67
Gambar 33 Pola fluktasi ketebalan lapisan turbulen dan konsentrasi pencemar, serta kecepatan angin model dan observasi di DKI 1 Jakarta Pusat
Hubungan faktor meteorologi dengan SO
2
di lokasi Balaraja Tangerang menunjukkan korelasi negatif cukup besar, baik untuk suhu udara, kecepatan angin
maupun ketebalan lapisan pencampuran rata-rata diurnal. Kenaikan suhu udara menimbulkan pergerakan vertikal dan ketebalan lapisan pencampuran Ri-h meningkat,
pada saat yang sama terjadi peningkatan kecepatan angin, mendorong SO
2
mengalami turbulensi dan terjadi pengenceran, sehingga konsentrasi di permukaan menurun.
Kondisi atmosfer yang sangat tidak stabil dapat mengakibatkan pencemar terangkat ke bagian atas lapisan dan menurunkan konsentrasi di permukaan.
Korelasi positif antara suhu dan konsentrasi pencemar juga terjadi di daerah Jagakarsa. Suhu udara meningkat pada siang hari, tetapi konsentrasi pencemar tetap
meningkat, sehingga menunjukkan korelasi positif suhu dan ketebalan Ri-h terhadap konsentrasi pencemar baik untuk SO
2
maupun PM
10
. Faktor lain turut mempengaruhi yaitu kecepatan angin. Kecepatan angin yang cukup rendah, menyebabkan pencemar
relatif mengendap dan terakumulasi, terjadi korelasi negatif konsentrasi pencemar dengan kecepatan angin. Demikian pula di Jagakarsa, kecepatan angin sangat rendah selama
periode pengamatan bulan Agustus, maksimum hanya mencapai 1.8 m.det
-1
. Kecepatan angin yang rendah pada siang hari mendukung terjadinya pengendapan pencemar,
sehingga mendukung peningkatan konsentrasi PM
10
dan SO
2
pada siang hari. Fluktuasi pencemar dan kecepatan angin di Jagakarsa dapat dilihat pada Gambar 34.
Faktor lain yang mendukung korelasi negatif antara suhu dan konsentrasi SO
2
adalah berkaitan dengan proses reaksi kimia. Suhu yang tinggi di perkotaan akan mempengaruhi pembentukan O
3
, tetapi O
3
berpengaruh terhadap oksidasi SO
2
menjadi SO
4
dan terbentuk aerosol sekunder. Oleh karena itu pada analisis korelasi di Tangerang menunjukkan suhu meningkat berkorelasi dengan peningkatan konsentrasi partikulat dan
0.5 1
1.5 2
2.5 3
3.5 4
4.5
50 100
150 200
250 300
350 400
ke ce
p atan
an g
in md
e t-
1
waktu jam Ko
n se
n tr
as i
PM 10 DKI1
µ g
m -3
Ke te
b al
an l
ap is
an tu
rb u
le n
m
turbulen layer PM10 conc
68 penurunan konsentrasi SO
2
. Hal ini sesuai dengan Elshazly 2012, bahwa proses oksidasi SO
2
oleh H
2
O
2
dan O
3
akan mempengaruhi konsentrasi SO
2
dan aerosol di atmosfer, yang harus diakomodasi dalam pemodelan.
Fluktuasi konsentrasi pencemar juga dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor suhu udara dan kecepatan angin, yang turut menentukan kondisi stabilitas
atmosfer. Secara umum kecepatan angin yang meningkat di permukaan akan membantu proses pengenceran sehingga konsentrasi dapat menurun, kecepatan angin yang sangat
rendah calm akan menyebabkan pencemar terakumulasi di permukaan. Peningkatan suhu udara menyebabkan udara mengembang naik, karena adanya daya apung
buoyancy dan lapisan pencampuran bertambah tebal, sehingga dapat terjadi proses pengenceran.
Malam hari ketika radiasi matahari berkurang, suhu udara menurun, dan atmosfer pada malam hari menjadi sangat stabil sehingga menyebabkan potensi udara mengendap
ke permukaan, termasuk kandungan pencemar di dalamnya. Sebagaimana didapatkan dari hasil model, bahwa atmosfer malam hari stabil sejalan dengan peningkatan
konsentrasi pencemar observasi, menunjukkan pencemar terakumulasi di lapisan atmosfer permukaan. Selain itu, di kota besar terdapat perbedaan stabilitas atmosfer yang
cukup kontras pada siang dan malam hari, sehingga akan mempengaruhi pola dispersi pencemar secara diurnal Finn et al. 2010.
Gambar 34 Fluktuasi diurnal kecepatan angin dan konsentrasi PM
10
di Jagakarsa
0.00 0.10
0.20 0.30
0.40 0.50
0.60 0.70
0.80 0.90
1.00
5 10
15 20
25 30
7 9
11 13 15 17 19 21 23 1
3 5
Ke c an
g in
o b
se rvas
i m d
e t-
1
Ko n
se n
tr as
i µ
g m
-3
Waktu jam PM10
kecepatan angin obs
69
5.3.4 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar
Berdasar analisis stabilitas statis pada malam hari, lapisan atmosfer permukaan 0- 30 m di atas permukaan di wilayah DKI Jakarta dan Tangerang dalam kondisi stabil.
Pada Gambar 35 dan Gambar 36, garis putus-putus menunjukkan batas atmosfer dengan stabilitas netral dTdz = 0. Nilai dTdz lapisan atmosfer paling bawah z1 berada di
bawah garis putus-putus tersebut, sehingga menunjukkan lapisan ini stabil. Lapisan z3- z5 sepanjang malam berada pada kisaran dTdz 0, sehingga diasumsikan tidak stabil,
walaupun turbulensinya lemah, karena nilai negatif kecil. Selanjutnya lapisan z1 dan z2 stabil seluruhnya mulai pk. 22.00 WIB untuk DKI Jakarta Gambar 35. Lapisan di
atasnya tidak stabil tetapi lemah. Sementara itu di Balaraja lapisan z1 dan z2 stabil mulai pk.01.00 WIB, lapisan di atasnya tidak stabil lemah Gambar 36. Ketebalan lapisan
stabil berdasar stabilitas statis pada malam hari menunjukkan wilayah Jakarta memiliki lapisan stabil lebih tebal daripada Balaraja pada awal malam, dan perbedaan lebih jelas
setelah tengah malam.
Gambar 35 Nilai dTdz malam hari wilayah DKI Jakarta
Gambar 36 Nilai dTdz malam hari wilayah Balaraja Tangerang
70 Ketebalan lapisan stabil dari waktu ke waktu pada malam hari di Jakarta dan
Balaraja ditunjukkan pada Gambar 37 dan 38. Lapisan atmosfer stabil di Jakarta setelah tengah malam mencapai sekitar 50 m, sementara di Balaraja Tangerang 40 m di atas
permukaan. Hal ini diakibatkan oleh permukaan wilayah Jakarta sebagai daerah urban, memiliki karakteristik permukaan luas lahan terbangun 70 Joga dan Ismaun 2011,
umumnya berbahan beton, pada saat malam lebih cepat melepas panas, suhu cepat menurun, dan ketebalan lapisan stabil lebih tinggi. Wilayah Balaraja masih memiliki
lahan-lahan terbuka dan bervegetasi pohon, dengan luas lahan industri dan perumahan 50 Fiddien et al. 2014, karakteristik atmosfernya masih cukup memiliki uap air,
sehingga penurunan suhu udara tidak terlalu tajam dan udara tidak mudah mendingin. Lampiran 10a dan 10b menunjukkan gambaran permukaan wilayah sekitar Jakarta
dan Balaraja. Di atas lapisan atmosfer permukaan yang stabil terdapat lapisan atmosfer netral
dTdz =0, dengan ketebalan lapisan netral wilayah Jakarta lebih besar daripada Balaraja, kecuali pada pk 05.00
– 06.00 ketinggian lapisan tersebut sama pada kedua tempat. Lapisan netral tersebut pada malam hari mencapai sekitar 120 m dan setelah tengah
malam meningkat hingga mendekati 200 m.
Gambar 37 Ketebalan lapisan stabil dan netral rata-rata 5 hari pemodelan di DKI Jakarta
Gambar 38 Ketebalan lapisan stabil dan netral rata-rata 5 hari pemodelan di Balaraja Tangerang
71 Secara statistik ketebalan lapisan netral selama 5 hari pemodelan di Balaraja
menunjukkan nilai variasi yang kecil standar deviasi ≤ 0.1 m pada malam hari sekitar pukul 22.00
– 03.00. Pada pukul 18.00-21.00 dan menjelang pagi pukul 04.00-06.00 variasi nilai ketebalan lapisan netral meningkat. Ketebalan lapisan stabil di Balaraja
mulai pukul 22.00 cukup kecil variasinya dengan nilai standar deviasi 0.00 m hingga 0.03 m pada pukul 03.00 WIB. Setelah itu, menjelang pagi ketebalannya bervariasi hingga
sekitar 32 m. Nilai ketebalan lapisan netral dan stabil lebih bervariasi di wilayah Jakarta. Variasi
tersebut menurun menjelang tengah malam, dan meningkat lagi menjelang pagi hari. Variasi ketebalan lapisan netral di wilayah Jakarta rata-rata dari 5 lokasi adalah 10.8 m
pada tengah malam hingga 116 m pada pagi hari. Ketebalan lapisan stabil di Jakarta juga bervariasi, namun relatif kecil nilainya pada awal malam yaitu bervariasi sekitar 0.02
– 0.06 m, dan mengalami variasi sekitar 30 m pada pukul 03.00 dini hari. Hal ini dapat
terjadi karena nilai tersebut merupakan rata-rata dari kelima wilayah di DKI Jakarta yang memiliki karakteristik permukaan berbeda. Secara lengkap nilai variasi ketebalan lapisan
netral dan stabil dicantumkan pada Lampiran 11. Hasil analisis stabilitas dinamis menggunakan nilai Ri, menunjukkan bahwa
lapisan atmosfer 1 dan 2 baik di Balaraja maupun Jakarta mengalami nilai Ri 1 pada tengah malam hingga pagi hari. Kemudian stabilitas menurun Ri 1 pada 2 atau 3
lapisan di atasnya Gambar 39 dan Gambar 40. Nilai Ri di DKI Jakarta mulai positif secara keseluruhan pada lapisan z1 dan z2 setelah pukul 24.00 hingga 06.00 WIB,
sedangkan di Balaraja lapisan z1 dan z2 mulai stabil pada kedua lapisan setelah pukul 22.00 WIB. Kondisi ini terbalik dengan hasil analisis stabilitas statis. Hal ini terjadi
karena stabilitas dinamis sudah memperhitungkan pengaruh kecepatan angin antar lapisan. Namun demikian baik analisis stabilitas statis maupun analisis stabilitas dinamis
menunjukkan hal yang sama, yaitu adanya periode waktu tertentu yang membatasi proses pengenceran pencemar secara vertikal di lapisan atmosfer permukaan, serta adanya
lapisan atmosfer yang relatif tidak stabil lemah di atas lapisan stabil permukaan, yang dapat membantu dispersi vertikal pencemar lebih terbatas. Kedua kondisi tersebut
menjadi sebuah peluang dalam pengelolaan kualitas udara serta pengendalian pencemaran udara terutama di wilayah industri.
Menurut Yamada dan Melor 1975 lapisan di atas lapisan stabil pada siang hari disebut sebagai mixing layer lapisan yang mengalami pencampuran secara aktif.
Namun pada malam hari lapisan tersebut tidak terlalu aktif, disebut sebagai mixed layer.
72 Keberadaan lapisan yang memiliki stabilitas netral hingga turbulen lemah tersebut
memberi peluang dispersi yang lebih aman bagi permukaan. Oleh karena itu lapisan tersebut dapat dijadikan acuan ketinggian untuk cerobong, agar dispersi pencemarnya
tidak turun ke permukaan.
Gambar 39 Nilai Ri rata-rata di lapisan perbatas DKI Jakarta
Gambar 40 Nilai Ri rata-rata di lapisan perbatas Balaraja Kabupaten Tangerang Hasil plot nilai Ri diurnal menunjukkan setelah pukul 02.00 WIB, di sekitar Jakarta,
kondisi lapisan z2 dan z3 cenderung stabil sehingga keseluruhan lapisan atmosfer akan sangat stabil. Waktu tersebut dapat dijadikan patokan pengurangan atau penghentian
emisi melalui cerobong, agar pencemar tidak berpotensi terakumulasi di permukaan, yang dapat mengurangi kualitas udara setempat.
Hasil analisis di wilayah Balaraja Tangerang, menunjukkan lapisan z2 cenderung stabil setelah pukul 22.00 WIB, namun lapisan z3 masih berada dalam kondisi turbulen
lemah. Hal ini memberi gambaran bahwa pada saat tersebut terdapat lapisan stabil setebal 100 m dari permukaan. Jika terdapat cerobong dengan ketinggian 100 m, maka
emisinya pada saat tersebut akan cenderung terakumulasi di permukaan. Apabila
73 ketinggian cerobong melampaui z2 dan masuk ke lapisan z3, maka emisi pada saat
tersebut relatif tersebar di lapisan z3 saja, sekitar 100-200 m dari permukaan. Berdasar analisis tersebut, di Balaraja akan relatif aman jika cerobong memiliki
ketinggian 150 m. Hal yang sama berlaku untuk wilayah Jakarta, bahwa ketinggian emisi cerobong akan aman untuk dispersi pencemar jika melebihi lapisan z2 yaitu sekitar
150 m. Jika ada ketinggian cerobong 30-100 m, maka waktu emisi harus dibatasi hingga pk.24.00 WIB. Hal tersebut memberi kemungkinan dispersi pencemar hanya berada di
atas lapisan stabil. Sebagaimana disebutkan oleh Stull 1999, bahwa lapisan dengan nilai Ri antara 0.25 hingga 1.0 kondisinya turbulen menuju laminar, sehingga pencemar akan
bertahan di lapisan tersebut dan tidak turun ke permukaan. Menurut Tsunematsu et al. 2009 adanya lapisan stabil dan batas inversi yang kuat di atas suatu kota akan
menghalangi debu untuk turun ke permukaan. Kondisi stabilitas lapisan perbatas atmosfer dan sirkulasi lokal sangat mempengaruhi pola sebaran debu di perkotaan.
Pada saat ini perkembangan kota Tangerang dari sisi industri cukup pesat dan akan berkembang terus sesuai perencanaan tata ruang dan wilayah Kabupaten Tangerang.
Maka pada masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan tutupan lahannya akan berubah mayoritas beton dan aspal. Hal ini didukung oleh rencana pengembangan
pembangunan Kabupaten Tangerang yang tercantum dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031, yang menyatakan akan dilakukan
perluasan wilayah industri besar hingga 8407 Ha, termasuk di daerah Balaraja Pemda Kabupaten Tangerang 2011. Maka akan ada kecenderungan perubahan karakteristik
atmosfer lapisan perbatas, mengikuti perubahan karakteristik permukaannya. Salah satu cara pengendalian pencemaran udara adalah dengan penyesuaian bentuk
fisik cerobong. Oleh karena itu berdasar hasil analisis didapatkan lapisan atmosfer yang aman untuk ketinggian cerobong baik di Jakarta ataupun Balaraja Tangerang adalah
melampaui ketinggian 150 m. Lapisan tersebut berada pada z3, yang merupakan lapisan yang memiliki karakter turbulen lemah menuju laminar, sehingga potensi pencemar
mengendap ke permukaan menjadi berkurang. Berdasar fluktuasi stabilitas atmosfer secara diurnal, terdapat waktu yang
menunjukkan keseluruhan lapisan permukaan stabil, baik di Jakarta maupun di Balaraja Kabupaten Tangerang, yaitu setelah pukul 24.00. Waktu tersebut disarankan menjadi
patokan untuk mengurangi atau menghentikan emisi cerobong bagi kedua lokasi, sebagai upaya mengantisipasi dan menghindari konsentrasi pencemar meningkat di permukaan.
74 Ketebalan lapisan stabil berdasar nilai Ri atau stabilitas dinamis menunjukkan
bahwa lapisan stabil di permukaan relatif tetap ketebalannya antara 30-100 m hingga pukul 02.00 WIB dini hari, setelah itu tampak kenaikan ketebalan hingga pk 05.00 WIB
dan terjadi penurunan pada pk.06.00 WIB. Gambar 41 dan 42 berturut-turut menunjukkan pola harian dan rata-rata ketebalan lapisan stabil di Balaraja Tangerang dan
Jakarta. Simbol s1-s5 menunjukkan stabilitas hari ke-1 hingga ke-5. Adapun nilai variasi ketebalannya secara statistik ditunjukkan pada Lampiran 12 dan 13.
Gambar 41 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil malam hari di Balaraja
Gambar 42 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil malam hari di Jakarta
Ketebalan lapisan stabil berdasar analisis stabilitas statis dan dinamis menunjukkan adanya perbedaan antara Jakarta dan Balaraja. Ketebalan lapisan stabil Jakarta pada
tengah malam hingga pagi hari 20-26 lebih tebal dibandingkan ketebalan lapisan stabil atmosfer di sekitar Balaraja. Perbedaan karakteristik permukaan turut menentukan
karakter stabilitas atmosfer di atasnya. Balaraja dengan penutupan lahan industri dan perumahan 40 sedangkan di DKI Jakarta seluas 73.8 wilayahnya memiliki tutupan
lahan berupa beton dan perkerasan 70. Bahkan di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat sebagian besar wilayahnya memiliki tutupan beton dan perkerasan 90. Berdasarkan
pemodelan didapatkan bahwa wilayah Jakarta dengan dengan asumsi tutupan lahan
75 terbangun 70, memiliki ketebalan lapisan atmosfer stabil maksimum pada malam hari
26-29 lebih tebal daripada Balaraja dengan asumsi tutupan lahan terbangun sekitar 40 Tabel 13.
Tabel 13 Perbedaan ketebalan lapisan atmosfer stabil dan luas lahan terbangun
5.4 Simpulan dan Saran 5.4.1 Simpulan
Simpulan berdasar analisis stabilitas statis maupun analisis stabilitas dinamis : 1.
Periode waktu pukul 22.00 hingga pukul 06.00 pagi merupakan waktu yang rawan bagi akumulasi pencemar di permukaan.
2. Terdapat lapisan atmosfer stabil pada pukul 22.00-02.00 WIB dengan ketebalan
sekitar 0 -100 m. Ketebalan lapisan atmosfer stabil meningkat setelah pukul 02.00 WIB. Lapisan atmosfer stabil rata-rata di wilayah Jakarta lebih tebal dibandingkan
dengan wilayah Balaraja. 3.
Perbedaan karakteristik permukaan yaitu berupa luasan lahan terbangun antara Balaraja dan Jakarta 30 diduga menyebabkan ketebalan lapisan atmosfer stabil
maksimum malam hari di Jakarta lebih tebal 26 – 29 dibanding Balaraja.
4. Terdapat lapisan atmosfer yang bersifat turbulen lemah di atas lapisan stabil pada
malam hari, dengan ketinggian 100-200 m. Lapisan ini disebut juga sebagai residual layer
, lapisan atmosfer tersebut dapat dimanfaatkan untuk penentuan tinggi cerobong agar emisi pencemar tidak mengendap ke permukaan.
5.4.2 Saran
Berdasar simpulan tersebut, sebagai tahap awal direkomendasikan beberapa hal terkait pengendalian pencemaran udara yaitu :
Rekomendasi ketinggian cerobong : Jakarta maupun Balaraja ≥ 150 m Rekomendasi pembatasan waktu untuk emisi industri di Jakarta : pk 07.00 –
24.00 WIB; sedangkan di Tangerang pk 07.00 – 22.00.
Stabilitas dinamis stabilitas
statis DKI Jakarta
70 368.02
57.34 Balaraja
±40 292.21
44.32 Perbedaan
± 30 26
29 Ketebalan lapisan atmosfer stabil
maksimum m Luas
Lahan Terbangun
LB-m
2
76
VI PENDUGAAN POTENSI RISIKO KESEHATAN MASYARAKAT
AKIBAT PAJANAN PM
10
DAN SO
2
6.1 Pendahuluan
Pada umumnya di negara berkembang, sektor industri tumbuh pesat, dengan konsekuensi pencemaran lingkungan termasuk pencemaran udara tidak dapat
dihindarkan. Namun perhatian masyarakat di negara berkembang terhadap pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan masih kurang karena lebih mementingkan hal
lain yang merupakan kebutuhan pokok Véron 2006.
Dampak pencemaran udara dipengaruhi oleh jumlah populasi terpapar, serta karakteristik sosial-ekonomi masyarakat tersebut, karena penyakit akibat pencemaran
udara hampir sama dengan penyakit yang diakibatkan oleh faktor sosial seperti pola makan yang buruk, kurang olahraga dan stres Veron 2006, WHO 2010, Deguen dan
Zmirou-Navier 2010. Hasil penelitian di Scania, Swedia Stroh et al. 2005, ditemukan hubungan antara status sosial-ekonomi dengan keterpaparan terhadap NO
2
tetapi tidak konsisten antara hasil secara umum dengan hasil per wilayah. Hal ini menunjukkan
bahwa karakteristik tiap wilayah akan memberikan pengaruh berbeda terhadap dampak pencemaran udara yang timbul. Risiko pajanan pencemar udara juga akan sangat
dipengaruhi oleh aktivitas individu di luar ruangan Backalnov et al. 2007. Salah satu tahap utama dalam pendugaan risiko kesehatan akibat pencemaran udara
adalah pendugaan paparan assessment of exposure pencemar Covello dan Merkhofer 1993. Menurut Krzyzanowski 1997 metode paling sederhana untuk menduga
keterpaparan populasi adalah dengan berdasar pada nilai rata-rata data terukur. Paparan atau pajanan exposure adalah kondisi ketika suatu zat kimia mengalami kontak dengan
batas terluar tubuh manusia atau target lainnya, yang terjadi pada suatu lokasi tertentu dengan periode waktu tertentu USEPA 1992, WHO 2004. Menurut Gratt 1996
paparan individu bisa dihitung berdasar konsentrasi maksimum maximum exposed individual
MEI maupun berdasar konsentrasi rata-rata reasonably exposed individual REI. Nilai paparan dapat menjadi dasar pendugaan jumlah dosis yang masuk ke dalam
tubuh, dan selanjutnya dapat digunakan untuk pendugaan risiko kesehatan masyarakat di lokasi tertentu.
Pencemaran udara di Indonesia juga akan sejalan dengan perkembangan sektor industri maupun transportasi, sehingga tidak hanya di kota-kota besar, tetapi dapat terjadi
di daerah yang mengalami pertumbuhan industri cukup pesat. Kabupaten Tangerang
77 adalah salah satu wilayah yang pesat perkembangan industri sekaligus transportasinya.
Terdapat beberapa zona industri kawasan dan non kawasan, seperti contohnya daerah Balaraja. Sebagaimana data yang telah disampaikan pada tinjauan umum lokasi
penelitian, bahwa data kesehatan Kabupaten Tangerang menunjukkan jumlah pasien rawat jalan di RSUD Kab. Tangerang untuk penyakit ISPA dan TBC Paru termasuk
sepuluh penyakit terbanyak BPS Kab Tangerang 2014. Begitu pula data dari Puskesmas Balaraja menunjukkan bahwa penyakit pernapasan cukup tinggi, dan meningkat pada
waktu-waktu tertentu seperti bulan Januari-Februari serta bulan Juli. Belum ada penelaahan lebih lanjut apakah penyakit pernapasan tersebut berhubungan erat dengan
tingkat aktivitas industri dan transportasi yang berlangsung di sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi pajanan masyarakat terhadap PM
10
dan SO
2
dengan konsentrasi maksimum di sekitar wilayah padat industri dan transportasi di Balaraja
Kabupaten Tangerang, serta 5 lokasi DKI Jakarta sebagai kota besar urban area. 6.2 Metode Penelitian
Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Balaraja Kabupaten Tangerang yang merupakan salah satu wilayah dengan jumlah industri cukup banyak tetapi non kawasan,
dan berpotensi akan terus berkembang, serta 5 lokasi DKI Jakarta sebagai daerah urban. Waktu penelitian adalah pada musim kemarau 12
– 17 Agustus 2014. 6.2.1 Data
Data yang digunakan : a.
Balaraja : data luaran WRFChem berupa konsentrasi PM
10
dan SO
2
maksimum, b.
DKI Jakarta : data konsentrasi PM
10
dan SO
2
dari stasiun observasi SPKU.
6.2.2 Analisis Data
Perhitungan :
a.
Pendugaan laju intake I
r
mengikuti persamaan 4:
I
r
= C
i
x Inh
r
Keterangan : I
r
= laju intake; C
i
= konsentrasi pencemar di udara; Inh
r
= laju napas
b. Pendugaan dosis potensial per kg BB per hari menggunakan persamaan 8 dibagi
dengan Bobot badan kg c.
Pendugaan Risiko Kesehatan Health Risk = ILOAEL LOAEL PM10 dan SO2 = 15.7 µg kg
-1
hari
-1
78 Asumsi yang digunakan adalah:
1. Waktu pajanan di luar ruangan perhari rata-rata 8 jam, dengan asumsi aktivitas
bekerja sedang. 2.
Bobot badan orang dewasa di Indonesia rata-rata 55.73 ±2.56 kg Syaifudin et al 1996; dibulatkan menjadi 60 kg.
3. Laju napas orang dewasa rata-rata dengan pekerjaan sedang adalah 2.1 m
3
jam
-1
USEPA 1989
6.3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Balaraja
Berdasar data luaran WRFChem didapatkan bahwa wilayah Balaraja mendapat paparan konsentrasi SO
2
maksimum sebesar 101 µg m
-3
. Nilai konsentrasi maksimum tersebut masih di bawah nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasional 24 jam yaitu sebesar
365 µg m
-3
, tetapi sudah melampaui nilai BMUA untuk 1 tahun sebesar 60 µg m
-3
. Semakin malam konsentrasi SO
2
makin meningkat, dan mencapai maksimum pada pk 06.00 WIB. Fluktuasi rata-rata diurnal menunjukkan konsentrasi terendah terjadi pada
pk.16.00 WIB Gambar 43. Nilai Risiko Kesehatan HR 1 menunjukkan dosis pencemar yang terhirup sudah melebihi level yang dapat menimbulkan pengaruh negatif.
Sesuai dengan asumsi berat badan dan lama paparan per hari untuk orang dewasa, dosis potensial SO
2
yang terhirup maksimum sebesar 28.4 µg kg
-1
hari
-1
, maksimum rataan diurnal adalah 13.5 µg kg
-1
per hari. Risiko kesehatan selama pemodelan didapatkan sebesar 1.8, tetapi rata-rata diurnal maksimum didapatkan sebesar 0.86. Hal
tersebut menunjukkan potensi pajanan SO2 rata-rata diurnal masih relatif aman, tetapi untuk nilai maksimum selama periode penelitian sudah melampaui nilai LOAEL.
Konsentrasi rata-rata diurnal PM
10
di Balaraja berfluktuasi dengan maksimum konsentrasi diurnal terjadi pada siang hari, sebesar 19.35 µg m
-3
pada jam 12.00 WIB, kemudian konsentrasi menurun hingga minimum pada pk.19.00. Setelah itu menjelang
malam hari konsentrasi meningkat lagi tetapi tidak setinggi siang hari Gambar 44. Dosis PM10 maksimum yang terhirup orang dewasa dengan pekerjaan sedang adalah 1.9
µg kg
-1
hari
-1
, dengan nilai HR sebesar 0.12. Nilai maksimum konsentrasi selama periode penelitian adalah 30.1 µg m
-3
, dan dosis terhirup sebesar 8.43 µg kg
-1
hari
-1
. Nilai risiko kesehatan tertinggi akibat PM
10
maksimum selama periode penelitian sebesar 0.5, menunjukkan risiko kesehatan masih relatif rendah. Dengan demikian di Balaraja
Tangerang diprediksi potensi risiko kesehatan lebih besar berasal dari SO
2
.
79
Gambar 43 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO
2
Balaraja
Gambar 44 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM
10
Balaraja Data tersebut hanya berdasarkan kepada data pemodelan, sehingga perlu dilakukan
pengukuran langsung di lapangan, ataupun dilakukan pemodelan dengan jangka waktu yang lebih panjang untuk melihat variabilitas konsentrasi pencemar. Hal ini penting
dilakukan terutama di daerah-daerah yang padat penduduknya dan memiliki riwayat kesehatan terkait penyakit saluran pernapasan.
6.3.2 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Wilayah Jakarta Lokasi DKI 1 Bundaran HI Jakarta Pusat
Lokasi ini merupakan pusat kota Jakarta, kondisi sekitarnya merupakan daerah perkantoran dengan gedung-gedung yang tinggi. Aktivitas yang menonjol adalah
transportasi yang padat pada pagi dan menjelang malam, ketika para pegawai kantor tersebut berangkat dan pulang dari bekerja.
Data dari SPKU DKI1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata konsentrasi PM
10
diurnal selama 5 hari penelitian masih di bawah nilai Baku Mutu 24 jam untuk PM
10
sebesar 150 µg m
-3
Gambar 45. Namun demikian, dosis potensial pada pk. 23.00 hingga pk 11.00,
0.00 0.20
0.40 0.60
0.80 1.00
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
7.0 8.0
9.0 10
.00 11.
00 12.
00 13.
00 14.
00 15.
00 16.
00 17.
00 18.
00 19.
00 20.
00 21
.00 22.
00 23.
00 24.
00 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0 H
ea lth
R is
k H
R
K o
n sen
tr asi
SO
2
µ g
m
-3
Waktu jam rata SO2 µg m-3
dosis µg kg-1hari-1 LOAEL µg kg-1hari-1
BMUA 1 thn HR
0.00 0.02
0.04 0.06
0.08 0.10
0.12 0.14
0.0 2.0
4.0 6.0
8.0 10.0
12.0 14.0
16.0 18.0
7.0 8.0
9.0 10.
00 11.
00 12.
00 13.
00 14
.00 15.
00 16.
00 17.
00 18.
00 19.
00 20.
00 21.
00 22.
00 23.
00 24.
00 1.0
2.0 3.0
4.0 5.0
6.0 H
ea lth
R is
k H
R
K o
n sen
tr asi
PM
10
µ g
m
-3
Waktu jam rata PM10 µg m-3
dosis µg kg-1hari-1 LOAEL µg kg-1hari-1
HR
80 sudah melewati angka LOAEL PM
10
untuk orang dewasa sebesar 15.7 µg kg
-1
hari
-1
. Risiko kesehatan HR yang dihadapi masyarakat terutama orang dewasa di lingkungan
ini sudah 1, artinya sudah memiliki risiko menimbulkan gangguan kesehatan. Gejala awal dapat berupa bersin-bersin dan batuk atau gejala gangguan pernapasan. Sejalan
dengan hasil penelitian Cerna et al. 1998 bahwa walaupun kondisi rata-rata masih di bawah nilai baku mutu, tetapi setelah dihitung dosisnya sudah berpotensi menimbulkan
gejala gangguan kesehatan awal. Pencemar SO
2
di Bundaran HI selama periode penelitian memiliki rata-rata konsentrasi diurnal yang tidak terlalu besar fluktuasinya Gambar 46. Nilai maksimum
maupun rata-rata per jam masih di bawah nilai Baku Mutu. Hasil perhitungan dosis potensial masih dibawah LOAEL, dan risiko kesehatan masih 0.5, berarti konsentrasi
SO2 selama penelitian masih aman.
Gambar 45 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM
10
Bundaran HI
Gambar 46 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO
2
Bundaran HI
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
80.0 90.0
H e
al th
R isk
H R
K o
n sen
tr asi
PM 10
D K
I 1µ
g m
-3
Waktu jam rataan PM10
Dosis LOAEL
Health Risk
0.0 0.1
0.2 0.3
0.4 0.5
0.6 0.7
0.8 0.9
1.0
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
80.0
H e
al th
R isk
H R
K o
n sen
tr asi
SO2 D
K I
1µ g
m -3
Waktu jam rataan SO2
Dosis LOAEL
BM Health Risk
81
Lokasi DKI2 Kelapa Gading Jakarta Utara
Lokasi ini dianggap mewakili wilayah komersil di DKI Jakarta. Namun demikian di lokasi ini juga masih terdapat pemukiman penduduk, dan termasuk golongan
menengah ke atas. Hasil analisis data dari SPKU DKI2
–KG, rata-rata konsentrassi diurnal PM
10
di lokasi ini selama periode penelitian masih di bawah nilai Baku Mutu Ambien Nasional
Gambar 47. Tetapi perhitungan dosis untuk orang dewasa menunjukkan sudah melebihi nilai LOAEL, sehingga risiko kesehatan sudah melampaui angka 1 terutama pada pukul
09.00. Risiko kesehatan sudah 1 mulai pukul 18.00 meningkat hingga pukul 09.00 WIB, kemudian menurun hingga pk.13.00. nilai HR 1 hanya didapatkan pada waktu singkat
di siang hari yaitu pk 13.00 – 17.00 WIB. Hal tersebut sejalan dengan penemuan
sebelumnya bahwa berdasar luaran model WRFChem, wilayah Jakarta Pusat dan Utara berpotensi terpapar pencemar dengan konsentrasi maksimum terutama malam hingga
pagi. Oleh karena itu wilayah-wilayah ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah setempat dalam pengelolaan kualitas udara maupun pengendalian pencemaran.
Pengelolaan kualitas udara dapat dilakukan oleh pemerintah setempat, tetapi pengendalian pencemaran harus dilakukan terpadu, karena belum tentu sumberr emisinya
ada di lokasi yang sama, bisa terjadi pencemar terbawa dari daerah lain. Sebagaimana Krzyzanowski 1997 lokasi atau posisi stasiun pengamatan pencemar udara terhadap
sumber emisi tidak selalu berhubungan langsung dengan kesehatan di lokasi tersebut. Hal ini berarti bisa terjadi lokasi stasiun dekat dengan sumber emisi, tetapi dampak kesehatan
yang dialami masyarakat di daerah tersebut adalah akibat emisi dari tempat lain yang terbawa ke lokasi tersebut.
Hasil analisis terhadap SO
2
menunjukkan di lokasi Kelapa Gading konsentrasi maskimum diurnal hampir mendekati nilai Baku Mutu 1 tahun sebesar 60 µg m
-3
Gambar 48. Namun demikian dosis potensialnya sepanjang hari masih di bawah LOAEL, kecuali
pada pukul 08.00 nilainya sedikit di atas nilai LOAEL, sebesar 16.2 µg kg
-1
hari
-1
.