Prospek Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu sebagai Alternatif Kelola Sosial oleh Pemegang Konsesi IUPHHK-HA CV Pangkar Begili, Kalimantan Barat

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang dihasilkan oleh hutan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible) dan manfaat yang dirasakan secara langsung (tangible). Manfaat intangible dapat berupajasa lingkungan (hidrologis, penyerapan karbon), pendidikan, jasa wisata alam dan lain-lain. Manfaat tangible dapat berupa kayu dan bukan kayu (hasil hutan bukan kayu) berupa sagu, rotan, madu, getah, obat-obatan dan hasil hutan bukan kayu lainnya.

Pada era sekarang ini, prospek hasil hutan kayu semakin meredup karena pencurian kayu, penurunan kualitas hutan, konversi hutan dan lain-lain. Oleh karena itu, pemanfaatan hasil hutan tangible berupa hasil hutan bukan kayu (HHBK) menjadi sangat menarik untuk dikembangkan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan HHBK menjadi menarik karena beberapa HHBK mempunyai nilai jual yang tinggi, keberadaanya melimpah di hutan, mudah dibudidayakan dan lain-lain. Di samping itu, pemanfaatan HHBK oleh pihak yang terkait belum maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu minimnya data potensi HHBK, pemanfaatan dilakukan secara tradisional, dan pasar HHBK yang tidak ada.

Pada umumnya masyarakat sekitar hutan memanfaatkan keberadaan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan dan papan) dan sebagai sumber pendapatan mereka. Masyarakat sekitar hutan biasanya memanfaatkan HHBK yang berupa sagu, rotan, getah, buah-buahan, obat-obatan dan lain-lain. Suatu perusahaan dapat memperoleh keuntungan dari masyarakat jika dilibatkan dalam pemanfaatan hasil hutan. Untuk mengetahui tingkat pemanfaatan HHBK oleh masyarakat sekitar hutan, maka diperlukan informasi berupa peranan, tingkat kepentingan, potensi dan kendala pengembangan HHBK.


(2)

1.2 Perumusan Masalah

Menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (2005), Indonesia merupakan negara dengan kebun karet terbesar di dunia, mengungguli Thailand dan Malaysia. Tabel 1 menunjukan perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor karet di Indonesia dari tahun 1997 sampai tahun 2004.

Tabel 1 Perkembangan produksi, konsumsi, ekspor, impor karet di Indonesia dari tahun 1997 - 2004

Tahun Produksi (1.000 ton)

Konsumsi (1.000 ton)

Ekspor (1.000 ton)

Impor (1.000 ton)

1997 1.553 1.558,2 1,4 6,6

1998 1.662 1.673,9 1,6 13,6

1999 1.604 1.620,5 1,5 18

2000 1.611 1.608,6 1,4 -

2001 1.607 154 1,4 -

2002 1.551 1.548,5 1,5 -

2003 1.539 1.537,5 1,5 -

2004 1.655 1.653,4 1,5 -

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal (2005)

Dari data di atas, getah karet dapat menjadi peluang usaha yang menguntungkan. Walaupun getah karet dan hasil hutan bukan kayu lainnya memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dan merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi pemanfaatannya di masyarakat belum optimal. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa masalah, seperti kendala pengetahuan, kendala pemasaran, kendala pengembangan, belum adanya data potensi yang akurat, dan kendala sarana dan prasarana jalan.

Suatu perusahaan wajar untuk menyejahterkan masyarakat yang berada di sekitar wilayah perusahaan dengan membuat program kelola sosial. Program kelola sosial yang dibuat dapat berupa pelatihan, penyuluhan, penyediaan teknologi dan lain-lain.

Oleh karena itu, aspek potensi, kendala pengembangan, peranan, dan tingkat kepentingan hasil hutan bukan kayu perlu diketahui oleh perusahaan agar dapat mewujudkan alternatif kelola sosial yang berguna untuk menyejahterakan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan.


(3)

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengukur nilai pemanfaatan HHBK oleh masyarakat.

2. Mengidentifikasi potensi pengembangan HHBK sebagai pertimbangan alternatif kelola sosial oleh perusahaan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat sebagai bahan pertimbangan CV. Pangkar Begili dalam melakukan kelola sosial pada masyarakat desa sekitar hutan dan usaha pengembangan HHBK.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hutan

Menurut undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan pengertian hutan adalah suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

2.2 Hasil Hutan Bukan Kayu

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) merupakan hasil alam yang diambil dari kawasan hutan dan bukan berupa kayu serta mencakup benda-benda nabati atau hewani yang ada di hutan. Hasil alam ini dapat berasal dari lingkungan alam, tapi bisa juga berasal dari lingkungan yang dibudidayakan manusia.

HHBK mencakup hasil alam yang sangat beragam baik dari bentuk fisik, sifat dan kegunaanya. Oleh karena itu terminologi mengenai HHBK juga beragam dan didefinisikan dalam berbagai bentuk istilah (Sofyan dan Silalahi 1998).

Menurut Sumadiwangsa dan Setyawan (2006) jenis tumbuhan penghasil HHBK yang dapat dimasukan sebagai jenis tumbuhan serbaguna dan bila diusahakan dapat memberikan aneka ragam manfaat, yaitu : 1) Sebagai penghasil khusus komoditi HHBK yang bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara (gaharu, jernang, rotan, bambu, nilam, cendana, shellak, vanili, kapol, lada, masoyi, damar, ylang-ylang, madu, sutra alam, lengkuas dan temu lawak); 2) Memberikan manfaat sosial ekonomi terutama pada peningkatan pendapatan rutin bagi masyarakat sekitar hutan (damar, getah pinus, kayu putih, sagu, kemiri, jelutung, gemor, nilam, lada, kapol, vanili, ylang-ylang, madu, sutra alam); 3) Pengembangan jenis penghasil produk HHBK dalam skala relatif besar pada area perbukitan, dataran tinggi dan lahan kritis dapat berfungsi untuk merehabilitasi lahan hutan, mencegah erosi, peningkatan kualitas lingkungan dan pengatur tata air (agathis, kemiri, pinus, meranti, kayu putih, mimba, ekaliptus, kilemo, akasia, casia); 4) Mencegah atau mengurangi perladangan berpindah dan perubahan hutan lain yang disebabkan oleh ulah masyarakat sekitar hutan dengan melibatkan


(5)

secara aktif kegiatan masyarakat setempat dalam aspek budidaya, pemanenan, dan pengolahan produk HHBK unggulan setempat (rotan, jernang, kemiri, shorea, meranti, nilam, ylang-ylang, terubuk, vanili, lada, aneka tumbuhan obat, aneka tumbuhan hias); 5) Menekan laju urbanisasi karena di lokasi pedesaan telah tersedia lapangan kerja yang memadai dan menjanjikan (kemiri, shorea, nilam, lada, vanili, tumbuhan obat, madu, sutra alam, shellak, ylang-ylang, kenanga).

2.3 Rotan

Menurut hasil penelitian Gautama (2008) diketahui bahwa teknik pemanenan rotan yang dilakukan oleh pemanen di Desa Mambue, Kabupaten Luwu Utara Sulawesi Selatan meliputi kegiatan persiapan sebelum berangkat dan memanen rotan, pencarian rotan dan proses pemanenan rotan sendiri. Biaya pemanenan rotan di Desa Mambue selama setahun sebesar Rp 1.737.000 dengan produksi rotan sebanyak 21.335 kg dengan rata-rata 1.067 kg per pemanenan atau besar biaya pemanenan rotan per kilogramnya adalah Rp 81,4. Keuntungan yang didapatkan dari hasil penjualan rotan di Desa Mambue dapat memberikan penghasilan tambahan dengan pendapatan selama setahun sebesar Rp 16.146.000 dengan rata-rata Rp 807.000 per tahun. Laju pemanenan yang begitu cepat perlu diimbangi dengan upaya pelestarian berupa pemanenan dan efisiensi pemanfaatan. Hal tersebut sangat diperlukan agar kesinambungan pasokan bahan baku terjamin. Berdasarkan hasil wawancara diketahui model pemasaran rotan di Desa Mambue seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Model pemasaran rotan di Desa Mambue dalam Gautama (2008). Menurut Baharuddin dan Taskirawati (2009) perdagangan rotan antar pulau atau dalam negeri sebagian besar dikuasai oleh produsen yaitu Kalimantan (69%), Sulawesi (23%) dan daerah lainnya (8%). Daerah yang menjadi tujuan perdagangan rotan antar pulau sebagian besar jawa (57%), Makassar (31%) dan daerah lainnya (12%).

Petani pengumpul

Pedagang pengumpul


(6)

Pada tahun 1996, pemasaran rotan antar pulau melonjak kembali hingga 58%, yakni dari total 174.759 menjadi 332.432 ton. Jumlah tersebut terbagi berdasarkan asal tujuan antar pulau, yaitu Kalimantan sebesar 29,8% dari Sulawesi (69%) dan dari daerah lainnya sebesar 1,2%. Tujuan pemasaran rotan antar pulau terbesar masih Surabaya (69%), Jakarta (6%), Sampit (16%) dan daerah lain (10%).

Rotan Indonesia sampai dengan tahun 1980 telah memberikan konstribusi terbesar dalam memenuhi kebutuhan rotan dunia, yaitu sebesar 73,8 % atau sebesar 81,26 ribu ton dari total 111,2 ribu ton perdagangan rotan dunia. Negara tujuan utama perdagangan rotan adalah Hongkong, Singapura, Taiwan dan Negara maju lainnya.

Menurut hasil penelitian Sumarlina (2002), sekarang ini Indonesia merupakan salah satu produsen rotan utama di dunia dan menguasai lebih dari 80% hasil rotan di dunia. Nilai ekonomis dari rotan sangat tinggi dan permintaan dari konsumen baik dari dalam negeri maupun luar negeri sangat besar. Ekspor rotan Indonesia menurut negara tujuan meningkat setelah krisis tahun 1998. Negara tujuan ekspor ditempati urutan negara Jepang, Amerika, dan Belanda. Masih banyak negara tujuan ekspor furnitur rotan dari Indonesia, seperti Cina, Korea, Malaysia, Singapura bahkan mencakup negara-negara dari timur tengah dan juga mencakup benua Afrika. Masih banyaknya negara-negara lain tersebut dapat membuka peluang bagi pemasaran rotan dari Indonesia untuk meningkatkan ekspor rotan ke luar negeri. Pengembangan potensi rotan harus dapat terus ditingkatkan dan hal ini berhubungan dengan faktor pemasaran dan lingkungannya.

2.4 Durian

Menurut BAPPENAS (2000) durian merupakan tanaman buah berupa pohon. Durian termasuk Famili Bombaceae sebangsa pohon kapuk-kapukan. Pada umur sekitar 8 tahun, tanaman durian sudah mulai berbunga. Musim berbunga jatuh pada waktu kemarau, yakni bulan Juni-September sehingga bulan Oktober-Februari buah sudah dewasa dan siap dipetik. Panen durian diusahakan sebelum musim hujan tiba karena air hujan dapat merusak kualitas buah. Buah yang sudah masak umumnya ditandai dengan bau harum yang menyengat. Pada durian yang


(7)

sudah masak bila diketuk duri atau buahnya akan terdengar dentang udara antara isi dan kulitnya.

Peluang bisnis durian sangat bagus. Pada tahun 1983 1987, durian dikirim ke negara Taiwan, Singapura, Malaysia dan Hongkong. Pada tahun 1989, permintaan meningkat ke negara Prancis, Belanda, Brunei, Australia, Saudi Arabia dan Jepang. Pada tahun 1999 di Jepang, harga durian dapat mencapai 10.000 yen (Rp 700.000). Peluang pasar di Indonesia juga sangat bagus, harga durian berkualitas baik dapat mencapai Rp 30.000/kg. Sedangkan untuk buah durian dengan kualitas sedang adalah Rp 15.000/buah. Selama ini perdagangan durian lebih dikuasai oleh negara Thailand, hal ini disebabkan oleh mutu buah yang bagus. Indonesia dapat melakukan hal yang sama apabila mutu ditingkatkan. Bahkan Indonesia memiliki varietas yang beragam dan berbuah sepanjang tahun. Dengan penanganan yang profesional dan dibantu oleh kemudahan-kemudahan dari pemerintah, durian Indonesia mampu menguasai pasar dunia.

2.5 Kayu Bakar

Menurut hasil penelitian Dwiprabowo et al. (2010) konsumsi kayu energi dipengaruhi oleh harganya, harga barang lain (barang substitusi), dan pendapatan rumah tangga. Selain beberapa faktor tersebut juga diuji peubah lain, yaitu umur, pendidikan, pekerjaan, luas kepemilikan lahan, jumlah anggota rumah tangga dan lokasi.

Pada pemasaran kayu bakar di Kab. Lebak, Kab. Sukabumi dan Kab. Banjarnegara ada 3 – 4 lembaga yang terlibat. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam rantai tataniaga yang terbentuk diantaranya adalah pencari kayu bakar (produsen kayu bakar), pedagang pengepul, pabrik, pedagang pengecer, dan konsumen akhir (rumah tangga dan industri). Untuk industri (terutama industri rumah yang berproduksi kontinyu) biasanya kayu bakar yang digunakan adalah kayu-kayu limbah penggergajian kayu. Gambar 2 adalah rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak.


(8)

Gambar 2 Rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak.

Pada Gambar 2, saluran ke satu, ke dua, dan ke tiga, yang terbesar adalah saluran yang ke satu, dengan perbandingan 65 : 20 : 15. Perbandingan ini merupakan rasio jumlah pemanfaat kayu bakar di Kabupaten Lebak. Hal ini berarti saluran ke satu adalah saluran yang terbanyak dilakukan masyarakat pedesaan pengguna kayu bakar dalam memperoleh kayu bakar yang akan dikonsumsinya. Saluran tataniaga ke empat adalah saluran untuk kayu bakar yang kayunya dikonsumsi oleh pabrik pembakaran batu bata dan genting (konsumen akhir).

2.6 Bambu

Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) kerajinan bambu adalah peluang bisnis yang menguntungkan. Perkembangan zaman belum tentu selalu meninggalkan produk hasil perkembangan tempo dulu. Kerajinan bambu salah satunya. Walaupun bisnis kerajinan bambu ini masih berjalan sampai sekarang, namun perkembangannya tidak pesat. Perkembangan kerajinan bambu ini hanya konstan saja. Tetapi pada akhirnya peluang bisnis ini diambil karena prospek kedepannya akan lebih baik. Terlebih lagi bisnis membuat kerajinan bambu ini adalah bisnis yang ramah lingkungan. Kerajinan bambu ini dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tambir untuk membersihkan beras dan

1. Produsen juga konsumen kayu bakar

2. Produsen dan pedagang pengecer

kayu bakar

3. Produsen kayu bakar

4. Produsen kayu bakar

Pedagang pengepul

Pedagang pengecer

Pedagang pengepul Konsumen


(9)

gorong-gorong untuk tempat sampah atau tempat baju kotor ataupun kerei sebagai hiasan.

Menurut hasil penelitian Indriyani (2011) untuk membuat kerajinan bambu ini terkadang harus membeli bambu yang sesuai. Dalam pembuatan tambir, untuk satu batang bambu dengan panjang sekitar 4 m yang dibeli dengan harga Rp 7.500 dapat diproduksi lebih kurang 30 tambir. Pembuatan 30 tambir tersebut dapat diselesaikan selama 2 hari oleh dua orang pekerja. Jika harga jual satu buah tambir Rp 2.700 dan biaya produksi diperkirakan Rp 1.000 per tambir, pendapatan perajin per tambir sebesar Rp 1.700. Dalam waktu satu bulan perajin bambu bisa memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut sebesar Rp 765.000. Bila home industry ini mempekerjakan lebih dari 2 orang tenaga kerja, dapat diperkirakan bahwa usaha ini mampu menghidupi seluruh anggota keluarga.

2.7 Damar

Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) pemasaran getah damar mata kucing di Desa Pahmungan tergolong masih sederhana. Umumnya petani penyadap maupun pemilik repong damar menjual getah yang masih berupa asalan kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Repong damar adalah kebun yang didominasi oleh tanaman damar, sedangkan tegakan tanaman lainnya merupakan selingan. Hanya sebagian kecil petani penyadap yang menjual getah langsung kepada pedagang pengumpul di pasar kecamatan.

Pelaku pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan terdiri dari penghadang, pengumpul tingkat desa, pengumpul di pasar Krui, pengumpul di luar pasar Krui dan eksportir. Gambar 3 adalah pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan.


(10)

Gambar 3 Alur pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan.

Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) damar hasil pemungutan merupakan damar asalan berupa campuran butiran dari ukuran besar sampai kecil, bahkan sampai berupa serbuk yang tercampur dengan kotoran berupa abu dan potongan kulit kayu. Damar asalan masih harus dibersihkan dari kotoran dan dipilah kualitasnya berdasarkan besar butir dan warnanya. Proses pemilahan getah damar dikenal dengan istilah penyortiran. Melalui proses tersebut dihasilkan getah berkelas dengan ciri-ciri sebagai berikut:

Kelas A = sebesar telur ayam dan berwarna putih Kelas B = sebesar ibu jari dan berwarna putih

Kelas C = sebesar ujung jari kelingking dan berwarna putih Kelas D = sebesar biji jagung dan berwarna putih

Kelas E = sebesar butir beras dan berwarna putih

Kelas KK = seukuran dengan kelas A, B, C namun warnanya hitam

Kelas abu = seukuran kelas D dan E namun berwarna hitam atau ukurannya lebih kecil dari kelas E

Kayu = serpihan kulit kayu damar yang tercampur dengan getah saat penyadapan

Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001) penyortiran tiap kilogram getah asalan biasanya menghasilkan getah kelas A, B, C sekitar 60 % , kelas D dan E 6 %, kelas KK 10 %, abu 16 % dan selebihnya (8 %) merupakan kayu dan penyusutan. Damar kelas A dan B dikenal sebagai kualitas ekspor dan kelas C, D, E, KK dan debu merupakan kelas Iokal yang pemasarannya ditujukan

Petani penyadap

Pengumpul tingkat Desa

Penghadang

Pengumpul tingkat pasar Krui

Industri domestik

Pengumpul dari luar pasar Krui


(11)

untuk bahan baku industri domestik. Sedangkan, kayu dipandang sebagai bagian yang tidak berguna sehingga tidak dipasarkan (dibuang).

Rata-rata harga beli getah asalan dari petani penyadap pada saat penelitian dilaksanakan adalah Rp 2600 - 2900/kg dan harga jual pada tingkat pengumpul di pasar Krui adalah Rp 3100 - 3200/kg. Biaya angkut dan biaya-biaya lainnya rata-rata Rp 50/kg, sehingga keuntungan pedagang pengumpul tingkat desa berkisar Rp 250 - 450/kg. Penghadang memperoleh keuntungan rata-rata per kg getah asalan sekitar Rp 50-100. Harga getah kelas A, B, C rata-rata Rp 4200/kg dan rata-rata harga getah kelas lainnya Rp 2500/kg (D dan E), Rp 2000/kg (KK) dan Rp 1400/kg (abu).

Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi (2001), biasanya damar kelas A, B, C disortir kembali oleh pedagang pengumpul tingkat pasar kecamatan untuk menghasilkan getah kelas ekspor dan dijual dengan harga yang disesuaikan dengan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Hasil penyadapan getah damar mata kucing dari repong masyarakat Desa Pahmungan diperkirakan mencapai 50 - 70 ton/bulan.

2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan

Interaksi merupakan sebuah keterkaitan atau hubungan antar komponen dalam suatu sistem yang dapat bersifat saling meniadakan, saling mendukung dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Mangandar (2000) menjelaskan bahwa keterkaitan/interaksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena keberadaan hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdaya-sumberdaya yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan bangunan dan hasil-hasil hutan lainnya, yang akan memberikan nilai tambah bagi kehidupannya. Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat dari ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air, sumber energi (kayu dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan hutan), bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya.

Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya


(12)

merupakan hubungan yang sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan rumah tangga, baik sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi kehidupan sehari-hari. Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat sekitarnya. Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu. Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber pekerjaan dan pendapatan.

2.9 Nilai dan Manfaat

Bahruni (1999) menjelaskan bahwa nilai merupakan suatu persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi seorang/individu pada tempat dan waktu tertentu. Sedangkan penilaian adalah penentuan nilai manfaat dari suatu barang/jasa yang dimanfaatkan oleh individu atau masyarakat. Proses pembentukan nilai ditentukan oleh persepsi individu/masyarakat terhadap setiap komponen/komoditi tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan besarnya nilai ditentukan oleh kualitas dan kuantitas komoditi tersebut.

Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh persepsi dari suatu masyarakat pada waktu dan tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi dari setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Kegunaan, manfaat, kepuasan dan rasa senang merupakan suatu ungkapan makna dari suatu nilai sumberdaya hutan yang diperoleh dan diarasakan oleh individu/masyarakat. Ukuran nilai ini dapat dapat diespresikan melalui pengorbanan waktu, tenaga, barang/uang, yang dilakukan oleh individu/masyarakat untuk memperoleh, memiliki dan menggunakan barang/jasa tersebut.

Darusman (1992) dalam Karisma (2010) menjelaskan bahwa metode penilaian manfaat hutan maupun peranan dan keterkaitan ekonomi sumberdaya hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan nasional, pada dasarnya ada dua yaitu metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar/pendekatan terhadap kesediaan membayar (Willingness to pay/Willingness to accept)


(13)

Gregory (1979) dalam Bahruni (1999), menyatakan bahwa nilai manfaat sumberdaya hutan dapat diklasifikasikan berdasarkan perilaku pasar atas barang dan jasa yang dinilai tersebut. Klasifikasi tersebut antara lain:

1. Nilai manfaat nyata (tangible benefits), yaitu manfaat yang diperoleh dari barang atau jasa yang dapat diukur secara nyata, karena berlaku mekanisme pasar yang baik. nilai manfaat nyata/nilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh masyarakat tehadap komoditi hasil hutan,berupa flora, fauna dan komoditi lainnya. Jenis penggunaan manfaat langsung ini dikelompokan menjadi: bahan pangan, bahan bangunan, sumber energi, obat, dan produk-produk lainnya yang dapat dijual.

2. Nilai manfaat tidak nyata (intangible benefits), yaitu nilai manfaat yang tidak dapat diukur secara langsung, karena mekanisme pasar tidak berjalan. Nilai manfaat tidak nyata/nilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh individu atau masyarakat melalui suatu penggunaan secara tidak langsung terhadap sumberdaya hutan yang memberikan pengaruh ekonomi/produksi yang mendukung kehidupan manusia. Nilai sumberdaya hutan yang termasuk ke dalam kategori nilai guna tidak langsung adalah berbagai fungsi jasa hutan seperti pengendalian erosi, pencegahan banjir, dan penyerapan CO2.

Menurut hasil penelitian Karisma (2010) diketahui bahwa nilai total pemanfaatan sumberdaya hutan di Desa Malasari yang berupa kayu bakar, rumput, aren dan emas adalah sebesar Rp 157.506.000 per tahun atau sebesar Rp 3.150.000 per kepala keluarga per tahun. Sebagian besar wilayah Desa Malasari masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengendalian akses dilakukan dengan patroli rutin oleh pihak Taman Nasional. Penindakan berupa teguran hingga penahanan terhadap oknum masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya secara ilegal. Pihak Taman Nasional memiliki tanggung jawab untuk membina masyarakat atau memberdayakan masyarakat.

Menurut hasil penelitian Setyani (2010) diketahui bahwa tingkat ketergantungan responden di Desa Lampeong terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan tergolong tinggi. Sebagian besar pendapatan rumah tangga berasal dari hasil


(14)

hutan khususnya hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan, diantarannya kayu bakar, rotan, karet, gaharu, buah dan satwa liar. Besarnya rata- rata total pendapatan rumah tangga yang berasal dari hasil hutan sebesar Rp 13.424.000 atau 75,1% dan bukan hasil hutan sebesar Rp 4.464.000 atau 24,9%. Berdasarkan BPS 67% responden Desa Lampeong berada dalam keadaan miskin dan 33% berada dalam keadaan tidak miskin (sejahtera).

Menurut hasil penelitian Bahruni et al. (2002), dalam Bahruni (2008) diketahui bahwa nilai guna (use value) flora di Hutan Taman Nasional Gunung Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118/tahun/rumah tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh pemanfaatan agathis, puspa, rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna (satwa liar) oleh masyarakat adalah sebesar Rp 269.806/tahun/rumah tangga, dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil.

Rofiko (2002) dalam Bahruni (2008) melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam kawasan, di perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interkasi dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp 23.421.420/tahun/rumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al. Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh besar, ukuran contoh (responden) yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil hutan di desa-desa sekitar TN Gunung halimun tersebut.

2.10 Pemasaran

Tataniaga atau pemasaran (marketing) merupakan suatu kegiatan di dalam mengalirkan produk mulai dari petani (produsen primer) sampai ke konsumen akhir. Dalam aktivitas mengalirnya produk sampai ke tangan konsumen, banyak kegiatan produktif yang terjadi dalam upaya menciptakan dan atau menambah nilai guna (bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan) (Asmarantaka 2009).

Menurut Purcell dalam Asmarantaka (2009) tataniaga atau pemasaran produk HHBK menganalisis semua aktivitas bisnis yang terjadi dengan produk


(15)

HHBK, setelah produk tersebut dari petani produsen sampai ke tangan konsumen akhir.

Dari aspek ilmu ekonomi, tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem fungsi-fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fisik dan fasilitas. Fungsi-fungsi ini merupakan aktivitas bisnis atau kegiatan produktif dalam mengalirnya produk atau jasa kehutanan dari petani produsen sampai konsumen akhir.

Dari aspek manajemen, tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Manajemen tataniaga, merupakan suatu proses perencanaan dan pelaksanaan pemikiran, penetapan harga, promosi, serta penyaluran gagasan, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan individu dan organisasi (Asmarantaka 2009)

Strategi tataniaga dari McCarthy, dalam Kotler, dalam Asmarantaka (2009) yang dikenal dengan konsep empat P, yaitu Bauran Tataniaga (Marketing Mix)

yang terdiri dari product mix, price mix, place mix and promotion mix.

Schaffner et al. (2006) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan manajemen tataniaga, merupakan proses dari suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk dan jasa untuk memuaskan konsumen.

Pengusahaan HHBK di Indonesia dan distribusi HHBK berdasarkan sistem pemasarannya Soenardi (1990), dalam Sumadiwangsa (2006) dapat diilustrasikan dalam Gambar 4.


(16)

1, 2, 6

1, 3, 4, 5, 8, 10 1, 3, 4, 7, 8, 9 1, 7, 4

Gambar 4 Skema pemasaran HHBK di Indonesia.

Keterangan : 1. Rotan; 2. Terpentin; 3. Kopal; 4. Damar; 5. Jelutung; 6. Arang; 7. Bambu ; 8. Madu; 9. Minyak kayu putih; 10. Biji tengkawang

2.11 Ekonomi dan Finansial HHBK

Sumadiwangsa (2006) pembedaan aspek dan finansial berkaitan dengan ruang lingkup pembahasannya, di mana aspek ekonomi lebih berbicara tentang pelaksanaan dan kontribusi perdagangan HHBK terhadap perekonomian nasional (makro ekonomi), sedangkan aspek finansial lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi di tingkat pelaksana usaha HHBK terhadap tingkat keuntungan usaha tersebut (mikro ekonomi)

Kelayakan finansial usaha HHBK bertujuan untuk menentukan apakah usaha HHBK secara finansial menguntungkan atau apakah usaha tersebut mampu memenuhi kewajiban finansialnya berupa pendapatan yang layak atas modal usaha yang dikeluarkan dan sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha yang dikeluarkan dari sebagian dari keuntungan tersebut digunakan untuk pengembangan usaha lainnya di masa depan.

Hutan menghasilkan produk kayu dan produk bukan kayu atau dikenal dengan HHBK, demikian juga produk jasa lainnya. Meskipun pemerintah Indonesia dalam pengurusan hutannya lebih mementingkan produk kayu, namun perkembangan produksi beberapa HHBK pada tahun 2005-2006 telah menunjukan hasil yang signifikan sebagaimana dalam Tabel 2.

Pasar Internasional

Hutan

Produksi/Bahan Baku

Produk Jadi

Pasar Domestik Produk Setengah


(17)

Tabel 2 Ekspor HHBK tahun 2005 dan 2006

No Produk 2005 2006

Volume (kg) Nilai (US$) Volume (kg) Nilai (US$) 1 Sirlak, Getah dan Damar 5.671.000 4.667.000 6.814.000 7.692.000 2 Bahan penyamak/Gambir 16.149.000 22.670.000 15.714.000 22.235.000 3 Terpentin 5.582.000 3.142.000 8.033.000 7.376.000 4 Rosin spritus oil 514.000 374.000 464.000 253.000

5 Ter kayu 36.000 22.000 6.000 6.000

6 Barang anyaman rotan 11.527.000 25.273.000 11.271.000 25.658.000 7 Rotan setengah jadi 19.795.000 16.514.000 23.088.000 21.106.000 8 Arang tempurung kelapa 6.784.000 607.000 1.524.000 121.000 9 Arang kayu lainnya 163.064.000 23.783.000 152.587.000 27.539.000 10 Arang untuk karbon aktif 269.299.000 30.156.000 2.012.676.000 70.738.000 11 Briket arang 345.823.000 34.042.000 567.853.000 43.763.000 Sumber : Dirjen Bina Produksi Kehutanan, Dephut 2009

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa produksi HHBK berupa sirlak, getah, damar, terpentin, rotan setengah jadi, arang untuk karbon aktif, dan briket arang meningkat pada tahun 2006 dibandingkan dengan produksi HHBK tahun 2005. Hal ini menunjukan bahwa produksi HHBK mempunyai peluang untuk ditingkatkan . Selain peningkatan produksi, analisis finansial HHBK juga perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keuntungan suatu usaha HHBK. Pada Tabel 3 disajikan analisis finansial usaha HHBK di Indonesia .


(18)

Tabel 3 Analisis finansial usaha HHBK di Indonesia dalam Sumadiwangsa (2006)

No Bidang Usaha HHBK Pendapatan (Rp)

Biaya (Rp) Keuntungan (Rp)

Sumber 1. Temulawak (1 ha

selama 1 musim)

500.000 274.175 225.000 BCR = 1,824

Rukmana (1995) 2. Ganyong (1 ha) 900.000 684.000 216.000

BCR = 1,32

Suhardi, et al . (2002) 3. Garut (1 ha) 1.200.000 684.000 516.000

BCR = 1,75

Suhardi, et al. (2002) 4. Kapolaga (1 ha,

3 tahun)

3.600.000 2.000.000 1.600.000 BCR = 1,8

Santoso (1988) 5. Penyulingan

Kemedangan

947.200.000 451.220.500 495.979.500 BCR = 2,10

Yusliansyah (2004) 6. Penyulingan Gaharu

Teri

2.005.600.000 987.476.500 1.018.123.500 BCR = 2,03

Yusliansyah (2004) ) 7. Budidaya Gaharu (10

tahun, terinfeksi 60%)

305.230.628 107.508.515 197.722.112 BCR = 2,84 IRR = 34,9%

Suryanto (2004) 8. Industri Minyak

Kayu Putih di Gundih (Rp/tahun)

1.259 juta Perum Perhutani

(2001) 9. M. Kayu Putih di

Sedangmole Yogyakarta (Rp/tahun)

3.139 juta IRR = 32% BCR =

1,54

PSA UGM (2003)

10. Minyak Nilam (Rp/ha/tahun)

20-30 juta Sumadiwang

sa (2001) 11. Minyak Usar/akar

wangi (Rp/ha/tahun)

13-17 juta Sumadiwang

sa (2001) 12. Minyak sereh Wangi

(Rp/ha/tahun)

4-6 juta Sumadiwang

sa (2001) 13. Budidaya Rotan di

Jawa (Rp/ha)

812.903 325.160 487743 BCR = 2,5

Wiryodar modjo, et al.

(1986)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa potensi HHBK di Indonesia sangat baik. Hal ini dapat menjadi acuan untuk pengembangan HHBK di Indonesia. Pada Tabel 4 dapat dilihat beberapa perkembangan ekspor beberapa produk HHBK pada tahun 2000-2005.


(19)

Tabel 4 Data ekspor produk HHBK dalam beberapa tahun terakhir dalam Sumadiwangsa (2006)

Komoditi Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Rotan (ton) 94.752,0 23.860,0 17.779,0 - - -

Gondorukem (ton)

4162, 8 5685,8 4719,6 4881,6 863,4 -

Kayu putih (l) 63.465,0 - - - - -

Damar/resin (ton)

5,224,0 30,1 28,9 - - -

Terpentin (ton) 3.570,0 4.076,0 3,0 - - -

Arang 174.338,0 157.417,0 188.264,0 5178,1 12436,3 - Gambir 33256,0 8691,9 7104,7 588,05) 849,05) USD.622,5

Minyak atsiri (t) 2,7 - 33,24) - - -

Gaharu (ton) 263,3 333,281) 539,3 540,0*) 1408,8 -

Jelutung 9,7 ton2) - - - - -

Kolang-kaling 471,8 677,1 230,0 204,2 7,1 -

Kopal 6,3 juta

$US7)

7,6 juta $US7)

- - - -

Sumber : Badan Pusat Statistik (2000;2003); Pustanling(2003); 1)Harian Bisnis Jakarta (2005); 2)BPEN ekspor khusus dr Jambi; 4) Frans Hero K. Purba (2000), 3)FWI (2004); 5)ekspor Sumbar; 6) Suara Merdeka (2004); 7)Statistik DPRIN (2000)

Dari tabel di atas, potensi pasar HHBK Indonesia baik. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengembangan HHBK untuk keperluan ekspor oleh produsen di Indonesia.


(20)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011 bertempat di Dusun Nusa Bakti, Kecamatan Serawai dan Dusun Natai Bunga, Kecamatan Melawi yang merupakan Dusun di sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili, Provinsi Kalimantan Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa: alat tulis, kuisioner, kamera, dan komputer.

3.3 Objek Penelitian

Objek dari penelitian ini adalah HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga yang terletak di sekitar areal kerja CV. Pangkar Begili.

3.4 Metode Pengambilan Contoh

Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive sampling

yang merupakan metode pengambilan contoh dengan disengaja berdasarkan tujuan penelitian. Tempat penelitian yang dipilih adalah perusahaan yang belum mempunyai hasil penelitian terkait HHBK. Pengambilan contoh dilakukan terhadap responden/masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah dusun yang menjadi objek penelitian. Responden dipilih berdasarkan kelompok pemukiman atau lingkungan tempat tinggalnya. Terdapat dua dusun yang digunakan sebagai lokasi pengambilan data. Pada penelitian ini, diambil sebanyak 30 responden dari masing-masing dusun. Dasar pertimbangan penentuan jumlah responden adalah ukuran minimal contoh yang dapat diterima berdasarkan desain penelitian (minimal 30 subjek).

3.5 Metode Pengambilan data

Teknik pengambilan dan pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara dan studi pustaka. Teknik wawancara adalah salah satu teknik


(21)

pengumpulan data yang dilakukan dengan mewawancarai pihak CV. Pangkar Begili dan masyarakat sekitar hutan yang memanfaatkan HHBK. Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur dan wawancara bebas. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dan informasi yang dilakukan dengan cara mempelajari literatur, laporan, jurnal, karya ilmiah, dan hasil-hasil penelitian lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

3.6 Jenis Data yang Diperlukan

Data primer, meliputi karakteristik pemanfaat, jenis-jenis, volume pemanfaatan, frekuensi pengambilan, lokasi pemanfaatan, tata waktu pengambilan, harga pasar, tujuan pemanfaatan, proses pemanfaatan, trend produksi, biaya pemanfaatan, dan potensi usaha HHBK. Data sekunder, meliputi keadaan umum lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan, dan data lain yang diperlukan sebagai data penunjang.

3.7 Metode Penilaian Manfaat Ekonomi HHBK

Menurut Bahruni (1999), metode yang digunakan untuk mengetahui nilai manfaat HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan, yaitu metode penilaian berdasarkan harga pasar, metode penilaian berdasarkan harga barang pengganti, dan metode penilaian berdasarkan nilai korbanan atau biaya pengadaan. Berdasarkan penelitian ini, metode yang digunakan untuk mengetahui nilai manfaat HHBK yang dimanfaatkan masyarakat adalah metode berdasarkan harga pasar. Metode ini digunakan untuk melihat nilai manfaat ekonomi langsung yang diperoleh dari HHBK yang dijual di pasar setempat dengan menggunakan harga pasar.

3.8 Metode Pengolahan Data

3.8.1 Metode Perhitungan Nilai Manfaat Ekonomi HHBK

Menurut Bahruni (1999), pengolahan data yang diperoleh dilakukan dengan melakukan perhitungan dan diaplikasikan dalam bentuk tabulasi untuk mendapatkan gambaran tentang nilai manfaat ekonomi dari pemanfaatan HHBK yang berupa manfaat tangible yang dilakukan masyarakat desa sekitar hutan. A. Nilai manfaat HHBK menurut jenis dan rata-rata per responden.


(22)

1. Nilai manfaat hasil hutan menurut jenis dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Yijk = (Vkij x Hkij x Fkij) x 4 x 12 Ket :

Yijk = Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh responen k pada masyarakat dusun j (Rp/tahun/kk)

Vkij = Volume komoditi i yang dimanfaatkan oleh responen k pada masyarakat dusun j dalam satu kali pengambilan (ikat, kg)

Hkij = Harga komoditi i ditingkat pasar lokal (Rp/satuan)

Fkij = Frekuensi pengambilan komoditi i oleh responden di dusun j dalam kurun waktu satu minggu

4 = Angka pengganda (jumlah minggu dalam satu bulan) 12 = Angka pengganda (jumlah bulan dalam satu tahun)

2. Nilai manfaat rata-rata seluruh responden hasil hutan bukan kayu jenis ke i pada responden dusun j dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Yij

=

=1Y

Ket :

Yij = Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh rata-rata responden dusun j (Rp/tahun)

Yijk = Nilai manfaat suatu HHBK i yang dimanfaatkan oleh responden k (k= 1...n) masyarakat dusun j dalam satu tahun (Rp/tahun/kk)

nij = Jumlah responden pemanfaat HHBK i yang berasal dari dusun j dalam satu tahun (kk)

3. Nilai manfaat seluruh jenis hasil hutan bukan kayu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut.

Yj = =1

Y

Ket:

Yj = Nilai manfaat seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh rata-rata responden (Rp/tahun)

Yij = Nilai manfaat hasil hutan i (i=1...n) yang dimanfaatkan oleh oleh rata-rata responden di dusun j dalam periode satu tahun


(23)

B. Nilai kontribusi HHBK terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga responden di tiap-tiap dusun, dihitung dengan rumus :

NKj

=

Y

Y� � =1

n

x 100

Ket :

NKj = Nilai kontribusi HHBK terhadap pendapatan rata-rata responden di dusun

j (%)

Ykj = Nilai manfaat seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh responden ke k

pada masyarakat di dusun j (Rp/tahun)

Ytotjk = Nilai pendapatan total rumah tangga ke k (k=1...n) responden di dusun

j (Rp/tahun)

nj = Jumlah responden di dusun j (kk)

Setiap jenis HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang berasal dari hutan yang dikelola CV. Pangkar Begili, dihitung nilai riilnya dalam bentuk rupiah, kemudian dilakukan rekapitulasi nilai manfaat dari seluruh HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa sekitar hutan tersebut. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis data yang dilakukan secara deskriptif yaitu suatu analisa yang memberikan penjelasan, keterangan dan gambaran tentang objek penelitian.

3.8.2 Metode Perhitungan Nilai Laba Bersih

P = Yij– C Ket :

P = Laba bersih suatu HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam suatu dusun (Rp/th/kk)

Yij = Nilai manfaat suatu HHBK yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam suatu dusun (Rp/th/kk)

C = Biaya makan (Rp/th/kk)

3.8.3 Metode Penentuan Lembaga Pemasaran

Lembaga pemasaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah wilayah dalam tingkat Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi dan Luar Negeri.

3.9 Metode Analisis Data


(24)

Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara menjelaskan HHBK dari aspek produksi dan pemasarannya untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi dan kendala pengembangan HHBK di daerah penelitian.

A.Aspek produksi

Aspek produksi dianalisis dengan cara mengolah data mengenai lokasi pengambilan HHBK, kepemilikan lahan, biaya produksi, tenaga kerja, kecenderungan produksi dan penguasaan teknologi pengolahan HHBK. HHBK yang potensial untuk dikembangkan dari aspek ini adalah apabila terpenuhinya seluruh atau sebagian kriteria di bawah ini serta potensi produksi dan pasar nasional atau internasional baik. Di bawah ini adalah kiteria dari aspek produksi : 1. Lokasi pengambilan tersedia.

2. Kepemilikan lahan secara pribadi. 3. Biaya produksi terpenuhi.

4. Tenaga kerja minimal satu orang per kepala keluarga dan mampu melakukan proses produksi dari awal sampai akhir.

5. Kecenderungan produksi meningkat. B.Aspek pemasaran

Aspek pemasaran dianalisis dengan cara mengolah data mengenai harga, waktu penjualan dan alur pemasaran. HHBK yang potensial untuk dikembangkan dari aspek ini adalah apabila terpenuhinya seluruh atau sebagian kriteria di bawah ini serta potensi produksi dan pasar nasional atau internasional baik. Di bawah ini adalah kiteria dari aspek pemasaran :

1. HHBK mempunyai harga.

2. HHBK mempunyai alur pemasaran. 3. HHBK mempunyai waktu penjualan.

3.9.2 Metode Analisis Pertimbangan Pengembangan HHBK

Pertimbangan prioritas pengembangan HHBK didasarkan pada beberapa hal, yaitu :

A. Produksi dan pasar nasional atau internasional HHBK baik.


(25)

BAB IV

KONDISI UMUM

4.1 Letak dan Luas IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

Secara administratif pemerintah, areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dibagi menjadi dua blok, yaitu di kelompok Hutan Sungai Serawai dan Sungai Melawi yang berlokasi di Kecamatan Serawai, Kabupaten Sintang dan Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis wilayah areal kerja IUPHHK-HA ini yang terbagi dua, yaitu

1. Blok I : 112° 11’ 35” - 112° 31’ 21” bujur timur dan 0° 11’ 25” - 0° 19’ 22” lintang selatan.

2. Blok II ; 112° 21’ 54” - 112° 35’ 32” Bujur Timur dan 0° 33’ 30” Lintang Selatan.

Adapun batas - batas wilayah adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan hutan lindung 2. Sebelah timur berbatasan dengan hutan lindung

3. Sebelah selatan berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Baka 4. Sebelah barat berbatasan dengan APL dan HPT.

Keseluruhan informasi tentang batas administratif dan batas wilayah dapat dilihat pada Lampiran 15.

4.2 Tanah dan Geologi

Berdasarkan peta geologi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat skala 1: 300.000 tahun 1993, formasi geologi yang terdapat di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili adalah batuan pasir alat, tonalit sepauk, formasi payak, formasi tebidah, rombakan lereng dan batuan terobosan Sintang. Informasi lengkap mengenai formasi geologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 16.


(26)

Tabel 5 Formasi geologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

No Formasi

Luas

ha %

1 Batuan Terobosan Sintang 452,9 1,5

2 Batuan pasir Alat 7.313,20 24,2

3 Formasi Payak 3.713,90 12,3

4 Formasi Tebidah 5.616,30 18,6

5 Rombakan Lereng 1.841,80 6,1

6 Tonalit Sepauk 11.256,70 37,3

Jumlah 30.195,00 100

Sumber: Peta Geologi Indonesia Provinsi Kalimantan Barat skala 1:300.000 Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (1995)

Berdasarkan Peta Tanah Eksplorasi Kalimantan Barat skala 1: 300.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor (1994) jenis tanah di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili terdiri atas tanah jenis dystropets, hydrandepts, troparthents dan tropudults. Distribusi luas areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Distribusi tanah di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

No Formasi

Luas

ha %

1 Dystropepts 3.714 12,3

2 Hydrandepts 845 2,8

3 Troporthents 11.746 38,9

4 Tropudults 13.890 46

Jumlah 30.195 100

Sumber: Peta Tanah Pulau Kalimantan 1:1.000.000 Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (1993)

4.3Fungsi Hutan dan Kondisi Vegetasi Hutan

Berdasarkan SK Menhut No. 259/Kpts-II/2000 kawasan hutan produksi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili yang berada di Kelompok Hutan Sungai Serawai dan Sungai Melawi termasuk dalam fungsi Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi (HP). Adapun perincian fungsi hutan dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili disajikan dalam Tabel 7 dan Lampiran 17.


(27)

Tabel 7 Fungsi hutan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

No Formasi

Luas

Ha %

1 Hutan Produksi Tetap (HP) 3.135 10,4

2 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 27.060 89,6

Jumlah 30.195 100

Sumber: Peta Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Barat dan Peta Areal Kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

4.4Topografi Lapangan

Areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili sebagian besar memiliki 645 mdpl. Dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili, kondisi kelas lereng berdasarkan hasil analisis pada fisiografi lapangan yang datar sampai berbukit dan berada pada ketinggian 27 mdpl sampai dengan 645 mdpl. Adapun data mengenai topografi lapangan disajikan dalam Tabel 8 dan Lampiran 18.

Tabel 8 Topografi lapangan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

No Kelas Lereng Kelerengan (%) Luas

ha %

1 Datar (A) 0-8 0 0

2 Landai (B) Sep-15 3.200 10,6

3 Agak Curam (C) 16-25 26.995 89,4

4 curam (D) 26-40 0 0

5 Sangat curam (E) >40 0 0

Jumlah 30.195 100

Sumber: Peta RBI skala 1: 100.000

4.5Iklim

Informasi iklim di kawasan IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili diperoleh dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandar Udara Sintang. Berdasarkan data iklim tahun 2008 rata-rata curah hujan tahunan di daerah ini adalah 3.142,7 mm/tahun dengan rata-rata curah hujan tahunan 261,89 mm/bulan dan rata-rata curah hujan harian 19,83 mm/hari. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Oktober dengan curah hujan 453,9 mm/hari dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Februari dengan curah hujan 100,4 mm/hari. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmith dan Fergusson dalam RKU Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi CV. Pangkar Begili, wilayah ini


(28)

termasuk ke dalam tipe iklim A. Jumlah curah hujan dalam satu tahun di atas 3.142,7 mm.

4.6 Hidrologi

Areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berada di hulu DAS Kapuas dan Sub DAS Melawi. Karena merupakan daerah hulu, kondisi perairan sungan merupakan mata air dan banyak terdapat sungai kecil dan dangkal, sempit dan berkelok- kelok dengan dasar sungai terdiri atas pasir dan bebatuan. Sungai- sungai yang terdapat di areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili merupakan anak Sungai Melawi yaitu sungai Serawai dan Sungai Keruap. Adapun informasi secara lengkap mengenai keadaan hidrologi di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili disajikan pada Tabel 5 dan Lampiran 19.

Tabel 9 Data curah hujan di areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili

No Bulan

Unsur Iklim Curah Hujan

(mm)

Hari Hujan (hari)

Suhu Maksimum (° C)

Kelembaban Relatif (%)

1 Januari 269,2 21 30,3 86

2 Februari 100,4 19 30,3 86

3 Maret 420,3 24 26,6 87

4 April 186,2 20 30,6 85

5 Mei 175,1 13 31,9 83

6 Juni 152,6 16 30,9 84

7 Juli 226,8 16 31,9 85

8 Agustus 327,3 21 30,9 83

9 September 265,6 16 31,2 83

10 Oktober 453,9 24 31,3 86

11 November 312,8 24 30,9 85

12 Desember 252,5 24 30,7 87

Jumlah 3.142,7 238

Rata-rata 261,89 20

Sumber: Data Curah Hujan dan Hari Hujan stasiun Meteorologi dan Geofisika Bandar Udara Sintang

4.7 Sarana Transportasi dan Aksesibilitas

Areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berada di Kabupaten Sintang. Untuk menuju areal tersebut dari Pontianak dapat ditempuh dengan menggunakan bus selama ± 10 jam sampai Nanga Pinoh. Selanjutnya dari Kecamatan Nanga


(29)

Pinoh menuju Kecamatan Serawai dapat ditempuh melalui jalur sungai dengan menggunakan speed boat selama ± 3,5 jam. Sedangkan alat transportasi yang digunakan oleh penduduk sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berupa alat transportasi sungai seperti perahu sampan, tug boat dan motor temple dan sarana komunikasi di sekitar areal IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili berupa handphone.

4.8 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya 4.8.1 Pusat Kegiatan Perekonomian

Sarana dan prasarana perekonomian di desa-desa sekitar areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili secara umum masih relatif terbatas baik ragam maupun jumlahnya. Hal ini disebabkan karena desa-desa di daerah ini relatif jauh dari pusat perekonomian dan jumlah penduduknya relatif sedikit, serta keterbatasan sarana dan prasana transportasi. Adanya keterbatasan akses, tingkat pendidikan yang relatif rendah dan belum memadainya sarana dan prasarana perekonomian menyebabkan aktivitas perekonomian di sekitar IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili kurang berkembang. Sarana perekonomian seperti warung dan toko masih dapat dijumpai di desa-desa, tetapi untuk pasar hanya dapat dijumpai di ibukota kecamatan. Kelancaran arus distribusi barang masih sangat rendah, walaupun sarana jalan yang dapat menghubungkan desa dengan kota kecamatan sudah dibangun.

4.8.2 Mata Pencaharian dan Perekonomian Lokal

Mata pencaharian sebagian besar penduduk desa sekitar areal kerja IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili sebagai petani ladang berpindah. Selain itu terdapat juga masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang, karyawan perusahaan IUPHHK, PNS dan penambang emas. Pada umumnya masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani berladang masih menggunakan cara- cara tradisional dalam melakukan budidaya pertanian sistem berladang. Tanaman yang dibudidayakan dalam kegiatan berladang selain padi adalah jenis sayuran seperti kacang panjang, bayam, terong, cabe, singkong dan lain- lain. Kegiatan sambilan yang dilakukan oleh petani berladang antara lain menorah karet dan berburu. Pada umumnya, hasil pertanian dan ladang hanya digunakan untuk


(30)

memenuhi kebutuhan subsisten, sedangkan hasil dari kebun karet dijual kepada tengkulak yang ada di desa.

4.8.3 Kependudukan

Penduduk kecamatan Nanga Serawai sebagian besar merupakan penduduk dari etnis Dayak dan Melayu. Luas wilayah Kecamatan Nanga Serawai adalah 2.128 km² dengan jumlah penduduk pada tahun 2008

Berdasarkan data Kecamatan Serawai dan Menukung dalam angka tahun 2008 jumlah penduduk di Kecamatan Serawai dan Menukung menurut kelompok jenis kelaminnya disajikan padaTabel 10.

Tabel 10 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis kelamin

Sumber: Kecamatan Serawai dalam angka 2008

4.8.4 Kondisi Tatanan Kelembagaan Dalam Masyarakat

Kelembagaan formal di wilayah desa-desa sekitar areal IUPHHK-HA telah terbentuk sejak lama. Kepala desa selaku tokoh formal terdekat dengan masyarakat biasa disebut penghulu. Terdapat tokoh yang dituakan sebagai panutan masyarakat dimana pengaruhnya cukup berperan dalam masyarakat. Tokoh ini disebut ketua adat, tidak dipilih secara formal akan tetapi biasanya tumbuh dengan sendirinya hasil dari pengakuan masyarakat itu sendiri yang tumbuh secara perlahan.

Adanya tokoh informal tersebut bukannya mematikan wujud dan kiprah dari kegiatan-kegiatan lembaga formal yang ada, bahkan sebaliknya sangat mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan seperti di tingkat desa maupun di lingkup yang lebih kecil lagi.

Lebih jauh lagi sosok tokoh informal sangat menunjang terutama dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat setempat yang mungkin sewaktu-waktu dapat terjadi. Hal ini dapat dimengerti pula karena

Kecamatan

Penduduk (jiwa)

Rasio Laki-laki Perempuan Jumlah

Kec. Serawai

Nanga Serawai 2.606 2.302 4.908 0,8

Tanjung Raya 526 486 1.012 0,9

Kec. Melawi


(31)

keberadaan tokoh informal tersebut merupakan suatu tokoh panutan yang bersifat kekeluargaan atau kekerabatan.

4.8.5Penduduk Menurut Agama

Penduduk di desa-desa sekitar areal IUPHHK CV. Pangkar Begili, sebagian besar beragama Katolik, Kristen Protestan dan Islam. Desa-desa terbagi dalam dusun-dusun yang memiliki latar belakang etnis yang berbeda, yakni masyarakat yang berasal dari etnis dayak sebagian besar beragama Kristen, sedangkan yang berasal dari etnis melayu seluruhnya beragama Islam. Tempat ibadah berupa 1 buah masjid terdapat di dusun Nanga Serawai dan 5 buah gereja terdapat di Desa Tontang dan Karya Jaya.

4.8.6 Tingkat Pendidikan Masyarakat

Tingkat pendidikan penduduk di desa-desa sekitar areal IUPHHK CV. Pangkar Begili umumnya masih relatif rendah, yakni sebagian besar masih berpendidikan SD ke bawah. Hal ini disebabkan karena saran prasarana pada sebagian besar desa masih terbatas sampai tingkat SD, sedangkan SLTP terdapat di Kecamatan Nanga Serawai yang jaraknya dari desa-desa lain cukup jauh dengan sarana perhubungan yang masih sangat terbatas. Di kecamatan ini belum terdapat SLTA, sehingga lulusan SLTP yang hendak melanjutkan pendidikan harus ke Kecamatan Nanga Pinoh atau ke ibukota kabupaten dan ke kota lainnya.

4.8.7 Adat Istiadat

Penduduk dan etnis Dayak pada umumnya masih sangat kuat memegang tradisi yang berasal dan nenek moyangnya. Hal ini antara lain terlihat pada upacara-upacara adat ketika memulai membuka lahan untuk ladang, upacara adat setelah panen ladang, upacara perkawinan dan kematian, serta pengobatan secara adat oleh dukun. Disamping itu wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah adat cukup luas, yakni meliputi wilayah yang secara turun temurun menjadi wilayah kegiatan sosial ekonomi dan budaya mereka, baik untuk kegiatan perladangan, berburu, mencari tanaman obat, pemakaman nenek moyang, atau bekas-bekas pemukiman lama.


(32)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Kelompok Umur

Menurut data BPS tahun 2009 dalamKarisma (2010) umur produktif adalah usia antara 15-64 tahun. Berdasarkan data hasil penelitian, usia responden di Dusun Nusa Bakti berkisar antara 23-76 tahun.

Data karakteristik responden berdasarkan kelas umur dapat dilihat pada Tabel 11 sebagai berikut.

Tabel 11 Data responden berdasarkan kelas umur Dusun

Kelompok Umur (tahun)

15-24 25-34 35-44 45-54 ≥55

N % N % N % N % N %

Nusa Bakti 1 3,3 7 23,3 4 13,3 10 33,3 8 26, 7 Natai Bunga 3 10,0 7 23,3 11 36,7 5 16, 7 4 13, 3 Keterangan : (N : jumlah responden)

Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 30 responden di Dusun Nusa Bakti, sebesar 33,3% berada pada kelas umur 45-54 tahun. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar responden berada pada kelas umur produktif dan berpotensi memanfaatkan HHBK dengan baik. Sedangkan, dari 30 responden di Dusun Natai Bunga, sebesar 36,7% responden berada pada kelas umur 35-44 tahun. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar responden di Dusun Natai Bunga berada pada kelas umur produktif dan berpotensi memanfaatkan HHBK dengan baik . Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan di kedua Dusun tersebut dapat ditunjukan dari pemanfaatan sumberdaya hutan pada usia produktif.

5.1.2 Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga dapat menunjukan jumlah ketersediaan tenaga kerja pada masing-masing keluarga. Semakin banyak anggota keluarga, semakin tinggi tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selain itu, jumlah anggota keluarga dapat menunjukan tingkat pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Semakin banyak jumlah anggota


(33)

keluarga, semakin banyak pula tingkat pengeluaran rumah tangganya. Data karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 12 sebagai berikut.

Tabel 12 Data responden berdasarkan jumlah anggota keluarga Dusun

Jumlah Anggota Keluarga (orang)

2 3 4 5 ≥6

N % N % N % N % N %

Nusa Bakti 0 0 5 16,7 13 43,3 4 13,3 8 26,7 Natai Bunga 5 16,7 6 20,0 12 40,0 7 23,3 0 0 Keterangan : (N : jumlah responden)

Berdasarkan data di atas, rata-rata jumlah anggota keluarga di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah 4 orang dengan persentase berturut-turut sebesar adalah 43,3% dan 40%. Hal ini menunjukan bahwa sumber daya manusia di Dusun Nusa bakti dan Natai Bunga untuk pemanfaatan HHBK tersedia. Tidak semua anggota dalam suatu keluarga dapat memanfaatkan sumberdaya hutan secara langsung, seperti anak-anak dan orang-orang lanjut usia.

5.1.3 Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam pemikiran ataupun tindakan seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya hutan. Pengetahuan yang baik terhadap jenis komersial dari suatu sumberdaya hutan dapat berdampak positif ataupun negatif. Dampak positif yang mungkin terjadi adalah pemanfaatan sumberdaya hutan yang memperhatikan kelestarian sumberdaya hutan itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan dampak negatif yang dapat muncul adalah pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak terkendali dan rusaknya lingkungan sekitar sumberdaya hutan tersebut. Data karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 13 sebagai berikut.

Tabel 13 Data responden berdasarkan tingkat pendidikan Dusun

Tingkat Pendidikan

Tdk tamat SD SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat

N % N % N % N %

Nusa Bakti 9 30,0 18 60,0 0 0 3 10,0

Natai Bunga 4 13,3 18 60,0 6 20,0 2 6,7


(34)

Berdasarkan data di atas, dari 30 responden di masing-masing Dusun, diperoleh 18 orang atau 60% responden di masing-masing Dusun tersebut berpendidikan SD atau sederajat. Tingkat pendidikan yang rendah ini menyebabkan masyarakat di kedua Dusun tersebut jarang memanfaaatkan sumberdaya hutan dan mengolahnya untuk dijual. Sumberdaya hutan yang digunakan oleh masyarakat secara rutin adalah getah karet. Getah karet diperoleh dengan menanam bibit karet di sekitar tempat tinggal ataupun di hutan. Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan masyarakat dari kedua dusun tersebut tidak mempunyai banyak pilihan untuk bekerja.

5.1.4 Mata Pencaharian

Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar masyarakat memanfaatkan hasil pertanian seperti padi. Oleh karena itu, kegiatan yang paling dominan adalah petani berladang. Lokasi yang digunakan untuk berladang adalah di dalam hutan. Data karakteristik responden berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 14 sebagai berikut.

Tabel 14 Data responden berdasarkan mata pencaharian Dusun

Mata Pencaharian

Petani Swasta Penambang Emas Pencari Ikan Pedagang

N % N % N % N % N %

Nusa Bakti 18 60,0 8 26,7 3 10,0 1 3,3 0 0

Natai Bunga 25 83,3 4 13,3 0 0 0 0 1 3,3

Keterangan : (N : jumlah responden)

Dari 30 responden di masing-masing Dusun, pekerjaan yang paling dominan di Dusun Nusa Bakti dan Dusun Natai Bunga adalah bertani dengan jumlah responden berturut-turut 18 orang dan 25 orang. Persentase dari petani tersebut adalah 60% di Dusun Nusa Bakti dan 83,3% di Dusun Natai Bunga. Kelompok masyarakat petani yang ada di kedua Dusun tersebut adalah petani sawah dan petani karet.


(35)

5.2 Pemanfaatan Sumberdaya Hutan 5.2.1 Getah Karet

Getah karet merupakan salah satu sumberdaya hutan yang paling banyak dimanfaatakan oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat dari kedua Dusun tersebut memanfaatkan getah karet dari hasil budidaya tanaman karet. Jarak tanam yang digunakan untuk budidaya karet di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah 4 x 6 m2.

Kegiatan masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga dalam melakukan budidaya getah karet adalah sama, yaitu dengan mengambil anakan karet di dalam hutan atau membeli anakan karet dengan harga antara Rp 200 sampai dengan Rp 1.000/bibit untuk ditanam di kebun mereka. Pada umumnya masyarakat dari Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan getah karet untuk dijual. Harga getah karet di Dusun Nusa Bakti berkisar antara Rp 13.000 - Rp 14.000/kg. Sedangkan harga getah karet di Dusun Natai Bunga berkisar antara Rp 13.000 - Rp 16.000/kg . Harga getah karet di Dusun Natai Bunga relatif lebih tinggi dibandingakan di Dusun Nusa Bakti. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti alur pemasaran di Dusun Natai Bunga yang efisien dan kualitas getah karet yang lebih baik di bandingkan di dusun Nusa Bakti.

Biaya awal yang dibutuhkan untuk memproduksi getah karet oleh masyarakat di dusun Natai Bunga adalah parang dengan harga Rp 50.000, sepatu Rp 100.000, pisau Rp 5.000-Rp 45.000, cuka Rp 12.000, pecungkil Rp 5.000, dan alat pembasmi rumput Rp 91.000/liter. Selain itu, biaya makanan dan minuman yang dibutuhkan untuk pengambilan getah karet ke lokasi adalah Rp 10.000/orang/ambil.

Sedangkan, biaya awal yang yang dibutuhkan untuk memproduksi getah karet oleh masyarakat di dusun Nusa Bakti adalah parang dengan harga Rp 70.000, sepatu Rp 100.000, pisau Rp 15.000-Rp 40.000, kapak Rp 45.000-Rp 60.000, pengait Rp 15.000, dan bahan pembasmi rumput Rp 55.000- Rp 70.000/liter. Biaya makan yang dibutuhkan untuk mengambil getah karet adalah Rp 10.000/orang/ambil.

Alur pemasaran suatu produk merupakan kunci untuk mencapai kepuasan baik di tingkat penjual maupun di tingkat pembeli. Apabila kepuasan di tingkat


(36)

penjual dan pembeli terjadi, hal ini berarti keuntungan yang diharapkan oleh penjual dan pembeli adalah maksimal. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti dibagi menjadi dua bagian seperti terlihat di Gambar 5 sebagai berikut.

Gambar 5 Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti.

Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku di pabrik pengolahan getah karet Kabupaten Sintang ataupun Provinsi Kalimantan Barat.

Alur pemasaran getah karet yang pertama melalui empat lembaga pemasaran (petani-pengumpul Serawai-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak), sedangkan yang kedua melalui tiga lembaga pemasaran (petani-pengumupul Serawai-Pabrik Sintang). Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa alur pemasaran yang kedua lebih efisien dibandingkan alur pemasaran yang pertama. Selain itu harga yang diperoleh petani untuk saluran pemasaran kedua lebih besar yaitu Rp 14.000 dibandingkan Rp 13.000 pada saluran pemasaran yang pertama.

Alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku di pabrik pengolahan getah karet di Pontianak. Dari sisi potensi pasar, usaha getah karet di Dusun Nusa Bakti cukup baik untuk dikembangkan. Hal ini dikarenakan masyarakat di Dusun tersebut sudah mempunyai pasar untuk menjual hasil getah karet mereka. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti cukup puas dengan harga jual getah karet yang berkisar antara Rp 13.000 - Rp 14.000/kg. Alur pemasaran di Dusun Natai Bunga terdiri dari tiga saluran dan dapat dilihat pada Gambar 6.

Petani Pengumpul Serawai Nanga Pinoh Pengumpul Pontianak 1. Pabrik

2. Pabrik Sintang


(37)

Gambar 6 Alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga.

Seperti terlihat pada gambar di atas, alur pemasaran getah karet di Dusun Natai Bunga terdiri dari tiga saluran pemasaran. Alur pemasaran pertama terdiri dari lima lembaga pemasaran (petani-pengumpul Natai Bunga-pengumpul Menukung-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani adalah Rp 13.000/kg. Alur pemasaran kedua terdiri dari empat lembaga pemasaran (petani-pengumpul Menukung-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani adalah Rp 14.000/kg. Alur pemasaran getah karet ketiga terdiri dari empat lembaga pemasaran (petani-pengumpul Sei Sampuk-(petani-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Pontianak) dengan harga getah karet di tingkat petani Rp 15.000/Kg. Alur pemasaran kedua merupakan saluran yang memberikan keuntungan tertinggi bagi petani getah karet di Dusun Natai Bunga.

Ada beberapa perbedaan antara sistem pemasaran di Dusun Nusa Bakti dengan Dusun Natai Bunga, seperti :

1. Alur pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti lebih pendek dibandingkan di Dusun Natai Bunga.

2. Saluran pemasaran di Dusun Nusa Bakti ada dua sedangkan saluran pemasaran di Dusun Natai Bunga ada tiga.

3. Harga getah karet per kilogram di Dusun Natai Bunga lebih tinggi dibandingkan di Dusun Nusa Bakti.

Alur pemasaran getah karet yang lebih pendek di Dusun Nusa Bakti dapat mengakibatkan pemasaran berjalan dengan efektif dan efisien karena tidak banyak lembaga pemasaran yang terlibat. Hal ini dapat membuat harga di tingkat konsumen pada pemasaran getah karet di Dusun Nusa Bakti akan lebih rendah

Petani 3. Pengumpul Sei Sampuk

Pengumpul Nanga

Pinoh

Pabrik Pontianak

2. Pengumpul Menukung

Pengumpul Nanga Pinoh

Pabrik Pontianak 1. Pengumpul

Natai Bunga

Pengumpul Menukung

Pengumpul Nanga

Pinoh

Pabrik Pontianak


(38)

dibandingkan di Dusun Natai Bunga, sehingga konsumen yang alur pemasaran getah karetnya dari dusun Nusa Bakti akan lebih puas.

Saluran pemasaran di Dusun Nusa Bakti yang lebih sedikit dibandingkan di Dusun Natai Bunga akan mengakibatkan lebih sedikitnya pula pilihan petani di Dusun Nusa Bakti untuk memilih saluran pemasaran yang paling menguntungkan mereka dibandingkan dengan petani di dusun Natai Bunga. Hal ini dapat mengakibatkan kepuasan yang diperoleh oleh petani di dusun Natai Bunga seharusnya lebih tinggi dibandingkan dengan petani di Dusun Nusa Bakti.

Menurut hasil penelitian Sudibjo (1999) Kenaikan harga karet di tingkat petani di Desa Sepunggur menurut data dari KUD Usaha Karya terjadi pada pertengahan tahun 1998 hingga mencapai rata-rata Rp 2.600 sampai dengan Rp 2.700/kg dari rata-rata Rp 1.400- Rp 1.500/kg di awal tahun 1998. Pada bulan Februari-Maret 1999, harga karet di tingkat petani di Desa Sepunggur kembali merosot hingga Rp 1.600 sampai dengan Rp 1.700/kg. Harga karet tersebut akan berbeda-beda antar desa/kecamatan tergantung dari tengkulak dan jarak desa ke tempat tengkulak-tengkulak tersebut.

Di bawah ini akan disajikan Gambar 7 yang berupa pemasaran getah karet di Desa Sepunggur menurut hasil penelitian Sudibjo (1999).

Gambar 7 Alur pemasaran getah karet di Desa Sepunggur.

Harga getah karet per kilogram di Dusun Natai Bunga yang lebih tinggi dibandingkan di Dusun Nusa Bakti dapat mengakibatkan kepuasan yang lebih tinggi pula bagi petani di Dusun Natai Bunga dibandingkan di Dusun Nusa Bakti.

5.2.2 Tengkawang

Biji tengkawang merupakan hasil hutan yang berbuah setiap 5 tahun sekali. Biji tengkawang dihasilkan dari pohon meranti yang umumnya mempunyai

Petani Karet

KUD Tengkulak Desa

Tengkulak


(39)

banyak cabang dan berdaun lebat. Masyarakat Dusun Natai Bunga dan Nusa Bakti biasa menyebut pohon penghasil biji tengkawang dengan pohon tengkawang. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan biji tengkawang untuk dijual ataupun dikonsumsi.

Biji tengkawang yang masyarakat peroleh berasal dari pohon meranti yang turun temurun bijinya dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Nusa bakti dan Natai Bunga. Pemanfaatan biji tengkawang di kedua dusun tersebut didasarkan pada sistem kekeluargaan, yaitu setiap orang boleh mengambil biji tengkawang di area milik orang lain dengan izin dari pemiliknya. Sedangkan, pohon tengkawang yang tumbuh alami di hutan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara bersama-sama.

Masyarakat Dusun Nusa Bakti memanfaatakan biji tengkawang terakhir pada tahun 2009. Biaya yang dibutuhkan setiap orang adalah Rp 33.000/ambil meliputi makan, minum dan rokok. Biaya yang dibutuhkan setiap orang di Dusun Natai Bunga untuk memanfaatkan biji tengkawang adalah Rp 22.000 meliputi makan, minum dan rokok.

Biji tengkawang yang dijual oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dijual dengan harga Rp 3.000 - Rp 4.000/ kg. Biji tengkawang tersebut diolah dengan cara dibuang bagian kepala biji tengkawang, setelah itu biji-biji tersebut ditaruh di keranjang dan ditutup. Selanjutnya biji tengkawang tersebut dipanggang di atas bara kayu sampai kering selama dua hari. Setelah biji tengkawang itu kering, selanjutnya biji tersebut dibuang kulitnya dan siap untuk dijual.

Masyarakat Dusun Natai Bunga menjual biji tengkawang yang telah mereka olah dengan harga Rp 3.000 - Rp 5.000/kg. Cara pengolahan biji tengkawang pada masyarakat Dusun Natai Bunga sama dengan masyarakat di Dusun Nusa Bakti.

Harga per kilogram biji tengkawang yang telah diolah oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dijual dengan harga yang lebih mahal daripada yang dijual oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga. Perbedaan harga tersebut diakibatkan karena perbedaan alur pemasaran diantara kedua dusun tersebut. Hal ini mengakibatkan keuntungan yang lebih besar terhadap penjual tengkawang di Dusun Nusa Bakti dibandingkan di Dusun Natai Bunga.


(40)

Terdapat dua alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti yang masing-masing bertujuan untuk memasok kebutuhan bahan baku pada pabrik di Pontianak dan luar negeri seperti Malaysia. Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Nusa Bakti.

Alur pemasaran pertama di Dusun Nusa Bakti terdiri dari empat lembaga pemasaran (petani-pengumpul Serawai-pengumpul Nanga Pinoh-pabrik Malaysia). Selain itu, saluran pemasaran kedua terdiri dari empat lembaga pemasaran sebelum sampai ke konsumen (petani-pengumpul Serawai-pengumpul Nangan Pinoh-pabrik Pontianak).

Alur pemasaran biji tengkawang pada saluran pertama bertujuan untuk memasok kebutuhan pabrik di luar negeri. Hal ini dapat diakibatkan oleh kualitas biji tengkawang yang lebih baik untuk kualitas ekspor sehingga harga per kilogram biji tengkawang akan lebih mahal.

Menurut hasil wawancara, biji tengkawang yang mereka jual tersebut nantinya akan diolah untuk keperluan membuat bahan farmasi, kosmetik, dan minyak tengkawang.

Masyarakat Dusun Natai Bunga mempunyai tiga alur pemasaran biji tengkawang yang bertujuan untuk memasok kebutuhan biji tengkawang untuk pabrik di pontianak. Alur pemasaran biji tengkawang tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.

Petani Pengumpul

Serawai

Pengumpul Nanga Pinoh

1.Pabrik Malaysia

2. Pabrik Pontianak


(41)

Gambar 9 Alur pemasaran biji tengkawang di Dusun Natai Bunga.

Alur pemasaran biji tengkawang pertama (petani-pengumpul di Desa-pengumpul di Serawai-pabrik Pontianak) hampir sama dengan alur pemasaran kedua (petani-pengumpul di Desa-pengumpul di Menukung-pabrik Pontianak). Perbedaan dari kedua alur pemasaran tersebut terletak di lembaga pemasaran tingkat tiga dari setiap saluran pemasaran. Pada alur pemasaran pertama, lembaga pemasaran tingkat dua (pengumpul di Desa) selanjutnya menjual biji tengkawang ke Kecamatan Serawai. Sedangkan, pada alur pemasaran kedua, lembaga pemasaran tingkat dua (pengumpul di Desa) selanjutnya menjual biji tengkawang ke Kecamatan Menukung dan untuk selanjutnya dijual ke pabrik di Pontianak.

Perbedaan saluran pemasaran di lembaga tingkat tiga pada alur pemasaran pertama dan kedua dapat disebabkan karena pertimbangan jarak yang lebih menguntungkan bagi mereka. Selain itu, hal tersebut juga dapat disebabkan oleh perhitungan peluang keuntungan apabila dijual di Kecamatan Serawai ataupun di Kecamatan Menukung.

Perbedaan juga terjadi pada alur pemasaran satu dan dua dengan alur pemasaran tiga. Hal ini dapat dilihat di lembaga tingkat dua dari masing-masing saluran pemasaran. Pada lembaga pemasaran tingkat dua di alur pemasaran satu dan dua, petani menjual biji tengkawang ke pengumpul tingkat desa. Sedangkan, pada lembaga tingkat dua di alur pemasaran ketiga, petani menjual biji tengkawang ke pengumpul tingkat Kecamatan.

Orang-orang yang berada pada alur pemasaran ketiga bertujuan untuk mendapat keuntungan yang lebih banyak karena dapat menjual biji tengkawang

Petani Pengumpul di Desa

pengumpul di Serawai

Pengumpul di Menukung

Pabrik Pontianak

Pengumpul Nanga Pinoh Pengumpul di


(42)

langsung ke tingkat kecamatan daripada orang-orang yang berada pada alur pemasaran satu dan dua yang menjual biji tengkawang ke tingkat desa. Tujuan tersebut dapat dilihat dari harga biji tengkawang pada alur pemasaran satu dan dua adalah Rp 3.000/kg - Rp 4.000/kg. Sedangkan, harga biji tengkawang pada alur pemasaran ketiga adalah Rp 5.000/kg. Pohon tengkawang di wilayah hutan CV. Pangkar Begili termasuk ke dalam jenis kayu yang dilindungi. Masyarakat Dusun Nusa Bakti atapun Natai Bunga sangat menjaga kelestarian pohon tengkawang karena mereka ingin bahwa manfaat yang diperoleh dari pohon tengkawang saat ini dapat juga dimanfaatkan oleh generasi-generasi selanjutnya.

5.2.3 Rotan

Rotan merupakan sumberdaya hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga memanfaatkan rotan biasanya hanya sekali setahun untuk dibuat tengkalang, menakin, dan bakul.

Tengkalang adalah alat yang digunakan untuk mengangkut barang bawaan yang digendong di belakang pundak. Bakul adalah alat yang digunakan untuk menyuci beras oleh masyarakat. Masyarakat Dusun Nusa Bakti kadang menjual hasil olahan rotan yang berupa tengkalang tersebut seharga Rp 10.000/tengkalang.

Karena tidak ada kegunaan yang sangat mendesak bagi masyarakat dalam memanfaatkaan rotan selain untuk tengkalang, menakin, dan bakul serta tidak adanya pasar sehingga mereka jarang memanfaatkannya.

Biaya pengambilan rotan ke lokasi bagi masyarakat Dusun Nusa Bakti adalah Rp 10.000/orang/ambil. Biaya ini merupakan biaya makan untuk satu orang yang terdiri dari nasi, lauk pauk, dan air. Biaya pengambilan rotan ke lokasi bagi masyarakat Dusun Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang/ambil. Biaya ini merupakan biaya makan untuk satu orang yang terdiri dari makan dan minum

Lokasi pengambilan rotan pada masyarakat Dusun Nusa Bakti terletak pada wilayah konsesi CV. Pangkar Begili tepatnya di km 4, 5, 6, 7, 9, 10, dan 13. Waktu yang digunakan masyarakat Dusun Nusa Bakti dalam mengambil rotan adalah berkisar antara pagi sampai dengan sore. Lokasi pengambilan rotan pada masyarakat Dusun Natai Bunga adalah di hutan, Bukit Alat, Bukit Punggur, Bukit Bunyau, dan Sungai Keruap di km 6. Sedangkan waktu yang digunakan


(43)

masyarakat Dusun Natai Bunga untuk mengambil rotan adalah dari pagi sampai dengan sore.

5.2.4 Kayu Bakar

Kayu bakar merupakan sumberdaya hutan yang sering digunakan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Kayu yang biasa digunakan oleh kedua masyarakat Dusun tersebut adalah kayu-kayu yang sudah mati. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga biasa menggunakan kayu bakar tersebut untuk memasak.

Kayu bakar jarang diperjualbelikan oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga akan menjual kayu bakar jika ada yang memesan dengan harga Rp 5.000/ikat.

Biaya pengambilan kayu bakar ke lokasi oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang. Biaya tersebut adalah biaya makan dan minum selama ke lokasi.

Lokasi pengambilan kayu bakar oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah di km 1, 2 dan 3 di wilayah pengelolaan CV. Pangkar Begili. Selain itu, masyarakat juga biasa memperoleh kayu bakar di bekas ladang, kebun karet, ataupun pinggir Sungai Melawi. Sedangkan, lokasi pengambilan kayu bakar oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah di Bukit Bunyau, Bukit Alat, Bukit Punggur, Sungai Keruap dan hutan.

Waktu pengambilan kayu bakar oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti adalah pukul 07.00 – 18.00 WIB. Sedangkan, waktu yang digunakan oleh masyarakat di Dusun Natai Bunga adalah pukul 06.00 – 19.00 WIB. Waktu yang digunakan oleh masyarakat Dusun Natai Bunga lebih lama dibandingkan dengan masyarkat Dusun Nusa Bakti. Hal ini dapat disebabkan oleh loksai pengambilan kayu bakar oleh Masyarakat di Dusun Natai Bunga lebih jauh dari lokasi pengambilan masyarakat di Dusun Nusa Bakti.

5.2.5 Damar

Getah damar merupakan salah satu sumberdaya hutan yang jarang dimanfaatkan oleh masyarakat Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga. Pada masyarakat di Dusun Nusa Bakti, mereka memanfaatkan getah damar untuk


(44)

menambal perahu. Sedangkan pada masyarakat di Dusun Natai Bunga, getah damar digunakan untuk menambal perahu dan dijual. Masyarakat Dusun Natai Bunga dapat menjual getah damar yang mereka manfaatkan disebabkan karena adanya pasar yang menampung hasil getah mereka. Biaya pengambilan getah damar oleh masyarakat di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga adalah Rp 10.000/orang. Biaya tersebut adalah biaya makan dan minum di lokasi pengambialn getah damar. Di bawah ini adalah gambar alur pemasaran getah damar di Dusun Natai Bunga.

Gambar 10 Alur pemasaran getah damar di Dusun natai Bunga.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa alur pemasaran getah damar di Dusun Natai Bunga mempunyai empat lembaga pemasaran. Getah damar yang sampai ke konsumen menurut produsen digunakan untuk menambal perahu mereka yang bocor. Karena jarangnya permintaan pasar terhadap getah damar di Dusun Natai Bunga maka usaha getah damar kurang berkembang.

Pemanfaatan getah damar oleh responden di Dusun Nusa Bakti biasanya setiap setahun sekali yang digunakan untuk keperluan menambal perahu yang bocor. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil getah damar adalah pagi dan siang. Lokasi tempat pengambilan getah damar yang dilakukan oleh responden di Dusun Nusa Bakti adalah di km 5 dan 6 dalam wilayah pengusahaan hutan CV. Pangkar Begili. Sedangkan, pemanfaatan getah damar oleh responden di Dusun Natai Bunga dilakukan setiap seminggu sekali yang digunakan untuk keperluan penjualan dan penambalan perahu. Lokasi responden Dusun Natai Bunga untuk mengambil getah damar adalah di daerah Bukit Bunyau. Waktu yang digunakan responden untuk mengambil getah damar adalah pagi, siang, dan sore.

Frekuensi pengambilan getah damar yang dilakukan oleh responden di Dusun Natai Bunga lebih tinggi dibandingkan dengan responden di Dusun Nusa bakti. Hal ini disebabkan karena responden di Dusun Natai Bunga selain memanfaatkan getah damar untuk dikonsumsi juga dimanfaatkan untuk aktivitas

Produsen Pengumpul Menukung

Pengumpul


(1)

Lampiran 18 Topografi lapangan di IUPHHK-HA CV. Pangkar Begili


(2)

(3)

(4)

Lampiran 21 Peta Dusun Natai Bunga


(5)

RINGKASAN

JIMMY ALFA ARRIVED. Prospek Pengembangan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Sebagai Alternatif Kelola Sosial Oleh Pemegang Konsesi IUPHHK HA CV. Pangkar Begili, Kalimantan Barat. Dibimbing oleh

BAHRUNI.

Hutan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan banyak manfaat bagi kesejahteraan manusia. Manfaat yang dihasilkan oleh hutan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible) dan manfaat yang dirasakan secara langsung (tangible). Manfaat tangible berupa hasil hutan bukan kayu memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dan merupakan sumberdaya yang penting bagi kehidupan masyarakat, tetapi pemanfaatannya di masyarakat belum optimal.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur nilai pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) oleh masyarakat dan mengidentifikasi potensi serta kendala pengembangan HHBK sebagai pertimbangan alternatif kelola sosial oleh perusahaan. Metode pengambilan contoh yang digunakan adalah purposive

sampling yang merupakan metode pengambilan contoh dengan disengaja

berdasarkan tujuan penelitian. Tempat penelitian yang dipilih adalah perusahaan yang belum mempunyai hasil penelitian terkait HHBK. Pada penelitian ini, diambil sebanyak dua dusun dengan masing-masing 30 responden dari setiap dusun.

Nilai manfaat sumberdaya hutan bagi masyarakat di Dusun Nusa Bakti adalah Rp 316.340.000/tahun atau Rp 10.544.000/kk/tahun. Sedangkan di Dusun Natai Bunga, nilai manfaat sumberdaya hutan untuk seluruh responden sebesar Rp 268.190.000/tahun atau setiap responden (rumah tangga) sebesar Rp 8.939.000/kk/tahun.

HHBK yang berpotensi baik untuk dikembangkan di Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga berdasarkan aspek produksi dan pemasaran adalah getah karet, tengkawang, rotan, bambu, dan getah damar . Prioritas pengembangan HHBK pada Dusun Nusa Bakti dan Natai Bunga yang terletak di sekitar areal CV. Pangkar Begili adalah getah karet dan tengkawang.

Kata kunci: Hasil hutan bukan kayu, nilai manfaat, produksi, pemasaran, dan prioritas pengembangan hasil hutan bukan kayu


(6)

SUMMARY

JIMMY ALFA ARRIVED. Business Development Prospect of Non-Timber Forest Products Utilization as an Alternative Social Governance By Concessionaires IUPHHK HA CV. Pangkar Begili, West Kalimantan. Supervised by BAHRUNI.

Forest is a blessing of God Almighty that provides many benefits to human welfare. Benefits generated by forests can be divided into two parts, namely the perceived benefits of indirect (intangible) and the perceived benefits of direct (tangible). Tangible benefits in the form of non-timber forest products have good prospects for development and an important resource to people's lives, but their use in society is not optimal.

The purpose of this study was measure the use of non-timber forest products (NTFPs) by the community and identify potential and constraints of the development of NTFPs as a consideration of alternative social governance by the company. Sampling method used was a purposive sampling method based on sampling with the deliberate purpose of the study. The selected study sites are companies that do not have the research results related to NTFPs. In this study, taken as many as two hamlets in each of the 30 respondents from each village.

The value of forest resources for the benefit of the community in the Nusa Bakti village is Rp 10.544.000/household/year or Rp 316.340.000/year. Meanwhile at Natai Bunga village, the benefits of forest resources for all respondents is Rp 268.190.000/year respondents (households) or any respondents (households) Rp 8.939.000/household/year.

NTFPs potential for development in the Nusa Bakti and Natai Bunga villages interest on the production and marketing aspects of the gum, tengkawang, rattan, bamboo, and the gum resin. Priority development of NTFPs at Nusa Bakti and Natai Bunga villages located around the area of CV. Pangkar Begili is latex rubber and tengkawang.

Key words: Non-timber forest products, the value of benefits, production, marketing, and the priority of non-timber forest product development