Penggunaan WRFChem Pemodelan Dispersi Pencemar Udara

25 hubungannya dengan pencemaran udara dan sebaliknya. Maka faktor sosial ekonomi menjadi confounder factor. Dampak pencemaran udara yang paling ringan umumnya berupa timbulnya gejala symptoms seperti bersin-bersin dan batuk. Terdapat 4 tahapan tingkat pengaruh konsentrasi pencemar terhadap respon tubuh manusia : a. NOEL : No-Observed-Effects-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak mengakibatkan perubahan yang terlihat b. NOAEL : No-Observed-Adverse-Effect-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif c. LOEL : Lowest-Observed-Effect-Level, level konsentrasi terendah yang menunjukkan adanya suatu perubahan d. LOAEL : Lowest-Observed-Adverse-Effect-Level, level konsentrasi terendah yang menunjukkan timbulnya efek negatif Risiko kesehatan Health Risk –HR dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan antara dosis potensial dengan LOAEL pencemar tertentu Zhao et al.2013, Cerna et al. 1998. Menurut Cerna et al. 1998 nilai LOAEL untuk PM 10 dan SO 2 sama besar, yaitu 15.7 µg per kg berat badan per hari. 2.6 Kebijakan dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Udara dan Pengelolaan Kualitas Udara Sekitar Kawasan Industri Suatu wilayah dengan tingkat perkembangan industri tinggi akan memberi andil cukup besar terhadap kualitas udara ambien sekitarnya, karena cerobong pengemisi di kawasan industri jumlahnya menjadi banyak. Pembentukan suatu kawasan industri pada dasarnya mempermudah pengelolaan kualitas udara, karena sumber emisi pencemarnya menjadi lebih terlokalisir. Namun demikian, tidak semua daerah yang padat industri menjadi sebuah kawasan industri. Sebagai contoh di Kabupaten Tangerang ada daerah yang disebut peruntukkan zona kawasan industri ada yang disebut daerah industri non- kawasan. Daerah industri non-kawasan ini berpotensi melepaskan emisi pencemar tidak terkontrol dengan baik, karena dikelola sendiri oleh masing-masing industri. Upaya pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi serta pendekatan hukum. Pendekatan teknologi antara lain pemilihan bahan bakar, penyesuaian bentuk fisik cerobong, penggunaan filter, dan sebagainya yang bertujuan untuk mengurangi konsentrasi emisi dari cerobong. Pendekatan hukum adalah melalui penetapan baku mutu emisi. Selanjutnya setelah emisi keluar dari cerobong 26 walaupun sudah memenuhi baku mutu emisi, tetap memiliki kemungkinan membahayakan, akibat adanya reaksi kimia di atmosfer yang membentuk pencemar sekunder, atau akibat akumulasi pencemar di lokasi-lokasi tertentu sesuai arah angin. Hal ini memerlukan upaya pengelolaan kualitas udara. Salah satunya dengan pemantauan kualitas udara ambien agar tidak melewati baku mutu yang telah ditetapkan. Lokasi pemantauan harus ditempatkan di lokasi yang tepat agar data yang didapat benar-benar merepresentasikan kemungkinan tingkat pencemaran terburuk. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk bekerjasama dengan lembaga pengelola kawasan industri maupun dengan pihak industri secara individu. Berdasarkan berbagai rujukan pustaka didapatkan bahwa metode lain dalam pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara adalah melalui pemodelan. Menurut Baklanov et al. 2007, konsep pemodelan pencemaran udara dan analisis risiko kesehatan masyarakat dapat dijalankan melalui 4 tahap yang terintegrasi, yaitu : a. aplikasi pemodelan meteorologi b. downscaling model meteorologi skala lokal perkotaankawasan c. perhitungan konsentrasi pencemar model dispersi d. perhitungan pajanan populasi melalui model probabilistik ataupun deterministik. Di Indonesia pemantauan rutin di sekitar wilayah industri lebih ditekankan pada persyaratan kesehatan dan keselamatan kerja pegawai dan staf di lingkungan industri masing-masing, sehingga manfaatnya belum dirasakan oleh masyarakat sekitar. Walaupun demikian, pada dasarnya peraturan mengenai pelaksanaan pemantauan pencemaran udara sudah ada, tetapi pelaksanaan di lapangan masih memerlukan pembenahan sesuai tujuan yang sudah ditetapkan.

2.7 Tinjauan Umum Lokasi Kajian

Salah satu daerah yang berpotensi mengalami pencemaran udara sebagai daerah industri adalah Kabupaten Tangerang. Di Kabupaten Tangerang, terdapat zona-zona industri baik berupa kawasan maupun non-kawasan Lampiran 1. Badan Lingkungan Hidup Daerah BLHD setempat belum memiliki dokumentasi kualitas udara ambien yang kontinu ataupun data time series di lokasi yang tersebar. Oleh karena itu lokasi Kabupaten Tangerang dijadikan studi kasus dalam penelitian ini. Selain itu, Kabupaten Tangerang juga berpotensi mengalami perkembangan luasan wilayah industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah yang sudah ditetapkan. 27

2.7.1 Kondisi Geografi

Kabupaten Tangerang merupakan kabupaten yang terletak di timur Provinsi Banten pada koordinat 106°20′-106°43′ Bujur Timur dan 6°00′-6°20′ Lintang Selatan. Wilayah ini, berbatasan dengan Laut Jawa disebelah Utara, Kabupaten Bogor di sebelah Selatan, Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak di sebelah Barat, dan Kota Tangerang dan DKI Jakarta di sebelah Timur. Luas wilayah 1011.86 km 2 dengan jumlah penduduk sekitar 2 393 897 jiwa BPS 2012. Secara topografi, bagian Utara Kabupaten Tangerang berupa dataran rendah pesisir, dan bagian Selatan sebagian besar merupakan dataran tinggi, dengan ketinggian berkisar dari 0 – 85 m dpl.

2.7.2 Kondisi Iklim

Berdasar data meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG 2013, wilayah Tangerang memiliki pola hujan sebagaimana tergambar pada Gambar 6. Data curah hujan tahun 2009-2013 dari stasiun meteorologi Curug Budiarto, menunjukkan wilayah tersebut memiliki curah hujan tahunan rata-rata sekitar 2294 mm. Curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, dan puncak hujan terjadi pada bulan Januari. Arah dan kecepatan angin wilayah Tangerang berdasarkan data Stasiun BMKG Curug Budiarto tahun 2013 menunjukkan kecepatan rata-rata 3 mdetik, dan kecepatan maksimum hingga 19.8 mdetik. Kecepatan angin yang cukup tinggi terjadi pada bulan November. Arah angin bulan November hingga April didominasi angin Barat, sedangkan bulan Mei hingga Oktober arah angin mulai menyebar. Gambar 7 menunjukkan dominasi angin Barat pada bulan November a dan bulan April b. Bulan Mei pola angin mulai berubah, angin dominan masih dari Barat tetapi dengan prosentase lebih kecil dan kecepatan juga menurun Gambar 8a. Bulan Juni hingga Oktober arah angin hampir menyebar merata dengan kecepatan rendah, terutama pada bulan Juli Gambar 8b. Kondisi tersebut dapat memberi gambaran umum pola sebaran pencemar pada musim kemarau dan musim hujan di wilayah sekitarnya. Pada bulan Juli kecepatan angin rendah, tapi arah angin dari berbagai arah, sehingga wilayah ini berpotensi mengalami akumulasi pencemar udara. 28 Gambar 6 Curah hujan rata-rata bulanan periode 2009-2013 a b Gambar 7 Arah angin a bulan November, b bulan April a b Gambar 8 Arah angin a bulan Mei, b Juli