86
6.4 Simpulan dan Saran 6.4.1 Simpulan
Potensi pajanan masyarakat terhadap konsentrasi pencemar, secara diurnal menunjukkan bahwa di Jakarta konsentrasi PM
10
sudah berpotensi menimbulkan risiko kesehatan, ditandai dengan HR 1 kecuali di Jagakarsa. Risiko yang timbul minimal
gangguan pernapasan, karena dosis yang terhirup rata-rata oleh orang dewasa sudah melampaui nilai LOAEL. Potensi risiko kesehatan akibat SO
2
di Jakarta masih cukup rendah HR 1. Sementara di wilayah Tangerang potensi SO
2
dalam menimbulkan risiko kesehatan masyarakat lebih tinggi daripada PM
10
dan sudah menunjukkan indikasi gangguan kesehatan awal yaitu melampaui nilai LOAEL HR 1. Risiko kesehatan
yang tinggi di seluruh lokasi terjadi sekitar pukul 09.00-11.00 dan setelah pukul 24.00 malam hari.
6.4.2 Saran
Berdasar hasil perhitungan nilai LOAEL untuk PM
10
dan SO
2
maka disarankan masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar ruangan pada waktu-waktu tertentu ketika
potensi pencemar maksimum. Salah satu waktu yang rentan adalah setelah tengah malam hingga pagi. Saran lain adalah pemerintah melakukan pemantauan kualitas udara ambien
yang kontinu secara intensif, di DKI Jakarta perlu penambahan stasiun pemantau kualitas udara ambien SPKU, dan di Kabupaten Tangerang sudah harus memiliki SPKU atau
dilakukan monitoring kontinu di titik-titik tertentu secara intensif.
87
VII PEMBAHASAN UMUM
Udara bersih sangat diperlukan untuk keberlangsungan hidup secara sehat, tetapi sangat disayangkan berbagai aktivitas manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
juga mengakibatkan penurunan kualitas udara, hingga terjadi pencemaran udara. Dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran udara bukan hanya sekedar gejala gangguan
pernapasan, tetapi sudah mengancam lebih jauh dengan timbulnya penyakit-penyakit terkait kanker, bahkan kematian serta kerusakan lingkungan lain. Lebih jauh UNEP
2005 menyatakan bahwa pencemaran udara yang sangat parah terutama di negara berkembang, akan berdampak pada stabilitas ekonomi, karena bisa menyebabkan
investor mengurungkan niat untuk berinvestasi UNEP 2005. Hal penting yang harus dilakukan adalah pengendalian pencemaran udara dan
pengelolaan kualitas udara. Pengendalian pencemaran udara Air Pollution Control merupakan aktivitas yang lebih menekankan pengendalian di sumber emisi, baik berupa
penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, aktivitas produksi yang tidak mencemari atau produksi bersih, teknik penyaringan limbah yang dibuang ke udara,
hingga modifikasi bentuk fisik cerobong Cooper Alley 2011. Pengelolaan kualitas udara Air Quality Management merupakan aktivitas yang dilakukan untuk
mengantisipasi kondisi pencemaran di lingkungan ambien, seperti pemantauan kualitas udara ambien, penanaman vegetasi yang dapat menyerap polutan, serta berbagai
kebijakan lain yang diatur oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas udara ambien termasuk kebijakan pembatasan kendaraan bermotor, penerapan regulasi dan hukum
lingkungan serta sanksi pajak, dan sebagainya World Bank 1997, UNEP 2005. Berdasarkan dokumen World Bank 1997, sistem manajemen kualitas udara di
perkotaan harus melibatkan seluruh faktor yang berpengaruh, mulai dari sumber pencemar hingga faktor ekonomi dan demografi, serta faktor meteorologi menjadi bagian
yang menentukan. Di Indonesia selama ini belum sepenuhnya melibatkan faktor meteorologi dalam
upaya pengelolaan kualitas udara maupun pengendalian pencemaran udara. Oleh karena itu dalam penelitian ini dicari solusi untuk dapat memberi kontribusi ilmiah dalam upaya
pengendalian pencemaran udara serta pengelolaan kualitas udara. Salah satu kasus yang dijadikan wilayah kajian dalam penelitian ini adalah Kabupaten Tangerang dan DKI
Jakarta, yang merupakan 2 kota yang berbatasan dengan karakter berbeda. Kabupaten
88 Tangerang sebagai wilayah industri, dan DKI Jakarta merupakan wilayah urban, sangat
menarik untuk dikaji. Dua hal utama yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah : 1.
pengenalan lokasi-lokasi yang berpotensi terpapar pencemar udara dengan konsentrasi maksimum melalui pemodelan terintegrasi yang dapat dimanfaatkan
untuk : a.
penentuan lokasi pemantauan kontinu ataupun manual b.
waktu pemantauan yang dilakukan secara manual 2.
pemanfaatan pemodelan untuk mendapat gambaran karakteristik stabilitas atmosfer yang dapat digunakan sebagai :
a. informasi untuk teknik pengendalian emisi pencemar udara dari industri melalui
pengaturan ketinggian cerobong b.
pengaturan waktu emisi agar mengurangi akumulasi pencemar di permukaan
7.1 Pola Dispersi PM
10
dan SO
2
di Wilayah Tangerang dan Jakarta
Pola dispersi pencemar luaran model WRFChem menggambarkan bahwa wilayah DKI Jakarta berpotensi terpapar pencemar dengan konsentrasi maksimum pada malam
hingga pagi hari, baik untuk pencemar PM
10
maupun SO
2
. Pada bulan Agustus, lokasi yang paling rawan terpapar pencemar maskimum tersebut adalah Jakarta Pusat dan
Jakarta Utara. Puncak konsentrasi PM
10
terjadi sekitar pk. 04.00 hingga pk 06.00, sedangkan SO
2
pukul 05.00 hingga pukul 07.00 WIB. Pola angin dan stabilitas atmosfer turut mempengaruhi dispersi tersebut. Pada malam hari kondisi atmosfer lapisan
permukaan sangat stabil dan menyebabkan pencemar yang masuk ke lapisan tersebut akan terakumulasi sehingga konsentrasi menjadi tinggi. Pada siang hari lokasi yang
berpotensi terpapar pencemar maskimum adalah lokasi Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, walaupun dengan nilai rata-rata konsentrsi lebih kecil.
Pada bulan Desember pola angin sedikit berubah, sehingga konsentrasi maksimum pencemar agak bergeser ke bagian Barat, menjadi ke arah Tangerang Selatan, dan Kota
Tangerang. Rata-rata konsentrasi pencemar diurnal bulan Desember lebih rendah daripada musim kemarau, walaupun pada saat tidak ada hujan konsentrasi maksimum
bisa mencapai konsentrasi seperti saat musim kemarau berlangsung. Konsentrasi maksimum pada malam menjelang pagi hari berpotensi melampaui
nilai baku mutu nasional 24 jam, baik untuk PM
10
maupun SO
2
. Konsentrasi maksimum PM
10
hasil model mencapai 200 µg m
-3
, dan SO
2
mencapai 471 µg m
-3
. Kedua nilai
89 tersebut melampaui nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasional 24 jam sebesar 150 µg m
-3
untuk PM
10
dan 365 µg m
-3
untuk SO
2
. Hasil validasi model menunjukkan bahwa luaran model berupa peubah pencemar
udara memiliki nilai korelasi hanya sekitar 0.34. Nilai ini berdekatan dengan hasil dari beberapa penelitian lain menyatakan bahwa kisaran korelasi antara luaran model dengan
data observasi untuk partikulat atau aerosol adalah sekitar 20 – 50. Namun untuk faktor
meteorologi terutama suhu udara, korelasinya sangat baik berkisar 0.8 – 0.9, menandakan
model WRFChem untuk suhu udara dapat diandalkan untuk prediksi faktor meteorologi di wilayah DKI Jakarta. Sementara untuk faktor kecepatan angin nilai korelasi berkisar
0.5. Nilai korelasi tersebut diduga tidak terlalu besar karena kecepatan angin hasil model terendah ada di lapisan 10 m dpl, sedangkan data observasi lebih rendah posisi
pengukurannya. Pola diurnal konsentrasi pencemar luaran model pada musim kemarau umumnya
menunjukkan konsentrasi maksimum pada malam hari dan minimum pada siang hari. Namun data observasi menunjukkan pada waktu-waktu tertentu ada peningkatan
konsentrasi akibat adanya tambahan emisi dari lalulintas di sekitar stasiun pengamatan, maupun dari lokasi lain yang terbawa oleh angin. Pola fluktuasi konsentrasi diurnal pada
musim hujan tidak terlalu jelas karena adanya pengaruh hujan yang turun pada saat tertentu.
Penggunaan model WRFChem dapat membantu mengenali lokasi-lokasi yang rawan atau berpotensi terpapar pencemar dengan konsentrasi maksimum. Informasi
potensi paparan pencemar ini, akan bermanfaat untuk menentukan lokasi yang representatif sebagai lokasi pemantauan kualitas udara ambien yang kontinu. Namun
demikian perlu penelaahan lebih lanjut dengan periode pemodelan yang lebih panjang agar didapat gambaran lebih menyeluruh antar waktu. Pola diurnal membantu dalam
penentuan waktu-waktu yang berpotensi terjadi akumulasi pencemar di permukaan. Hal ini dapat menjadi informasi penting bagi warga masyarakat untuk memilih waktu yang
aman untuk menghindari pencemaran dengan konsentrasi tinggi. Pola sebaran dispersi ini baik spasial maupun temporal diurnal akan sangat
dipengaruhi stabilitas atmosfer di permukaan atau yang disebut lapisan perbatas boundary layer. Melalui pemodelan akan dapat dianalisis pada kondisi stabilitas seperti
apa tingkat konsentrasi menjadi aman. Oleh karena itu penelitian mengenai stabilitas atmosfer menjadi penting, sebagaimana dibahas pada subbab 7.2.
90
7.2 Analisis Stabilitas Lapisan Perbatas Atmosfer Wilayah Jakarta dan Balaraja Kabupaten Tangerang
7.2.1 Analisis stabilitas statis dan dinamis Lapisan perbatas atau boundary layer adalah lapisan atmosfer yang memiliki
karakteristik sangat dipengaruhi oleh keadaan permukaan, baik topografi, jenis vegetasi maupun jenis tutupan lahannya. Faktor meteorologi yang sangat penting adalah suhu
udara dan kecepatan angin, yang selanjutnya kedua faktor itu akan mempengaruhi stabilitas atmosfer. Suhu akan mempengaruhi gerak vertikal udara ke atas yang membawa
serta pencemar yang ada di dalamnya. Ketika udara cenderung bergerak naik, maka kondisi disebut tidak stabil dan berpotensi mengencerkan pencemar sehingga konsentrasi
menurun. Namun demikian faktor lain yang mempengaruhi adalah adanya turbulensi, yang mempengaruhi fluktuasi konsentrasi pencemar.
Salah satu indikator kestabilan atmosfer adalah perubahan suhu udara vertikal, stabilitas ini disebut stabilitas statis. Jika dTdz 0 maka atmosfer dikatakan tidak stabil.
Sebaliknya jika dTdz 0 dikatakan stabil, dan ketika dTdz = 0 atmosfer dalam kondisi netral, pencemar dapat menyebar vertikal dan horizontal dengan seimbang.
Selain suhu udara, faktor yang mempengaruhi stabilitas atmosfer adalah profil kecepatan angin vertikal atau wind shear. Rasio antara perbedaan suhu udara vertikal
dengan perbedaan kecepatan angin vertikal menjadi indikator stabilitas atmosfer yang dinamis. Stabilitas dinamis ini dapat diduga melalui angka Richardson, yang merrupakan
parameter non dimensional yang menunjukkan tingkat kepentingan relatif antara daya apung buoyancy dan geseran angin atau shear dalam menghasilkan turbulensi Kaimal
Finnigan 1994. Berdasarkan analisis stabilitas statis di wilayah Balaraja Tangerang dan DKI
Jakarta didapatkan bahwa ada perbedaan karakteristik stabilitas atmosfer pada kedua lokasi tersebut. Stabilitas atmosfer malam hari lapisan permukaan atmosfer Jakarta lebih
dahulu mengalami kondisi netral pada pk.18.00, sedangkan Balaraja memasuki kondisi netral pada pk 19.00. Kestabilan atmosfer wilayah Jakarta lebih kuat dibanding daerah
Balaraja. Terdapat lapisan netral pada ketinggian 30 – 100m di Balaraja dan Jakarta pada
malam hari hingga pagi. Namun di Jakarta lapisan netral tersebut bertambah saat memasuki pk.04.00 hingga lapisan 3 sekitar 200 m. Setelah itu seluruh lapisan memiliki
dTdz 0, sekitar -0.01. Hal ini dipengaruhi karakter permukaan Balaraja dan Jakarta yang berbeda. Wilayah Jakarta memiliki sekitar 73.80 kawasan padat bangunan dan
perkerasan Joga dan Ismaun 2011, sedangkan Balaraja 40 Fiddien et al. 2104.
91 Berdasar hasil analisis stabilitas dinamis, di Balaraja maupun DKI Jakarta, lapisan
atmosfer paling bawah z1 memiliki nilai Ri ≥ 1.0 mulai pukul 19.00 WIB. Hal tersebut menunjukkan bahwa lapisan z1 0- 30 m dari permukaan bersifat laminer dan stabil.
Menurut Stull 2000 suatu aliran dikatakan turbulen jika secara statis atau dinamis tidak stabil, dan suatu aliran dikatakan laminar jika aliran tersebut secara statis maupun dinamis
stabil. Faktor-faktor meteorologi tersebut di atas, yakni suhu udara, kecepatan angin dan
stabilitas atmosfer akan mempengaruhi fluktuasi konsentrasi pencemar. Pengaruh ini juga akan bergantung pada jenis pencemarnya, terutama secara fisik gas dan partikulat
akan berbeda responnya terhadap faktor meteorologi tersebut. Analisis pengaruh faktor meteorologi terhadap fluktuasi konsentrasi pencemar dibahas pada sub bab 7.2.2.
7.2.2 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Fluktuasi Konsentrasi Pencemar
Faktor meteorologi yang dianalisis dalam hal ini adalah suhu udara permukaan, kecepatan angin permukaan serta ketebalan lapisan pencampuran. Data suhu udara dan
kecepatan angin adalah data dari stasiun observasi. Sementara ketebalan lapisan pencampuran dalam hal ini diberi simbol Ri-h, adalah lapisan atmosfer yang memiliki
nilai Ri 0.25, berdasar perhitungan nilai Ri di setiap titik koordinat stasiun pengamatan kualitas udara ambien di DKI Jakarta.
Hasil analisis menunjukkan bahwa setiap lokasi memiliki karakteristik sendiri sehingga faktor meteorologi yang dominan mempengaruhi fluktuasi konsentrasi
pencemar akan berbeda-beda. Suhu udara secara umum memberi nilai koefisien korelasi r 0 sehingga menunjukkan semakin tinggi suhu udara maka konsentrasi pencemar
menurun dan sebaliknya, kecuali di Jagakarsa dan Balaraja Tangerang, peningkatan suhu udara berkorelasi positif dengan konsentrasi pencemar terutama partikulat PM
10
. Kecepatan angin di lokasi Balaraja juga menunjukkan karakter yang sama. Korelasi
faktor meteorologi dengan konsentrasi SO
2
di daerah Tangerang menunjukkan pengaruh negatif, sementara di Jakarta memiliki nilai korelasi positif kecil, kecuali di Kelapa
Gading, berkorelasi negatif. Suhu dan ketebalan lapisan pencampuran berpengaruh positif dengan r = 0.7 di sekitar Kebon Jeruk
Pengaruh ketebalan lapisan pencampuran Ri-h terhadap konsentrasi pencemar tidak sama antar lokasi. Terdapat lag atau keterlambatan pola antara Ri-h dengan
konsentrasi, yang menunjukkan bahwa peningkatan atau penurunan ketebalan lapisan pencampuran tidak serta merta mengencerkan atau mengakumulasikan pencemar. Ada
92 proses yang menyertainya, sehingga terdapat keterlambatan antara puncak ketebalan
lapisan dengan titik terendah konsentrasi pencemar. Kondisi tersebut di atas menyebabkan fluktuasi konsentrasi pencemar terjadi sangat dinamis baik secara spasial
maupun temporal. Berdasarkan analisis pengaruh faktor meteorologi terhadap fluktuasi konsentrasi
pencemar, didapatkan gambaran bahwa pada malam hari konsentrasi pencemar cenderung meningkat hingga pagi hari. Maka konsekuensinya adalah pemantauan
kualitas udara ambien tidak bisa hanya dilakukan siang hari saja, karena tidak representatif mewakili keadaan kualitas udara sebenarnya. Selain itu, berdasar analisis
faktor meteorologi didapatkan fakta bahwa pada malam hari lapisan atmosfer di permukaan sangat stabil, sehingga pencemar di lapisan tersebut akan cenderung
terakumulasi dan menurunkan kualitas udara setempat. Maka perlu dianalisis selanjutnya mengenai pemanfaatan kondisi malam hari untuk pelepasan emisi dari sumber industri.
Hal tersebut dibahas pada sub bab 7.2.3.
7.2.3 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar
Berdasar analisis stabilitas statis maupun dinamis, pada malam hari di DKI Jakarta dan Tangerang terdapat lapisan atmosfer stabil dengan ketebalan rata-rata 0 -100 m.
Waktu terbentuknya lapisan tersebut berbeda antara kedua lokasi, Jakarta stabil lebih awal dibanding Balaraja. Ketebalan lapisan stabil berdasar nilai Ri atau stabilitas dinamis
menunjukkan bahwa lapisan stabil di permukaan relatif tetap ketebalannya antara 30-100 m hingga pukul 02.00 WIB dini hari, setelah itu tampak kenaikan ketebalan hingga pk
05.00 WIB dan terjadi penurunan pada pk.06.00 WIB. Perbedaan ketebalan lapisan atmosfer stabil antara Balaraja dan Jakarta dipengaruhi
oleh karakter permukaan yang berbeda, salahsatunya yaitu luas tutupan lahan yang berupa lahan terbangun. Jakarta memiliki luas lahan terbangun berupa beton dan perkerasan
70 luas wilayahnya, sedangkan Balaraja luas terbangun berupa perumahan dan industri sekitar 40. Perbedaan luas lahan terbangun sekitar 30 tersebut diperkirakan
mempengaruhi perbedaan ketebalan lapisan atmosfer stabil Jakarta 26-29 lebih tebal dibanding Balaraja.
Di atas lapisan stabil terdapat lapisan atmosfer bersifat netral atau tidak stabil lemah, menunjukkan suatu lapisan atmosfer yang memungkinkan adanya pencampuran
di atmosfer bagian atas. Pada lapisan tersebut memungkinkan pencemar terdispersi secara