Gambar 2 Rantai tataniaga kayu bakar di Kabupaten Lebak. Pada Gambar 2, saluran ke satu, ke dua, dan ke tiga, yang terbesar adalah
saluran yang ke satu, dengan perbandingan 65 : 20 : 15. Perbandingan ini merupakan rasio jumlah pemanfaat kayu bakar di Kabupaten Lebak. Hal ini
berarti saluran ke satu adalah saluran yang terbanyak dilakukan masyarakat pedesaan pengguna kayu bakar dalam memperoleh kayu bakar yang akan
dikonsumsinya. Saluran tataniaga ke empat adalah saluran untuk kayu bakar yang kayunya dikonsumsi oleh pabrik pembakaran batu bata dan genting konsumen
akhir.
2.6 Bambu
Menurut hasil penelitian Indriyani 2011 kerajinan bambu adalah peluang bisnis yang menguntungkan. Perkembangan zaman belum tentu selalu
meninggalkan produk hasil perkembangan tempo dulu. Kerajinan bambu salah satunya. Walaupun bisnis kerajinan bambu ini masih berjalan sampai sekarang,
namun perkembangannya tidak pesat. Perkembangan kerajinan bambu ini hanya konstan saja. Tetapi pada akhirnya peluang bisnis ini diambil karena prospek
kedepannya akan lebih baik. Terlebih lagi bisnis membuat kerajinan bambu ini adalah bisnis yang ramah lingkungan. Kerajinan bambu ini dapat dimanfaatkan
dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari tambir untuk membersihkan beras dan
1. Produsen juga konsumen kayu bakar
2. Produsen dan pedagang pengecer
kayu bakar
3. Produsen kayu bakar
4. Produsen kayu bakar
Pedagang pengepul
Pedagang pengecer
Pedagang pengepul Konsumen
Konsumen rumah tangga
gorong-gorong untuk tempat sampah atau tempat baju kotor ataupun kerei sebagai hiasan.
Menurut hasil penelitian Indriyani 2011 untuk membuat kerajinan bambu ini terkadang harus membeli bambu yang sesuai. Dalam pembuatan tambir, untuk
satu batang bambu dengan panjang sekitar 4 m yang dibeli dengan harga Rp 7.500 dapat diproduksi lebih kurang 30 tambir. Pembuatan 30 tambir tersebut dapat
diselesaikan selama 2 hari oleh dua orang pekerja. Jika harga jual satu buah tambir Rp 2.700 dan biaya produksi diperkirakan Rp 1.000 per tambir, pendapatan
perajin per tambir sebesar Rp 1.700. Dalam waktu satu bulan perajin bambu bisa memperoleh pendapatan dari usahanya tersebut sebesar Rp 765.000. Bila home
industry ini mempekerjakan lebih dari 2 orang tenaga kerja, dapat diperkirakan
bahwa usaha ini mampu menghidupi seluruh anggota keluarga.
2.7 Damar
Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi 2001 pemasaran getah damar mata kucing di Desa Pahmungan tergolong masih sederhana. Umumnya petani
penyadap maupun pemilik repong damar menjual getah yang masih berupa asalan kepada pedagang pengumpul tingkat desa. Repong damar adalah kebun yang
didominasi oleh tanaman damar, sedangkan tegakan tanaman lainnya merupakan selingan. Hanya sebagian kecil petani penyadap yang menjual getah langsung kepada
pedagang pengumpul di pasar kecamatan. Pelaku pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan terdiri
dari penghadang, pengumpul tingkat desa, pengumpul di pasar Krui, pengumpul di luar pasar Krui dan eksportir. Gambar 3 adalah pemasaran getah damar mata kucing
dari Desa Pahmungan.
Gambar 3 Alur pemasaran getah damar mata kucing dari Desa Pahmungan. Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi 2001 damar hasil
pemungutan merupakan damar asalan berupa campuran butiran dari ukuran besar sampai kecil, bahkan sampai berupa serbuk yang tercampur dengan kotoran berupa
abu dan potongan kulit kayu. Damar asalan masih harus dibersihkan dari kotoran dan dipilah kualitasnya berdasarkan besar butir dan warnanya. Proses pemilahan
getah damar dikenal dengan istilah penyortiran. Melalui proses tersebut dihasilkan getah berkelas dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Kelas A = sebesar telur ayam dan berwarna putih Kelas B = sebesar ibu jari dan berwarna putih
Kelas C = sebesar ujung jari kelingking dan berwarna putih Kelas D = sebesar biji jagung dan berwarna putih
Kelas E = sebesar butir beras dan berwarna putih Kelas KK = seukuran dengan kelas A, B, C namun warnanya hitam
Kelas abu = seukuran kelas D dan E namun berwarna hitam atau ukurannya lebih kecil dari kelas E
Kayu = serpihan kulit kayu damar yang tercampur dengan getah saat
penyadapan Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi 2001 penyortiran tiap
kilogram getah asalan biasanya menghasilkan getah kelas A, B, C sekitar 60 , kelas D dan E 6 , kelas KK 10 , abu 16 dan selebihnya 8 merupakan
kayu dan penyusutan. Damar kelas A dan B dikenal sebagai kualitas ekspor dan kelas C, D, E, KK dan debu merupakan kelas Iokal yang pemasarannya ditujukan
Petani penyadap
Pengumpul tingkat Desa
Penghadang Pengumpul tingkat
pasar Krui
Industri domestik
Pengumpul dari luar pasar Krui
Eksportir
untuk bahan baku industri domestik. Sedangkan, kayu dipandang sebagai bagian yang tidak berguna sehingga tidak dipasarkan dibuang.
Rata-rata harga beli getah asalan dari petani penyadap pada saat penelitian dilaksanakan adalah Rp 2600 - 2900kg dan harga jual pada tingkat
pengumpul di pasar Krui adalah Rp 3100 - 3200kg. Biaya angkut dan biaya-biaya lainnya rata-rata Rp 50kg, sehingga keuntungan pedagang pengumpul tingkat
desa berkisar Rp 250 - 450kg. Penghadang memperoleh keuntungan rata-rata per kg getah asalan sekitar Rp 50-100. Harga getah kelas A, B, C rata-rata Rp 4200kg
dan rata-rata harga getah kelas lainnya Rp 2500kg D dan E, Rp 2000kg KK dan Rp 1400kg abu.
Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi 2001, biasanya damar kelas A, B, C disortir kembali oleh pedagang pengumpul tingkat pasar kecamatan untuk
menghasilkan getah kelas ekspor dan dijual dengan harga yang disesuaikan dengan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Hasil penyadapan getah damar mata
kucing dari repong masyarakat Desa Pahmungan diperkirakan mencapai 50 - 70 tonbulan.
2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan