar Rp. 4.219.702.954.280. Fungsi utama waduk sebagai PLTA pun menjadi terganggu dengan turunnya masa layan waduk yang seharusnya 80 tahun menjadi 60 tahun dengan penurunan keuntungan sebesar Rp. 11.812.036.184 (Widiastuti 2013).

Kondisi tragedy of the commons yang terjadi di Waduk Cirata dikarenakan adanya berbagai benturan kepentingan akibat kelembagaan yang belum berjalan dengan baik, dimana kelembagaan yang ada belum efektif dalam menghimpun semua stakeholder untuk bertindak secara kolektif demi kepentingan bersama. Kajian ini menguraikan tentang governance less yang terjadi dan menjelaskan bagaimana membentuk kelembagaan yang dapat menghimpun semua stakeholder untuk melakukan collective action di Waduk Cirata. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan untuk perumusan kebijakan bagi pengelolaan Waduk Cirata yang lebih baik dan berkelanjutan. Kerangka pemikiran tersaji dalam Gambar 3.1 berikut:


(42)

= ruang lingkup penelitian

Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian

Content Analysis Radar Diagram

Kelembagaan Waduk Cirata

Sedimentasi dan Pencemaran d

Kegiatan budidaya KJA yang overloaded

Penurunan Kinerja PLTA Penurunan Kualitas Ekosistem

Peningkatan Biaya Operasional

Penurunan Masa Layan

Blooming Alga/Eceng

Gondok

Upwelling

Kerugian Ekonomi

Analisis Kelembagaan

Audit Aturan Main Analisis Persepsi Stakeholder

Analisis Kelembagaan Eksisting (de-facto dan de-jure)

ExpectedRedesign Kelembagaan Peningkatan

Biaya Produksi

Listrik

Biaya Transaksi Manfaat Ekonomi

Policy hasil Redesign Kelembagaan

Kematian Ikan Penyakit


(1)

Lampiran 7. Komponen biaya pengukuran indikator kelembagaan

pengelolaan Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

No. Komponen Volume Tarif Satuan

(Rp) Total (Rp) 1 Biaya Pengukuran Kualitas Air

a Pengambilan Sampel Air 24 250.000 6.000.000 b Pengukuran dengan instrumen 12 1.500.000 18.000.000 c Analisa Laboratorium 48 1.850.000 88.800.000 b Penyusunan Laporan Hasil 12 1.225.000 14.700.000 Total Biaya Pengukuran Kualitas Air 127.500.000 2 Biaya Pengukuran Kualitas Udara

a

Pengukuran kualitas udara di

lapangan 8 1.315.000 10.520.000

b Pegambilan Sampel Udara 24 275.000 6.600.000 c Analisis atas Sampel 48 1.210.000 58.080.000 d Penyusunan Laporan Hasil 12 1.150.000 13.800.000 Total Biaya Pengukuran Kualitas

Udara 89.000.000

3 Biaya Pengukuran Logam Berat

a Pengambilan Sampel 12 1.000.000 12.000.000 b Analisis atas Sampel 24 1.500.000 36.000.000 c Penyusunan Laporan Hasil 12 1.000.000 12.000.000 d Tindak Lanjut Perbaikan 1 11.500.000 11.500.000 Total Biaya Pengukuran Kualitas

Logam Berat

71.500.000

4 Biaya Pengukuran Kualitas Ikan

a Pengambilan Sampel 24 375.000 9.000.000 b

Pengujian Sampel di

Laboratorium 36 1.625.000 58.500.000 c Penyusunan Laporan Hasil 12 1.200.000 14.400.000 d Penerbitan Sertifikat 1 12.600.000 12.600.000 Total Biaya Pengukuran Kualitas Ikan 94.500.000 Total Biaya Pengukuran Indikator 382.500.000

Sumber: Komunikasi Personal (BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat)


(2)

Lampiran 8. Komponen biaya koordinasi kelembagaan pengelolaan Waduk

Cirata Provinsi Jawa Barat

No. Komponen Biaya Volume Tarif Satuan Total 1 Biaya Rapat/Pertemuan Rutin

a Konsumsi (snack dan makan) 120 50.000 6.000.000 b Uang transportasi peserta 120 100.000 12.000.000 c Uang saku rapat 120 300.000 36.000.000 d Sewa Tempat 6 2.000.000 12.000.000 Total Biaya Rapat/Pertemuan Rutin 66.000.000 2 Biaya Kunjungan antar Stakeholder/Lembaga

a Uang transportasi peserta 60 300.000 18.000.000 b Akomodasi 60 500.000 30.000.000

Total Biaya Kunjungan 48.000.000

3 Biaya Komunikasi

a Komunikasi sambungan langsung 12 2.000.000 24.000.000 b Surat-menyurat dan administrasi 24 1.500.000 36.000.000 Total Biaya Komunikasi 60.000.000

Total Biaya Koordinasi 174.000.000

Sumber: Komunikasi Personal (BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat)

Lampiran 9. Komponen biaya pemeliharaan kelembagaan pengelolaan

Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

Sumber: Komunikasi Personal (BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat)

No. Komponen Biaya Volume Tarif Satuan (Rp) Total (Rp) 1 Biaya Perawatan Peralatan Patroli

a Pembersihan dan pencucian kapal 24 1.350.000 32.400.000 b Service Rutin kapal 16 2.400.000 38.400.000 c Penggantian onderdil/suku

cadang kapal

16 15.000.000 240.000.000

d Penjagaan kapal 96 850.000 81.600.000

e Pemeriksaan kapal 96 1.850.000 177.600.000

Total Biaya Rapat/Pertemuan Rutin 570.000.000

2 Biaya Perawatan Lain

a Gudang Penyimpanan 1 26.000.000 26.000.000 b Alat - alat penolong 240 555.000 133.200.000 c Alat penarik KJA 120 350.000 42.000.000 d Penunggu Gudang Penyimpanan 4 12.000.000 48.000.000 e Listrik dan air 12 1.250.000 15.000.000 f Bahan perawatan - 19.855.000 19.855.000

Total Biaya Kunjungan 284.055.000


(3)

Lampiran 10. Komponen biaya pembinaan dan pelatihan kelembagaan

pengelolaan Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

No. Komponen Biaya Volume Tarif Satuan (Rp) Total (Rp) 1 Biaya Pembinaan Rutin

a Konsumsi (snack dan makan) 600 50.000 30.000.000 b Perbanyakan Materi 600 30.000 18.000.000 c Honor Narasumber 48 1.200.000 57.600.000 d Transportasi Panitia dan Peserta 700 150.000 105.000.000 e Dokumentasi dan Publikasi 12 1.200.000 14.400.000 Total Biaya Pembinaan Rutin 225.000.000 2 Biaya Pelatihan Usaha

a Konsumsi (snack dan makan) 600 50.000 30.000.000 b Modul Pelatihan 600 30.000 18.000.000 c Honor Narasumber 24 1.200.000 28.800.000 d Alat dan bahan pelatihan 8 5.275.000 42.200.000 e Sertifikat 600 10.000 6.000.000 Total Biaya Pelatihan Usaha 125.000.000 Total Biaya Pembinaan dan Pelatihan 350.000.000

Sumber: Komunikasi Personal (BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat)

Lampiran 11. Komponen Biaya Administrasi kelembagaan pengelolaan

Waduk Cirata Provinsi Jawa Barat

No. Komponen Biaya Volume Tarif Satuan Total 1 Biaya Administrasi Perizinan KJA

a Dokumen perizinan usaha KJA 12000 25000 300.000.000 Total Biaya Administrasi Perizinan KJA 300.000.000 2 Biaya Administrasi Operasional Lain

a Stiker KJA legal 12000 6.500 78.000.000 b Bendera Penanda Lokasi KJA 12000 3.500 42.000.000 Total Biaya Administrasi Operasional Lain 120.000.000 Total Biaya Pembinaan dan Pelatihan 420.000.000

Sumber: Komunikasi Personal (BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat)


(4)

Lampiran 12. Biaya transaksi kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata

Provinsi Jawa Barat

Jenis Biaya Komponen Biaya Jumlah Komponen (Rp)

Total Biaya (Rp)

Sosialisasi Pertemuan (FGD) 144.000.000 242.000.000 Media Cetak 33.000.000

Media Elektronik 65.000.000 Pemantauan/

pengawasan

Patroli 4.197.888.000 4.580.388.000 Pengukuran Indikator 382.500.000

Penertiban Komunikasi personal 179.625.000 3.053.625.000 Penarikan KJA 2.874.000.000

Koordinasi Rapat/pertemuan rutin 66.000.000 174.000.000 Kunjungan antar

lembaga/stakeholer 48.000.000 Komunikasi 60.000.000 Pemeliharaan Perawatan sarana dan

prasarana 570.000.000

854.055.000 Perawatan alat-alat 284.055.000

Pembinaan dan pelatihan usaha

Pembinaan rutin 225.000.000 350.000.000 Pelatihan usaha 125.000.000

Administrasi Administrasi pengelolaan 120.000.000 420.000.000 Perizinan 300.000.000

TOTAL BIAYA TRANSAKSI 9.674.068.000


(5)

(6)

Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 8 Januari 1990 sebagai anak

sulung dari pasangan Almarhum Edy Raharjo dan Ririn Triastuti. Pendidikan

Sarjana ditempuh di Program Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas

Ekonomi dan Manajemen IPB, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2014, penulis

diterima di Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan pada Program

Pascasarjana IPB.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi antara lain

Staf Departemen Advokasi Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan

Bersama (TPB-IPB) periode 2008/2009, Bendahara Departemen Pengembangan

Sumberdaya Manusia Ikatan Mahasiswa Jawa Timur Periode 2008/2009,

Bendaharan Bidang Media dan Hubungan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa

Fakultas Ekonomi dan Manajemen (BEM-FEM) periode 2009/2010, Staf

Departemen Komunikasi Keluarga Mahasiswa Ponorogo di Bogor (KMPB)

Manggolo Putro periode 2010/2011, Anggota Klub Ekonomi Sumberdaya

Resources and Environmental Economic Association (REESA) periode 2010/2011,

dan Staf Kajian Keprofesian Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Manajemen

(KA-FEM) Periode 2015/2019.

Selain itu penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar dan workshop baik

nasional maupun internasional yang terkait dengan disiplin ilmu ekonomi

sumberdaya dan lingkungan. Kegiatan tersebut antara lain Forest Indonesia

Conference 2011, South East Asia Forest Youth Meeting 2011, Society of

Interdisciplinary Business Research (SIBR) Conference 2012, International

Congress Conference of The East Asian Association of Environmental and

Resource Economics (EAAERE) 2014, International Summer Course Program IPB

2015, dan International Conference of Aquaculture 2016.