Kawasan Pengembangan Strategis Nasional Dalam Pembangunan Provinsi Riau

(1)

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI RIAU

M. RUSLI ZAINAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat rahmat dan hidayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhirnya dengan judul Pengembangan Kawasan Strategis Nasional dalam Pembangunan Provinsi Riau.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memformulasikan strategi, kebijakan dan program pengembangan Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Riau.

Tugas Akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagaian persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mudah-mudahan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat selain bagi penulis, juga bagi yang membacanya. Terima kasih.


(3)

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI RIAU

M. RUSLI ZAINAL

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

Judul: Kawasan Pengembangan Strategis Nasional Dalam Pembangunan Provinsi Riau

Nama: M. Rusli Zainal NRP: A 153020025

Menyetujui,

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana


(5)

(6)

ABSTRAK

M. RUSLI ZAINAL. Pengembangan Kawasan Strategis Nasional dalam Pembangunan

Provinsi Riau. Komisi Pembimbing: YUSMAN SYAUKAT dan LALA M.

KOLOPAKING

Pembangunan Provinsi Riau memerlukan perhatian khusus dan pendekatan yang

inovatif untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, proses pembangunan

ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial

masyarakat. Sebenarnya, Pemerintah Provinsi Riau sejak tahun 2002 telah

mengembangkan program Pembangunan Ekonomi Kerakyatan (PEK) sebagai salah satu

pilar pembangunan dalam mencapai Visi Riau 2020. Selanjutnya, fokus pembangunan

Provinsi Riau diarahkan untuk mengatasi tiga persoalan mendasar yang saling berkaitan,

yaitu masalah kemiskinan, kebodohan, dan infrastruktur, yang dikenal dengan konsep

K2I. Program-program pembangunan ini mulai direalisasikan sejak tahun 2002 dengan

sumber pendanaan yang berasal dari APBD.


(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Dasar Hukum ... 8

2.2. Konsep Kawasan Pengembangan Strategis ... 11

2.3. Konsep Dayasaing ... 14

2.4 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster ... 15

2.5 Manfaat Kawasan Pengembangan Strategis ... 17

2.5.1. Peluang yang Timbul dalam Kawasan Pengembangan Strategis .. 17

2.5.2. Manfaat Bagi Ekonomi Wilayah ... 19

2.5.3. Manfaat Bagi Pemerintah ... 19

2.5.4. Manfaat Bagi Industri yang Sudah Mapan Maupun yang Baru Lahir... 20

2.5.5. Manfaat bagi Tenaga Kerja ... 21

2.5.6. Manfaat Bagi Masyarakat ... 21

2.6. Penelitian Terdahulu ... 22

2.7. Kerangka Pemikiran ... 23

III. METODOLOGI KAJIAN ... 25

3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ... 25

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 25

3.3. Metoda Pengolahan dan Analisis Data ... 25

3.3.1. Analisis Location Quotient (LQ) ... 26

3.3.2. Analisis Daya Saing Porter ... 26

3.4. Metoda Penentuan Program ... 27

IV. GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU ... 28

4.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha ... 28

4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau Tanpa Migas ... 29

4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau dengan Migas ... 32

4.2.Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha ... 32

4.2.1. Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha Tanpa Migas ... 33

4.2.2. Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha dengan Migas ... 34

4.3. PDRB dan Pendapatan per Kapita Riau ... 35


(8)

4.3.2. PDRB dan Pendapatan per Kapita Riau Tanpa Migas ... 36

4.4. Disparitas Ekonomi dan Sosial Provinsi Riau Tahun 2005 ... 36

4.4.1. Indeks Williamson ... 37

4.4.2. Analisis Shift-Share ... 38

4.4.2.1. Analisis Shift-Share 2003-2005 Atas Dasar Harga Berlaku ... 38

4.4.2.2. Anallsis Shift-Share 2003-2005 atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 39

4.5. Disparitas Ekonomi Dan Sosial Kabupaten/Kota Se-Riau ... 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

5.1. Kontribusi Sektoral dalam Kawasan Strategis Nasional ... 42

5.2. Komoditas Perkebunan sebagai Komoditas Unggulan ... 44

5.3. Pembangunan Kawasan Strategis Nasional ... 47

VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DI PROVINSI RIAU ... 52

6.1. Visi dan Rencana Strategis Provinsi Riau ... 52

6.1.1. Visi Riau 2020 ... 52

6.1.2. Mater Plan Riau 2020 ... 52

6.1.3. Rencana Strategis Provinsi Riau Tahun 2004-2008 ... 53

6.2. Penentuan Strategi Pengembangan ... 54

6.2.1. Analisis Kondisi Internal ... 54

6.2.2. Analisis Kondisi Eksternal ... 55

6.2.3. Strategi Pengembangan KSN ... 56

6.3.Formulasi Program Pengembangan ... 57

6.3.1. Pembenahan Aspek Hukum ... 58

6.3.2. Pengembangan Infrastruktur ... 58

6.3.3. Realokasi dan Optimisasi Pemanfaatan Aset Lahan untuk Penanggulangan Kemiskinan ... 58

6.3.4. Pengembangan Kerjasama Multipihak ... 60

6.3.5. Peningkatan Pengolahan Produk-Produk Hilir Kelapa Sawit .... 61

6.3.6. Pengembangan Sumberdaya Manusia ... 62 Daftar Pustaka


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Berlian Porter (Porter’s Diamond) ... 16 Gambar 2. Kerangka Pemikiran ... 24 Gambar 3. Keterkaitan Antar-wilayah di dalam Kawasan Strategis Nasional Provinsi Riau ... 49 Gambar 4. Forum Pengembangan KSN


(10)

DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13.

Alat Analisis yang Digunakan dalam Kajian ... Pertumbuhan Ekonomi Riau Tanpa dan Dengan Migas menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000, 2003-2005 (%) .. Kontribusi PDRB Riau Tanpa dan Dengan Migas menurut

Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku, 2003-2005 (%) ... PDRB dan Pendapatan Per Kapita Riau Berlaku dan Atas Dasar

Harga Konstan Tahun 2000 Tanpa dan Dengan Migas, 2003-2005 (Juta Rp) ... Indeks Williamson Tanpa Migas dan dengan Migas Provinsi Riau Tahun 2001-2005 ... PDRB Per Kapita dan Persentase Rumah Tangga Miskin Se-Riau, Tahun 2005 ... Rekapitulasi Hasil Analisis Shift Share Provinsi Riau

Tahun 2003 – 2005 ... Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Atas Dasar Harga Berlaku,

Tahun 2005 ... Luas Areal Perkebunan menurut Jenis Tanaman di Provinsi Riau, Tahun 2004 dan 2005 ... Nilai Location Quotient Komoditas Kelapa Sawit Berdasarkan Luas Panen menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, 2005 ... Analisis Kondisi Internal KSN Provinsi Riau ... Analisis Kondisi Eksternal KSN Provinsi Riau ... Strategi Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Provinsi Riau

25 29 34 36 37 40 41 43 45 46 55 56 57


(11)

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI RIAU

M. RUSLI ZAINAL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(12)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat rahmat dan hidayahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhirnya dengan judul Pengembangan Kawasan Strategis Nasional dalam Pembangunan Provinsi Riau.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memformulasikan strategi, kebijakan dan program pengembangan Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Riau.

Tugas Akhir ini disusun dan diajukan untuk memenuhi sebagaian persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mudah-mudahan Tugas Akhir ini dapat bermanfaat selain bagi penulis, juga bagi yang membacanya. Terima kasih.


(13)

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI RIAU

M. RUSLI ZAINAL

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Profesional

pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(14)

Judul: Kawasan Pengembangan Strategis Nasional Dalam Pembangunan Provinsi Riau

Nama: M. Rusli Zainal NRP: A 153020025

Menyetujui,

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana


(15)

(16)

ABSTRAK

M. RUSLI ZAINAL. Pengembangan Kawasan Strategis Nasional dalam Pembangunan

Provinsi Riau. Komisi Pembimbing: YUSMAN SYAUKAT dan LALA M.

KOLOPAKING

Pembangunan Provinsi Riau memerlukan perhatian khusus dan pendekatan yang

inovatif untuk memacu pertumbuhan ekonominya. Akan tetapi, proses pembangunan

ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan upaya-upaya perbaikan kehidupan sosial

masyarakat. Sebenarnya, Pemerintah Provinsi Riau sejak tahun 2002 telah

mengembangkan program Pembangunan Ekonomi Kerakyatan (PEK) sebagai salah satu

pilar pembangunan dalam mencapai Visi Riau 2020. Selanjutnya, fokus pembangunan

Provinsi Riau diarahkan untuk mengatasi tiga persoalan mendasar yang saling berkaitan,

yaitu masalah kemiskinan, kebodohan, dan infrastruktur, yang dikenal dengan konsep

K2I. Program-program pembangunan ini mulai direalisasikan sejak tahun 2002 dengan

sumber pendanaan yang berasal dari APBD.


(17)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Dasar Hukum ... 8

2.2. Konsep Kawasan Pengembangan Strategis ... 11

2.3. Konsep Dayasaing ... 14

2.4 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster ... 15

2.5 Manfaat Kawasan Pengembangan Strategis ... 17

2.5.1. Peluang yang Timbul dalam Kawasan Pengembangan Strategis .. 17

2.5.2. Manfaat Bagi Ekonomi Wilayah ... 19

2.5.3. Manfaat Bagi Pemerintah ... 19

2.5.4. Manfaat Bagi Industri yang Sudah Mapan Maupun yang Baru Lahir... 20

2.5.5. Manfaat bagi Tenaga Kerja ... 21

2.5.6. Manfaat Bagi Masyarakat ... 21

2.6. Penelitian Terdahulu ... 22

2.7. Kerangka Pemikiran ... 23

III. METODOLOGI KAJIAN ... 25

3.1. Lokasi dan Waktu Kajian ... 25

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 25

3.3. Metoda Pengolahan dan Analisis Data ... 25

3.3.1. Analisis Location Quotient (LQ) ... 26

3.3.2. Analisis Daya Saing Porter ... 26

3.4. Metoda Penentuan Program ... 27

IV. GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU ... 28

4.1. Pertumbuhan Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha ... 28

4.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau Tanpa Migas ... 29

4.1.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Riau dengan Migas ... 32

4.2.Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha ... 32

4.2.1. Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha Tanpa Migas ... 33

4.2.2. Struktur Ekonomi Riau menurut Lapangan Usaha dengan Migas ... 34

4.3. PDRB dan Pendapatan per Kapita Riau ... 35


(18)

4.3.2. PDRB dan Pendapatan per Kapita Riau Tanpa Migas ... 36

4.4. Disparitas Ekonomi dan Sosial Provinsi Riau Tahun 2005 ... 36

4.4.1. Indeks Williamson ... 37

4.4.2. Analisis Shift-Share ... 38

4.4.2.1. Analisis Shift-Share 2003-2005 Atas Dasar Harga Berlaku ... 38

4.4.2.2. Anallsis Shift-Share 2003-2005 atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 39

4.5. Disparitas Ekonomi Dan Sosial Kabupaten/Kota Se-Riau ... 39

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

5.1. Kontribusi Sektoral dalam Kawasan Strategis Nasional ... 42

5.2. Komoditas Perkebunan sebagai Komoditas Unggulan ... 44

5.3. Pembangunan Kawasan Strategis Nasional ... 47

VI. STRATEGI DAN PROGRAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DI PROVINSI RIAU ... 52

6.1. Visi dan Rencana Strategis Provinsi Riau ... 52

6.1.1. Visi Riau 2020 ... 52

6.1.2. Mater Plan Riau 2020 ... 52

6.1.3. Rencana Strategis Provinsi Riau Tahun 2004-2008 ... 53

6.2. Penentuan Strategi Pengembangan ... 54

6.2.1. Analisis Kondisi Internal ... 54

6.2.2. Analisis Kondisi Eksternal ... 55

6.2.3. Strategi Pengembangan KSN ... 56

6.3.Formulasi Program Pengembangan ... 57

6.3.1. Pembenahan Aspek Hukum ... 58

6.3.2. Pengembangan Infrastruktur ... 58

6.3.3. Realokasi dan Optimisasi Pemanfaatan Aset Lahan untuk Penanggulangan Kemiskinan ... 58

6.3.4. Pengembangan Kerjasama Multipihak ... 60

6.3.5. Peningkatan Pengolahan Produk-Produk Hilir Kelapa Sawit .... 61

6.3.6. Pengembangan Sumberdaya Manusia ... 62 Daftar Pustaka


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model Berlian Porter (Porter’s Diamond) ... 16 Gambar 2. Kerangka Pemikiran ... 24 Gambar 3. Keterkaitan Antar-wilayah di dalam Kawasan Strategis Nasional Provinsi Riau ... 49 Gambar 4. Forum Pengembangan KSN


(20)

DAFTAR TABEL Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12. Tabel 13.

Alat Analisis yang Digunakan dalam Kajian ... Pertumbuhan Ekonomi Riau Tanpa dan Dengan Migas menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Konstan 2000, 2003-2005 (%) .. Kontribusi PDRB Riau Tanpa dan Dengan Migas menurut

Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku, 2003-2005 (%) ... PDRB dan Pendapatan Per Kapita Riau Berlaku dan Atas Dasar

Harga Konstan Tahun 2000 Tanpa dan Dengan Migas, 2003-2005 (Juta Rp) ... Indeks Williamson Tanpa Migas dan dengan Migas Provinsi Riau Tahun 2001-2005 ... PDRB Per Kapita dan Persentase Rumah Tangga Miskin Se-Riau, Tahun 2005 ... Rekapitulasi Hasil Analisis Shift Share Provinsi Riau

Tahun 2003 – 2005 ... Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Sektoral Kabupaten dan Kota di Provinsi Riau Atas Dasar Harga Berlaku,

Tahun 2005 ... Luas Areal Perkebunan menurut Jenis Tanaman di Provinsi Riau, Tahun 2004 dan 2005 ... Nilai Location Quotient Komoditas Kelapa Sawit Berdasarkan Luas Panen menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Riau, 2005 ... Analisis Kondisi Internal KSN Provinsi Riau ... Analisis Kondisi Eksternal KSN Provinsi Riau ... Strategi Pengembangan Kawasan Strategis Nasional Provinsi Riau

25 29 34 36 37 40 41 43 45 46 55 56 57


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apabila dicermati kembali proses pemekaran Provinsi Riau menjadi Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau, ada dua perkiraan yang kontradiktif bahwa Provinsi Riau Kepulauan akan menjadi suatu daerah yang paling maju di Indonesia dan sebaliknya, Provinsi Riau akan menjadi daerah yang tertinggal dibandingkan daerah pemekarannya. Perkiraan kondisi ini telah mendorong Provinsi Riau untuk mencari bentuk lain dalam melaksanakan program pembangunannya. Hingga proses pemekaran, telah banyak upaya (waktu, tenaga, pikiran, dan dana) yang dicurahkan ke Kabupaten Kepulauan Riau, jauh melebihi daerah kabupaten/kota lainnya di wilayah Provinsi Riau, sehingga ada sinyalemen yang menyatakan bahwa Batam (Kepri) merupakan “anak emas” Provinsi Riau. Hal ini dapat dibuktikan dengan perkembangan yang terjadi di Batam (dengan Rempang dan Galang-nya), Bintan (dengan Lagoi-nya), serta Karimun dan Natuna. Daerah-daerah ini menjadi lokomotif utama perkembangan ekonomi Provinsi Riau pada saat itu.

Namun, hal itu sudah berlalu, dan Provinsi Riau telah menetapkan dua fokus utama di dalam “Visi Riau 2020” yaitu menjadi Pusat Perekonomian dan Pusat Kebudayaan Melayu di Kawasan Asia Tenggara. Tentunya fokus pertama tersebut menjadi persoalan yang sangat besar yang harus dihadapi. Mampukah Riau menjadi pusat perekonomian? Kemudian apakah ada daerah yang memiliki potensi yang akan dijadikan lokomotif bagi pembangunan perekoniman DI


(22)

wilayah tersebut, dan dimanakah daerah (kabupaten/kota) yang menjadi lokomotif pembangunan tersebut?

Pembangunan Provinsi Riau masih memerlukan perhatian khusus dan pendekatan yang inovatif. Dalam arti, pembangunan Provinsi Riau masih terus memerlukan kerangka untuk memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi prosesnya perlu sekaligus diikuti oleh tingkat perbaikan kehidupan sosial masyarakat di tingkat akar rumput. Kesadaran ini sebenarnya bukan hal baru, bahkan sejak tahun 2002 telah ditetapkan satu pilar pembangunan dalam mencapai Visi Riau 2020, yaitu Pembangunan Ekonomi Kerakyatan (PEK). Selanjutnya, fokus pembangunan Provinsi Riau diarahkan untuk mengatasi tiga persoalan yang saling berhibungan, yakni masalah kemiskinan, kebodohan dan infrastruktur - yang dikenal dengan konsep K2I. Dalam merealisasikan gagasan-gagasan tersebut dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau, sejak tahun 2002 telah dialokasikan dana PEK yang dialokasikan khusus untuk menyentuh kepentingan usaha masyarakat di tingkat bawah untuk mengurangi ketimpangan antar sektor dan antar kelompok, khususnya antara pengusaha mikro dan kecil dengan pengusaha besar.

Disamping itu, berdasarkan pengalaman yang dilakukan selama ini, diketahui bahwa untuk lebih memacu pembangunan di Provinsi Riau diperlukan adanya reorientasi dalam pendekatannya; dalam arti: pembangunan melalui pendekatan sektoral perlu dikembangkan dengan mengintegrasikannya dengan mempertimbangkan pengembangan kegiatan antarsektor dan dengan mempertimbangkan dimensi kewilayahan, untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah dan antar golongan (lapisan) masyarakat. Namun, pendekatan


(23)

3 pembangunan seperti itu perlu diletakkan tidak lepas dari rancangan pembangunan nasional secara keseluruhan.

Berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional tahun 2004-2009, pembangunan kewilayahan secara nasional dituangkan ke dalam program pembangunan untuk: kawasan tertinggal, termasuk kawasan perbatasan, kawasan yang strategis dan cepat tumbuh, wilayah yang pernah dilanda konflik, dan wilayah perkotaan. Program pembangunan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan keluasan, keragaman potensi, dan perbedaan tingkat perkembangan daerah. Dengan sasaran, bahwa program tersebut dilakukan bukan saja dalam rangka mencapai kemajuan sosial dan ekonomi, tetapi juga dalam rangka memperkuat konsep negara kesatuan.

Pada saat ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, hampir seluruh pulau-pulau kecil terluar yang berhadapan dengan negara-negara tetangga, berjumlah 92 pulau juga ada dikategori kawasan tertinggal. Dalam menghadapi hal ini, pemerintah memang sedang berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan tersebut. Beberapa langkah yang telah dan sedang diambil, antara lain: pertama, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengembangan sosial ekonomi, terutama membuka akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal, dan peningkatan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan; kedua, pemutakhiran data dan informasi mengenai daerah tertinggal; ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan; dan keempat, percepatan pembangunan kawasan produksi secara terintegrasi.


(24)

Hal yang kemudian menarik dicatat adalah pengembangan kawasan dan daerah perbatasan yang tertinggal tersebut dilakukan sejajar dengan upaya pengembangan beberapa wilayah ekonomi unggulan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 disebutkan adanya sejumlah kawasan andalan yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Kawasan-kawasan itu ditetapkan berdasarkan besarnya keunggulan baik potensi ekonomi, maupun penilaian atas kedudukannya yang strategis dalam hubungan keterkaitan antarwilayah. Bahkan, beberapa wilayah telah diupayakan dikembangkan, seperti di Makassar, Medan, Batam, dan Kalimantan Timur. Meskipun, pertumbuhan wilayah ekonomi unggulan ini belum optimal. Oleh karena itu, pemerintah sedang merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tersebut agar upaya pengembangan wilayah ekonomi unggulan dapat sesuai dengan perkembangan mutakhir dan lebih mengenai sasaran.

Pembangunan Provinsi Riau dengan pendekatan secara sektoral yang memperhatikan kewilayahan sebenarnya dapat dikembangkan sejalan dengan arah kebijakan pengembangan wilayah strategis nasional, khususnya yang meliputi pengembangan kerjasama daerah-daerah di perbatasan. Kebijakan yang berkaitan dalam hal ini adalah kebijakan kerjasama pembangunan yang bernama Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT), dan Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT), atau kebijakan pengembangan agropolitan dan kota mandiri terpadu. Bahkan, pembangunan Provinsi Riau selain dikembangkan sejalan dengan kebijakan dalam tataran strategis nasional tersebut, dapat juga memperhatikan satu satu langkah strategis lainnya dari pemerintah yang merespon dinamika globalisasi dengan mengembangkan pendekatan


(25)

5 pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebagai contoh, pengembangan kawasan Batam-Bintan-Karimun yang telah berperan sebagai kawasan ekonomi khusus ditingkatkan produktivitasnya melalui kerjasama dengan Pemerintah Singapura. Pengalaman penerapan kebijakan KEK di Batam-Bintan-Karimun juga dapat dijadikan contoh bentuk kerjasama yang erat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan partisipasi dunia usaha. Meskipun, kembali lagi pada saat ini hasilnya belum optimal, karena KEK masih dalam proses.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengembangan pendekatan pembangunan secara sektoral yang berdimensi wilayah dalam kerangka pembangunan nasional dengan mempertimbangkan perkembangan global di dalam pembangunan Provinsi Riau dapat dikatakan adalah sebagai suatu langkah inovatif. Karena posisi Provinsi Riau berhadapan langsung dengan Malaysia dan Singapura, maka tidaklah sulit untuk menemukan sebuah kawasan unggulan dan strategis dalam pembangunan Provinsi Riau yang berdimensi nasional sekaligus internasional. Belum lagi, letak dan perkembangan Provinsi Riau yang khas di dalam kerangka pengembangan provinsi-provinsi lain di Pulau Sumatera atau pulau-pulau lainnya di Indonesia (Gambar 1).

Dari Gambar 1 tersebut, Provinsi Riau dapat menjadi simpul bagi pusat kegiatan ekonomi dan sosial yang didukung baik fasilitas pelayanan prima maupun kapasitas prasarana yang berdaya saing internasional. Kegiatan dan pelaku ekonomi di dalam kawasan strategis nasional ini perlu disiapkan dengan baik, agar diperoleh produk-produk (berupa barang dan jasa) yang berdayasaing, dan dengan kualitas pelayanan dan fasilitas yang dapat berdaya saing pula.


(26)

5 Singapura

Sumatera Selatan Sumatera Barat

Sumatera Utara

Malaysia

Posisi Strategis Riau


(27)

Penciptaan dayasaing merupakan kunci bagi keberhasilan pembangunan di wilayah ini, karena berhadapan langsung dengan negara tetanga – khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand - dan negara-negara lain di Asia Pasifik pada umumnya. Dengan demikian, kajian kali ini hakekatnya berupaya mengungkap kebijakan strategis guna pengembangan kawasan ekonomi di Provinsi Riau dalam kerangka pembangunan nasional dan internasional.

1.2 Rumusan Masalah

Provinsi Riau dikenal dengan salah satu provinsi di Indonesia yang menghasilkan minyak dan gas bumi dalam jumlah besar, sehingga Riau dikenal sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia, akibat bagi hasil minyak dan gas bumi yang besar. Akan tetapi, jumlah penduduk miskin di Provinsi ini juga menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia. Kondisi kontras ini – “provinsi kaya tetapi miskin” - menimbulkan pertanyaan kajian yang mendasar, dan jawaban terhadap masalah ini dapat dijadikan sebagai landasan bagi program-program pembangunan di Provinsi Riau pada saat ini dan masa mendatang, yaitu: bagaimana kondisi disparitas sosial-ekonomi masyarakat di Provinsi Riau?

Provinsi Riau terdiri atas sembilan kabupaten dan dua kota. Kesembilan kabupaten tersebut adalah: Kuantan Singingi, Indragiri Hulu, Indragiri Hilir, Pelalawan, Siak, Kampar, Rokan Hulu, Bengkalis, Rokan Hilir; sementara dua kota dimaksud adalah Kota Pekanbaru dan Dumai. Kesebelas kabupaten dan kota tersebut memiliki karakteristik dan potensi fisik dan non-fisik yang berbeda-beda. Dalam rangka pengembangan kawasan ekonomi strategis di Provinsi Riau


(28)

yang berorientasi nasional dan internasional, maka karakteristik dan potensi daerah menjadi penting untuk diperhatikan, demikian pula dengan kondisi kelembagaannya. Pertanyaan kajian yang terkait dengan hal ini adalah: daerah (kabupaten/kota) mana saja yang akan dimasukkan ke dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN), dan bagaimana kondisi sumberdaya, infrastruktur, dan sarana sosial ekonomi yang ada di masing-masing daerah?

Mengingat adanya keberagaman agroekosistem dan wilayah sebagaimana dikemukakan dalam permasalahan kedua, maka produk yang dihasilkan oleh masing-masing kabupaten/kota juga bervariasi. Misalnya, dalam sektor pertanian, beberapa kabupaten di Provinsi Riau dikenal sebagai penghasil utama komoditas perkebunan (kelapa sawit, kelapa, karet); tanaman pangan (beras); dan aneka produk kehutananan (kayu, pulp, dan kertas). Dalam pengembangan KSN, pemerintah Provinsi Riau diharuskan memilih jenis produk (barang dan jasa) yang dijadikan primadona di dalam wilayah KSN; yakni produk yang memiliki dayasaing (competitive advantage). Terkait dengan masalah ini, maka topik permasalahan kedua yang akan dikaji dalam penelitian ini terkait dengan pemilihan produk yang akan dijadilan komoditas unggulan kawasan, yakni: produk (barang dan jasa) apa saja yang dapat ditawarkan oleh masing-masing daerah dalam KSN?

KSN Provinsi Riau paling tidak terdiri atas 11 kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Riau, yang masing-masingnya memiliki karakteristik, fungsi, dan peran berbeda-beda. Rumusan kajian selanjutnya diarahkan kepada aspek keterkaitan antar wilayah dalam pengembangan KSN: Bagaimana keterkaitan


(29)

9 antar daerah dan peran yang dimainkan oleh masing-masing daerah dalam KSN?

Dalam merealisasikan KSN dibutuhkan keterlibatan dan kontribusi dari berbagai pihak (stakeholders), yang memiliki peran dan fungsi berbeda (dalam arti saling mendukung). Multipihak pembangunan KSN tersebut mencakup pemerintah (public sector), pengusaha (private sector), dan masyarakat (community). Karena pengembangan KSN ini berhadapan dengan negara tetangga (khususnya Malaysia dan Singapura), maka kerjasama dengan pihak-pihak tersebut diperlukan. Oleh karena itu, pertanyaan kajian terkait dengan aspek ini adalah: Bagaimana keterlibatan dan kerjasama antara pemerintah, swasta, komunitas, dan luar negeri dalam pembangunan di dalam KSN?

Aspek terakhir yang menjadi perhatian kajian ini adalah dalam penentuan strategi pengembangan KSN tersebut, yakni: Strategi dan program apa yang perlu dikembangkan dalam pengembangan KSN di Provinsi Riau? Penentuan strategi dan program ini penting untuk memberi arahan terhadap pencapaian tujuan pengembangan KSN.

1.3. Tujuan

Tujuan umum kajian ini adalah untuk memformulasikan strategi, kebijakan dan program pengembangan Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Riau yang berorientasi nasional dan internasional; sedangkan tujuan khusus kajian ini adalah:

1. Menganalisis disparitas sosial-ekonomi masyarakat di Provinsi Riau 2. Menganalisis potensi Kawasan Strategis Nasional yang terdiri atas:


(30)

„ Kondisi sumberdaya, infrastruktur, dan sarana sosial ekonomi yang ada di masing-masing daerah dalam KSN

„ Produk yang dapat ditawarkan oleh masing-masing daerah dalam KSN dan dayasaing dari produk tersebut

3. Menganalisis keterkaitan antar daerah dan peran yang dimainkan oleh masing-masing daerah dalam KSN

4. Memformulasikan strategi dan program pembangunan KSN, serta pola-pola kerjasama kemitraan antara pemerintah, swasta, komunitas, dan luar negeri dalam pembangunan di dalam KSN.


(31)

11

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan yang berlangsung selama ini ternyata masih belum merata, masih terjadi kesenjangan di berbagai daerah. Oleh karena itu pembangunan daerah diupayakan dengan melaksanakan program-program pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh yang dapat menembus wilayah administrasif dan dapat mengakomodasi keragaman potensi permasalahan dan keterkaitan antar wilayah. Berbagai hal yang telah dilaksanakan di Indonesia antara lain pengembangan kawasan pertanian, industri, pariwisata, kehutanan rakyat, peternakan, perikanan dan lain-lain di beberapa daerah; pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagai salah satu upaya pengembangan Kawasan Timur Indonesia (KTI); pelaksanaan kerjasama ekonomi sub-regional dengan negara-negara tetangga, melalui Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT); pengembangan ekonomi lokal; pengembangan kawasan transmigrasi; pengembangan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang di Propinsi Nangore Aceh Darussalam, serta peningkatan status kawasan berikat Otorita Pulau Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone) Batam.

2.1. Dasar Hukum

Kawasan Pengembangan Strategis merupakan suatu gambaran atau peta pembagian wilayah yang melukiskan wilayah-wilayah mana yang dapat dikembangkan secara strategis, yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing


(32)

wilayah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan keterkaitan ekonomi antar wilayah di Indonesia (Tim P4W, 2003). Dasar hukum dari Kawasan Pengembangan Strategis (Strategic Development Region) terdiri dari beberapa peraturan pemerintah, baik yang dikeluarkan oleh Bappenas maupun oleh instansi pemerintah lainnya.

Salah satunya adalah mengenai aspek pemberian insentif-disinsentif dalam hubungan pemerintah pusat dengan daerah, antar pemda, serta pemda dengan masyarakat merupakan sesuatu yang baru pada draf Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia mengenai Penataan Ruang bila dibandingkan Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Bentuk mekanisme ini adalah pemberian insentif dari Pemerintah Pusat kepada Pemda berupa pemberian Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih tinggi pada daerah yang memiliki indeks hijau yang tinggi.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang sebagai dasar pengaturan penataan ruang telah memberikan landasan bagi penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional, namun perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara menuntut perubahan pengaturan di dalam undang-undang tersebut.

Oleh karena itu pemerintah telah merancangan undang-undang pengganti UU No. 24 Tahun 1992 untuk dijadikan landasan menilai dan menyesuaikan peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi penyelenggaraan penataan ruang yang telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai perairan, pertanahan, kehutanan, pertambangan, pembangunan daerah, perdesaan, perkotaan, transmigrasi, perindustrian,


(33)

13 perikanan, jalan, Landas Kontinen Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, perumahan dan permukiman, kepariwisataan, perhubungan, telekomunikasi, dan sebagainya.

Keputusan dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor: Kep 162/M.PPN/05/2004 mengenai Kelompok Kerja Kajian Prakarsa Strategis Kawasan Pengembangan Strategis menyebutkan bahwa Kawasan Pengembangan Strategis merupakan salah satu upaya pengembangan wilayah yang berdasarkan pada peningkatan daya saing wilayah melalui pengelompokkan industri-industri atau usaha-usaha yang saling berhubungan secara dinamis yang menguntungkan dan mempunyai daya saing tinggi.

Oleh karena pentingnya keterkaitan ekonomi antar wilayah itulah maka Bappenas membentuk Kelompok Kerja Kajian Prakarsa Strategis Kawasan Pengembangan Strategis, yang bertugas untuk: (1) melakukan berbagai penelitian dan pengkajian yang berkaitan dengan upaya-upaya pengidentifikasian potensi dan keterkaitan antar daerah melalui pengidentifikasian dan penetapan sektor dan komoditi unggulan dalam wilayah pengembangan strategis, dan penetapan wilayah-wilayah pengembangan strategis, dan (2) memberikan laporan hasil kerja kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

2.2. Konsep Kawasan Pengembangan Strategis

Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan terlalu menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan


(34)

keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumberdaya yang dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas. Hal ini menyebabkan pemerintah perlu untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya yang tersedia dan melakukan penajaman prioritas pembangunan. Selain itu pendekatan pengembangan wilayah yang dikembangkan saat ini, baik oleh pemerintah nasional maupun daerah lebih bersifat inward looking dan memperhatikan supply side.

Perencanaan pengembangan kawasan berdasarkan dengan konsep konsep unit administrasi memudahkan perencana dan analis bekerja sebab data tersedia sesuai dengan wilayah administratif, namun kesulitannya adalah fungsi tertentu dari suatu kawasan cukup sering melintasi batas-batas wilayah-wilayah administratif. Hal ini menyebabkan tidak memungkinkannya dan sulit dalam menelaah hubungan keterkaitan antar daerah. Sebagai alternatifnya adalah melakukan perencanaan yang memandang kawasan dengan kriteria homogenitas (Djajadiningrat, 2002).

Pada pendekatan homogenitas ini, kawasan dipandang berdasarkan berbagai kesamaannya dalam elemen-elemen ekonomi wilayah, seperti pendapatan perkapita, sektor atau aktivitas yang berfungsi sebagai motor penggerak pertumbuhan (engine of growth), kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia, keberlimpahan sumberdaya alam, ketersediaan sarana/prasarana ekonomi, dan/atau dalam elemen-elemen sosial-politik, seperti kesamaan adat/budaya, latar belakang sejarah, dan lain-lain. Sifat homogenitas ini


(35)

15 memudahkan pemerintah daerah dalam penentuan program pembangunan dan pihak swasta dalam penentuan komoditas yang akan diusahakan. Namun pendekatan ini agak menyulitkan jika program/komoditas yang akan dikembangkan tersebut mensyaratkan adanya keterpaduan (integrasi) secara vertikal sebab sektor hilirnya bisa jadi terdapat di luar kawasan tersebut (Tim P4W, 2003).

Dalam kaitan tersebut, diperlukan kebijakan pemerintah yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di semua wilayah sebagai sebuah kesatuan pembangunan yang strategis bagi kepentingan nasional. Daerah–daerah yang berpotensi untuk dikembangkan harus diidentifikasi dan keterkaitan antar daerah harus diperkuat agar dapat diwujudkan mata rantai pembangunan ekonomi, sosial dan budaya secara berkelanjutan dan berkeadilan. Untuk itu diperlukan suatu gambaran pembagian wilayah yang dapat melukiskan wilayah-wilayah mana yang diperkirakan dapat dikembangkan secara strategis.

Oleh karena itu pemerintah menetapkan pemetaan Strategic Development Region (Wilayah Pengembangan Strategis). Dalam pendekatan ini, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai beberapa unsur strategis, antara lain sumberdaya alam, sumberdaya manusia serta infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara sinergis dan optimal. Selain itu penentuan batas-batas wilayah pengembangan tersebut tidak harus selalu didasarkan atas batasan-batasan administrasi seperti yang berlaku sekarang ini, namun didasarkan pada suatu wilayah ekonomi (economic region) (Tim P4W, 2003).


(36)

Analisis perencanaan untuk Wilayah-Wilayah Pengembangan Strategis akan memandang setiap kawasan menurut konsep nodalitas, yang menekankan pada perbedaan stuktur tataruang di dalam suatu kawasan, dimana antar sub-kawasan atau antar sektor-sektor dalam sub-kawasan tersebut terdapat ketergantungan secara fungsional. Implikasinya, program pembangunan dan pengusahaan program/komoditas akan terpicu untuk "memanfaatkan" saling ketergantungan tersebut sehingga terbentuklah integrasi baik secara vertikal maupun horisontal. Hasil-hasil produksi bahan mentah di sub-kawasan terbelakang (hinterland) akan berkumpul pada "pusat" yang memiliki kegiatan/industri pengolahan produk-produk tersebut dan kegiatan distribusinya. Dalam konteks ini, tiap kawasan akan memiliki satu atau beberapa kota besar sebagai pusat pertumbuhan (growth centre) yang perkembangannya secara fungsional akan menarik perkembangan kawasan-kawasan di sekitarnya (Tim P4W, 2003).

2.3. Konsep Dayasaing

Daya saing dapat dibedakan dalam berbagai tingkatan. Daya saing nasional mengacu kepada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain. Pengertian ini dipeluas oleh World Economic Forum (WEF), yaitu kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tingi dan berkelanjutan. Institute of Management and Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globalitas dan proksimitas, serta dengan mengintegrasikan


(37)

17 hubungan-hubungan tersebut kedalam suatu model ekonomi dan sosial (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Meskipun terdapat perbedaan definisi antara WEF dan IMC, tetapi kedua lembaga ini elah memilih faktor daya saing yang hampir sama. IMD pertama-tama telah memilih dua faktor, yaitu ekonomi domestik dan internasionalisasi, serta selanjutnya menambah enam faktor lain, yaitu pemerintah, manajemen, keuangan, infrastruktur, ilmu pengetahuan dan teklnologi, dan sumberdaya manusia. WEF merubah kedua faktor pertama, yaitu dari perekonomian domestik menjadi lembaga sipil dan internasionalisasi menjadi keterbukaan, sedangkan keenam faktor lainnya sama (Cho dan Moon, 2003)

Berdasarkan Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004, keunggulan daya saing daerah penting karena dua alasan. Pertama, untuk menyadarkan bahwa keunggulan kompetitif suatu perusahaan tidak sepenuhnya tergantung pada masing-masing usaha internal. Ada tempat-tempat di mana orang lebih mudah menciptakan usaha yang kompetitif dibanding tempat-tempat lain. Ini tidak hanya berlaku untuk negara; tetapi juga berlaku untuk wilayah-wilayah dalam suatu negara.

Kedua, ada dua tipe keunggulan kompetitif yang harus dikenali, yaitu keunggulan kompetitif statis dan keunggulan kompetitif dinamis. Keunggulan kompetitif merujuk pada faktor-faktor seperti lokasi geografis, sedangkan keunggulan kompetitif dinamis merujuk pada kedisiplinan pekerja industri di daerah itu. Lokasi geografis merupakan faktor persaingan yang penting, tetapi hal tersebut berlaku untuk banyak daerah lain. Kedisiplinan pekerja (konsisten untuk bekerja, mengerti akan pentingnya kualitas, dan penggunaan waktu yang disiplin)


(38)

menjadi keunggulan kompetitif yang penting ketika di daerah lain hal itu merupakan suatu masalah. Suatu daerah yang mempunyai karakteristik demikian berpotensi untuk mengembangkan klaster industri.

2.4 Sistem Agribisnis dan Klaster Industri

Agribisnis merupakan paradigma baru yang telah digunakan dalam upaya-upaya pembangunan pertanian di Indonesia. Agribisnis diartikan lebih luas daripada bisnis yang dilaksanakan dalam lingkup on farm, menghasilkan produk pertanian semata. Agribisnis mencakup pula bisnis di sektor hulu (penyediaan bahan baku dan barang modal untuk menunjang aktivitas pertanian), bisnis di sektor hilir (pengolahan produk-produk pertanian menjadi barang jadi dan setengah jadi), pemasaran input, output dan hasil olahan pertanian, serta bisnis jasa dan penunjang (seperti perkreditan, penelitian, penyuluhan, transportasi, dan lainnya). Dengan demikian, agribisnis merubah dari pendekatan sektoral menjadi intersektoral, dan dari produksi ke bisnis. Departemen Pertanian (2001) menggambarkan intersectoral linkages dalam sistem agribisnis sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 tampak bahwa agribisnis mengaitkan subsistem-subsistem agribisnis hulu, usahatani, pengolahan, pemasaran serta jasa dan penunjang menjadi suatu sistem yang saling terintegrasi (an integrated system).

Subsistem agribisnis hulu merupakan kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi pertanian, seperti industri agro-kimia (industri pupuk dan pestisida), industri benih dan bibit komoditas pertanian, serta industri agro-otomotif (industri alat mesin pertanian serta peralatan pengolahan hasil


(39)

19 pertanian). Subsistem usahatani (on-farm) merupakan kegiatan pemanfaatan sarana produksi yang dihasilkan dari sistem agribisnis hulu untuk menghasilkan produk-produk pertanian primer, baik di bidang tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan, maupun kehutanan.

Subsistem agribisnis hilir merupakan kegiatan industri yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk-produk olahan, baik berupa barang setengah jadi (intermediate products) maupun barang jadi (final products). Subsistem pemasaran merupakan aktivitas pemasaran, untuk komoditas pertanian primer maupun produk hasil olahan, baik untuk tujuan pasar domestik maupun internasional. Sementara subsistem terakhir, subsistem jasa dan penunjang, merupakan kegiatan yang menyediakan jasa bagi sistem agribisnis, seperti lembaga keuangan, lembaga penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan pertanian, serta transportasi dan pergudangan. Dengan demikian, sistem agribisnis memandang aktivitas pertanian dalam arti luas, baik aktivitas on-farm maupun off-farm.

Subsistem Pemasaran Subsistem

Usahatani

Subsistem Pengolahan Subsistem

Agribisnis Hulu

Subsistem Jasa dan Penunjang


(40)

Syaukat (2006) mengungkapkan bahwa Departemen Pertanian, pada tahun 2000, telah menetapkan bahwa strategi dasar pembangunan pertanian adalah membangun usaha dan sistem agribisnis yang tangguh. Sistem tersebut paling tidak memiliki empat karakterisktik, yaitu: (1) berdayasaing, (2) berkerakyatan, (3) berkelanjutan, dan (4) terdesentralisasi.

1. Sistem agribisnis yang berdayasaing dicirikan oleh tingkat efisiensi, mutu, harga dan biaya produksi, serta kemampuan untuk menerobos pasar, meningkatkan pangsa pasar, serta memberikan pelayanan yang profesional. Pengembangan sistem agribisnis yang berdayasaing harus memperhatikan aspek permintaan maupun penawaran. Dalam hal ini, produk yang dikembangkan harus yang benar-benar berdayasaing (mampu bersaing) dan dikehendaki pasar (market driven). Dengan demikian, pendekatan lama yang berorientasi pada supply driven - apa yang dapat diproduksi - perlu ditinggalkan.

2. Sistem agribisnis berkerakyatan dicirikan oleh berkembangnya usaha produktif yang melibatkan masyarakat secara luas, baik dalam peluang berusaha, kesempatan kerja, maupun dalam menikmati nilai tambah (pendapatan). Pengembangan sistem ini tidaklah berarti hanya pengembangan usaha kecil dan menengah saja, tetapi juga dapat melibatkan usaha skala besar dalam konsep kemitraan.

3. Pengembangan sistem agribisnis yang berkelanjutan merupakan usaha pengembangan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya agribisnis yang semakin besar dan mantap dari waktu ke waktu, dan semakin mensejahterakan masyarakat, baik dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan


(41)

21 hidup. Dalam hal ini, pelaku agribisnis tidak hanya melihat jangka pendek (myopic) saja, tetapi juga kepentingan jangka panjang yang mengakomodasikan pelestarian lingkungan hidup dan plasma nutfah (biodiversity).

4. Pengembangan agribisnis yang terdesentralisasi merupakan upaya-upaya pengembangan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan wilayah setempat, serta memiliki keunggulan kompetitif (competitive advantage). Dengan demikian, pengembangan agribisnis pada dasarnya merupakan aktivitas pembangunan ekonomi lokal. Hal ini sesuai dengan esensi otonomi daerah, yakni melakukan desentralisasi dan pemerataan pembangunan yang berkeadilan.

Klaster industri (industry cluster) merupakan suatu kumpulan (aglomerasi) beberapa produsen, pembeli, dan supplier berdasarkan letak geografis yang beroperasi di dalam suatu jenis industri tertentu (Richard, 2005). Di dalam klaster industri, bagian dari komunitas sosial dan agen-agen ekonomi bekerjasama dalam aktivitas ekonomi yang saling terkait dalam bentuk persediaan produk, teknologi, dan pengetahuan untuk menghasilkan produk dan pelayanan yang unggul.

Klaster industri dibentuk untuk meningkatkan inovasi melalui pertukaran pengetahuan yang intensif, menstimulasi inovasi dan proyek-proyek kerjasama, serta mensinerjikan antara permintaan perusahaan dengan kemampuan lembaga-lembaga yang ada di dalam klaster. Dengan demikian, pembentukan klaster akan membawa kemakmuran ke dalam suatu wilayah dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi wilayah.


(42)

Corebest1 (2006) mengungkapkan bagaimana hubungan antara produk unggul (berdayasaing) dengan daerah unggul (berdayasaing) sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Daerah unggul, yaitu daerah yang mampu memberikan iklim paling produktif bagi dunia usaha, akan dipengaruhi oleh kondisi klasternya, yakni sekumpulan perusahaan yang saling terkait dalam hal khusus yang menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada himpunan perusahaan yang lain. Selanjutnya, klaster unggul ini dipengaruhi oleh sekumpulan perusahaan unggul, yakni perusahaan-perusahaan yang mampu mengatasi perubahan dan persaingan pasar dalam memperbesar atau mempertahankan keuntungan, pangsa pasar dan skala usahanya. Terakhir, perusahaan unggul dipenaruhi ditentukan oleh produk unggul, yaitu produk berupa barang atau jasa yang mampu selalu menjadi pilihan konsumen untuk membeli.

2.5 Strategi Pengembangan Kawasan Berbasis Klaster

Beberapa negara menjadikan kawasan industri sebagai fokus dari pembangunan ekonomi wilayah. Strategi kawasan berbasis klaster menawarkan cara yang lebih efektif dan efisien dalam mengembangkan industri, membangun ekonomi wilayah secara lebih kuat, dan mempercepat pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Klaster industri juga meningkatkan hubungan antar berbagai industri dan lembaga yang terkait dalam klaster tersebut.

1Corebest (Collaboration for Regional Environmental Business Strengthening). 2006. Daerah Unggul atau Unggulan Daerah. www.Corebest.net


(43)

23

Gambar 3. Keterkaitan antara Produk, Perusahaan, Klaster, dan Daerah Unggul

Tingkat cakupan strategi klaster industri sangat beragam. Pemerintah daerah seyogyanya menyelenggarakan suatu inisiatif pembangunan ekonomi dengan menggunakan kerangka kerja klaster industri. Pemerintah daerah mengkoordinasikan berbagai lembaga untuk memantau klaster industri. Sementara pemerintah daerah melakukan upaya-upaya koordinatif, perusahaan-perusahaan industri menggerakkan klaster (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004).

Lembaga-lembaga di tingkat nasional ataupun daerah, seperti penyelenggara pendidikan dan kursus, lembaga penelitian, penyelenggara jasa transportasi dan teknologi, LSM, dan lain-lain. memberikan dukungan yang penting dalam perkembangan klaster. Lembaga-lembaga tersebut bekerja secara kolaboratif dalam sebuah klaster (bukan sebagai lembaga-lembaga yang berdiri sendiri)

Produk unggul

Perusahaan unggul

Klaster industri unggul


(44)

dalam menjalankan program-program kunci.

Strategi klaster industri tidak mengharuskan pemerintah menyediakan insentif khusus, yang biasanya mengabaikan kepentingan pihak lain. Klaster didorong untuk menentukan corak dan karakternya sendiri. Jika sebuah klaster dapat mengorganisasikan dirinya sendiri dan menunjukkan nilai positif bagi ekonomi wilayah, maka pemerintah daerah dapat kemudian bekerja sama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga pendukung lainnya dalam membangun klaster tersebut. Pada tahap ini pemerintah pusat baru perlu memberikan dukungan yang diperlukan, misalnya insentif perpajakan, perijinan, dan kemudahan-kemudahan lain (Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, 2004)

Michael Porter, 1994, telah meneliti tentang klaster industri di tingkat kota/kabupaten, propinsi, dan internasional. Berdasarkan penelitiannya, ia mengembangkan apa yang dinamakan “diamond of advantage”, suatu model yang menawarkan pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam klaster maupun tentang persaingan yang terjadi di dalamnya. Porter berpendapat bahwa daerah akan mengembangkan suatu keunggulan kompetitif berdasarkan kemampuan inovasi, dan vitalitas ekonomi merupakan hasil langsung dari persaingan industri lokal.

Competitive advantage (keuntungan kompetitif atau dayasaing) merupakan modernisasi dari teori sebelumnya comparative advantage (keuntungan komparatif). Pada dasarnya, comparative advantage suatu daerah terjadi akibat adanya “warisan” faktor-faktor produksi, seperti tenaga kerja atau enerji murah, atau sumberdaya alam yang melimpah, sementara competitive


(45)

25 advantage harus diciptakan. Jika kita melihat sejarah pembangunan, tampak bahwa masing-masing perusahaan, daerah, wilayah dan negara masing-masing sibuk menciptakan competitive advantage mereka. Pertumbuhan industri yang berkelanjutan (sustained industrial growth) jarang sekali didasarkan pada faktor-faktor yang diwariskan tersebut.

Porter (1990) mengungkapkan adanya empat faktor yang akan menentukan competitive advantage suatu perusahaan, daerah atau negara. Salingketerkaitan diantara keempat faktor tersebut diilustrasikan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Model Berlian Porter (Porter’s Diamond)

Faktor-faktor penentu keunggulan suatu daerah (bangsa) dapat adalah sebagai berikut:

Kondisi Sumberdaya

Persaingan Domestik

Kondisi Industri terkait dan Industri Penunjang

Kondisi Permintaan


(46)

1. Business strategies and structures and rivalry (Strategi, Struktur dan Persaingan Bisnis): Porter melihat bahwa salah satu karakteristik dari ekonomi yang berdayasaing (competitive economies) adalah adanya persaingan yang tajam antar perusahaan di tingkat nasional. Dalam pandangan statis, bangsa yang unggul akan menikmati keuntungan dari skala usaha (advantages of scale); tetapi, dunia nyata didominasi oleh kondisi-kondisi dinamis (dynamic conditions), dan di sini persaingan langsung (direct competition) menuntut masing-masing perusahaan untuk terus meningkatkan produktivitas dan inovasinya (productivity and innovation). Dalam hal ini, kompetisi yang awalnya tak terlihat berubah menjadi kompetisi yang nyata (rivalry), khususnya yang berada di suatu wilayah tertentu; dimana masing-masing kompetitor akan berpedoman pada: "The more localized the rivalry, the more intense. And the more intense, the better" (Porter 1990, 83).

Kondisi-kondisi lokal akan mempengaruhi strategi perusahaan atau daerah. Strategi-strategi ini akan mempengaruhi tipe industri yang akan berkembang di suatu daerah/wilayah/negara.

• Pada suatu saat tertentu, suatu perusahaan lebih menginginkan tingkat persaingan lokal yang rendah; akan tetapi dalam jangka panjang persaingan lokal yang tinggi akan mendorong perusahaan untuk lebih inovatif dan meningkatkan kinerjanya.

• Persaingan lokal bisa mendorong perusahaan melampaui keuntungan dasar (basic advantages) yang dimiliki suatu bangsa, misalnya tenaga kerja murah.


(47)

27 2. Related and supporting industries (keberadaan industri pendukung

dan yang berhubungan): Keberadaan upstream or downstream industries akan mendorong terjadinya pertukaran informasi dan mengembangkan suatu proses pertukaran ide dan inovasi.

• Ketika pendukung industri lokal bersifat kompetitif, perusahaan akan lebih efisien dalam berproduksi dan akan mendorong penggunaan input yang lebih inovatif.

• Efek ini akan lebih besar lagi, apabila supplier inputnya juga menghadapi persaingan kuat di pasar internasional.

3. Factor conditions (Kondisi Faktor Produksi): Kondisi ini mencakup, misalnya ketersediaan tenaga kerja berkualifikasi tertentu atau infrastruktur yang memadai. "Contrary to conventional wisdom, simply having a general work force that is high school or even college educated represents no competitive advantage in modern international competition. To support competitive advantage, a factor must be highly specialized to an industry’s particular needs - a scientific institute specialized in optics, a pool of venture capital to fund software companies. These factors are more scarce, more difficult for foreign competitors to imitate - and they require sustained investment to create" (Porter 1990, 78).

• Suatu negara cenderung menghasilkan faktor-faktor penting bagi negara tersebut, misalnya tenaga kerja yang berkualifikasi atau pengembangan teknologi tertentu


(48)

• Ketersediaan faktor produksi pada suatu saat tertentu kurang menentukan, tetapi bagaimana ia digunakan atau dikembangkan akan lebih berperan

• Kekurangan-kekurangan lokal dalam faktor produksi akan mendorong inovasi. Misalnya, kekurangan tenaga kerja atau bahan baku akan mendorong perusahaan untuk melakukan inovasi metode produksi baru, dan inovasi ini bisa mengarah kepada competitive advantages bangsa tersebut.

4. Demand conditions (Kondisi Permintaan): Semakin menuntutnya konsumen di suatu perekonomian, akan semakin mendorong perusahaan untuk terus mengembangkan kompetitifnya melalui inovasi produk baru - dengan kualitas bagus dan lainnya. Semakin me-lokal tingkat kompetisi ini, akan semakin dirasakan oleh perusahaan yang ada, sehingga perusahaan akan lebih berinovasi untuk dapat meningkatkan kinerjanya untuk dapat lebih memuaskan pelanggannya.

• Semakin banyak produk yang di pasarkan secara lokal, perusahaan akan lebih memperhatikan produk yang dihasilkannya; sehingga mengarah kepada kondisi competitive advantages ketika perusahaan tersebut memulai debut internasionalnya (mengekspor produknya ke luar)

• Semakin tinggi proporsi penjualan lokal akan semakin mendorong keuntungan nasional


(49)

29 • Suatu perusahaan dengan orientasi pasar lokal akan mendorong

perusahaan lokal untuk bersiap-siap bersaing di pasar internasional Keempat faktor tersebut jika saling kait dan saling mendukung antara satu dengan lainnya akan menentukan dayasaing daerah (bangsa). Berlian sebagai suatu sistem memiliki karakteristik:

• Pengaruh suatu faktor tergantung faktor lainnya. Misalnya, kelemahan faktor (disadvantages factor) tidak akan mendorong perusahaan untuk lebih inovatif jika tidak ada persaingan yang cukup ketat.

• Terkadang sistem berlian tersebut bersifat menguatkan sendiri ( self-reinforcing system). Misalnya, tingkat persaingan yang tinggi seringkali mengarah kepada pembentukan unique specialized factor.

Sebagai pelengkap terhadap keempat faktor di atas, Porter telah menyer-takan peran pemerintah dan peluang. Peristiwa historis dan campur tangan pemerintah cenderung berperan secara signifikan dalam pembangunan klaster industri. Dalam hal ini Pemerintah berperan sebagai:

• Mendorong perusahaan untuk terus meningkatkan kinerjanya, misalnya dengan mengenakan standar produk yang tegas.

• Mendorong tumbuhnya permintaan awal bagi produk-produk lanjutan (advanced products).

• Fokus dalam menciptakan faktor-faktor yang spesial (specialized factors)

• Menstimulasi persaingan lokal dengan “membatasi kerjasama” dan memperkuat antitrust regulations.


(50)

• Meningkatkan peranserta masyarakat dalam pengembangan bisnis di tingkat lokal

2.6 Manfaat Kawasan Pengembangan Strategis

Kawasan pengembangan strategis berbasis klaster menawarkan berbagai keuntungan dan peluang bagi perkembangan suatu wilayah. Keuntungan yang sangat nyata adalah kemampuan pihak industri, pemerintah (khususnya pemerintah daerah), dan lembaga-lembaga pendukung dalam bekerja sama memperkuat perekonomian wilayah. Hal ini akan mengarah pada pemanfaatan sumber daya publik maupun swasta dan membantu pemerintah daerah dalam membangun klaster-klaster yang dinamik dan kuat. Klaster-klaster pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Strategi klaster juga membantu pemerintah daerah mengatasi isu-isu krusial seperti keterbatasan sumber daya manusia, masalah perencanaan dan pembangunan infrastruktur, dan pembangunan sosial kemasyarakatan. Berikut ini beberapa manfaat dari Kawasan Pengembangan Strategis yang dikutip dari Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk Percepatan Pembangunan Daerah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal Bappenas (2004):

2.6.1 Peluang yang Timbul dalam Kawasan Pengembangan Strategis

Kawasan Pengembangan Strategis menawarkan peluang-peluang penting bagi daerah yaitu berupa meningkatnya hubungan antar sektor-sektor bisnis kunci. Daerah seringkali termotivasi atau dituntut untuk mengadopsi strategi klaster


(51)

31 industri akibat dari berbagai krisis: pengangguran tinggi, resesi, stagnasi ekonomi, kemunduran sektor properti, atau matinya industri-industri kunci. Namun, daerah juga dapat meraih berbagai peluang yang dihasilkan dari pendekatan pengembangan kawasan berbasis klaster. Berikut ini adalah contohnya.

Pembangunan dan peningkatan infrastruktur seringkali memerlukan investasi dan perencanaan dalam skala besar. Sumberdaya untuk hal itu seringkali tidak mencukupi. Strategi klaster industri membantu daerah untuk mengatur tingkat prioritas investasi dan menjamin bahwa infrastruktur yang dibangun dalam kawasan tersebut akan memberikan perolehan yang efektif dan efisien. Sebagai contoh, jika klaster teknologi informasi dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu daerah, maka telekomunikasi dan sumberdaya manusia akan menjadi investasi yang penting dan tepat dalam meningkatkan pertumbuhan kawasan itu.

2.6.2 Manfaat Bagi Ekonomi Wilayah

Strategi klaster merupakan sebuah strategi pembangunan ekonomi wilayah. Strategi ini menyediakan cara yang terkoordinasi dan efisien dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Dengan memasukkan pendekatan klaster sebagai kunci dalam strategi pembangunan ekonomi wilayah, maka pemerintah daerah akan mudah mengkoordinasikan, menghindari layanan ganda, dan mengembangkan pendekatan yang lebih komprehensif dalam pembangunan ekonomi wilayahnya.

Pendekatan klaster dan koordinasi yang diciptakannya juga membantu suatu industri dalam menyusun prioritas dan menciptakan hubungan yang mapan dan


(52)

konstruktif dengan pemerintah daerah. Ini tidak berarti bahwa industri menyusun prioritas lalu meminta pemerintah daerah untuk menanggulangi permasalahan mereka dan menyediakan dana. Namun sebaliknya, industrilah yang mengambil inisiatif sementara pemerintah dan lembaga pendidikan memainkan peran sebagai penyedia fasilitas dan dukungan. Hasilnya, pendekatan klaster akan menumbuhkan iklim bisnis yang sehat. Kondisi ini akan membantu perusahaan yang telah ada dan mengundang perusahaan-perusahaan baru.

2.6.3 Manfaat Bagi Pemerintah

Strategi pengembangan kawasan berbasis klaster industri memungkinkan pemerintah daerah mengarahkan sumberdaya secara lebih efektif dan efisien. Melakukan banyak program yang hanya memenuhi kebutuhan satu atau dua perusahaan bagi pemerintah adalah tidak adil, oleh sebab itu peran pemerintah daerah harus lebih difokuskan untuk menyokong kebutuhan banyak perusahaan dengan kebutuhan yang mirip. Pendekatan klaster industri memungkinkan pemerintah daerah untuk bekerja langsung dengan industri-industri dan mengembangkan strategi dalam membangun ekonomi wilayah yang berkelanjutan.

2.6.4 Manfaat Bagi Industri yang Sudah Mapan Maupun yang Baru Lahir Strategi klaster industri menempatkan pentingnya kebutuhan industri atau klaster dan memfokuskan diri pada sumberdaya publik dan swasta dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Klaster industri mengidentifikasi kebutuhan utamanya sendiri, lalu bekerja sama dengan sektor publik dan swasta untuk


(53)

33 memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan ini mungkin meliputi program pelatihan khusus dari suatu universitas ataupun pembangunan infrastruktur telekomunikasi, transportasi, dan kebutuhan lainnya.

2.6.5 Manfaat bagi Tenaga Kerja

Strategi klaster industri memfokuskan diri dalam pengembangan sumberdaya manusia yang handal dan pelatihan yang akan memacu terciptanya industri yang kompetitif dan inovatif. Klaster industri menawarkan manfaat nyata dalam membantu menyusun prioritas pendidikan dan pelatihan di suatu kawasan atau daerah. Klaster juga menyediakan kepada siswa dan tenaga kerja terampil kesempatan untuk memperoleh keahlian, baik yang umum maupun spesialis.

Begitu pasar tenaga kerja mulai menyempit dan kebutuhan terhadap tenaga kerja terampil mulai meningkat, maka ketersediaan tenaga kerja terampil dalam skala wilayah menjadi sangat penting. Perusahaan umumnya lebih menyukai lokasi yang memiliki suplai yang baik atas tenaga kerja terampil (kualitas tinggi, produktivitas tinggi) dibanding dengan prasyarat lain seperti pajak. Suatu daerah yang memahami kekuatan ini, dan mampu membuat kerangka kerja yang baik untuk bekerja dengan industri-industri kunci, lembaga pendidikan dan pelatihan, dan berbagai penyedia layanan lainnya, maka daerah ini akan lebih berhasil dalam menciptakan industri-industri yang maju dan lebih berhasil dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi penduduknya.

2.6.6 Manfaat Bagi Masyarakat


(54)

meningkatkan efisiensi dan efektivitas melalui penyelenggaraan layanan yang ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dalam jumlah besar di dalam kawasan. Organisasi kemasyarakatan juga dapat bekerja sama dengan industri dan lembaga-lembaga publik dalam mengarahkan masyarakat menuju dunia kerja yang menjanjikan masa depan yang lebih baik. Dengan memperhatikan kebutuhan klaster industri, organisasi kemasyarakatan dapat mengembangkan program yang lebih luas yang melengkapi industri yang ada di kawasan tersebut.

Komunitas perdesaan akan memperoleh manfaat dari strategi klaster industri dengan membangun dan memperkuat industri kunci mereka sendiri. Industri-industri ekspor dapat menggerakkan vitalitas kawasan tersebut dan memungkinkan berkembangnya berbagai industri pendukung lainnya. Industri pendukung tersebut -restoran, toko, rumah sakit, dan tempat-tempat rekreasi – memberi kontribusi bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Klaster industri juga merupakan pilihan yang baik dalam membangun modal sosial (hubungan sosial yang dapat meningkatkan produktivitas) di suatu daerah. Klaster yang diwakili oleh industri, pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi lainnya akan bekerja bersama dalam meningkatkan ekonomi. Hubungan sosial yang dibangun ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kesuksesan ekonomi suatu daerah.

2.7 Strategi Pengembangan Prasarana Wilayah

Strategi pengembangan prasarana dalam mendukung pengembangan wilayah pada umumnya diturunkan dari visi dan misinya. Visi untuk setiap jenis prasarana berbeda-beda, tetapi ada kesamaannya, yaitu pelayanan publik. Visi


(55)

35 pengembangan prasarana wilayah adalah tersedianya prasarana wilayah yang andal, efisien, adaptif dan antisipatif dalam mendukung perekonomian wilayah.

Sedangkan misinya secara umum adalah mempromosikan, mendukung dan membuka akses ke wilayah yang lebih luas. Dalam hal ini, untuk wilayah yang terbelakang, misinya lebih menonjol untuk membuka akses, untuk wilayah yang mulai berkembang misi yang lebih dominan adalah sebagai pendorong dan untuk daerah yang sudah berkembang, misi yang dominan adalah sebagai pendukung pengembangan wilayah (Mukti, 2002). Dalam rantai nilai produk unggulan suatu wilayah, peta posisi prasarana wilayah dapat dilihat pada Gambar 5.

prasarana wilayah manajemen

perdagangan

input proses output distribusi/ jasa pasar

Sumber: Mukti (2002)

Gambar 5. Posisi Prasarana Wilayah dalam Sistem Rantai Nilai Produk Unggulan

Bila melihat misinya, maka pilihan strategi umumnya yang diambil adalah:

1. membangun prasarana baru

2. perbaikan dan peningkatan prasarana yang ada 3. penataan kewenangan dan kelembagaan 4. optimalisasi pemanfaatan prasarana yang ada 5. efisiensi dalam operasional pemanfaatannya


(56)

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai Kawasan Pengembangan Strategis yang dilaksanakan oleh Tim P4W, IPB (2003) mengenai Penyusunan Strategic Development Region. Pada penelitian ini dilakukan pemetaan Kawasan Pengembangan Strategis. Hasil analisis SDR pada studi ini dibagi dalam dua bagian besar, yaitu analisis SDR Sumatera dan analisis SDR Luar Sumatera. Perbedaan yang mendasar pada ke dua bagian analisis adalah pada analisis input-output. Analisis Sumatera menitikberatkan analisis pada individual input-output daerah dan hubungan antar daerah dilakukan dengan analisis gravitasi dengan metoda ekonometrik. Analisis Luar Sumatera menggunakan input-output antar propinsi yang tidak memerlukan analisis gravitasi.

Sementara itu untuk kajian daya saing, Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas pada tahun 2004 melakukan kajian mengenai Kajian Strategi Pengembangan Kawasan dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Daya Saing Daerah, dengan studi kasus di Kelompok Industri Rotan Cirebon, Industri Logam Tegal dan Industri Batik Pekalongan yang ditinjau dari perspektif klaster. Kajian ini mencoba menyusun strategi untuk mengembangkan kawasan dalam rangka mendukung akselerasi peningkatan daya saing daerah. Adapun strategi klaster digunakan sebagai pendekatan karena dinilai mampu untuk meningkatkan kemampuan ekonomi daerah; klaster bersifat lokalitas, mampu mendorong penciptaan inovasi, serta mampu menciptakan sinergitas antar pelaku-pelaku yang terkait.

Siregar (2006) melakukan studi tentang model pengembangan agro-based cluster bagi peningkatan dayasaing industri kelapa sawit Indonesia. Dayasaing


(57)

37 dalam hal ini diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu barang dan jasa yang sesuai dengan tuntutan pasar internasional dan bersamaan dengan itu kemampuan menciptakan suatu kesejahteraan berkelanjutan bagi warganya. Dalam penelitin ini kinerja industri kelapa sawit Indonesia dibandingkan dengan kinerja industri kelapa sawit Malaysia dalam memenuhi permintaan China.

Hasil penelitian Siregar (2006) ini menunjukkan bahwa kinerja ekspor minyak sawit Malaysia memiliki keunggulan dayasaing relative lebih baik dari Indonesia. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja dayasaing industri kelapa sawit Indonesia di China adalah: peningkatan produksi dan produktivitas, kecenderungan permintaan internasional, kemampuan menggunakan teknologi baru dalam perbenihan, kemampuan bersaing terhadap produsen utama lainnya, pengembangan pasar luar negeri, dan kebijakan pemerintah di sektor pajak/retrebusi. Penelitian ini menyarankan agar: (1) pengembangan kawasan kelapa sawit diintegrasikan dengan industrinya (cluster); (2) peranan pemerintah sebagai fasilitator, dinamisator, regulator harus mampu mendorong pengembangan industri kelapa sawit secara lebih efisien; dan (3) peningkatan peranan lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai sumber teknologi dan dukungan bagi petani pekebun dan pelaku usaha lainnya.

Tambunan (2006) melakukan kajian terhadap faktor-faktor penentu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasca krisis ekonomi 1998, Indonesia telah menunjukkan kembali pertumbuhan ekonominya. Namun, pertumbuhan ekonomi tersebut relatif masih lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara lain yang terkena krisis, seperti Korea Selatan dan Thailand; serta masih tingginya


(58)

pengangguran. Paradoks pertumbuhan-pengangguran tersebut terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia bukan bersumber dari sektor-sektor utama, yakni sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel, dan restoran; serta sektor pertanian.

Tambunan mengemukakan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan bagi pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Tetapi, ia harus diikuti dengan syarat kecukupannya, yakni peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi tersebut, sehingga memiliki daya serap yang lebih tinggi terhadap angkatan kerja, mendorong pemberdayaan kelompok-kelompok miskin, dan memiliki sifat yang berkelanjutan. Kondisi ini dapat direalisasikan hanya jika investasi sektor swasta dan publik dapat ditingkatkan guna membangun sektor-sektor padat karya. Disamping itu, prioritas investasi hendaknya untuk pengembangan infrastruktur perekonomian, kualitas sumberdaya manusia, dan kualitas pelayanan publik. Investasi perlu diarahkan kepada pengembangan pertanian dalam arti luas dan industri hasil pertanian yang mendukung perkembangan peranan usaha kecil dan menengah dalam perekonomian.

2.9 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan teori daya saing dari Michael Porter, faktor-faktor pemicu inovasi dan pertumbuhan suatu klaster adalah kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, kondisi persaingan dan kondisi penunjang. Selanjutnya dari beberapa daerah kajian akan dianalisis komoditas yang memiliki daya saing, yang akan dianalisis menggunakan analisis LQ.


(59)

39 Dalam pembangunan ekonomi daerah, pemilihan jenis produk yang akan dikembangkan haruslah pada produk (barang dan jasa) yang memiliki keunggulan (berdayasaing). Menurut Porter (1990), competitive advantages timbul ketika perusahaan mampu memasok (menawarkan) produk dengan tingkat harga yang sama dengan yang dipasok oleh perusahaan lain, namun dengan tingkat biaya yang lebih rendah (cost advantage) atau menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi (differentiation advantage); sehingga perusahaan tersebut mampu menciptakan nilai-nilai unggul (superior value) di mata konsumennya. Dengan nilai-nilau unggul ini, maka komoditas yang dihasilkan akan dapat diterima pasar, sehingga nilai tambah (added value) yang diperoleh dari produksi komoditas tersebut akan berkelanjutan (sustainable).

Setelah diketahui komoditas unggulan dan kawasan yang memiliki daya saing teridentifikasi, maka proses selanjutnya adalah pengerahan daya dan upaya untuk melakukan pembangunan Kawasan Strategis Nasional tersebut. Dalam hal ini, pengikutsertaan berbagai pihak dalam program investasi dan pelaksanaan pembangunan menjadi penting. Pihak-pihak yang terkait dapat terdiri atas pemerintah, swasta, dan masyarakat. Sektor swasta berperanan dalam program investasi, pemerintah berperan dalam menentukan strategi dan program fasilitasi pembangunan yang mampu melibatkan dan memberdayakan masyarakat. Dengan demikian, program pembangunan Kawasan Strategis Nasional di Provinsi Riau tersebut diharapkan dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, pengusaha dan wilayah (Gambar 6). Kajian ini akan lebih memfokuskan diri pada perumusan strategi dan program fasilitasi pembangunan Kawasan Strategis Nasional.


(60)

Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional Kondisi

Sumberdaya

Komoditas Berdayasaing

Kondisi Penunjang Kondisi

Persaingan Kondisi

Permintaan

Peran Pemerintah

Peran Swasta dan Masyarakat

Kawasan Berdayasaing Strategi & Program

Fasilitasi Pemb.

Program Investasi

Peningkatan Ekonomi Masyarakat, Pengusaha, dan Wilayah


(61)

41

III. METODOLOGI KAJIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Kajian

Kajian dilakukan di Provinsi Riau, dan melibatkan seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Riau, terutama pada daerah-daerah di dalam Kawasan Strategis Nasional. Pelaksanaan kajian dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 hingga Januari 2007. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan

bahwa daerah-daerah tersebut akan berperan penting dalam pengembangan Kawasan Strategis Nasional. Kota Dumai mendapatkan perhatian khusus dalam kajian ini karena Kota Dumai merupakan pusat dari Kawasan Strategis Nasional yang akan dikembangkan di Provinsi Riau.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan dalam kajian ini berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder mencakup: kondisi sumberdaya (fisik dan manusia), potensi produk dan jasa yang telah dan dapat dikembangkan, infrastruktur (transportasi, listrik, air minum), kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan topik kajian. Data dan informasi tersebut diperoleh dari berbagai dokumen dan laporan berbagai instansi terkait. Dokumen dan laporan yang dihimpun tersebut terdiri atas: Rencana Strategis (Renstra) Provinsi dan Daerah (kabupaten dan Kota), Bahan Presentasi Gubernur, serta Laporan-laporan dari Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah.

Data primer diperlukan dalam rangka penyusunan program pengembangan Kawasan Strategis Nasional. Data tersebut diperoleh melalui wawancara yang


(62)

dilakukan terhadap beberapa experts (tenaga ahli) bidang pembangunan di

Provinsi Riau dan kabupaten/kota terkait, pengusaha dan komponen masyarakat.

3.3. Metoda Pengolahan dan Analisis Data

Alat analisis yang akan digunakan pada kajian ini secara umum terdiri atas empat metode, yakni: analisis disparitas antar-wilayah, analisis location quotient (LQ), analisis dayasaing berdasarkan teori Porter, dan analisis kualitatif (Tabel 1).

Tabel 1. Alat Analisis yang Digunakan dalam Kajian

No Alat Analisis Menganalisis

1 Indeks Williamson Analisis disparitas sosial ekonomi antar daerah (kabupaten dan kota) di Provinsi Riau

2 Location Quotient (LQ) Pemilihan Sektor unggulan di Kawasan Strategis Nasional (KSN)

3 Daya Saing Teori Porter Analisis kualitatif terhadap kondisi faktor, permintaan, industri terkait dan pen-dukung dan persaingan untuk menentukan komoditas unggulan di dalam KSN 4 Analisis Kualitatif Lainnya Keterlibatan dan kerjasama antara

pemerintah, swasta, komunitas, dan luar negeri dalam pembangunan di dalam KSN

3.3.1 Analisis Disparitas Antar-Wilayah

Dispritas ekonomi dan sosial bertujuan untuk menggambarkan kesenjangan ekonomi dan sosial di Riau dari sisi lain. Dalam hal ini dipakai dua variabel yang disatukan dalam sebuah analisis kuadran, yaitu variabel PDRB per


(63)

43 kapita atas dasar harga berlaku dan persentase rumah tangga miskin Riau dengan acuan tahun 2005. Dari hasil analisis ini akan diperoleh sebaran wilayah-wilayah yang memiliki keadaan ekonomi dan sosial yang baik dan yang buruk.

Keterangan:

Ww = Indeks Williamson

Popj = Jumlah penduduk di wilayah j Yj = Pendapatan di wilayah j Pop = Total populasi

Y = Total Pendapatan

Nilai indeks Williamson berkisar antara 0 dan 1. Semakin mendekati angka 1 maka keragaman tingkat pendapatan semakin tinggi. Dengan kata lain ketimpangan pendapatan semakin tinggi

3.3.2 Analisis Location Quotient (LQ)

Location Quotients (LQ) merupakan suatu teknik untuk mengukur kapasitas “ekspor” dari suatu perekonomian lokal dan menentukan kemandirian suatu sektor tertentu. Teknik LQ mengasumsikan: (1) adanya sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografis, (2) produktivitas tenagakerja adalah homogen (sama), dan (3) setiap industri menghasilkan barang yang sejenis di dalam sektor yang bersangkutan.

Metode LQ bertujuan untuk menentukan apakah suatu kegiatan industri di suatu daerah tertentu dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan basis atau non-basis.

(

)

Y

Pop Pop Y Y

Ww=

j− . j/


(64)

Dengan kata lain, metode ini mengukur tingkat kemandirian suatu ekonomi lokal dalam hal pendapatan atau tenaga kerja. Pengukuran LQ dapat diformulasikan secara matematis sebagai berikut (Budiharsono, 2002):

t i

t i i

V V

v v

LQ =

Keterangan:

vi = pendapatan sektor i di daerah vt = pendapatan total di daerah

Vi = pendapatan sektor i di daerah referensi Vt = pendapatan sektor i di daerah referensi

Dengan menggunakan pendekatan teori LQ ini, maka kegiatan masyarakat dapat dibadi menjadi dua, yakni kegiatan basis dan kegiatan non-basis. Suatu kegiatan ekonomi dikatakan kegiatan basis apabila nilai LQ ≥ 1, sementara jika nilai LQ < 1, maka kegiatan ekonomi tersebut dikatakan bukan kegiatan basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa ditujukan untuk ”diekspor” ke luar dari lingkungan masyarakat tersebut, baik ke luar daerah, domestik, maupun internasional. Kegiatan non-basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam lingkungan ekonomi masyarakat tersebut.


(1)

92 • Turut berperanserta mendorong perwakilan Indonesia menjadi duta ekonomi

di luar negeri untuk terlibat dalam pengembangan KSN

6.3.5 Pengembangan investasi dan fasilitas pendukung untuk diversifikasi produk sawit dan pengembangan industri hilir kelapa sawit

a) Peningkatan investasi untuk pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit terintegrasi klaster industrinya. Selama ini produk olahan kelapa sawit baru sampai crude palm oil (CPO). CPO ini memiliki harga yang relatif murah. Untuk meningkatkan nilai tambah dari kelapa sawit, dapat dilakukan pengembangan lebih lanjut menjadi bahan setengah jadi yang dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni oleo-pangan (minyak goreng dan lemak makan – margarine, vanaspati, dan shortening), dan oleo-kimia, yakni penggunaan minyak sawit untuk produk kimia non-pangan, seperti fatty acid, fatty alcohol, fatty amine, bio-diesel (methyl ester), glycerol, ethoxylate dan epoxylate, serta garam metalik (Pahan, 2006). Pengembangan-pengembangan produk ini dapat dikembangan di Kawasan Industri pengolahan produk kelapa sawit di Lubuk Gaung & Pelintung (di Kota Dumai) b) Penciptaan iklim yang kondusif dan rasa aman bagi investor melalui pembentukan

tim pemantau kondisi iklim investasi dan pelayanan pengaduan investor di Provinsi Riau

c) Penyusunan mapping dan zoning antara luas areal kebun kelapa sawit dengan jumlah dan kapasitas oleh pabrik kelapa sawit dalam suatu kawasan tertentu, khususnya untuk Kawasan Strategis Nasional – sebagai kawasan pengembangan industri kelapa sawit yang baru


(2)

93 d) Peningkatan peran lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai sumber

teknologi maupun dukungan petani pekebun dan pelaku usaha lainnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan dayasaing minyak sawit dan produk olahan kelapa sawit Indonesia lainnya dibandingkan dengan negara pesaing (khususnya Malaysia).

6.3.6 Pengembangan sumberdaya manusia

a) Pemberdayaan petani dan organisasi petani, sehingga petani dapat meningkatkan produktivitas kebun sawit

b) Pengembangan program pendidikan, pelatihan, dan magang petani dan petugas. Dalam mempersiapkan tenaga yang siap pakai untuk industri kelapa sawit, maka perlu pendidikan dan latihan bagi calon para pekerja dan petugas yang terkait dengan produksi dan industri kelapa sawit. Untuk itu, maka perlu program-program pendidikan dan latihan yang dilakukan di Balai Latihan Kerja (BLK) berbasis penguasaan teknologi agroindustri bio-enerji berskala internasional di Kota Dumai.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Piter et al., 2002, Daya Saing Daerah, BPFE Yogyakarta.

Bappenas,. 2004a. Kajian Strategi Pengembangan Kawasan dalam Rangka Mendukung Akselerasi Peningkatan Dayasaing Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal - Bappenas, Jakarta. Bappenas,. 2004b. Tata Cara Perencanaan Pengembangan Kawasan untuk

Percepatan Pembangunan Daerah. Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal – Bappenas, Jakarta.

BPS Provinsi Riau. 2006. Riau dalam Angka Tahun 2006. BPS Provinsi Riau, Pekanbaru

Budiharsono, Sugeng. 2002. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta

Dong-Sung Cho Dan Hwy-Chang Moon, 2003, From Adam Smith To Michael Porter, Evolusi Teori Daya Saing. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Hanafiah, T. 1993. Kebijakan dan Perencanaan Pembangunan Wilayah. Makalah pada pelatihan Pengembangan Sumberdaya Manusia bagi staf Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri di Cipayung 25-29 Januari 1993.

Pahan, Iyung. 2006. Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Pemerintah Provinsi Riau. 2006. Informasi Eksekutif 2006. Pemerintah Provinsi Riau, Pekanbaru.

Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of the Nations. Free Press, New York.

Porter, Michael E. 1993/1994, Keunggulan Bersaing, Menciptakan dan Mempertahankan Kinerja Unggul, Harvard Business Review.

Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. 2002. Penyusunan Strategic Development Regions (SDR). Tim P4W IPB, Bogor.

Siregar, Hermanto. 2006. Perspektif Model Agro-based Cluster Menuju Peningkatan Dayasaing Industri. Agrimedia Vol 11 (Desember) : 17-68. Soesilo, Nining I. 2002. Manajemen Strategik di Sektor Publik: Pendekatan


(4)

94

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1 Kesimpulan

Provinsi Riau mengalami gejala paradoks pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan bukan bersumber dari sektor-sektor utama yang memiliki pengaruh yang kuat ke masyarakat, yakni sektor pertanian, dan sektor industri pengolahan hasil-hasil pertanian; yang memiliki kontribusi tinggi terhadap pendapatan maupun penyerapan tenaga kerja. Pengembangan industri minyak dan gas bumi telah meningkatkan kesenjangan sosial-ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Riau.

Motor penggerak ekonomi dalam Kawasan Strategis Nasional adalah sub-sektor perkebunan berbasis kelapa sawit. Industri kelapa sawit merupakan komoditas unggul, dan terbukti memiliki dayasaing di pasar internasional. Pengembangan kelapa sawit di KSN diarahkan untuk mendukung kebijakan nasional dalam pengembangan bio-enerji, disamping pengembangan produk-produk hilir kelapa sawit lainnya. Dukungan sektor perdagangan dan jasa perlu ditingkatkan dalam pengembangan klaster industri kelapa sawit ini.

Kota Dumai dapat berperan sebagai pusat dalam pengembangan KSN yang didukung oleh wilayah penyangga, mulai dari kawasan di Rokan Hilir, Bengkalis, Siak, Pekanbaru, Pelalawan, hingga Indragiri Hilir. Keterkaitan antar wilayah di dalam Kawasan Strategis Nasional perlu dikembangkan secara fungsional, sehingga terjalin kerjasama yang saling mendukung dan saling menguntungkan antar wilayah terlkait.


(5)

95 Enam strategi dihasilkan dari analisis SWOT: (1) pembenahan aspek hukum, (2) pengembangan infrastruktur, (3) realokasi dan optimisasi pemanfaatan aset lahan untuk penanggulangan kemiskinan, (4) pengembangan kerjasama multipihak, (5) pengembangan investasi bagi diversifikasi produk sawit dan pengembangan industri hilir kelapa sawit, dan (6) pengembangan sumberdaya manusia.

Pola-pola kerjasama kemitraan yang diperlukan dalam pengembangan KSN adalah yang melibatkan kerjasama multipihak (pemerintah-swasta-masyarakat), juga didukung oleh kerjasama internasional dengan pihak-pihak luar negeri.

7.2 Implikasi Kebijakan

Pembangunan Kawasan Strateghik Nasional Provinsi Riau merupakan langkah strategis bagi Provinsi Riau dalam rangka penciptaan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan perekonomian daerah. Akan tetapi, program tersebut membutuhkan dana dalam jumlah besar untuk pengembangan infrastruktur, kepastian sistem hukum dan tata ruang, dan kerjasama kemitraan diantara berbagai pihak yang terkait, juga kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, serta nasional.

Pengembangan kawasan perkebunan tidak terlepas dari penyediaan lahan. Berdasarkan Rencana tata Ruang dan Wilayah Provinsi Riau, sekitar 3,1 juta hektar lahan telah dicadangkan untuk pengembangan kawasan perkebunan ini. Pada pelaksanaannya, pengembangan kawasan perkebunan ini perlu disesuaikan dengan kondisi-kondisi wilayah dan masyarakat, tidak bisa digeneralisasikan. Pola-pola pengembangan yang bisa digunakan antara lain pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), Kredit Koperasi Primer


(6)

96 untuk Anggota (KKPA) – yang telah diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Riau Nomor 7 tahun 2001, swadaya masyarakat, maupun program bantuan pinjaman modal ekonomi kerakyatan.

Pengembangan klaster industri kelapa sawit (integrasi vertikal agribisnis kelapa sawit) membutuhkan terobosan teknologi aplikatif, baik dalam hal penyiapan bibit berkualitas tinggi, maupun teknologi pengolahan produk-produk hilir kelapa sawit, termasuk di dalamnya untuk bio-fuel. Untuk itu, perlu adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian atau perguruan tinggi mengenai aspek ini.

Upaya penanganan kemiskinan dan keterbelakangan merupakan bagian integral dari program pengembangan ekonomi daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, dimensi pemberdayaan masyarakat ini harus dilakukan secara integral dengan program pertumbuhan ekonomi, dan dibarengi dengan program peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan dan latihan. Mengingat kepemilikan/penguasaan lahan perkebunan masih relatif rendah, program redistribusi aset lahan menjadi penting untuk dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kondisi-kondisi daerah dan masyarakat.