untuk bahan baku industri domestik. Sedangkan, kayu dipandang sebagai bagian yang tidak berguna sehingga tidak dipasarkan dibuang.
Rata-rata harga beli getah asalan dari petani penyadap pada saat penelitian dilaksanakan adalah Rp 2600 - 2900kg dan harga jual pada tingkat
pengumpul di pasar Krui adalah Rp 3100 - 3200kg. Biaya angkut dan biaya-biaya lainnya rata-rata Rp 50kg, sehingga keuntungan pedagang pengumpul tingkat
desa berkisar Rp 250 - 450kg. Penghadang memperoleh keuntungan rata-rata per kg getah asalan sekitar Rp 50-100. Harga getah kelas A, B, C rata-rata Rp 4200kg
dan rata-rata harga getah kelas lainnya Rp 2500kg D dan E, Rp 2000kg KK dan Rp 1400kg abu.
Menurut hasil penelitian Sofyan dan Silalahi 2001, biasanya damar kelas A, B, C disortir kembali oleh pedagang pengumpul tingkat pasar kecamatan untuk
menghasilkan getah kelas ekspor dan dijual dengan harga yang disesuaikan dengan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Hasil penyadapan getah damar mata
kucing dari repong masyarakat Desa Pahmungan diperkirakan mencapai 50 - 70 tonbulan.
2.8 Interaksi Masyarakat dengan Hutan
Interaksi merupakan sebuah keterkaitan atau hubungan antar komponen dalam suatu sistem yang dapat bersifat saling meniadakan, saling mendukung dan
saling ketergantungan satu sama lainnya. Mangandar 2000 menjelaskan bahwa
keterkaitaninteraksi masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena keberadaan hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat.
Bagi masyarakat sekitar hutan, keberadaan hutan sangat berarti untuk keberlangsungan hidupnya, mereka bergantung pada sumberdaya-sumberdaya
yang ada di hutan seperti kayu bakar, bahan makanan, bahan bangunan dan hasil- hasil hutan lainnya, yang akan memberikan nilai tambah bagi kehidupannya.
Interaksi sosial masyarakat desa dengan hutan, dapat terlihat dari ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan akan sumber-sumber kehidupan dasar seperti air,
sumber energi kayu dan bahan-bahan makanan yang dihasilkan hutan, bahan bangunan, dan sumberdaya lainnya.
Darusman 1992 dalam Karisma 2010 menjelaskan bahwa hubungan antara masyarakat desa sekitar hutan dengan kawasan hutan di sekitarnya
merupakan hubungan yang sangat erat, khususnya aspek ekonomi, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kesehatan. Hutan telah memberikan berbagai keperluan
rumah tangga, baik sumber energi, vitamin, mineral, dan kalori bagi kehidupan sehari-hari. Secara ekologis, hutan merupakan lingkungan hidup bagi masyarakat
sekitarnya. Secara ekonomi, hutan mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya dengan memanfaatkan dan menjual hasil hutan non kayu.
Ketergantungan masyarakat desa sekitar hutan terhadap keberadaan sumberdaya hutan terlihat dari banyaknya masyarakat yang menjadikan hutan sebagai sumber
pekerjaan dan pendapatan.
2.9 Nilai dan Manfaat
Bahruni 1999 menjelaskan bahwa nilai merupakan suatu persepsi manusia tentang makna suatu objek bagi seorangindividu pada tempat dan waktu tertentu.
Sedangkan penilaian adalah penentuan nilai manfaat dari suatu barangjasa yang dimanfaatkan oleh individu atau masyarakat. Proses pembentukan nilai ditentukan
oleh persepsi individumasyarakat terhadap setiap komponenkomoditi tertentu yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan besarnya nilai ditentukan oleh
kualitas dan kuantitas komoditi tersebut. Nilai sumberdaya hutan yang dinyatakan oleh persepsi dari suatu
masyarakat pada waktu dan tempat tertentu akan beragam, tergantung kepada persepsi dari setiap anggota masyarakat tersebut, demikian juga keragaman nilai
akan terjadi antar masyarakat yang berbeda. Kegunaan, manfaat, kepuasan dan rasa senang merupakan suatu ungkapan makna dari suatu nilai sumberdaya hutan
yang diperoleh dan diarasakan oleh individumasyarakat. Ukuran nilai ini dapat dapat diespresikan melalui pengorbanan waktu, tenaga, baranguang, yang
dilakukan oleh individumasyarakat untuk memperoleh, memiliki dan menggunakan barangjasa tersebut.
Darusman 1992 dalam Karisma 2010 menjelaskan bahwa metode penilaian manfaat hutan maupun peranan dan keterkaitan ekonomi sumberdaya
hutan terhadap sektor ekonomi lainnya dalam pembangunan ekonomi wilayah dan nasional, pada dasarnya ada dua yaitu metode atas dasar pasar dan metode
pendekatan terhadap pasarpendekatan terhadap kesediaan membayar Willingness to payWillingness to accept
Gregory 1979 dalam Bahruni 1999, menyatakan bahwa nilai manfaat sumberdaya hutan dapat diklasifikasikan berdasarkan perilaku pasar atas barang
dan jasa yang dinilai tersebut. Klasifikasi tersebut antara lain: 1.
Nilai manfaat nyata tangible benefits, yaitu manfaat yang diperoleh dari barang atau jasa yang dapat diukur secara nyata, karena berlaku
mekanisme pasar yang baik. nilai manfaat nyatanilai guna langsung merupakan nilai yang bersumber dari penggunaan secara langsung oleh
masyarakat tehadap komoditi hasil hutan,berupa flora, fauna dan komoditi lainnya. Jenis penggunaan manfaat langsung ini dikelompokan menjadi:
bahan pangan, bahan bangunan, sumber energi, obat, dan produk-produk lainnya yang dapat dijual.
2. Nilai manfaat tidak nyata intangible benefits, yaitu nilai manfaat yang tidak dapat diukur secara langsung, karena mekanisme pasar tidak
berjalan. Nilai manfaat tidak nyatanilai guna tidak langsung merupakan manfaat yang diperoleh individu atau masyarakat melalui suatu
penggunaan secara tidak langsung terhadap sumberdaya hutan yang memberikan pengaruh ekonomiproduksi yang mendukung kehidupan
manusia. Nilai sumberdaya hutan yang termasuk ke dalam kategori nilai guna tidak langsung adalah berbagai fungsi jasa hutan seperti
pengendalian erosi, pencegahan banjir, dan penyerapan CO
2
.
Menurut hasil penelitian Karisma 2010 diketahui bahwa nilai total pemanfaatan sumberdaya hutan di Desa Malasari yang berupa kayu bakar,
rumput, aren dan emas adalah sebesar Rp 157.506.000 per tahun atau sebesar Rp 3.150.000 per kepala keluarga per tahun. Sebagian besar wilayah Desa Malasari
masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pengendalian akses dilakukan dengan patroli rutin oleh pihak Taman Nasional. Penindakan
berupa teguran hingga penahanan terhadap oknum masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya secara ilegal. Pihak Taman Nasional memiliki
tanggung jawab untuk membina masyarakat atau memberdayakan masyarakat. Menurut hasil penelitian Setyani 2010 diketahui bahwa tingkat
ketergantungan responden di Desa Lampeong terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan tergolong tinggi. Sebagian besar pendapatan rumah tangga berasal dari hasil
hutan khususnya hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan, diantarannya kayu bakar, rotan, karet, gaharu, buah dan satwa liar.
Besarnya rata- rata total pendapatan rumah tangga yang berasal dari hasil hutan sebesar Rp 13.424.000 atau 75,1 dan bukan hasil hutan sebesar Rp 4.464.000
atau 24,9. Berdasarkan BPS 67 responden Desa Lampeong berada dalam keadaan miskin dan 33 berada dalam keadaan tidak miskin sejahtera.
Menurut hasil penelitian Bahruni et al. 2002, dalam Bahruni 2008 diketahui bahwa nilai guna use value flora di Hutan Taman Nasional Gunung
Halimun dan Hutan Lindung Gunung Salak bagi masyarakat lokal adalah sebesar Rp 575.118tahunrumah tangga, dimana sebagian besar disumbang oleh
pemanfaatan agathis, puspa, rasamala, dan bambu sebagai bahan bangunan, sedangkan nilai guna fauna satwa liar oleh masyarakat adalah sebesar Rp
269.806tahunrumah tangga, dimana kontribusi terbesar berasal dari kumbang yang diperdagangkan untuk ekspor ke Jepang, dan pemanfaatan satwa kancil.
Rofiko 2002 dalam Bahruni 2008 melakukan penelitian pada cakupan wilayah desa yang lebih luas yaitu sebanyak enam desa, yang terletak di dalam
kawasan, di perbatasan kawasan dan di luar kawasan TNGH yang masih memiliki interkasi dengan kawasan TNGH. Diperoleh hasil bahwa nilai guna flora di
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun bagi masyarakat lokal sebesar Rp 23.421.420tahunrumah tangga. Nilai ini lebih besar dari penelitian Bahruni et al.
Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh besar, ukuran contoh responden yang mencakup lebih banyak variasi pemanfaatan jenis hasil hutan di desa-desa sekitar
TN Gunung halimun tersebut.
2.10 Pemasaran