Balai Besar Wilayah BBWS Sungai Citarum merupakan instansi yang berada di  bawah  Kementerian  Pekerjaan  Umum.  BBWS  Sungai  Citarum  memiliki  otoritas
dalam  pengelolaan  wilayah  Sungai  Citarum  yang  menjadi  sumber  air  bagi  Waduk Cirata.  Sehingga  dalam  tata  kelola  Waduk  Cirata,  BBWS  memiliki  hubungan
koordinasi dengan pihak pengelola Waduk Cirata yaitu Badan Pengelola Waduk Cirata BPWC.  BPWC merupakan perpanjangan tangan dari PT. Pembangkitan Jawa dan
Bali  PT.  PJB  yang  merupakan  pemilik  aset  Waduk  Cirata  dan  berada  di  bawah kementerian  Badan  Usaha  Milik  Negara  BUMN.  Sehingga  BPWC  menerima
perintah  dari  PT.  PJB  dan  melakukan  pertanggung  jawaban  kepada  PT.  PJB  terkait dengan pengelolaan Waduk Cirata, khususnya dalam mengelola waduk dan lingkungan
waduk  sehingga  ketersediaan  energi  listrik  dapat  terjaga.  BPWC  merupakan  pihak pengelola yang berhubungan langsung dengan Waduk Cirata dan memegang peranan
sentral  saat  eksekusi  di  lapangan.  Dengan  demikian  BPWC  melakukan  koordinasi dengan  stakeholder  lain  yang  terkait,  diantaranya  Badan  Penanaman  Modal  dan
Perizinan  Terpadu  BPMPT,  Dinas  Perhubungan,  Badan  Pengelolaan  Lingkungan Hidup  Daerah  BPLHD,  Dinas  Perikanan  dan  Kelautan  DPK,  BP3UIH,  dan
Kelompok Masyarakat Pengawas Pokmaswas. Dinas-dinas terkait menerima perintah langsung dari Gubernur dan melakukan pertanggung jawaban terhadap Gubernur.
BP3UIH merupakan perpanjangan tangan dari DPK yang bertugas melakukan urusan  teknis  di  lapangan.  DPK  Provinsi  melakukan  koordinasi  dengan  DPK
kabupaten, mengingat keberadaan Waduk Cirata yang lintas kabupaten. DKP Provinsi, BP3UIH,  dan  DPK  kabupaten  melakukan  pembinaan  kepada  petani  ikankelompok
tani  KJA  yang  dilakukan  secara  rutin  untuk  meningkatkan  kemampuan  dan pengetahuan  petani  dalam  mengusahakan  KJA.  DPK  juga  melakukan  koordinasi
dengan  Pokmaswas,  dan  Pokmaswas  melakukan  koordinasi  dengan  petani ikankelompok  tani  KJA.  Gubernur  melakukan  koordinasi  dengan  Polda  dan  Polri,
khususnya dalam penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Gubernur memberikan perintah
kepada instansi di bawahnya yang ikut berperan dalam pengelolaan dan pemanfaatan Waduk Cirata. Selanjutnya instansi tersebut harus bertanggung jawab dan memberikan
laporan terhadap Gubernur tentang kegiatan yang telah dilakukan. Satpol PP provinsi sebagai penegak peraturan daerah melakukan koordinasi dengan satpol PP kabupaten
terkait  dengan  penindakan  ataupun  penertiban  yang  akan  dilakukan.  Jika  akan dilakukan  penindakan  kepada  pihak  yang  melakukan  pelanggaran,  satpol  PP  dapat
bekerjasama  dengan  satpol  PP  kabupaten.  Untuk  kasus  berlebihnya  KJA  di  Waduk yang telah melebihi aturan yang berlaku, satpol PP dapat melakukan penindakan atau
penertiban  terhadap  petani  KJA  melalui  komunikasi  personal.  Penindakan  atau penertiban petani KJA dapat dilakukan apabila pihak yang terlibat meminta bantuan
kepada  satpol  PP  ataupun  satpol  PP  mendapat  perintah  langsung  dari  Gubernur. Kriteria  siapa  saja  petani  KJA  yang  ditertibkanditindak  dapat  mengacu  kepada
perizinan, kriteria kepemilikan, dan hal-hal lain yang telah disepakati oleh stakeholder terkait.
IX.    ESTIMASI BIAYA DAN MANFAAT KELEMBAGAAN PENGELOLAAN WADUK CIRATA
9.1 Estimasi Biaya Transaksi Kelembagaan Pengelolaan Waduk Cirata
Kelembagaan  pengelolaan  Waduk  Cirata  merupakan  kelembagaan  yang kompleks  dan  multistakeholder  body.  Stakeholder-stakeholder  yang  terlibat
sebenarnya  memiliki  peran  masing-masing  namun  faktanya  masih  sering  terjadi overlapping  antara  stakeholder  satu  sama  lain.  Adanya  overlapping  yang
berkepanjangan  tidak  menutup  kemungkinan  akan  menimbulkan  dampak  lanjutan yang merugikan bagi semua pihak. Dengan kata lain, kelembagaan yang ada dengan
dasar hukum yang menyertainya belum dipahami oleh seluruh stakeholder yang terlibat sehingga  belum  mampu  mengatasi  permasalahan  yang  ada  di  Waduk  Cirata.
Pemahaman  masih  bersifat  parsial  oleh  para  stakeholder  sehingga  kelembagaan eksisting  tidak  dapat  berjalan  sebagaimana  mestinya.  Untuk  itu  diperlukan  redesign
kelembagaan  sebagai  langkah  untuk  membangun  collective  action  dalam  rangka mengatasi permasalahan yang ada di Waduk Cirata.
Dalam  kasus  yang  terjadi  di  Waduk  Cirata,  redesign  kelembagaan dimaksudkan  untuk  dapat  mengatasai  permasalahan  mengenai  berlebihnya  jumlah
KJA dan menciptakan keteraturan. Biaya yang diperlukan dalam upaya menciptakan keteraturan  meliputi:  1  Biaya  membuat,  mempertahankan,  atau  mengubah
rancanganstruktur organisasi, meliputi biaya personal management, mempertahankan kemungkinan  pengambilalihan  pihak  lain,  public  relation,  dan  lobbying;  2  Biaya
menjalankan organisasi yang mencakup biaya informasi, biaya pembuatan keputusan, biaya negosiasi, biaya pelaksanaan, biaya pengukuran, biaya pengawasan, dan biaya
penegakan hukum. Biaya transaksi juga terkait dengan masalah kontrakkesepakatan bersama yang berlaku. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan sebelum kontrak termasuk
dalam  biaya  ex-ante  yang  meliputi  biaya  pembuatan  draft,  negosiasi,  dan mengamankan  kesepakatan.  Sedangkan  biaya-biaya-biaya  yang  harus  dikeluarkan
setelah kontrak termasuk dalam biaya ex-post yang meliputi biaya kegagalan adaptasi ketika  transaksi  menyimpang  dari  kesepakatan,  biaya  negosiasi  jika  terjadi
penyimpangan  setelah  kontrak,  biaya  pengikatan  komitmen,  dan  biaya  untuk menjalankan kontrak tersebut Dietrich, 1996.
Sedangkan  estimasi  biaya  transaksi  dalam  penerapan  hasil  redesign
kelembagaan Waduk Cirata adalah sebagai berikut:
1. Biaya Sosialisasi
Biaya  sosialisasi  mencakup  biaya  untuk  pertemuan-pertemuan  FGD  dalam membahas  dan  mensosialisasikan  aturan  main  kepada  seluruh  stakeholder  yang
terlibat. Pertemuan-pertemuan ini dilakukan agar stakeholder memahami peran  yang dimilikinya  dan  tidak  terjadi  overlapping  dalam  menjalankan  kelembagaan  Waduk
Cirata  tersebut.  Selain  melalui  FGD,  sosialisasi  juga  dilakukan  dengan  media  cetak maupun  elektronik.  Sosialisasi  melalui  media  dimaksudkan  agar  masyarakat  luas,
khususnya masyarakat yang menjadi pemanfaat di Waduk Cirata mengetahui tentang
aturan  main  yang  berlaku.  Estimasi  perhitungan  biaya  transaksi  untuk  sosialisasi menggunakan  pendekatan  dari  anggaran  pemerintah  dan  BPWC  untuk  melakukan
pertemuankoordinasi FGD, sekaligus meliputi sosialisasi dalam media cetak maupun elektronik    mengenai  kelembagaan  Waduk  Cirata.  Hasil  penelitian  menunjukkan
bahwa biaya sosialisasi adalah sebesar Rp. 242.000.000,00 per tahun dengan rincian sebagaimana dalam Tabel 9.1 sebagai berikut.
Tabel 9.1 Biaya sosialisasi kelembagaan pengelolaan Waduk Cirata No.
Komponen Biaya Total Rptahun
1 Biaya pertemuan FGD
144.000.000,00 2
Biaya sosialisasi di media cetak 33.000.000,00
3 Biaya sosialisasi di media elektronik
65.000.000,00 Total Biaya Sosialisasi
242.000.000,00
Sumber: Komunikasi personal BPWC dan BP3UIH Provinsi Jawa Barat 2016
Biaya  untuk  FGD  meliputi  biaya  transportasi,  biaya  konsumsi,  dan  biaya operasional sewa tempat, perbanyakan materi, dan lainnya. FGD biasanya dilakukan
secara rutin dalam beberapa bulan sekali, dan tidak menutup kemungkinan dilakukan FGD  di  luar  jadwal  rutin  apabila  ada  masalah  mendesak  yang  membutuhkan
penyelesaian  segera.  Biaya  sosialisasi  media  cetak  meliputi  tarif  iklan  dalam  sekali penerbitan  di  koran,  dengan  frekuensi  tertentu  setiap  tahun.  Biaya  sosialisasi  media
elektronik adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan iklan di radio dengan frekuensi jadwal tayang tertentu setiap tahun.
2. Biaya Pemantauan dan Pengawasan
Pemantauan  dan  pengawasan  merupakan  elemen  penting  dalam  menjalankan kelembagaan  di  Waduk  Cirata.  Pemantauan  dilakukan  secara  rutin  untuk  melihat
kualitas  indikator-indikator  penting  yang  ada  di  Waduk  Cirata.  Sedangkan  untuk pengawasan,    selama  ini  masih  belum  dilakukan  secara  optimal.  Melihat  kondisi
Waduk Cirata yang ‘chaotic’ pengawasan harus lebih diperhatikan agar aturan main dapat  berjalan  dengan  baik.  Khususnya  terkait  dengan  KJA,  pengawasan  harus
dilakukan secara benar mengingat KJA di Waduk Cirata sudah overloaded dan tidak menutup  kemungkinan  akan  semakin  bertembah  jumlahnya.  Pengawasan  dilakukan
dengan  patroli  rutin  secara  berkala,  baik  oleh  pihak  DPK  Jabar,  Dinas  Perikanan Kabupaten,  BPWC,  maupun  Satpol  PP.  Estimasi  perhitungan  biaya  pemantauan
menggunakan  pendekatan  dari  frekuensi  patroli  dan  kebutuhan  armada  serta  bahan bakar  dalam  melakukan  patroli  tersebut.  Sedangkan  biaya  pengukuran  indikator
mencakup  biaya  pengukuran  kualitas  air,  biaya  pengukuran  kualitas  udara,  biaya pengukuran kualitas logam berat, dan biaya pengukuran kualitas ikan.  Hasil penelitian
menunjukkan bahwa biaya  pemantauanpengawasan kegiatan KJA di  Waduk adalah sebesar Rp. 4.580.388.000,00tahun dengan rincian sebagaimana dalam Tabel 9.2, 9.3,
dan 9.4 sebagai berikut.