32
a. Korporasi dan b. Yayasan
Perseroaan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanannya
50
.
3. PBB Sebagai Pajak Properti
Berdasarkan apa yang menjadi objek pajak dan siapa yang ditetapkan menjadi subjek pajak dan wajib pajak, maka PBB dapat diartikan sebagai pajak yang dipungut
atas pemilikan penguasaan dan atau pemanfaatan bumi dan atau bangunan di Indonesia.
PBB merupakan pajak yang ditunjuk secara luas yang dikenakan baik atas pemilikan maupun pemanfaatan bumi dan atau bangunan. Karena itu setiap pemilikan
atau pemanfaatan atas bumi dan atau bangunan di Indonesia akan dikenakan pajak. Pengenaan PBB tidak terkait sama sekali dengan bukti pemilikan tanah dan atau
bangunan
51
. PBB adalah pajak negara yang bersifat kebendaan. Pajak kebendaan pada
umumnya tidak memperhatikan keadaan wajib pajak dalam penentuan besarnya pajak terutang tetapi mendasarkan pada objek pajak yang sesuai ketentuan undang undang
pajak harus dikenakan pajak. Objek pajak, baik yang besar maupun yang kecil, akan
50
Pasal 1, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
51
Marihot, Op. cit, hal 79
Universitas Sumatera Utara
33
dikenakan pajak sesuai dengan keadaan objek pajak tersebut. Pada PBB besarnya pajak terutang sepenuhnya didasarkan pada keadaan objek pajak yang tercermin pada
besarnya NJOP bumi dan atau bangunan
52
. PBB adalah pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu
yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang dijadikan subjek tidak penting dan tidak mempengaruhi besarnya
pajak terutang. Hal ini membuat PBB disebut juga pajak yang objektif. Walaupun pajak ini merupakan pajak yang objektif tetapi dipungut dengan surat ketetapan pajak
yang pada prinsipnya dikeluarkan oleh fiskus setiap tahun pajak. Dari sisi pihak yang menanggung beban pajak, PBB termasuk dalam pajak
langsung karena PBB terutang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak yang namanya tercantum pada surat ketetapan pajak yaitu SPPT dan SKP yang tidak dapat
dilimpahkan kepada orang lain.
4. Sektor-Sektor Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk mempermudah pelaksanaan pengenaan PBB, Direktorat Jendral Pajak mengelompokan objek pajak berdasarkan karakteristik ke dalam beberapa sektor,
yaitu perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan
53
. Sektor pengenaan PBB tersebut adalah sebagaimana di bawah ini:
1 Sektor perdesaan, adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri
perdesaan, seperti: sawah, ladang, empang tradisional, dan lain-lain
52
Marihot, Ibid, hal.77
53
Keputusan Direktorat Jendral Pajak Nomor Kep-16PJ.61998 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Universitas Sumatera Utara
34
2 Sektor perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki cirri-ciri
daerah perkotaan, seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan, real estate, komplek pertokoan, industri, perdagangan dan jasa.
3 Sektor perkebunan, adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya
perkebunan, baik yang diusahakan oleh BUMN maupun swasta, yang meliputi areal pengusahaan benih penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman,
penganekaragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya. 4
Sektor kehutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil hutan areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan.
5 Sektor pertambangan, adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan
komoditas hasil tambang seperti: emas, batubara, minyak dan gas bumi dan lain- lain yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua
golongan yaitu bahan galian strategi, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pada
prinsipnya untuk
sektor perdesaan
dan perkotaan
tata cara
perhitungannya tidak ada perbedaan, sehingga perbedaan pendapat tentang kriteria objek pajak yang masuk sektor perdesaan dan perkotaan sering terjadi. Hanya saja
untuk tertib administrasi pengenaan PBB maka dalam suatu wilayah administrasi pemerintahan desakelurahan hanya terdapat satu sektor PBB yaitu sektor perdesaan
dan perkotaan.
54
54
Marihot, Op. Cit, hal 109
Universitas Sumatera Utara
35
B. Pemungutan PBB Pedesaan dan Perkotaan Oleh Pemerintah Pusat 1. Dasar Hukum
Pada saat pemungutan pajak bumi dan bangunan dilakukan oleh pemerintah pusat, dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi pelaksanaan dan peningkatan
pembangunan nasional sebagai pengalaman Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena karena itu, perlu
dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya; bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat daripadanya dan oleh karena itu wajar apabila mereka
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak; bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujutkan peran serta dan kegotongroyongan
masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional; bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khusunya pajak kebendaan dan pajak
kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah,
adil dan memberi kepastian hukum; bahwa untuk mancapai maksud tersebut di atas perlu disusun undang-undang tentang pajak bumi dan bangunan.
Universitas Sumatera Utara
36
Akan tetapi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan tersebut diubah menjadi undang undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan pembangunan nasional telah menghasilkan perkembangan yang pesat dalam kehidupan nasional
khususnya di bidang perekonomian, termasuk berkembangnya bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang belum tertampung dalam undang-
undang perpajakan yang sekarang berlaku; bahwa dalam usaha untuk selalu menjaga agar perkembangan perekonomian sebagai tersebut di atas dapat tetap berjalan sesuai
dengan kebijakan pembangunan pada trilogi pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis Besar Haluan Negara dan seiring dengan itu dapat diciptakan kepastian
hukum yang berkaitan dengan aspek perpajakan bagi bentuk-bentuk dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang terus berkembang, diperlukan langkah-langkah
penyesuaian yang memadai terhadap berbagai undang-undang perpajakan yang telah ada; bahwa untuk mewujutkan hal-hal tersebut, dipandang perlu mengubah beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan Undang undang nomor 12 tahun 1994 sendiri bahwa yang melakukan pelaksanaan pengelolaan pajak bumi dan
bangunan adalah pemerintah pusat dan memberikan pembagian hasil kepada daerah provinsi dan Kota Kabupaten sedangkan yang diubah dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1994 yaitu ketentuan Pasal 3 ayat 3 dan ayat 4 diubah, sehingga Pasal 3 seluruhnya menjadi berbunyi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
37
1. Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang:
a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu; c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah pengebalan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
2. Objek Pajak
yang digunakan
oleh negara
untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
3. Besarnya Nilai Jual objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp 8.000.000,00 delapan juta rupiah untuk setiap wajib pajak.
4. Penyesuaian besarnya Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ditetapkan oleh menteri keuangan
55
Sedangkan dalam pasal 3 dan 4 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan berbunyi sebagai berikut:
3. Batas nilai jual bangunan tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 2.000.000,00 dua juta rupiah untuk setiap satuan bangunan.
4. Batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 akan disesuaikan dengan suatu faktor penyesuaian yang ditetapkan oleh
menteri keuangan
56
. Perubahan berikutnya berada dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12
tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:
55
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994 perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
56
Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Universitas Sumatera Utara
38
“Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566 serta peraturan perundang-undangan
lainnya”
Di mana dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dikatakan: “Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini berlaku
ketentuan dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainya”.
Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 17 Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu:
1. Wajib pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak sebagaimana
dimaksut dalam Pasal 4 ayat 6 dan pasal 16 ayat 3 dalam jangka waktu 3 tiga bulan sejak tanggal diteimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak
dengan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.
2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia. 3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
57
. Perubahan berikutnya yaitu dengan menghapus pasal 27 Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang berisikan: 1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan pasal 25 ayat 2 adalah
pelanggaran. 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat 1 adalah kejahatan.
58
Dalam penjelasan bagian umum Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dinyatakan bahwa dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dalam
57
Pasal 17, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
58
Pasal 27, Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Universitas Sumatera Utara
39
perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi termasuk, termasuk perairan dan kekayaan alam terkandung di dalamnya mempunyai fungsi peran yang penting
dalam membangun masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh manfaat dari
bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, karena mendapat sesuatu hak dari kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang
diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak. Sebelum berlakunya Undan-Undang Nomor 12 Tahun 1985, terhadap tanah
yang tunduk pada hukum adat telah dipungut pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1959 dan terhadap tanah yang tunduk pada hukum barat dipungut
pajak berdasarkan Ordonasi Verponding Indonesia 1923 dan Ordonansi Verponding 1928.
2. Subjek Pajak