Tinjauan umum model WRFChem

22 secara saling bebas, tetapi bisa juga terjadi secara sinergis. Perbedaan pajanan terhadap pencemar udara dapat terjadi akibat : a. perbedaan kondisi kualitas udara ambien differrential environment condition, karena kualitas udara ambien antar lokasi berbeda. b. perbedaan pajanan differential exposure, misalnya karena perbedaan kondisi rumah, jenis pekerjaan, lokasi dan jarak tempat bekerja. Perbedaan kerentanan differential susceptibility dapat terjadi akibat perbedaan umur, gender, status sosial ekonomi yang mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi rendah, dan rentan terhadap dampak pencemaran udara. Menurut Soemirat 2013, paparan atau pajanan ata u exposure adalah pengalaman kontak dengan suatu benda asing agent untuk jangka waktu tertentu di titik reseptor. Analisis pajanan seharusnya dilakukan melalui 5 tahap, yaitu : karakterisasi kondisi pajanan berdasar waktu, tempat, durasi dan frekuensi; identifikasi jalur pajanan; estimasi kuantitas pajanan; identifikasi masyarakat yang terpajan; dan estimasi intake

2.5.1 Analisis paparan pajanan

Langkah penting dalam menduga risiko kesehatan manusia akibat emisi pencemar udara adalah mengevaluasi transport dari sumber ke reseptor, menggunakan pendekatan pemodelan. Model pendugaan paparan suatu populasi terhadap suatu pencemar yang diemisikan oleh sebuah sumber pencemar memerlukan data emisi dan data meteorologi serta sebuah model dispersi untuk menduga konsentrasi pencemar tersebut di arah tujuan angin atau downwind. Pendugaan potensi terpapar pencemar dan besar yang terhirup oleh masyarakat memerlukan data dan informasi terkait populasi di arah tujuan angin. Menurut Baklanov et al. 2007, pemodelan kualitas udara perlu digabungkan dengan model waktu aktivitas dan mobilitas populasi, untuk menduga ditribusi pajanan aktual yang disebabkan oleh kejadian pencemaran udara ambien bahkan ketika nilai baku mutu udara ambien tercapai. Umumnya risiko kesehatan didapat dengan mengalikan paparan atau dosis dengan faktor risiko. Metode pendugaan awal untuk menganalisis risiko pencemaran udara adalah Inhalation Transfer Factor ITF, yaitu rasio antara massa pencemar yang terhirup oleh individu terhadap massa pencemar yang diemisikan dari sumber pencemar Lai et al. 2000. ITF didasari oleh hubungan linier emisi dengan dosis paparan. Risiko kesehatan dapat dihitung dengan perkalian jumlah emisi dengan ITF dan satuan risiko. Hal ini merupakan pendugaan awal karena tidak dapat mengakomodasi keseluruhan kompleksitas. Jika laju emisi dari sumber dianggap konstan, demikian pula dengan 23 kondisi meteorologi dan laju napas, maka ITF dari suatu lokasi tertentu dapat diduga menggunakan persamaan 2. �� = � … … … … … … … … … … … … … … … … … . … … … … … … … … … Keterangan : ITF = Inhalation Transfer Factor; C = konsentrasi pencemar yang terhirup napas gm 3 ; Q B = laju napas m 3 jam; E = laju emisi pencemar dari sumber gjam Jika yang dianalisa berupa sekumpulan masyarakat populasi, maka digunakan Population Inhalation Transfer Factor PITF yaitu bagian dari total pencemar yang diemisikan yang terhirup oleh seluruh anggota populasi yang terpapar. Menurut Lai et al. 2000, tipikal PITF untuk udara ambien perkotaan adalah 10 -6 - 10 -3 ; sementara untuk udara dalam ruang atau kendaraan bermotor yang bergerak adalah 10 -3 – 10 -1 . Secara umum, bentuk persamaan untuk PITF adalah : �� = ∫ ∫ ∫ , , � , , ∫ … … … … … … … … … … … … … . . P = kepadatan populasi yang terpapar orang per m 2 , x,y = koordinat windward, crosswind Pada wilayah tertentu ketersediaan data emisi terbatas, sehingga perlu dicari solusi agar analisis risiko pajanan pencemar masih bisa dilakukan, untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak kesehatan yang timbul, ataupun untuk menentukan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menduga laju intake. Intake adalah pengukuran pajanan yang diekspresikan sebagai massa suatu zat yang kontak dengan batas pertukaran per satuan berat per satuan waktu Gratt 1996. Pada kasus paparan pencemar udara maka dianggap sebagai jumlah pencemar yang akan terhisap atau masuk ke badan reseptor melalui saluran pernapasan. Laju intake pada kasus pencemaran udara adalah: I r = C i x Inh r ……………………………………………………………....4 I r = laju intake µg jam -1 ; C i = konsentrasi pencemar di udara µg m -3 ; Inh r = laju inhalasi m 3 jam -1 Menurut Soemirat 2013, laju intake dapat menjadi acuan besaran dosis atau jumlah yang masuk ke dalam badan manusia, dengan mempertimbangkan lama paparan dan bobot badan. Berdasar perhitungan USEPA 1992, persamaan 5 disebut juga sebagai dosis rata-rata harian Averaged Daily Doses ADDs. I mgkg-hari = C i x Inh r x t h x F t x D t BBx AT………………………5 24 Keterangan : t h = waktu pajanan jam per hari F t = frekuensi pajanan hari per tahun D t = durasi pajanan tahun BB = Berat badan kg AT = averaging time 365 hari x y tahun; y bergantung pada periode yang akan dihitung USEPA 1992 menghitung dosis potensial D pot dengan pendekatan : D pot = C i x Inh r x t h …………………………………………………..……….6

2.5.2 Analisis Risiko Kesehatan

Risiko dampak pencemaran udara terhadap kesehatan alat pernapasan menjadi salah satu tema yang banyak diteliti, terutama berkaitan dengan risiko kanker paru Lopez-Cima et al. 2011. Seperti yang dilakukan di Spanyol bagian Utara, hasil studi menunjukkan adanya peningkatan risiko adenocarcinoma dan risiko kanker yang signifikan secara statistik, di lokasi sekitar kawasan industri. Metode yang digunakan adalah studi hospital-based case-control, dengan metode logistic regression, odds ratios ORs dan 95 confidence intervals 95CIs . Pada umumnya metode yang digunakan untuk meduga risiko kesehatan akibat pencemaran udara antara lain adalah Relative Risk RR, Consentration-respons CR, Risk Quotient RQ, CI, attributable proportion AP WHO 1999, Wang Mauzerall 2006, Naess et al. 2007, Nandasena et al. 2010, Soemirat 2010, Mahmood 2011. Risiko pencemaran udara tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi pencemar di udara ambien saja, tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang terpapar seperti umur, jenis kelamin dan mobilitas, tingkat ekonomi, serta karakteristik sosial lainnya yang dapat mempengaruhi pola hidup, termasuk kebijakan yang berlaku di suatu lokasi. Beberapa studi telah mengidentifikasi adanya faktor lain yang memodifikasi risiko antara lain persentase rumah yang menggunakan air conditioning AC, pola makan yang buruk, kurang olahraga dan stress Shin et al. 2009, Véron 2006, Mahmood 2011. Berdasar penelitian Naess et al. 2007 dan Finkelstein et al 2003, pendapatan dan tingkat pencemar saling sinergi dalam mempengaruhi mortalitas akibat pencemaran udara partikulat maupun SOx. Jerret et al 2005 menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi merupakan faktor confounding terbesar dalam analisis dampak pencemaran terhadap kesehatan. Faktor confounding adalah faktor yang mempengaruhi suatu faktor lain, tapi tidak berhubungan langsung dengan faktor lainnya dalam suatu hubungan sebab akibat. Sebagai contoh, pencemar udara mempengaruhi kesehatan, kemampuan ekonomi juga mempengaruhi tingkat kesehatan, tetapi kemampuan secara ekonomi tidak ada 25 hubungannya dengan pencemaran udara dan sebaliknya. Maka faktor sosial ekonomi menjadi confounder factor. Dampak pencemaran udara yang paling ringan umumnya berupa timbulnya gejala symptoms seperti bersin-bersin dan batuk. Terdapat 4 tahapan tingkat pengaruh konsentrasi pencemar terhadap respon tubuh manusia : a. NOEL : No-Observed-Effects-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak mengakibatkan perubahan yang terlihat b. NOAEL : No-Observed-Adverse-Effect-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif c. LOEL : Lowest-Observed-Effect-Level, level konsentrasi terendah yang menunjukkan adanya suatu perubahan d. LOAEL : Lowest-Observed-Adverse-Effect-Level, level konsentrasi terendah yang menunjukkan timbulnya efek negatif Risiko kesehatan Health Risk –HR dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan antara dosis potensial dengan LOAEL pencemar tertentu Zhao et al.2013, Cerna et al. 1998. Menurut Cerna et al. 1998 nilai LOAEL untuk PM 10 dan SO 2 sama besar, yaitu 15.7 µg per kg berat badan per hari. 2.6 Kebijakan dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Udara dan Pengelolaan Kualitas Udara Sekitar Kawasan Industri Suatu wilayah dengan tingkat perkembangan industri tinggi akan memberi andil cukup besar terhadap kualitas udara ambien sekitarnya, karena cerobong pengemisi di kawasan industri jumlahnya menjadi banyak. Pembentukan suatu kawasan industri pada dasarnya mempermudah pengelolaan kualitas udara, karena sumber emisi pencemarnya menjadi lebih terlokalisir. Namun demikian, tidak semua daerah yang padat industri menjadi sebuah kawasan industri. Sebagai contoh di Kabupaten Tangerang ada daerah yang disebut peruntukkan zona kawasan industri ada yang disebut daerah industri non- kawasan. Daerah industri non-kawasan ini berpotensi melepaskan emisi pencemar tidak terkontrol dengan baik, karena dikelola sendiri oleh masing-masing industri. Upaya pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi serta pendekatan hukum. Pendekatan teknologi antara lain pemilihan bahan bakar, penyesuaian bentuk fisik cerobong, penggunaan filter, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengurangi konsentrasi emisi dari cerobong. Pendekatan hukum adalah melalui penetapan baku mutu emisi. Selanjutnya setelah emisi keluar dari cerobong