52
Pola Diurnal Konsentrasi Sulfurdioksida SO
2
Pola diurnal konsentrasi SO
2
berdasar data luaran model, pada bulan Agustus memiliki puncak pada dini hari sekitar pukul 03.00 -05.00 WIB Gambar 26 a Pada
bulan Desember konsentrasi maksimum bergeser menjadi sekitar pukul 05.00 – 06.00
WIB. Konsentrasi maksimum pada bulan Agustus umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Desember Gambar 26 b. Konsentrasi terendah terjadi pada siang hari
sekitar pk. 10.00 – 16.00 WIB.
Berbeda dengan hasil model, data observasi menunjukkan konsentrasi maksimum terjadi pada sekitar pk. 07.00- 09.00 WIB Gambar 27 a dan b. Hal ini berkaitan
dengan emisi setempat berupa peningkatan jumlah kendaraan bermotor, serta pola angin di wilayah tersebut yang dominan dari Utara dan Timur laut pada bulan Desember. Angin
dominan tersebut berpotensi membawa SO
2
dari pusat kota dan juga dari wilayah industri.
a b
Gambar 26 Fluktuasi konsentrasi SO
2
luaran model a Agustus dan b Desember
Lokasi DKI 1, DKI 2 , DKI 3 dan DKI 5 menunjukkan data observasi konsentrasi SO
2
bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan Desember, tetapi sebaliknya untuk DKI 4. Konsentrasi SO
2
di ketiga lokasi tersebut pada bulan Desember lebih tinggi. Hal ini dapat dijelaskan oleh karakteristik arah angin dominan pada bulan Desember yang berasal dari
Utara dan Timur Laut. Bagi wilayah Lubang Buaya DKI 4, angin dari Utara dan Timur Laut berpotensi membawa pencemar dari pusat kota dan wilayah industri di bagian Timur
seperti Cakung maupun Bekasi. Fluktuasi nilai konsentrasi SO
2
selain terjadi akibat transportasi, dengan adanya angin, juga dipengaruhi oleh perubahan atau transformasi
kimia SO
2
menjadi SO
3
dan bereaksi dengan H
2
O menjadi asam sulfat. Pada kasus ini berpotensi terjadi pembentukan aerosol partikel.
53
a b Gambar 27 Fluktuasi konsentrasi SO
2
observasi a Agustus dan b Desember
Pola diurnal konsentrasi SO
2
dari kelima stasiun pengamatan tidak terlalu bersesuaian dengan pola diurnal luaran WRFChem. Pola diurnal luaran model tampak
lebih teratur dibandingkan dengan observasi. Hal ini terjadi karena data observasi sangat dipengaruhi oleh sumber emisi yang ada di sekitar stasiun pengamatan.
Konsentrasi di permukaan berkaitan erat dengan sumber emisi. Pada saat pagi hari konsentrasi SO
2
di permukaan rendah, dan seiring dengan bertambahnya aktivitas kendaraan bermotor maka konsentrasi SO
2
meningkat. Hal ini dapat menjelaskan adanya peningkatan konsentrasi observasi pada pukul 7.00-9.00 di permukaan. Konsentrasi SO
2
di permukaan terendah terjadi pada sekitar jam 19.00-21.00 malam. Grafik pola diurnal SO
2
selengkapnya dilampirkan pada Lampiran 6. Kondisi yang cukup berbeda adalah di Jagakarsa, data observasi di lokasi ini
menunjukkan peningkatan konsentrasi SO
2
mulai siang hari dan relatif stabil hingga menjelang sore hari. Pola tersebut konsisten di Jagakarsa, sebagaimana pola diurnal data
observasi PM
10
pada bulan Agustus dan Desember, yang juga relatif meningkat di siang hari. Hal ini berkaitan dengan kecepatan angin observasi, lokasi Jagakarsa memiliki
kecepatan angin sangat rendah pada siang hari, dan sedikit meningkat menjelang malam hari, tetapi maksimum hanya mencapai 1 m det
-1
Gambar 28. Hal ini mendorong akumulasi pencemar udara.
Kecepatan angin di wilayah DKI Jakarta secara umum relatif rendah, hasil rata-rata diurnal menunjukkan kecepatan maksimum 3 m det
-1
. Jakarta Pusat yang diwakili lokasi Bundaran HI BHIDKI1, dan Jagakarsa memiliki rata-rata kecepatan angin
54 sangat rendah 1 m det
-1
, kondisi ini disebut calm, dan mendukung terakumulasinya pencemar, sehingga konsentrasi pencemar berpotensi meningkat.
Koefisien korelasi antara pola diurnal luaran WRFChem dan observasi, baik rata- rata 5 hari, bulan berjalan maupun tahunan ditunjukkan pada Tabel 6. Lokasi DKI2 atau
sekitar Kelapa Gading memiliki nilai koefisien korelasi positif dan terbesar dengan pola diurnal observasi bulan Agustus, sebesar 0.7. Nilai korelasi terkecil terdapat di lokasi
DKI1. Gambar 29 dan 30 menunjukkan fluktuasi konsentrasi pencemar SO
2
di Kelapa Gading bulan Agustus dan Desember.
Gambar 28 Fluktuasi kecepatan angin diurnal DKI Jakarta bulan Agustus
Tabel 6 Koefisien korelasi pola diurnal SO
2
luaran WRFChem dan data observasi
Gambar 29 Pola fluktuasi konsentrasi SO
2
di DKI 2 bulan Agustus 2014 Koefisien korelasi konsentrasi SO
2
Lokasi rataan obs 5 hari
rataan obs bulanan rataan obs 1 thn
Agustus Des
Agustus Des
Agustus Des
DKI1 -0.26
0.28 -0.04
-0.54 -0.01
0.02 DKI2
0.43 -0.01
0.70 0.14
0.53 0.52
DKI3 -0.75
-0.31 -0.78
-0.54 -0.78
-0.66 DKI4
-0.51 -0.37
-0.55 -0.64
-0.66 -0.46
DKI5 -0.61
-0.24 -0.50
0.03 -0.46
-0.35
55
Gambar 30 Pola fluktuasi konsentrasi SO
2
di DKI 2 bulan Desember 2014 Berdasarkan analisis pola sebaran spasial maupun diurnal menunjukkan fluktuasi
konsentrasi pencemar lebih teratur di bulan Agustus. Bulan Agustus merupakan musim kemarau, sehingga fluktuasi pencemar relatif tidak diganggu oleh adanya hujan.
Selanjutnya analisis difokuskan kepada bulan Agustus, dengan asumsi pencemar berfluktuasi diakibatkan oleh jumlah sumber emisi dan angin, tanpa pengaruh removal
akibat curah hujan.
4.4 Simpulan dan Saran
4.4.1 Simpulan
Pola dispersi spasial menunjukkan wilayah DKI Jakarta khususnya Jakarta Pusat dan Utara berpotensi terpajan konsentrasi maksimum PM
10
dan SO
2
terutama pada malam hari menjelang pagi. Pada siang hari potensi pajanan konsentrasi maksimum terdapat di
sekitar Jakarta bagian Barat serta Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Secara diurnal konsentrasi maksimum terjadi pukul 04.00
– 06.00 WIB, dan menurun menjelang siang dan sore hari. Konsentrasi maksimum pada malam menjelang pagi hari berpotensi
melampaui nilai baku mutu nasional 24 jam, baik untuk PM
10
maupun SO
2
. Konsentrasi maksimum PM
10
hasil model mencapai 200 µg m
-3
, dan SO
2
mencapai 471 µg m
-3
. Kedua nilai tersebut melampaui nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasional 24 jam sebesar
150 µg m
-3
untuk PM
10
dan 365 µg m
-3
untuk SO
2
. Pada siang hari terdapat peningkatan konsentrasi SO
2
yang dipengaruhi oleh tambahan emisi dari permukaan. Pola sebaran partikulat PM
10
sedikit berbeda dengan gas SO
2
, walaupun secara potensial konsentrasi maksimum berada di sekitar lokasi yang sama. PM
10
lebih luas sebarannya dibandingkan SO
2
. Angin darat-laut mendominasi pola angin di wilayah kajian, terutama pada bulan Desember. Pada bulan Agustus malam
56 hari pola angin darat melemah, dan angin di sepanjang pesisir cenderung ke arah Barat
dan mengakibatkan pencemar tertahan di Jakarta bagian Utara. Kecepatan angin yang rendah 3 m det
-1
turut menentukan potensi akumulasi pencemar di wilayah Jakarta. Validasi model menunjukkan bahwa model WRFChem dengan skema yang
digunakan pada penelitian ini memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi sebesar r = 0.34, dan terbukti nyata berdasar uji signifikansi terutama untuk lokasi Jakarta Pusat DKI1
dan Jakarta Utara DKI2, baik pada bulan Agustus maupun Desember. Nilai MNBE menunjukkan model kurang akurat untuk analisis SO
2
terutama di bulan Desember. Koefisien korelasi meningkat ketika analisis korelasi dilakukan pada fluktuasi
konsentrasi diurnal luaran model dengan observasi. Hal ini menunjukkan model dapat digunakan untuk memprediksi waktu terjadinya konsentrasi pencemar mencapai
maksimum dalam kisaran harian diurnal.
4.4.2 Saran
Dalam rangka pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara disarankan agar pemerintah DKI Jakarta memperbanyak stasiun pemantauan kualitas
udara ambien yang kontinu terutama di lokasi-lokasi yang rawan terhadap pajanan pencemar dengan konsentrasi maksimum. Waktu pemantauan kualitas udara ambien
sebaiknya 24 jam secara kontinu. Berhubung wilayah Tangerang belum memiliki Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien kontinu, maka disarankan agar segera dipasang alat
pemantau tersebut dalam rangka pengelolaan kualitas udara.
57
V ANALISIS STABILITAS LAPISAN PERBATAS ATMOSFER WILAYAH JAKARTA DAN KABUPATEN TANGERANG
5.1 Pendahuluan
Proses pencemaran udara terjadi di lapisan atmosfer terbawah yang dikenal sebagai lapisan perbatas atmosfer atau atmospheric boundary layer ABL. Lapisan ini
merupakan lapisan tempat manusia beraktivitas, sehingga kualitasnya berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungannya. Faktor meteorologi sangat berpengaruh terhadap
proses terjadinya pencemaran udara pada lapisan tersebut. Stabilitas atmosfer merupakan salah satu faktor selain arah dan kecepatan angin rata-rata serta fluktuasi kecepatan
turbulen, yang menentukan pola sebaran pencemar udara Oke 1986, Nasstrom et al. 2000, Stroh et al 2005.
Stabilitas atmosfer berdasar faktor penyebabnya terdiri dari stabilitas statis atau kadang disebut juga thermal stability dan stabilitas dinamis Arya 1999. Thermal
stability diakibatkan oleh pemanasan permukaan. Ketika radiasi matahari mulai
memaanaskan permukaan, suhu permukaan meningkat, memanaskan udara di atasnya dan menyebabkan kerapatan udara menurun, sehingga udara menjadi lebih ringan dan
bergerak vertikal ke atas buoyancy. Sebaliknya ketika radiasi berkurang, suhu permukaan menurun, udara cenderung mengendap. Oleh karena itu indikator stabilitas
statis adalah perbedaan suhu vertikal atmosfer dTdz. Ketika dTdz positif, lapisan udara di permukaan lebih dingin dan akan cenderung mengendap ke permukaan, sehingga
kondisi ini menjadikan atmosfer stabil. Sebaliknya jika dTdz negatif, maka atmosfer menjadi tidak stabil dan akan cenderung bergerak vertikal, sehingga pencemar udara
dapat terangkat dari perrmukaan. Dynamic stability
disebabkan oleh kekasapan permukaan, seperti adanya pegunungan, bangunangedung tinggi dan sebagainya, yang akan mempengaruhi arah dan
kecepatan angin sehingga menimbulkan turbulensi dan mempengaruhi kestabilan atmosfer. Indikator dari stabilitas dinamis adalah perbedaan kecepatan angin horizontal
antar lapisan atmosfer wind shear. Secara keseluruhan, stabilitas atmosfer merupakan kombinasi antara stabilitas thermal dan stabilitas dinamis, dan dapat dinyatakan oleh
bilangan Richardson Persamaan 1. Bilangan Richardson Richardson number, Ri, merupakan perbandingan gradien suhu dT dan gradien kecepatan angin dU antar
ketinggian atmosfer. Nilai Ri 0 menunjukkan atmosfer tidak stabil, sedangkan nilai Ri 0 menunjukkan atmosfer stabil. Nilai Ri dikatakan kritis Ri
c
ketika lapisan laminar
58 menjadi turbulen, yaitu sebesar 0.25 Stull 1999, Pielke 2002. Stull 1999
mengemukakan bahwa lapisan atmosfer dengan nilai Ri kecil digunakan sebagai indikator kedalaman turbulen lapisan perbatas permukaan surface boundary layer, yang
merepresentasikan ketebalan lapisan pencampuran mixing layer dan mempengaruhi proses pencampuran pencemar.
Lapisan turbulen adalah lapisan atmosfer yang memiliki ciri-ciri aliran tidak teratur, kecepatan angin dan suhu udara sangat berfluktuasi Arya 2001, yang bertanggungjawab
terhadap pertukaran masa, panas, dan momentum dalam lapisan perbatas, sehingga akan sangat mempengaruhi dinamika sebaran pencemar. Pada lapisan dengan turbulen kuat
proses pengenceran pencemar akan sangat efektif. Menurut Stull 1999, untuk terjadinya kondisi turbulen perlu ada 2 hal yaitu ketidakstabilan dan mekanisme pendorongnya.
Ketidakstabilan secara dinamis terjadi saat Ri 1.0. Lapisan turbulen akan menjadi laminar ketika nilai Ri 1.0. Laminar adalah kondisi lapisan yang memiliki sifat
mengalir teratur, dengan gerakan lambat dan mudah diprediksi Arya 2001. Malam hari secara umum memiliki kondisi atmosfer stabil, sehingga dispersi
vertikal pencemar akan tertahan. Kondisi ini memberi peluang terjadinya konsentrasi pencemar maksimum dan membahayakan lingkungan. Analisis stabilitas dari waktu ke
waktu akan dapat memberi gambaran dinamika stabilitas atmosfer secara temporal siang dan malam, terutama untuk profil vertikal, serta memberi gambaran turbulensi di
atmosfer. Pengamatan langsung menggunakan balon radiosonde membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi, sehingga pemodelan menjadi sangat membantu.
Weather Research Forecasting – Chemistry WRFChem sebagai model prediksi
cuaca numerik yang dipasangkan dengan model kimia, memperhitungkan proses kimia dan fisika atmosfer yang saling mempengaruhi, sehingga pendugaan kondisi meteorologi
sudah melibatkan pengaruh komponen atmosfer seperti aerosol Grell et al. 2005; Yerramilli et al. 2012; Zhang et al. 2009; Tucella et al. 2012. Luaran WRFChem selain
berupa peta sebaran konsentrasi pencemar, juga beberapa parameter meteorologi terkait, seperti suhu potensial, tekanan udara tiap lapisan, suhu permukaan, kecepatan angin, dan
sebagainya. Melalui pemodelan ini karakteristik lapisan perbatas yang berkaitan dengan proses pencemaran atmosfer dapat dianalisis.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik stabilitas atmosfer di lapisan perbatas sekitar wilayah industri serta pengaruhnya terhadap fluktuasi konsentrasi
PM
10
dan SO
2
. Wilayah Jakarta sebagai daerah urban dan Balaraja Kabupaten Tangerang
59 sebagai wilayah industri digunakan sebagai lokasi analisis untuk membedakan
karakteristik stabilitas atmosfer.
5.2 Metode
Penelitian ini mengambil studi kasus di Balaraja Kabupaten Tangerang dan wilayah DKI Jakarta. Daerah Balaraja dianggap mewakili wilayah zona industri non kawasan di
Kabupaten Tangerang. DKI Jakarta mewakili wilayah perkotaan sekaligus dataran yang dekat dengan laut, dianggap kondisi meteorologinya mendapat pengaruh lautan. Periode
pemodelan dilakukan pada musim kemarau yaitu 12 – 17 Agustus 2014. Musim kemarau
dipilih karena pada musim kemarau konsentrasi pencemar maksimum, dan stabilitas pada malam hari lebih kuat.
5.2.1 Data
Data yang digunakan adalah data luaran WRFChem berupa parameter meteorologi yaitu :
tekanan hidrostatik tiap lapisan atmosfer - Pa P_hyd perturbation geopotential -m
2
s
-2
ph base-state geopotential – m
2
s
-2
phb ketinggian permukaan lokasi – m dpl hgt
kecepatan angin komponen x – m s
-1
u; kecepatan angin komponen y – m s
-1
v kecepatan angin pada ketinggian 10 m u10;v10
perturbation-potential temperature K suhu udara t2 dan suhu potensial permukaan th2, 2 m dari permukaan K
mixing ratio uap air di permukaan 2 meter di atas permukaan q2
5.2.2 Analisis Data
1. Validasi parameter meteorologi luaran model WRFChem dengan menggunakan data
meteorologi dari Stasiun Pemantauan Kualitas Udara Ambien BPLHD DKI Jakarta, dengan cara analisis korelasi. Parameter yang dikorelasikan adalah suhu udara
permukaan t2 dan kecepatan angin v. Suhu udara luaran model lapisan terendah adalah 2 m, cukup bersesuaian dengan ketinggian data suhu dari stasiun pengamatan
kualitas udara. Kecepatan angin luaran model terendah adalah lapisan 10 m dari permukaan u10, v10, sementara ketinggian stasiun pengamatan ada di permukaan
sekitar 2-3 m.
60 2.
Analisis stabilitas atmosfer Arya 1999, Stull 1999, Kaimal Finnigan 1994, Pielke 2002 dikelompokkan menjadi :
a. Stabilitas statis : dTdz 0 stabil; dTdz 0 tidak stabil, dTdz = 0 netral
dT = perbedaan suhu antar lapisan atmosfer, dz = tebal lapisan atmosfer b.
Stabilitas dinamis : dihitung berdasar Richardson Number Ri sebagaimana tercantum pada persamaan 1. Untuk memudahkan perhitungan dilakukan
pendekatan rumus Bulk Richardson Number Arya 1999, Wallace Hobbs 2006, Stull 2000 sebagaimana telah dirumuskan pada persamaan 8 :
� =
� �
̅̅̅̅
∆� .∆ ∆
+ ∆
Berhubung data ∆z, Tv dan , dan
v
tidak tersedia dari WRFChem, maka dilakukan perhitungan sebagai berikut :
∆ =
ℎ
�
+ ℎ
�
.
…………………………………………….……..…..9
ph = perturbation geopotential m
2
det
-2
phb = base-state perturbation geopotential m
2
det
-2
T
v-z
= T
z
1+0.6q
z
……………………………………………..….….…….10
T
z
= temperature pada ketinggian z m q
z
= qvapour; mixing rasio kgkg
z
= t
z
+ 300……………………………………………….…………….….11
t
z
= perturbation potential temperature K
� = �
_ℎ
�
. 6
……………………………………...……..12
P_hyd
z
= tekanan hidrostatik pada lapisan z Pa
3. Analisis fluktuasi ketebalan lapisan perbatas diurnal luaran WRFChem.
Lapisan dengan nilai Ri 0.25 dianggap sebagai lapisan yang tidak stabil, ketebalannya diasumsikan sebagai ketebalan lapisan pencampuran mixing layer.
Nilai 0.25 Ri 1.0 dianggap mewakili lapisan yang bersifat tidak stabil dengan kondisi turbulen lemah. Nilai ketebalan tersebut Ri-h diplotkan dari waktu ke
waktu untuk melihat pola fluktuasi ketebalan lapisan pencampuran. 4.
Analisis pengaruh stabilitas atmosfer terhadap fluktuasi konsentrasi pencemar. Nilai Ri-h diplotkan dengan nilai rata-rata diurnal konsentrasi pencemar hasil observasi.
Kedekatan pola fluktuasi dianalisis secara statistik melalui analisis korelasi, untuk dilihat pengaruhnya terhadap fluktuasi konsentrasi pencemar udara.
61
5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Validasi Parameter Meteorologi Suhu dan Kecepatan Angin
Hasil validasi parameter meteorologi suhu udara permukaan Tp menunjukkan kisaran nilai koefisien korelasi r sebesar 0.8-0.9 Gambar 31. Sementara nilai koefisien
korelasi kecepatan angin Vp berkisar 0.5-0.7 kecuali Jagakarsa r= -0.3 Tabel 7. Berbagai penelitian menunjukkan kemampuan WRFChem dalam memprediksi suhu
udara permukaan cukup baik. Namun demikian untuk wilayah dengan kecepatan angin yang sangat rendah, atau memiliki topografi yang rumit, WRFChem tidak dapat
memprediksi kecepatan angin dengan akurat, akibat ketidakakuratan dalam parameterisasi awal Mölder et al. 2012, Zhou et al. 2010, Zhang et al. 2013 . Menurut
Mölder et al. 2012, WRFChem cenderung overestimate dalam menduga keragaman dan besaran kecepatan angin dengan korelasi 0.6. Beberapa penelitian menunjukkan hasil
bahwa WRFChem sulit memprediksi kecepatan angin di daerah yang memiliki kecepatan angin rata-rata rendah, serta daerah yang memiliki topografi yang cukup rumit, akibat
ketidakakuratan dalam parameterisasi awal. Nilai kecepatan angin hasil model di DKI Jakarta lebih tinggi overestimate
dibanding hasil observasi. Hal ini juga sejalan dengan hasil yang didapatkan pada beberapa penelitian lain Pan Zhang 2008, Liao et al. 2014, Brunner et al. 2015.
Perbedaan kecepatan angin antara hasil model dengan observasi terjadi karena perbedaan posisi ketinggian observasi dengan ketinggian lapisan terendah model. Kecepatan angin
dari model adalah kecepatan angin pada ketinggian 10 m, sedangkan observasi dilakukan di permukaan dengan ketinggian 2-3 m. Plot fluktuasi diurnal kecepatan angin luaran
model dan hasil observasi dapat dilihat pada Lampiran 7, sedangkan plot fluktuasi diurnal suhu luaran model dan observasi pada Lampiran 8.
Daerah Jagakarsa Jakarta Selatan DKI 3 memiliki nilai korelasi kecepatan angin yang negatif. Fluktuasi diurnal kecepatan angin hasil observasi di wilayah Jagakarsa
menunjukkan kecepatan angin yang sangat rendah cenderung calm dengan kecepatan 1 m det
-1
Gambar 32. Hal ini bisa menjadi bagian dari penyebab hasil korelasi di Jagakarsa kecil dan negatif, karena selain Jagakarsa memiliki kecepatan angin yang rendah, juga
Jagakarsa sudah memiliki topografi yang relatif lebih tinggi dibanding SPKU lainnya. Kecepatan angin maksimum dari data observasi di Jagakarsa selama pemodelan 2 m
det
-1
, dengan rata-rata diurnal 1 m det
-1
.