Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Cirata, Propinsi Jawa Barat

(1)

DWI ASTRID OKTAVIANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

PROPINSI JAWA BARAT


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Cirata, Propinsi Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Dwi Astrid Oktaviani


(4)

(5)

ABSTRAK

DWI ASTRID OKTAVIANI. Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Cirata, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT dan BENNY OSTA NABABAN.

Waduk Cirata yang memiliki fungsi utama sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) digunakan pula sebagai lokasi budidaya ikan dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Semakin meningkatnya jumlah KJA setiap tahunnya dan telah melebihi daya dukung waduk mengakibatkan permasalahan tersendiri. Kondisi ini menandakan adanya ketidakefektifan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya waduk. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan waduk yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini yaitu menganalisis status keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan) dengan menggunakan metode Rapfish, menganalisis kegiatan yang paling mengancam terhadap keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata, dan mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adanya tindakan kolektif (collective action). Berdasarkan hasil penelitian, analisis keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dengan menggunakan metode Rapfish dari lima dimensi, dimensi keberlanjutan dengan skor paling rendah adalah dimensi kelembagaan dan ekologi dalam pengelolaan Waduk Cirata yang termasuk dalam kategori buruk. Kegiatan yang paling mengancam ialah aktivitas domestik masyarakat dengan skor 42 dilihat dari kegiatan pemanfaatan waduk. Terdapat kesamaan persepsi antar stakeholder yang sebagian besar menyatakan keberlanjutan Waduk Cirata tidak berkelanjutan dan pengelolaannya masih tidak sesuai. Sedangkan, ekspektasi atau harapan dari petani ikan di Waduk Cirata tingggi karena ketergantungan mereka yang juga tinggi serta tingkat urgensi baik keberlanjutan dan keberadaan waduk dinilai sangat penting oleh petani ikan dan juga stakeholder. Belum adanya tindakan bersama yang dilakukan oleh para stakeholder untuk mempertahankan keberlanjutan Waduk Cirata dikarenakan masih adanya ego sektoral pada masing-masing stakeholder.


(6)

ABSTRACT

DWI ASTRID OKTAVIANI. Sustainability Status of Cirata Reservoir Management, West Java. Supervised by ACENG HIDAYAT and BENNY OSTA NABABAN.

Cirata Reservoir which its main function as a Hydropower is also used as fish cultivation are with floating cage system. More increasing number of floating cage every year and exceeding the carrying capacity level of reservoir cause many problems. This condition proves that the ineffective resources management in reservoir. According to that, the management should be arranged in a sustainable way. The objective of this study is to analyze the sustainability status of Cirata Reservoir management in multidimensional way (ecology, economy, social, technology, and ethic), analyze the most threaten activity to the sustainability of reservoir management, and identify the impacted factors to collective action. The result of this study shows that in accordance of sustainability status analysis used Rapfish method, among all the dimensions, the lowest sustainability index is institutional dimension and ecology dimension of Cirata Reservoir management is included as detrimental category. The most threatened activity is domestic activity by local people (score of 42). There are similarities of perception among stakeholders which mostly stating that Cirata Reservoir is not sustainable and its management is still appropriate. Whereas, the high expectation of fish farmers in Cirata is also impacted due to the high level of dependency and the level of urgency of sustainability and presence valued essential by fish farmers and stakeholder. There is still no collective action established by all related stakeholder in order to maintain the sustainability status of Cirata Reservoir because of sectorial egoism in each of them.


(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DWI ASTRID OKTAVIANI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2015

STATUS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA

PROPINSI JAWA BARAT


(8)

(9)

Judul Skripsi: Status Keberl anjutan Pengelolaan Waduk Cirata Nama

NIM

Propinsi Jawa Barat : Dwi Astrid Oktavi ani : H44110060

Disetujui oleh

Dr Ir Aceng Hidayat MT Pembimbing I

. セ@.,.,

,. 1 Diketahui oleh I'

Tanggal Lulus:

.1 :

pセGlg@

2015

rJj

Benny Osta Nababan. S.Pi. M. Si Pembimbing II


(10)

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai Komisi Pembimbing serta Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M. Agr dan Bapak Prima Gandhi, S.P, M.Si sebagai dosen penguji atas arahan, ilmu, dukungan, kesabaran dan semangat dalam penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan atas bimbingan, arahan dan perhatiannya.

Terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga tercinta Mama Enny Kristiningrum, Papa Kutut Subekti, Kakak Galuh Puspha Ayu dan adik tercinta Maulana Aji Prabowo atas kasih sayang, semangat dan doa yang selalu dilimpahkan kepada penulis, Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data yaitu Mas Dimas dan Pak Tuarso selaku staf Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), Bapak Ade Durahman, Ibu Reni dan Pak Dadan selaku staf UPTD BPBPPU Cirata, Ibu Dede selaku staf kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Pak Tantan selaku staf Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Cianjur.

Ucapan terima kasih kepada sahabat SMA Bunga, Dani, Meli, Ufa, Fita, Alidha, Lita, Cika, Tari, Dety, Tika, Ratu. Sahabat-sahabat ESL Tiara, Ira, Widya, Tiwi, Aida, Oci, Deanty, Nia, Auzan, Rayyan, Upe, Tommi seluruh rekan-rekan ESL 48. Rekan-rekan bimbingan skripsi, yaitu Santi, Uyun, Rani, Intan, Lanie, Hafiz, Lina, Bibah, Fanny, Teguh, dan Bang Taufiq atas kebersamaan selama ini serta semangat, saran, dan bantuan selama menyelesaikan skripsi ini. Serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Agustus 2015


(12)

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pemanfaatan Waduk ... 9

2.2 Keramba Jaring Apung (KJA) ... 11

2.3 Analisis Keberlanjutan ... 13

2.4 Analisis Aktor ... 15

2.5 Kelembagaan ... 15

2.6 Tindakan Kolektif (Collective Action) ... 16

2.7 Penelitian Terdahulu ... 17

3. KERANGKA PEMIKIRAN ... 21

4. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

4.2 Jenis dan Sumber Data ... 23

4.3 Metode Penentuan Sampel ... 24

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

4.4.1 Menganalisis Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Cirata dalam Multidimensi Keberlanjutan ... 26

4.4.2 Menganalisis Kegiatan yang Paling Mengancam Keberlanjutan Waduk Cirata berdasarkan Kegiatan Pemanfaatan Waduk ... 28

4.4.3 Mengidentifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap adanya Tindakan Kolektif (Collective Action) ... 29

4.4.3.1 Analisis Persepsi Stakeholders tentang Sustainability Waduk Cirata ... 30

4.4.3.2 Ekspektasi dan Tingkat Urgensi Aktor terhadap Keberadaan dan Keberlanjutan Waduk sebagai Mata Pencaharian Masyarakat ... 32

5. GAMBARAN UMUM ... 35

5.1 Waduk Cirata ... 35

5.1.1 Kabupaten Bandung Barat ... 37

5.1.2 Kabupaten Purwakarta ... 38


(14)

2

5.2 Karakteristik Responden ... 40

6. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

6.1 Status Keberlanjutan Pengelolaan Usaha Perikanan KJA di Waduk Cirata dalam Multidimensi Keberlanjutan ... 45

6.1.1 Dimensi Ekologi ... 45

6.1.2 Dimensi Ekonomi ... 51

6.1.3 Dimensi Sosial ... 55

6.1.4 Dimensi Teknologi ... 60

6.1.5 Dimensi Kelembagaan ... 64

6.1.6Analisis Status Keberlanjutan Pengelolaan Usaha Perikanan KJA Waduk Cirata dalam Multidimensi Keberlanjutan ... 67

6.2 Analisis Kegiatan yang Paling Mengancam terhadap Keberlanjutan Waduk Cirata ... 70

6.2.1 Budidaya Perikanan KJA ... 70

6.2.2 Pertanian ... 71

6.2.3 Perikanan Tangkap ... 72

6.2.4 Pariwisata ... 73

6.2.5 Aktivitas Domestik Masyarakat ... 74

6.2.6 Urutan Kegiatan yang Paling Mengancam Keberlanjutan Waduk Cirata ... 75

6.3 Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Adanya Tindakan Kolektif (Collective Action) ... 76

6.3.1 Analisis Persepsi Stakeholder tentang Sustainability Waduk Cirata ... 76

6.3.2 Tindakan Bersama Stakeholder untuk Mempertahankan Keberlanjutan Waduk Cirata ... 78

7. SIMPULAN DAN SARAN ... 81

7.1 Simpulan ... 81

7.2 Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN ... 87


(15)

3

DAFTAR TABEL

1 Penelitian terdahulu ... 19

2 Matriks metode analisis data ... 25

3 Matriks analisis keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan ... 26

4 Selang indeks keberlanjutan ... 28

5 Matriks analisis kegiatan yang paling mengancam keberlanjutan Waduk Cirata berdasarkan kegiatan pemanfaatan waduk ... 29

6 Matriks analisis persepsi stakeholder tentang sustainability Waduk Cirata ... 30

7 Matriks ekspektasi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata sebagai mata pencaharian masyarakat ... 32

8 Matriks tingkat urgensi aktor terhadap keberadaan dan keberlanjutan Waduk Cirata ... 33

9 Jumlah produksi ikan KJA Kabupaten Bandung Barat 2009-2013 ... 38

10 Jumlah produksi ikan KJA Kabupaten Purwakarta 2007-2013 ... 39

11 Jumlah produksi ikan KJA Kabupaten Cianjur 2009-2013... 40

12 Pembagian zona dan jumlah RTP tahun 2011 ... 42

13 Nilai skor tiap atribut dimensi keberlanjutan ekologi pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 47

14 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi ekologi ... 48

15 Nilai skor tiap atribut dimensi keberlanjutan ekonomi pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 53

16 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi ekologi ... 54

17 Nilai skor tiap atribut dimensi keberlanjutan sosial pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 57

18 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi sosial ... 58

19 Nilai skor tiap atribut dimensi keberlanjutan teknologi pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 61

20 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi ... 62

21 Nilai skor tiap atribut dimensi keberlanjutan kelembagaan Pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 64

22 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi kelembagaan ... 65

23 Perbandingan indeks keberlanjutan dari hasil teknik ordinasi dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan ... 67

24 Perbandingan nilai akar kuadrat nilai tengah (ANKT) masing-masing atribut pada setiap dimensi keberlanjutan ... 68

25 Perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo (selang kepercayaan 95%) pada pengelolaan Waduk Cirata... 69


(16)

4

26 Persepsi stakeholder tentang kegiatan perikanan budidaya KJA

di Waduk Cirata ... 71

27 Persepsi stakeholder terhadap kegiatan pertanian ... 72

28 Persepsi stakeholder terhadap kegiatan perikanan tangkap ... 73

29 Persepsi stakeholder terhadap kegiatan pariwisata ... 74

30 Persepsi stakeholder terhadap aktivitas domestik masyarakat ... 75

31 Skor kegiatan yang paling mengancam keberlanjutan Waduk Cirata ... 76

32 Sebaran persepsi stakeholder tentang kondisi waduk saat ini ... 76

33 Sebaran persepsi stakeholder tentang pengelolaan waduk saat ini ... 77

34 Sebaran ekspektasi dan tingkat urgensi petani ikan dan stakeholder terhadap keberlanjutan Waduk Cirata ... 77

DAFTAR GAMBAR

1 Luas perkembangan areal Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata tahun 2001-2011 ... 3

2 Perkembangan sedimentasi Waduk Cirata tahun 1987-2012 ... 4

3 Elemen proses aplikasi Rapfish untuk daat perikanan... 14

4 Kerangka pemikiran operasional ... 22

5 Lokasi penelitian ... 25

6 Waduk Cirata, Saguling, dan Jatiluhur ... 36

7 Tingkat usia petani ikan ... 41

8 Tingkat pendidikan petani ikan ... 41

9 Grafik kepemilikan KJA tahun 2011 ... 43

10 Status keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan usaha perikanan Waduk Cirata ... 48

11 Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi ... 50

12 Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekologi ... 50

13 Status keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 53

14 Analisis senstivitas atribut pada dimensi ekonomi ... 54

15 Hasil analisis Monte Carlo untuk pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata pada dimensi ekonomi ... 55

16 Status keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 58

17 Analisis sensitivitas atribut pada dimensi sosial ... 59

18 Hasil analisis Monte Carlo untuk pengelolaan Waduk Cirata pada dimensi sosial ... 60

19 Status keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 62

20 Analisis sensitivitas atribut pada dimensi teknologi ... 63

21 Hasil analisis Monte Carlo untuk pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata pada dimensi teknologi ... 64

22 Status keberlanjutan dimensi kelembagaan pengelolaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata ... 65


(17)

5

23 Analisis sensitivitas atribut pada dimensi kelembagaan ... 67

24 Hasil analisis Monte Carlo utnuk pengeloaan usaha perikanan KJA Waduk Cirata pada dimensi kelembagaan ... 68

25 Diagram layang analisis keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata ... 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner penelitian... 87

2 Dimensi dan atribut indikator keberlanjutan ... 94

3 Dimensi dan atribut indikator keberlanjutan ... 94

4 SK Gubernur Jawa Barat no 41 tahun 2002 tentang pengembangan pemanfaatan perairan umum, lahan pertanian dan kawasan Waduk Virata ... 96

5 SK Gubernur Jawa Barat no 561 tahun 2015 tentang upah Minimum kabupaten atau kota di Jawa Barat 2015 ... 113

6 Data penerimaan total usaha perikanan KJA ... 119

7 Rapscore pada dimensi ekologi ... 123

8 Rapscore pada dimensi ekonomi ... 124

9 Rapscore pada dimensi sosial ... 125

10 Rapscore pada dimensi teknologi ... 126

11 Rapscore pada dimensi kelembagaan ... 126


(18)

(19)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Kordi dan Tancung (2007) waduk merupakan daerah yang digenangi badan air sepanjang tahun serta dibentuk atau dibangun atas rekayasa manusia. Waduk dibangun untuk beberapa kebutuhan diantaranya: (1) untuk irigasi; (2) penyedia energi listrik melalui pembangkit listrik tenaga air (PLTA); (3) penyedia air minum; (4) pengendali banjir; (5) rekreasi; (6) perikanan; dan (7) transportasi. Selanjutnya dikemukakan juga bahwa waduk dibangun dengan cara membendung aliran sungai sehingga air tertahan sementara dan menggenangi bagian daerah aliran sungai (DAS) atau watershed yang rendah. Waduk dapat dibangun di dataran rendah maupun dataran tinggi. Walaupun waduk umumnya merupakan buatan ataupun rekayasa manusia namun termasuk ke dalam barang sumberdaya.

Ostrom et al. (1994) dalam Widiastuti (2013) membagi barang sumberdaya dalam empat tipe berdasarkan substractibility dan excludability-nya yaitu private good, toll good, common pool resources dan open access. Sumberdaya dengan

substractibility yang tinggi dan tingkat excludability yang rendah merupakan ciri khas dari Common Pool Resources (CPRs). Artinya, dalam setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut; dan tingkat excludable

yang rendah berarti sumberdaya alam ini karena besarnya, sehingga akses terhadap sumberdaya sulit dikontrol. Karakteristik inilah yang memungkinkan terjadinya penggunaan berlebihan, congestion atau bahkan kerusakan sumberdaya pada CPRs.

Berdasarkan ciri-ciri diatas waduk termasuk CPRs atau sumberdaya bersama. Masalah yang timbul sehubungan dengan sumberdaya bersama adalah

adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa (a) “milik semua orang

berarti bukan milik siapa-siapa (everyone’s property is no one’s property and no


(20)

2

dalam keadaan baik”, dan (c) “mengapa kita harus menghemat penggunaan

sumberdaya sedangkan orang lain menghabiskannya”?. Pertanyaan-pertanyaan

semacam ini cenderung menyebabkan penggunaan sumberdaya bersama secara berlebih-lebihan atau menghabiskan sumberdaya secara cepat bahkan menghancurkan sumberdaya alam yang dapat diperbarui sekalipun (Dharmawan dan Daryanto, 2002 dalam Suhana, 2008). Pembangunan waduk di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam upaya penggunaan air sebagai sumber energi yang mudah didapatkan. Waduk banyak dibangun oleh pemerintah juga dengan alasan memberikan manfaat yang banyak bagi kepentingan umum. Salah satu waduk yang berada di Jawa Barat dan memiliki potensi besar dalam pengembangannya adalah Waduk Cirata.

Waduk Cirata merupakan waduk yang terbentuk dari bendungan Sungai Citarum. Luas wilayahnya sebesar 7.112 Ha dan luas genangan sebesar 6.200 Ha. Genangan Waduk Cirata tersebar di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung Barat dengan luas area yang berbeda-beda. Genangan air terluas terdapat di Kabupaten Cianjur dengan luas 29.603.299 m2.

Fungsi utama dari Waduk Cirata sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk memenuhi kebutuhan listrik Jawa dan Bali yang memiliki kapasitas 1.008 MW dan menghasilkan rata-rata energi 1.428 GWh per tahun. PLTA Cirata juga merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara. Namun seiring dengan pertumbuhan populasi manusia dan memerlukan kebutuhan untuk hidup, maka fungsinya pun bertambah antara lain untuk kegiatan lalu lintas, pariwisata, pertanian dan perikanan yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar.

Pembangunan Waduk Cirata mengakibatkan ditenggelamkannya 32 desa dan 7 kecamatan yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, dan Kabupaten Cianjur. Kompensasi dari penenggelaman pemukiman masyarakat tersebut, maka usaha budidaya perikanan Keramba Jaring Apung (KJA) diperbolehkan sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat yang kehilangan pekerjaannya karena terelokasi.

Usaha budidaya ikan air tawar menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) dianggap paling efektif dan produktif diterapkan baik diberbagai wilayah,


(21)

3

khususnya Waduk Cirata. Usaha budidaya perikanan KJA ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya yang ditandai dengan kenaikan jumlah petak KJA Waduk Cirata setiap tahunnya yang disajikan pada Gambar 1.

Sumber: PT PJB BPWC (2011)

Gambar 1. Luas perkembangan areal Keramba Jaring Apung (KJA) Waduk Cirata tahun 2001-2011

Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan luas areal petak KJA setiap tahunnya. Pada tahun 2001, jumlah petak KJA yang terdapat di Waduk Cirata sebanyak 30.429 petak dan terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Sesuai dengan data sensus yang dilakukan oleh Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) tahun 2011 jumlahnya semakin meningkat menjadi 53.031 petak. Luas areal KJA yang melebihi batas tersebut, berdampak pada penurunan produksi ikan, pencemaran air, dan meningkatkan sedimentasi. Sedimentasi yang terus menerus meningkat dapat menyebabkan penurunan umur teknis dari Waduk Cirata tersebut. Berdasarkan penelitian Widiastuti (2013), diperkirakan umur Waduk Cirata telah berkurang sebanyak 8 tahun. Bahkan berdasarkan kajian yang dilakukan BPWC, usia layanan waduk telah hilang 20 tahun yang seharusnya 80 tahun lagi pada tahun 2007 menjadi 60 tahun lagi. Kandungan logam yang terkandung di dalam air waduk tersebut juga dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat pada peralatan dan pembangkit turbin,


(22)

4

yang akan menyebabkan kerugian bagi pihak pengelola. Berikut perkembangan sedimentasi Waduk Cirata yang disajikan pada Gambar 2.

Sumber: PT PJB BPWC (2012)

Gambar 2. Perkembangan sedimentasi Waduk Cirata tahun 1987-2012 Gambar 2 menunjukkan bahwa Waduk Cirata memiliki angka sedimentasi yang berfluktuatif. Pada awal pembangunannya tahun 1987 asumsi desain sedimentasi hanya 5,67 juta m3/tahun. Namun, jika dilihat dari angka rata-rata dari tahun 1987 sampai tahun 2012 angka sedimentasinya mencapai 7,3 juta m3/tahun. Tingginya sedimentasi yang terjadi di Waduk Cirata ini disebabkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain limbah rumah tangga yang masuk ke waduk, maupun limbah KJA yang berasal dari sisa pakan ikan yang tidak termakan oleh ikan.

Banyaknya petani KJA ini menimbulkan dampak positif maupun negatif tersendiri bagi Waduk Cirata. Keberadaan petani KJA ini membuat Waduk Cirata dikenal sebagai sentra perikanan budidaya air tawar di Jawa Barat. Petani ikan KJA ini ternyata tidak hanya datang dari daerah sekitar, namun banyak pula petani yang berasal dari luar daerah Cianjur. Semakin meningkatnya jumlah KJA yang ada ternyata tidak hanya berdampak pada perekonomian saja, namun berdampak terhadap pencemaran lingkungan waduk akibat jumlah petak KJA yang


(23)

5

berlebihan. Adanya aturan yang berlaku diharapkan dapat membatasi jumlah KJA tersebut, agar keberlanjutan sumberdaya perikanan Waduk Cirata ini akan terus lestari dan tidak mengganggu kualitas sumberdaya lain yang berada disekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 41 Tahun 2002 tentang Pengembangan Pemanfaatan Perairan Umum, Lahan Pertanian dan Kawasan Waduk Cirata yang menyatakan bahwa luasan yang aman untuk KJA, yaitu seluas 1% dari seluruh perairan waduk atau seluas 48 ha tetapi saat ini telah mencapai 4% (BPWC, 2014). Petak KJA yang dianjurkan ialah hanya 12.000 petak setiap tahunnya, namun terjadi peningkatan setiap tahunnya melebihi kapasitas yang seharusnya dan menimbulkan dampak negatif bagi Waduk Cirata. Dampak yang terjadi seperti penurunan produksi perikanan, penurunan fungsi waduk, maupun terjadinya sedimentasi pada waduk.

Dampak paling besar yang dirasakan oleh petani sekitar waduk, yaitu kematian ikan yang mencapai ribuan ton. Tidak adanya penyinaran matahari khusunya di musim hujan yang mengakibatkan massa air di bawah dan diatas berbeda, endapan sisa makanan dan biomassa naik keatas (upwelling) yang berdampak ikan kekurangan oksigen lalu mati. Selain itu juga, terjadi kerusakan pada alat-alat PLTA akibat logam berat yang masuk ke dalam waduk dan menyebabkan korosi di bagian turbin serta menurunkan kualitas air. Banyaknya petani ikan KJA yang tidak memiliki izin juga menambah permasalahan yang ada di Waduk Cirata. Peraturan mengenai pemasangan KJA secara legal pun banyak yang dilanggar oleh oknum-oknum tertentu.

Kondisi yang terjadi di Waduk Cirata menandakan adanya ketidakefektifan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya waduk. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung akan mengancam keberadaan Waduk Cirata yang fungsinya dibutuhkan oleh banyak pihak, baik PT. Pembangkit Jawa Bali (PJB), masyarakat sekitar, pengusaha, serta seluruh pihak yang memanfaatkan waduk.

Pengembangan kawasan budidaya perikanan air tawar Waduk Cirata seharusnya memperhatikan lima dimensi pembangunan berkelanjutan (ekologi,


(24)

6

sosial budaya, ekonomi, teknologi dan etika) untuk menghindari masalah-masalah yang timbul dari kegiatan budidaya perikanan KJA tersebut. Pengelolaan yang berkelanjutan sangat diperlukan guna mengoptimalkan manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan budidaya perikanan tersebut. Selain itu, perlu diidentifikasi pula faktor kunci keberlanjutan usaha budidaya perikanan KJA Waduk Cirata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi berkelanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan)?

2. Kegiatan apakah yang paling mengancam terhadap keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata?

3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap adanya tindakan bersama (collective action)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis status keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan).

2. Menganalisis kegiatan yang paling mengancam terhadap keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap adanya tindakan kolektif (collective action).

1.4 Manfaat Penelitian 1. Peneliti

Meningkatkan pemahaman peneliti mengenai status berkelanjutan pengelolaan Waduk Cirata dengan analisis multidimensi dan peran


(25)

7

stakeholder yang kemudian dapat menjadi pengalaman untuk menyelesaikan kasus-kasus terkait lainnya.

2. Pemerintah daerah setempat

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi pemerintah daerah setempat untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang berada di daerah penelitian.

3. Masyarakat setempat

Hasil dari penelitian ini, diharapkan menjadi infomasi tambahan bagi masyarakat setempat tentang kondisi terkini dari status Waduk Cirata sehingga dapat bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan sekitar.

4. Pemanfaat Waduk Cirata

Hasil dari penelitian ini dapat menjadi informasi tambahan bagi pihak-pihak yang memanfaatkan Waduk Cirata dari berbagai sektor dan dapat membantu proses pengambilan keputusan yang tepat bagi usahanya.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah status keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata yang dilihat berdasarkan kegiatan on side pada waduk, yaitu budidaya perikanan KJA yang dilihat dalam multidimensi pembangunan berkelanjutan yaitu, dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan serta menentukan faktor kunci keberlanjutannya. Analisis masing-masing persepsi dan tingkat urgensi stakeholder dilihat dari pandangan bagaimana kondisi pencemaran yang terjadi di dalam waduk akibat banyaknya jumlah KJA yang terus meningkat dan tidak terkendali setiap tahunnya.


(26)

(27)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanfaatan Waduk

Waduk dalam pengertian benda sebenarnya termasuk danau yaitu suatu volume massa air yang mempunyai komposisi khusus yang berisi berbagai bentuk kehidupan. Namun, secara spesifik, danau adalah sebuah bentuk perairan akibat adanya air yang mengisi cekungan-cekungan secara alamiah, sedangkan waduk terbentuk akibat adanya massa air yang mengisi lembah sungai yang alirannya dibendung oleh sebuah dinding (Prihadi, 2005). Menurut Dandekar (1991) dalam Nurfadilla (2013) waduk mempunyai dua fungsi yakni merupakan sebuah kolam penampung air yang memiliki kesanggupan untuk menyediakan air, dan juga berfungsi untuk menaikkan ketinggian tekanan air yang merupakan potensi dari air sungai. Waduk atau bendungan memiliki bermacam-macam jenis dan berbagai manfaat. Pembagian tipe waduk atau bendungan dapat dibagi menjadi beberapa tipe yaitu:

1. Tipe bendungan bedasarkan ukurannya, ada dua tipe yaitu: a. Bendungan besar (Large Dams)

Berdasarkan klasifikasi:

 Ketinggian bendungan.

 Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 meter.

 Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 1 juta m3 .

 Debit banjir maksismum yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m3 per detik.

b. Bendungan kecil (Small Dams)

Semua bendungan yang tidak termasuk sebagai bendungan besar. 2. Tipe bendungan bedasarkan tujuan pembangunannya.

Ada dua tipe jenis:

a. Bendungan dengan tujuan tunggal (single purpose dam) yaitu bendungan yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misal untuk PLTA, irigasi, pengendali banjir dan kebutuhan lain.


(28)

10

b. Bendungan serba guna (multi purpose) adalah bendungan yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan, misal PLTA dan irigasi, irigasi dan pengendalian banjir, dan lain-lain.

3. Tipe bendungan berdasarkan pembangunannya. Ada tiga tipe yaitu:

a. Bendungan yang membentuk waduk (storage dam) yaitu bendungan yang dibangun untuk membentuk waduk guna menyimpan air ketika kelebihan agar dapat dipakai pada waktu yang diperlukan.

b. Bendungan penangkap/pembelok air (diversion dam) yaitu bendungan yang dibangun agar permukaan airnya lebih tinggi sehingga dapat mengalir masuk ke dalam saluran air atau terowongan air.

c. Bendungan untuk memperlambat jalannya air (detention dam) adalah bendungan yang dibangun untuk memperlambat jalannya air, sehingga dapat mencegah banjir besar.

4. Tipe bendungan berdasarkan jalannya air. Terdapat dua tipe yaitu:

a. Bendungan untuk dilewati air (overflow dams) yaitu bendungan yang dibangun untuk dilewati air misalnya pada bangunan pelimpah.

b. Bendungan untuk menahan air (non overflow dam) adalah bendungan yang sama sekali tidak boleh dilewati air.

Dandekar (1991) dalam Nurfadilla (2013) juga menyatakan beberapa manfaat yang mampu diberikan sebuah waduk atau bendungan adalah:

1. Irigasi

Pada saat musim hujan, air hujan yang turun di daerah tangkapan air sebagian besar akan mengalir ke sungai-sungai, air itu dapat ditampung sehingga pada musim kemarau air yang tertampung tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, antara lain untuk irigasi lahan pertanian.

2. Penyediaan Air Baku

Waduk selain sebagai sumber untuk pengairan persawahan juga dimanfaatkan sebagai bahan baku air minum dimana di perkotaan sangat langka dengan air bersih.


(29)

11

3. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

Dalam menjalankan fungsinya sebagai PLTA, waduk dikelola untuk mendapatkan kapasitas listrik yang dibutuhkan. PLTA adalah suatu sistem pembangkit listrik yang biasanya terintegrasi dalam bendungan dengan memanfaatkan energi mekanis aliran air untuk memutar turbin, diubah menjadi energi listrik generator.

4. Pengendali Banjir

Sungai dengan debit air yang besar jika tidak dikendalikan dengan cermat maka akan membahayakan masyarakat sekitar sungai itu sendiri, maka permasalahan itu dapat dijadikan sebagai latar belakang dari pendirian waduk. Dengan dibangunnya bendungan-bendungan di bagian hulu sungai maka kemungkinan terjadinya banjir pada musim hujan dapat dikurangi dan pada musim kemarau air yang tertampung tersebut dapat dimanfaatkan untuk berbagi keperluan, antara lain pembangkit listrik tenaga air, untuk irigasi lahan pertanian, untuk perikanan, untuk pariwisata dan lain sebagainya.

5. Perikanan

Untuk mengganti mata pencaharian para penduduk desa yang desanya ditenggelamkan untuk pembuatan waduk yang sebelumnya bermata pencaharian sebagai petani kini beralih ke ranah perikanan dengan memanfaatkan waduk ini. Para penduduk dapat membuat rumah apung yang digunakan untuk peternakan ikan air tawar yang dibesarkan dalam keramba-keramba.

6. Pariwisata dan Olahraga Air

Dengan pemandangan yang indah waduk juga dapat dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi dan selain tempat rekreasi juga dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi maupun olahraga air. Berdasarkan klasifikasi diatas Waduk Cirata termasuk dalam bendungan multi purpose yang memiliki banyak kegunaan, antara lain PLTA, irigasi, perikanan, dan pariwisata air.


(30)

12

2.2 Keramba Jaring Apung (KJA)

Budidaya perikanan air tawar yang biasa dilakukan di waduk biasanya menggunakan sistem Keramba Jaring Apung (KJA). Menurut Ryding dan Rast (1989) dalam Widyastuti (2005) mengemukakan bahwa budidaya ikan dalam keramba merupakan budidaya di wilayah perairan yang disekat, biasanya mengapung dan dibatasi oleh jaring. Wilayah tersebut melindungi keramba yang digunakan untuk produksi ikan.

Menurut Sukadi et al. (1989) dalam Widyastuti (2005) keramba jaring apung yaitu sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang dapat menyebabkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran air dari keramba ke perairan sekitarnya, serta pembuangan sisa pakan dengan mudah. Penggunaan jaring apung di waduk memiliki berbagai keuntungan. Keramba jaring apung dilakukan di badan air, sehingga biaya produksi untuk persiapan tanah tidak diperlukan. Kegiatan KJA dapat membantu mengatasi masalah berkurangnya lahan budidaya ikan akibat terkena kegiatan pertanian dan lainnya. Keuntungan teknis yang diperoleh dari budidaya KJA yaitu keramba mudah dipindah-pindahkan, intensifikasi produksi ikan, optimasi penggunaan pakan, kemudahan pengendalian pesaing dan pemangsa, serta kemudahan dalam pengelolaan dan panen.

Di Indonesia, KJA pertama kali digunakan di Waduk Jatiluhur pada tahun 1974 untuk keperluan penelitian, dan baru tahun 1986 dilakukan budidaya ikan secara intensif dalam KJA di Waduk Saguling, diikuti oleh petani ikan Danau Toba, Waduk Cirata, Waduk Wonogiri, Waduk Kedung Ombo, bahkan juga budidaya di laut seperti di Teluk Pare-Pare, Teluk Banten, dan di Kepulauan Riau (Prihadi, 2005). Menurut Beveridge (1996) dalam Widyastuti (2005), berdasarkan input makanannya, budidaya KJA dapat diklasifikasikan ke dalam tiga sistem yaitu ekstensif, semi intensif, dan intensif.

Pada sistem ekstensif pertumbuhan ikan dilakukan hanya dengan pakan alami seperti plankton, detritus, dan organisme yang terbawa arus. Sistem semi intensif menggunakan bahan pakan dengan protein rendah (< 10 %) seperti dari sisa hasil pertanian. Pemberian pakan pada budidaya semi intensif pada prinsipnya


(31)

13

hanya memberi pakan tambahan untuk menambahkan pakan alami. Budidaya sistem intensif, pertumbuhan ikan hampir keseluruhan bergantung pada bahan pakan berprotein tinggi (> 20 %). Padat tebar ikan pada ketiga sistem tersebut berbeda-beda karena padat tebar ikan bergantung pada pakan yang diberikan.

Budidaya sistem ekstensif memiliki padat tebar ikan terendah karena budidaya ikan hanya menggunakan pakan alami. Budidaya semi intensif memiliki padat tebar ikan yang sedang. Padat tebar ikan pada budidaya semi intensif lebih besar dari ekstensif karena terdapat tambahan pakan untuk menambahkan pakan alami sehingga padat tebar ikan dapat ditingkatkan. Budidaya sistem intensif memiliki padat tebar ikan tertinggi karena pertumbuhan ikan sepenuhnya didasarkan pada pemberian pakan buatan. Sebagian besar keramba jaring apung yang terdapat di waduk-waduk di Indonesia menggunakan sistem intensif karena untuk mengoptimalkan produksi ikan.

2.3Analisis Keberlanjutan

Konsep keberlanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multidimensi dan multi-interpretasi. Menurut Heal (1998) dalam Fauzi (2004) konsep keberlanjutan ini paling tidak mengandung dua dimensi: pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak lain menyangkut apa yang akan terjadi di masa mendatang. Kedua adalah dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan.

Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Salah satu alternatif pendekatan sederhana yang dapat digunakan untuk evaluasi status keberlanjutan dari perikanan tersebut adalah Rapfish (Rapid Appraissal for Fisheries) adalah suatu teknik terbaru yang dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner (Fauzi dan Anna, 2005). Rapfish digunakan untuk menjelaskan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika/pengaturan (governance) yang mencakup atribut-atribut keberlanjutan. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan


(32)

14

sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan Multi-Dimensional Scalling

(MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Dimensi dalam Rapfish menyangkut aspek keberlanjutan dari ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan etik. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan sustainability, sebagaimana diisyaratkan dalam FAO-Code of Conduct. (Fauzi dan Anna, 2005). Prosedur Rapfish mengikuti struktur pada Gambar 3.

Gambar 3. Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan (Alder et al.

2000) dalam (Fauzi dan Anna, 2005)

Start

Review Attribute (meliputi berbagai kategori dan

skoring kriteria)

Identifikasi dan Pendefinisian Perikanan (didasarkan kriteria yang

konsisten)

Skoring Perikanan (mengkonstruksi reference

point untuk good dan bad

serta anchor)

Analisis Keberlanjutan

(Assess Sustainability)

Analisis Leverage

(Analisis Anomali) Simulasi Monte Carlo

(Analisis ketidakpastian)

Multidimensional Scalling Ordination (untuk setiap


(33)

15

2.4 Analisis Aktor

Aktor merupakan masyarakat yang memiliki daya untuk mengendalikan penggunaan sumberdaya seolah-olah mereka tidak terkena pengaruh, tetapi kehidupannya dipengaruhi oleh perubahan penggunaan sumberdaya tersebut. Aktor adalah bagian yang secara langsung terkait dengan hasil kajian. Mereka menjadi pengguna di masa depan dari suatu hasil kajian. Mereka bukan kelompok sasaran (target group) bagi hasil suatu kajian. Aktor sangat bervariasi derajat pengaruh dan kepentingannya, dan dapat dikategorikan sesuai dengan banyak atau sedikitnya pengaruh dan kepentingan relatifnya terhadap keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam (Suhana, 2008).

Brown et al (2001) dalam Suhana (2008) mengkategorikan aktor sebagai berikut:

1) Aktor primer, yakni mereka yang mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting bagi pengambil kebijakan.

2) Aktor sekunder, yakni mereka yang dapat mempengaruhi keputusan yang dibuat karena mereka adalah sebagian besar dari pengambil kebijakan dan terlibat dalam implementasi kebijakan. Secara relatif mereka tidak penting, demikian pula dengan tingkat kesejahteraannya bukan suatu prioritas.

3) Aktor eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses melalui lobby kepada pengambil keputusan, tetapi interest

mereka tidak begitu penting.

2.5 Kelembagaan

Khaerallah dan Kirsten (2001) dalam Fauzi (2005) mendefinisikan

kelembagaan adalah ‘suatu gugus aturan (rule of conduct) formal (hukum,

kontrak, sistem politik, organisasi, pasar, dan lain sebagainya) serta informal (norma, tradisi, sistem nilai, agama, tren sosial, dan lain sebagainya) yang memfasilitasi koordinasi dan hubungan antara individu maupun kelompok’. Ostrom (1985) dalam Suhana (2008) mendefinisikan kelembagaan sebagai aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat


(34)

16

ditentukan oleh beberapa unsur, yaitu aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumberdaya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi.

Sementara itu, Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni :

1. Aturan formal (formal institutions), meliputi konstitusi, statuta, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi)

2. Aturan informal (informal institutions), meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan

3. Mekanisme penegakan (enforcement mechanism), semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan.

2.6 Tindakan Kolektif (Collective Action)

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan. Commons (1934) dalam Suhana (2008) mendefinisikan kelembagaan sebagai:

“...collective action in restraint, liberation, and of individual action”. Teori tindakan kolektif (collective action) pertama kali diformulasikan oleh Mancur Olson (1971) dalam Yustika (2008), khususnya saat mengupas masalah kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Teori ini sangat berguna untuk mengatasi masalah penunggang bebas (free-rider) dan mendesai jalan keluar bersama (cooperative solutions) bagi pengelolaan sumberdaya bersama

(common resources) atau penyediaan barang-barang publik (public goods).

Menurut Olson juga, determinan penting bagi keberhasilan suatu tindakan bersama adalah ukuran (size), homogenitas (homogenity), dan tujuan kelompok


(35)

17

(purpose of the group). Dimana teori ini sudah banyak dimanfaatkan untuk menyelesaikan persoalan yang terkait dengan manajemen sumberdaya bersama, seperti air, perikanan, tanah, hutan, dan lain-lain. Tindakan kolektif akan bekerja optimum tergantung dari ketiga determinan tersebut. Secara hipotetik, semakin besar ukuran suatu kelompok kepentingan (interest group), maka kian sulit bagi kelompok tersebut untuk menegosiasikan kepentingan di antara anggota kelompok, demikian sebaliknya. Artinya, kelompok yang dibangun dengan ukuran kecil (small group) dimungkinkan untuk bekerja lebih efektif. Selanjutnya, keragaman kepentingan anggota kelompok juga sangat menentukan keberhasilan tindakan kolektif. Semakin beragam kepentingan anggota kelompok, maka kian rumit untuk memformulasikan kesepakatan bersama karena masing-masing anggota membawa kepentingannya sendiri-sendiri demikian sebaliknya. Jadi, homogenitas kepentingan diandaikan akan lebih memudahkan kerja suatu kelompok.

Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi lolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dimodifikasi. Walaupun konstitusi bukan harga mati, biasanya lebih sulit berubah.

2.7 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hermawan (2006) meneliti keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil kasus perikanan pantai di Serang dan Tegal dengan menggunakan metode Rapfish. Hasil yang didapatkan ialah kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Serang memiliki skor keberlanjutan relatif lebih baik dibandingkan perikanan skala kecil di perairan pantai Tegal. Dilihat dari perspektif alat tangkap, perikanan di Serang hanya perikanan jaring udang yang


(36)

18

berstatus cukup berkelanjutan, alat tangkap bugis payang statusnya kurang berkelanjutan dari dimensi teknologi. Sedangkan kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal untuk semua alat tangkap yang diteliti dalam status kurang berkelanjutan.

Radityo (2013) meneliti mengenai dampak ekonomi pencemaran air terhadap perikanan budidaya sistem keramba jaring apung di Waduk Cirata. Metode yang digunakan ialah pendekatan produksi dan metode AHP. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dampak pencemaran air berupa penurunan hasil panen, frekuensi panen, peningkatan kematian ikan dan peningkatan waktu yang dibutuhkan untuk budidaya ikan. Nilai kerugian pembudidaya ikan karena adanya pencemaran air yang menyebabkan penurunan hasil panen sebesar Rp 985.485.382.718 pada tahun 2011 dan economic loss yang terjadi pada sektor perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir sebesar Rp 4.219.702.954.280.

Widiastuti (2013) mengestimasi kerugian ekonomi PLTA dan analisis kelembagaan. Hasil penelitiannya menggunakan metode cost benefit analysis dan pendekatan Dolsak dan Ostrom menunjukkan bahwa kerugian yang ditanggung PLTA sebesar 1 milyar rupiah yang berasal dari profit yang berkurang selama 8 tahun. Selain itu, pengelolaan waduk juga dirasa belum maksimal karena tidak ada kekuatan untuk menekan free rider dan menegakkan hukum.

Penelitian Ummah (2014), menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan keramba jaring apung (KJA) Waduk Cirata. hasilnya menunjukkan bahwa 1)

Stakeholders yang berkaitan dengan pengelolaan KJA di Waduk Cirata terdiri dari a) Subject yaitu pedagang ikan, kelompok pengolah hasil perikanan dan POKMASWAS, b) Players yaitu Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung Barat, Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, BPWC, kelompok pembudidaya ikan, ASPINDAC, kelompok penjual pakan, dan kelompok nelayan, c) Bystanders yaitu aparat desa, BPPT dan lembaga peneliti, 2) Keterkaitan stakeholder yang terdapat dalam pengelolaan KJA di Waduk Cirata yaitu antara beberapa pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam suatu lingkup wilayah yang sama dan saling berkoordinasi dalam pengelolaan Waduk Cirata dengan menggunakan tipe


(37)

19

pengelolaan instruktif dan konsultatif, 3) Terdapat persamaan persepsi antar stakeholder mengenai kondisi lingkungan Waduk Cirata dan mengenai keberadaan KJA.

Namun, untuk persepsi terhadap pengelolaan Waduk Cirata terdapat perbedaan pandangan diantara petani ikan mengenai kejelasan aturan main. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakmerataan dalam sosialisasi peraturan pengelolaan waduk, 4) Aturan-aturan formal yang berlaku telah mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan (KJA) yang mencakup tujuan ekonomi dan konservasi (perlindungan terhadap sumberdaya waduk). Namun implementasi dari aturan tersebut belum berjalan. Sanksi bagi pelanggar juga belum ditegakkan. Aturan-aturan informal secara tidak langsung memiliki tujuan sosial, ekonomi, dan konservasi yang mendukung pengelolaan perikanan (KJA) di Waduk Cirata, 5) Desain kelembagaan yang sesuai bagi pengelolaan KJA Waduk Cirata yaitu kelembagaan yang mampu menjembatani kepentingan beberapa pihak yang memanfaatkan Waduk Cirata. Hal tersebut dapat dicapai dengan peningkatan koordinasi diantara stakeholder yang terlibat. Secara ringkas, penelitian terdahulu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penelitian terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

1 Maman

Hermawan (2006)

Keberlanjutan

Perikanan Tangkap

Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal)

Penelitian ini meneliti keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil.

2 Rizky

Radityo (2013)

Dampak Ekonomi

Pencemaran Air

terhadap Perikanan

Budidaya Sistem

KJA di Waduk Cirata

Penelitian ini menghitung niilai kerugian

pembudidaya ikan karena adanya pencemaran air dan economic loss yang terjadi pada sektor perikanan budidaya selama 5 tahun terakhir.

3 Maria

Widiastuti (2013)

Kerugian Ekonomi

PLTA Akibat

Sedimentasi dan

Peran Kelembagaan

dalam Pengelolaan

Waduk Cirata-Jawa

Barat

Penelitian ini menggunakan metode cost benefit

analysis dan pendekatan Dolsak dan Ostrom

4 Nabila

Wihdatul Ummah (2014)

Analisis

Kelembagaan dalam

Pengelolaan KJA

Waduk Cirata

Penelitian ini menganalisis kelembagaan

pengelolaan KJA Waduk Cirata berdasarkan aturan formal dan informalnya.


(38)

(39)

III.

KERANGKA PEMIKIRAN

Waduk Cirata merupakan waduk yang memiliki fungsi utama sebagai pembangkit listrik untuk memenuhi pasokan listrik wilayah Jawa dan Bali. Selain itu, Waduk Cirata memiliki fungsi tambahan, yaitu sebagai tempat pembudidayaan ikan dengan sistem KJA yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Seiring berjalannya waktu, banyak juga petani ikan yang berasal dari luar wilayah sekitar waduk. Kegiatan pembudidayaan ikan KJA ini mengalami peningkatan setiap tahunnya dilihat dari jumlah KJA yang semakin banyak melebihi kapasitas waduk. Peningkatan jumlah KJA yang tidak terkendali ini telah melebihi jumlah yang dianjurkan, yaitu sebesar 12.000 petak. Jumlah KJA yang terus meningkat dapat berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata. Keberlanjutan Waduk Cirata dapat dilihat melalui beberapa dimensi yaitu, dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan yang dapat dinilai dengan analisis multidimensi.

Analisis multidimensi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai status keberlanjutan, analisis leverage dan simulasi Monte Carlo dari pengelolaan Waduk Cirata yang dilihat dari keberlanjutan pengelolaan usaha perikanan KJA. Analisis keberlanjutan Waduk Cirata dilakukan dengan menggunakan metode

Rapid Appraissal for Fisheries Status (Rapfish) untuk menggambarkan kondisi lestari dari suatu sumberdaya yang atributnya telah disesuaikan dengan kondisi di lapang. Selain itu, perlu diketahui juga persepsi dan tindakan kolektif dari

stakeholder yang terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata. Untuk melihat persepsi stakeholder dan tindakan kolektif nantinya akan digunakan analisis deskriptif dengan menggunakan data yang diperoleh dari narasumber melalui wawancara. Hasil dari penelitian ini ialah rekomendasi bagi pengelolaan Waduk Cirata agar pembangunannya dapat berkelanjutan pada lima dimensi tersebut. Secara rinci kerangka pemikiran disajikan dalam Gambar 4.


(40)

Gambar 4. Kerangka pemikiran operasional Waduk Cirata

Budidaya perikanan sistem KJA

Ekologi Ekonomi Sosial Teknologi Kelembagaan

Analisis multidimensi

Nilai status keberlanjutan

Nn

Analisis

Leverage

Simulasi Monte Carlo

Status keberlanjutan Analisis persepsi Tindakan kolektif

(Collective Action)

Rekomendasi pengelolaan Waduk Cirata yang


(41)

23

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Waduk Cirata. Lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive) dikarenakan karakteristik dalam pengelolaan sumberdaya ikan Waduk Cirata yang mencakup tiga wilayah administrasi dan pelaksanaanya belum efektif. Proses pengumpulan data baik data primer maupun sekunder dilakukan selama 2 bulan, yaitu dari bulan Maret hingga April 2015. Berikut dapat dilihat pada Gambar 5.

: Lokasi Penelitian

Gambar 5. Lokasi Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara kepada responden yang merupakan petani KJA DI Kabupaten Cianjur menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari data-data yang telah dihimpun oleh stakeholder terkait yaitu, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cianjur, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Cianjur, PT. Pembangkit Jawa Bali Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC), Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Cianjur dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah


(42)

24

Propinsi Jawa Barat. Selain itu, data juga diperoleh dari sumber-sumber lain yang relevan seperti buku, jurnal, artikel, penelitian terdahulu, dan internet.

4.3 Metode Penentuan Sampel

Penelitian ini menggunakan informan dan responden sebagai sumber data primer. Metode pengambilan data atau data adalah purposive sample. Metode pengambilan sample ini merupakan metode yang dilakukan dalam pemilihan responden dengan cara disengaja. Artinya peneliti mencari informasi kebutuhan data penelitian kepada pihak-pihak yang telah disesuaikan dan dipilih dengan kriteria yang dibutuhkan peneliti. Sedangkan populasi responden adalah masyarakat sekitar yang memiliki dan menjadi petani ikan KJA. Pemilihan responden menggunakan teknik random sampling dengan responden sebanyak 30 responden.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis status keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi. Status yang didapatkan dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan agar pengelolaan Waduk Cirata dapat sustainable baik secara ekologi, ekonomi, sosial, teknologi maupun kelembagaan untuk ke depannya dengan menggunakan metode Rapfish. Penelitian ini juga menganalisis kegiatan yang paling mengancam dalam pengelolaaan Waduk Cirata dilihat dari kegiatan yang terjadi di dalam pemanfaatan waduk. Collective action atau tindakan kolektif dalam kelembagaan pengelolaan waduk juga diidentifikasi untuk mengetahui persepsi dan urgensi stakeholder. Secara ringkas matriks metode analisis data, disajikan dalam Tabel 2.


(43)

25

Tabel 2 Matriks metode analisis data

No Tujuan Penelitian Sumber

Data

Parameter Metode

1 Menganalisis status

keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan Primer Sekunder

Identifikasi multidimensi

keberlanjutan meliputi:

Dimensi Ekologi;

mencerminkan baik buruknya kualitas lingkungan dan

sumberdaya waduk yang berkelanjutan atau tidak

Dimensi Ekonomi;

apakah kegiatan pemanfaatan waduk memperoleh hasil secara ekonomi dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkelanjutan

Dimensi Sosial;

bagaimana sistem sosial yang sudah ada dapat mendukung

keberlanjutan

pembangungan waduk

Dimensi Teknologi;

teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan waduk

Dimensi Kelembagaaan;

pengaturan kegiatan pemanfaatan waduk yang berdampak pada lingkungan waduk

Wawancara

langsung dengan key

person / leading actor dalam pengelolaan Waduk Cirata serta analisis status keberlanjutan menggunakan

analisis multidimensi

(Rapfish) dengan kuesioner yang atributnya telah disesuaikan dengan kondisi lapang

2 Menganalisis kegiatan

yang paling mengancam bagi keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata Primer Sekunder Potensi hambatan kelembagaan dilihat dari kegiatan-kegiatan yang paling mengancam keberlanjutan waduk

Wawancara

langsung dengan key

person dan petani ikan sebagai pemanfaat waduk dan menggunakan analisis deskriptif

3 Menganalisis

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tindakan kolektif (collective action) Primer Sekunder Identifikasi tindakan

kolektif (collective action)

meliputi;

Persepsi stakeholders

tentang sustainability

Waduk Cirata

Ekspektasi tentang

keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata

 Tingkat urgensi tentang

sustainability Waduk Cirata

Kuesioner tentang persepsi yang disusun berdasarkan analisis persepsi

stakeholder dan petani ikan KJA terhadap keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata


(44)

26

4.4.1 Menganalisis Status Keberlanjutan Pengelolaan Waduk Cirata dalam Multidimensi Keberlanjutan

Analisis multidimensi digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan pengelolaan waduk dengan alat analisis Rapid Appraissal for Fisheries Status (Rapfish). Keberlanjutan pengelolaan waduk dikaji melalui dimensi-dimensi yang telah ditetapkan, meliputi dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi dan kelembagaan. Dimensi-dimensi tersebut dibagi ke dalam atribut-atribut yang telah disusun yang disesuaikan dengan kondisi lapang dan diberikan score pada masing-masing atribut. Selanjutnya, responden akan memilih bobot yang telah diberikan dalam setiap atribut. Atribut yang ada diperoleh dari penelitian sebelumnya serta hasil observasi lapang yang sesuai dengan lingkungan lokasi penelitian. Tabel 3 menyajikan matriks analisis keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan.

Tabel 3 Matriks analisis keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata dalam multidimensi keberlanjutan

No Dimensi Parameter/Atribut Keterangan

1 Dimensi Ekologi 1. Kualitas air

2. Jumlah limbah KJA

3. Frekuensi upwelling

4. Tingkat sedimentasi

5. Daya tampung KJA

Hasil observasi lapang (2015) Hasil observasi lapang (2015)

Widiyati (2011) Hasil observasi lapang (2015) Hasil observasi lapang (2015)

2 Dimensi Ekonomi 1. Keuntungan

2. Penyerapan tenaga kerja

3. Upah rata-rata pekerja

dibandingkan dengan UMK

4. Alternatif pekerjaan dan

pendapatan

5. Kepemilikan (penerima

keuntungan dari kepemilikan)

6. Tujuan pemasaran

7. Subsidi

Rapfish

Nababan et al (2008)

Modifikasi Rapfish

Rapfish Rapfish Rapfish Rapfish

3 Dimensi Sosial 1. Pengelolaan usaha perikanan

KJA

2. Jumlah Rumah Tangga

Perikanan (RTP) KJA

3. Pengetahuan tentang

lingkungan hidup

Rapfish

Modifikasi Rapfish


(45)

27

Tabel 3 (lanjutan)

No Dimensi Parameter/Atribut Keterangan

3

4

Dimensi Sosial

Dimensi Teknologi

4. Tingkat pendidikan

5. Status konflik

6. Keterlibatan petani

ikan dalam pengambilan keputusan

7. Keterlibatan anggota keluarga

1. Penanganan ikan sebelum dijual 2. Teknologi KJA 3. Jenis ikan 4. Ketersediaan alat

pendukung KJA

Rapfish Rapfish Rapfish Rapfish Rapfish

Hasil observasi lapang (2015) Widiyati (2011) Widiyati (2011)

5 Dimensi Kelembagaan 1. Alternatif

2. Proses pengambilan

keputusan

3. Penegakkan hukum

tentang jumlah KJA

4. Koperasi perikanan

5. Jumlah KJA ilegal

Rapfish Rapfish

Widiyati (2011) HHasil observasi lapang (2015) HHasil observasi lapang (2015)

Rapfish adalah alat analisis yang digunakan untuk menganalisis status keberlanjutan atau mengevaluasi sustainability pada sektor perikanan yang pada dasarnya menggunakan teknik ordinasi dengan Multi-Dimensional Scalling

(MDS). Keberlanjutan sumberdaya perikanan suatu wilayah dapat dilihat dari lima dimensi keberlanjutan yaitu, dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan.

Setiap dimensi yang dikaji dari metode ini disusun berdasarkan atribut-atribut yang telah ditentukan dan memiliki nilai atau score masing-masing yang dapat ditentukan berdasarkan kondisi di lapang, wawancara dengan stakeholder

terkait, maupun data sekunder. Skor dan atribut setiap dimensi yang digunakan sebagai indikator keberlanjutan disajikan pada Lampiran 2.

MDS dilakukan untuk menentukan posisi relatif dari perikanan terhadap ordinasi good (100)and bad (0), selanjutnya dilakukan analisis Monte Carlo dan

Leverage untuk menentukan aspek ketidakpastian dan anomali dari atribut yang dianalisis. Data hasil survei yang diperoleh diolah menggunakan algoritma


(46)

28

ALSCAL. Analisis MDS metrik dirumuskan sebagai berikut (Fauzi dan Anna, 2005):

1. Pertama, menghitung jarak terdekat jarak (D) dengan rumus Euclidian :

d = ...(1)

2. Kedua, menghitung nilai stress. Iterasi berhenti jika nilai lebih kecil dari 0.25, rumus dari S-Stress :

S= ...(2)

Perhitungan jarak dan nilai S-Stress tersebut diatas menggunakan software Rapfish (Nababan et al, 2008). Pembagian selang status indeks keberlanjutan menurut Susilo (2003) dalam Nababan et al (2008) disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Selang indeks keberlanjutan

No Selang Indeks Keberlanjutan Status Keberlanjutan

1 0-25 Buruk

2 26-50 Kurang

3 51-75 Cukup

4 75-100 Baik

Sumber : Susilo (2003) dalam Nababan et al (2008)

4.4.2 Menganalisis Kegiatan yang Paling Mengancam Keberlanjutan Waduk Cirata berdasarkan Kegiatan Pemanfaatan Waduk

Waduk Cirata yang termasuk ke dalam waduk multi purpose atau memiliki banyak fungsi di dalamnya. Kegiatan pemanfaatan Waduk Cirata antara lain kegiatan perikanan baik budidaya maupun tangkap, serta pariwisata dan transportasi. Sedangkan parameter untuk mengukur tingkat kegiatan yang paling mengancam keberadaan waduk yaitu tingkat sedimentasi, limbah organik dan jumlah sampah. Kegiatan yang paling mengancam diidentifikasi berdasarkan jawaban para stakeholder dengan memberikan penilaian dan diskoring berdasarkan parameter pada Tabel 5 dengan skala 1 sampai 3, skor 3 = tinggi banyak, skor 2 = sedang, dan skor 1 = rendah (Septian, 2010). Tabel 5 menyajikan matriks analisis kegiatan yang paling mengancam keberlanjutan Waduk Cirata berdasarkan kegiatan pemanfaatan waduk.


(47)

29

Tabel 5 Matriks analisis kegiatan yang paling mengancam keberlanjutan Waduk Cirata berdasarkan kegiatan pemanfaatan waduk

No Kegiatan Parameter

1 Budidaya perikanan KJA 1. Tingkat sedimentasi; proses pengendapan

pada cekungan 2. Limbah organik 3. Jumlah sampah

2 Pertanian 1. Tingkat sedimentasi; proses pengendapan

pada cekungan 2. Limbah organik 3. Jumlah sampah

3 Perikanan tangkap 1. Tingkat sedimentasi; proses pengendapan

pada cekungan 2. Limbah organik 3. Jumlah sampah

4 Pariwisata 1. Tingkat sedimentasi; proses pengendapan

pada cekungan 2. Limbah organik 3. Jumlah sampah

5 Aktivitas domestik masyarakat 1. Tingkat sedimentasi; proses pengendapan

pada cekungan 2. Limbah organik 3. Jumlah sampah Sumber: Hasil analisis data (2015)

Pada analisis ini responden dalam proses wawancara diminta untuk memberi skor pada variabel-variabel yang telah disediakan berdasarkan parameter-parameter dalam kegiatan pemanfaatan waduk. Parameter yang telah disediakan dirangking dimulai dari kegiatan yang paling mengancam sampai yang tidak begitu mengancam keberlanjutan Waduk Cirata. Skor tersebut berdasarkan persepsi masing-masing responden mengenai dampak dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pemanfaatan waduk tersebut.

4.4.3 Mengidentifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Adanya Tindakan Kolektif (collective action)

Tindakan kolektif (collective action) sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang biasanya terjadi dalam kelompok. Dimana keberhasilan suatu tindakan bersama tergantung pada beberapa indikator yang diantaranya adalah ukuran dari kelompok dan tujuan kelompok tersebut serta keragaman dari anggota kelompok tersebut. Adanya visi yang sama juga dapat menentukan keberhasilan dari tindakan kelompok tersebut (Yustika, 2008).


(48)

30

4.4.3.1Analisis Persepsi Stakeholder tentang Sustainability Waduk Cirata Potensi kegiatan yang terdapat di Waduk Cirata cukup banyak, seperti PLTA Jawa-Bali, perikanan budidaya KJA, perikanan tangkap, pemasaran dan pengolahan ikan, pariwisata dan komunikasi, serta pelayaran dan pelabuhan. Setaip kegiatan akan menimbulkan dampak bagi waduk, baik dampak baik maupun dampak buruk. Oleh karena itu, perlu dianalisis bagaimana persepsi keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata yang dinilai oleh para stakeholder yang terlibat di dalamnya. Sustainability Waduk Cirata dapat dinilai baik melalui kondisi waduk maupun pengelolaannya saat ini. Parameter tentang kondisi waduk saat ini dibagi menjadi tiga, yaitu tidak bekelanjutan, kurang berkelanjutan dan berkelanjutan. Sedangkan, pengelolaan waduk saat ini menggunakan parameter tidak sesuai, kurang sesuai dan sesuai dengan prinsip-prinsip keberlanjutan suatu sumberdaya, terutama sumberdaya waduk. Tabel 6 menyajikan matriks analisis persepsi stakeholder tentang sustainability Waduk Cirata.

Tabel 6 Matriks analisis persepsi stakeholder tentang sustainalibity Waduk Cirata

No Variabel Sub-variabel Stakeholder Parameter

1 Persepsi

stakeholders

tentang

sustainability

Waduk Cirata

 Kondisi

waduk saat ini

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cianjur

Unit Pelaksana

Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC)

Berkelanjutan; apabila kondisi waduk saat ini mencerminkan kondisi yang baik dimana tingkat sedimentasinya rendah dan jumlah KJA yang ada tidak melampaui batas yang

seharusnya

Kurang berkelanjutan;

apabila kondisi waduk saat ini mencerminkan kondisi yang cukup buruk dimana tingkat sedimentasinya tinggi dan jumlah KJA yang ada telah melampaui batas yang seharusnya namun sudah ada tindakan untuk mengatasinya, namun hasilnya belum optimal

Tidak berkelanjutan; apabila kondisi waduk saat ini


(49)

31

Tabel 6 (lanjutan)

No. 2 Variabel Persepsi stakeholders tentang sustainability Waduk Cirata Sub-variabel  Pengelolaan waduk saat ini Stakeholder Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Cianjur

Dinas Kelautan

dan Perikanan Provinsi Jawa Barat

Dinas Kelautan

dan Perikanan Kabupaten Cianjur

Unit Pelaksana

Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Badan Pengelola Waduk Cirata (BPWC) Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Cianjur Parameter

mencerminkan kondisi yang buruk

dimana tingkat sedimentasinya

tinggi dan jumlah KJA yang ada

sudah melampaui batas yang

seharusnya, namun tidak ada

tindakan untuk mengatasinya dan belum ada solusi untuk hal tersebut

Sesuai; apabila pengelolaan Waduk

Cirata saat ini telah sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya yang seharusnya dilakukan

Kurang sesuai; apabila

pengelolaan Waduk Cirata saat ini

belum sesuai dengan

prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya yang seharusnya dilakukan

Tidak sesuai; apabila pengelolaan Waduk Cirata saat ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya yang seharusnya dilakukan


(50)

32

4.4.3.2Ekspektasi dan Tingkat Urgensi Aktor terhadap Keberadaan dan Keberlanjutan Waduk Cirata sebagai Mata Pencaharian Masyarakat Setelah ditentukan persepsi mengenai kondisi dan pengelolaan Waduk Cirata saat ini berdasarkan pandangan dari stakeholder terkait dan pemanfaat yang sama-sama memiliki kepentingan yang berbeda-beda di dalamnya. Selanjutnya perlu dianalisis ekspektasi atau harapan dan tingkat urgensi keberadaan dan keberlanjutan pengelolaan Waduk Cirata sebagai mata pencaharian masyarakat sekitar. Tabel 7 menyajikan matriks ekspektasi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata sebagai mata pencaharian masyarakat.

Tabel 7 Matriks ekspektasi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata sebagai mata pencaharian masyarakat

Variabel Aktor Parameter

Ekspektasi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata

sebagai mata pencaharian

masyarakat sekitar

Petani ikan Ekspektasi aktor terhadap

keberlanjutan Waduk Cirata

sebagai mata pencaharian

indikatornya adalah:

Tinggi; apabila banyak

masyarakat yang memiliki

ketergantungan terhadap waduk

sebagai sumber mata

pencaharian

Sedang; apabila tidak banyak

masyarakat yang memiliki

ketergantungan terhadap waduk

sebagai sumber mata

pencaharian

Rendah; apabila tidak ada

masyarakat yang memiliki

ketergantungan terhadap

waduk sebagai sumber mata pencaharian.

Sumber: Hasil analisis data (2015)

Selain ingin mengetahui ekspektasi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata, perlu diketahui juga bagaimana tingkat urgensi atau kepentingan dari aktor, yaitu petani ikan terhadap keberadaan dan keberlanjutan Waduk Cirata. Tingkat urgensi aktor terhadap keberadaan Waduk Cirata dinilai melalui tiga parameter, yaitu sangat penting, kurang penting dan tidak penting. Hal ini dinilai dari bagaimana tingkat ketergantungan petani ikan terhadap keberadaan Waduk Cirata. Sedangkan, tingkat urgensi keberlanjutan dinilai melalui tiga parameter


(51)

33

yaitu, berkelanjutan, kurang berkelanjutan dan tidak berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada apakah aktor tersebut melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan kualitas waduk agar keberlanjutannya terjaga. Tabel 8 menyajikan matriks tingkat urgensi aktor terhadap keberadaan dan keberlanjutan Waduk Cirata.

Tabel 8 Matriks tingkat urgensi aktor terhadap keberadaan dan keberlanjutan Waduk Cirata

No Variabel Aktor Parameter

1 Tingkat urgensi aktor terhadap

keberadaan Waduk Cirata

Petani ikan Tingkat urgensi aktor terhadap

keberadaan Waduk Cirata indikatornya adalah: Sangat penting; apabila aktor

memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan waduk

Kurang penting; apabila aktor memiliki ketergantungan yang rendah terhadap waduk Tidak penting; apabila aktor tidak memiliki ketergantungan terhadap waduk

2 Tingkat urgensi aktor terhadap

keberlanjutan Waduk Cirata

Stakeholder Tingkat urgensi aktor terhadap keberlanjutan Waduk Cirata indikatornya adalah: Sangat penting; seharusnya aktor melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas waduk agar keberlanjutannya tetap terjaga

Kurang penting; apabila aktor kurang melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas waduk agar

keberlanjutannya tetap terjaga Tidak penting; apabila aktor tidak melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas waduk agar keberlanjutannya tetap terjaga


(52)

(53)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Waduk Cirata

Waduk Cirata terletak diantara tiga wilayah administrasi yaitu, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur. Waduk Cirata merupakan salah satu waduk yang berada di Jawa Barat. Waduk Cirata merupakan sumberdaya buatan manusia yang dibendung dari aliran Sungai Citarum. Selain Waduk Cirata, terdapat dua waduk lain yang memanfaatkan aliran Sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur dan Waduk Saguling. Ketiga waduk ini merupakan tipe waduk kaskade yang terdapat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum. Waduk Jatiluhur adalah waduk yang tertua, disusul dengan dibangunnya Waduk Saguling lalu yang terakhir adalah Waduk Cirata. Pembangunan Waduk Saguling diharapkan menjadi filter dari limbah dari hulu sungai yang alirannya masuk ke Waduk Jatiluhur. Tujuan utama dibangunnya ketiga waduk ini ialah untuk PLTA, bahan baku air minum dan industri namun seiring berkembangnya kebutuhan masyarakat sekitar maka timbul pemanfaatan waduk yang lainnya seperti perikanan dan pertanian yang berdampak pada menurunnya kualitas air Sungai Citarum. Oleh karena itu , dibangunlah Waduk Cirata yang terletak di tengah-tengah DAS Citarum yang diharapkan menjadi filter kedua bagi perairan Jatiluhur. Letak ketiga waduk dapat dilihat pada Gambar 6.

Waduk Cirata memiliki luas areal 7.112 Ha, dengan luas genangan 6.200 Ha. Keunikan yang dimiliki oleh Waduk Cirata ialah letaknya yang melintasi tiga kabupaten yang berbeda dengan Waduk Jatiluhur dan Saguling. Secara administratif, Waduk Cirata termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur. Area paling luas yang digenangi adalah Kabupaten Cianjur dengan proporsi 60% dari keseluruhan Waduk Cirata. Setiap waduk memiliki pengelola masing-masing, Waduk Jatiluhur dikelola oleh Perum Jasa Tirta II, Waduk Saguling dikelola oleh PT Indonesia Power dan Waduk Cirata dikelola oleh PT Pembangkit Jawa Bali. PT Pembangkit Jawa Bali memiliki anak perusahaan yang bernama Badan Pengelola Waduk


(54)

36

Cirata (BPWC) yang berfungsi untuk mengelola, memelihara aset serta memelihara kelestarian fungsi waduk.

Gambar 6. Waduk Cirata, Saguling dan Jatiluhur Keterangan:

: Waduk Cirata : Waduk Saguling : Waduk Jatiluhur

Bendungan Cirata terletak di jalan Raya Cirata, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat. PT Pembangkit Jawa Bali (PT PJB) mengoperasikan PLTA Cirata menggunakan energi air dari Waduk Cirata yang bersumber dari aliran Sungai Citarum. Perencanaan pembuatan Waduk Cirata dimulai pada tahun 1982-1984 kemudian pembangunannya yang dilaksanakan pada 1984-1988 dinamakan proyek PLTA Cirata I. Penggenangan waduk mulai dilakukan pada September 1997 dengan menggenangi 32 desa dan 7 kecamatan di 3 wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur dengan jumlah penduduk 6.335 KK. Pada tahap pembangunan pertama ini, PLTA Cirata memiliki 4 unit pembangkit dan menghasilkan 126 MW pada setiap pembangkit. Pembangunan Waduk Cirata dilanjutkan dengan proyek PLTA Cirata II yang dilakukan pada tahun 1994-1997. PLTA Cirata memiliki 4 pembangkit tambahan yang masing-masing menghasilkan 126 MW. Sekarang Total daya terpasang sebesar 1008 MW dengan 8 unit pembangkit dan


(55)

37

memproduksi energi listrik rata-rata 1428 GWh/tahun. PLTA Cirata memiliki beberapa bangunan utama yaitu bendungan, bangunan pengambil air, pusat pengendali, saluran tekan, tangki pendatar air, pipa pesat dan gedung pusat pembangkit. Lokasi pembangkit yang memiliki pola operasi 5 jam/hari ini berada di Kelurahan Citamiang, Kecamatan Maniis, Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Tipe PLTA di Waduk Cirata yaitu PLTA dengan reservoir dengan lokasi power house di dalam tanah. Tipe bendungannya merupakan urugan batu dengan inti kedap air dengan luas genangan 62 km dan tinggi bendungan 125 m. Sungai utama yang mengairi Waduk Cirata yaitu sungai Citarum serta beberapa anak sungai lainnya seperti sungai Cicendo, Cimeta, Cisokan, Cibiuk, Cibalagung, Ciangsana, Cikundul dan Cigede.

5.1.1 Kabupaten Bandung Barat

Luas wilayah Kabupaten Bandung Barat yaitu 1.305,77 km², terletak antara

60º 41’ s/d 70º 19’ Lintang Selatan dan 107º 22’ s/d 108º 05’ Bujur Timur dengan

rata-rata ketinggian 110 m dan maksimum 2.2429 m dari permukaan laut. Kemiringan wilayah yang bervariasi antara 0 – 8%, 8 – 15% hingga diatas 45%, dengan batas wilayah meliputi sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah utara: berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang, sebelah timur: berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi, sebelah selatan: berbatasan dengan selatan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Cianjur. Pada tahun 2012 jumlah penduduk Kabupaten Bandung Barat mencapai 1.572.806 orang yang terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 802.607 orang sedangkan perempuan 770.199 orang dengan rasio jenis kelaminnya mencapai 1,04. Rata-rata kepadatan penduduk per kilometer persegi mencapai 1.250 jiwa (BPS, 2013).

Wilayah Bandung Barat masuk ke dalam zona I dalam pembagian lokasi pembudidayaan ikan dengan KJA di Waduk Cirata yaitu terletak di Kecamatan Cipendeuy, meliputi desa Bojong Mekar, Margalaksana, Margaluyu, Nanggeleng, dan Nyenang. Selain terdapat Waduk Cirata, di Kabupaten Bandung Barat juga terdapat waduk lain yaitu Waduk Saguling. Kedua waduk tersebut merupakan pemasok ikan utama bagi wilayah Kabupaten Bandung Barat. Jumlah produksi


(1)

Lampiran 7. Rapscore pada dimensi ekonomi

Attributes > Red Sea Fisheries V

A bbr ev iat ion E C O N O M IC K eunt ung an Penyer apa n TK U pah r at a-ra ta p eke rj a A lt er na ti f pek er jaa n dan pe n dapa tan K epe m il ika n Tujua n pe m as ar an Subsi d i

WADUK CIRATA 0.5 2 0.1

2.97 0.37 1.0 0

Reference fisheries:

GOOD 1 0 2 2 0 0 2 1

BAD 2 4 0 0 3 2 1 0

UP 3 0 2 2 0 2 1 0

DOWN 4 4 0 0 3 0 2 1

Anchor Fisheries: 1 0 2 2 0 0 2 0

2 0 2 2 0 0 1 0

3 0 2 2 3 2 1 0

4 0 2 0 3 2 1 0

5 0 0 0 3 2 1 0

6 4 0 0 3 2 1 0

7 4 0 0 3 2 1 1

8 4 0 0 3 2 2 1

9 4 0 0 0 0 2 1

10 4 0 2 0 0 2 1


(2)

Lampiran 8. Rapscore pada dimensi sosial

Attributes > Red Sea Fisheries V

A bbr ev iat ion SOCIA L Pengel ol aan u sa ha per ikana n K JA Jum lah RT P Penget ahua n t ent ang li ng kunga n Tingka t pe ndi d ika n Sta tus kon fl ik penga m bi la n keput u sa n K et er li bat an a nggo ta kel ua rga WADUK CIRATA

0.03 3 0.4 0.4 0 0 0.4

Reference fisheries:

GOOD 1 2 0 2 2 2 2 4

BAD 2 0 3 0 0 0 0 0

UP 3 2 0 2 2 0 0 0

DOWN 4 0 3 0 0 2 2 4

Anchor Fisheries: 1 2 0 2 2 2 2 0

2 2 0 2 2 2 0 0

3 2 0 2 0 0 0 0

4 2 0 0 0 0 0 0

5 2 3 0 0 0 0 0

6 0 3 0 0 0 0 0

7 0 3 0 0 0 0 4

8 0 3 0 0 0 2 4

9 0 3 0 2 2 2 4

10 0 3 2 2 2 2 4


(3)

Lampiran 10. Rapscore pada dimensi teknologi

Attributes > Red Sea Fisheries V

T E C H N O L O G ICA L Penanga nan ikan se be lum di jua l Teknol o gi K JA Je ni s i k an K et er se d iaa n al at pendukun g di K JA

WADUK CIRATA 2 2

0.03 0.067

Reference fisheries:

GOOD 0 3 1 3

BAD 2 0 0 0

UP 0 3 0 0

DOWN 2 0 1 3

Anchor Fisheries: 0 3 1 0

0 0 0 0

2 0 0 3

2 3 1 3

Lampiran 11. Rapscore pada dimensi kelembagaan

Attributes > Red Sea Fisheries V

A bbr ev iat ion E T H ICA L A lt er na ti f Pros es pe ng am bi lan keput u sa n Penega k kan hu ku m K JA K oper asi p er ikan an Jum lah KJA i lega l WADUK CIRATA

0 0 1 0 2

Reference fisheries:

GOOD 1 2 4 4 2 0

BAD 2 0 0 0 0 2

UP 3 2 4 4 0 2

DOWN 4 0 0 0 2 0

Anchor Fisheries: 1 2 4 4 2 2

2 2 4 0 0 2

3 2 0 0 0 2

4 0 0 0 0 2

5 0 0 0 0 0

6 0 0 4 2 0


(4)

Lampiran 12. Dokumentasi Penelitian Kondisi sekitar Waduk Cirata

KJA di Waduk Cirata

Wawancara dengan responden


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 23 Oktober 1993, dari pasangan Kutut Subekti dan Enny Kristiningrum, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN Sindangsari Bogor (1999-2005), SMPN 1 Bogor (2005-2008), dan SMAN 2 Bogor (2008-2011). Pada tahun yang sama, penulis masuk sebagai salah satu mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).

Selama masa kuliah, penulis aktif pada kegiatan organisasi kemahasiswaan intra kampus. Penulis pernah menjadi staf Divisi Enterpreneurship Himpunan Profesi REESA (Resources and Environmental Economics Student Association) Institut Pertanian Bogor masa kepengurusan 2012-2013. Penulis juga aktif sebagai panitia kegiatan kemahasiswaan dan peserta pada berbagai kegiatan seminar yang terkait keilmuan penulis. Semasa kuliah, penulis juga aktif mengajar sebagai guru private jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Penulis juga merupakan penerima beasiswa Bidikmisi selama masa perkuliahan.