Dispersion Modeling Of Pm10 And So2 Based On Atmospheric Boundary Layer Stability Over Industrial Area

(1)

PEMODELAN DISPERSI PM

10

DAN SO

2

DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA STABILITAS ATMOSFER

DI LAPISAN PERBATAS PADA KAWASAN INDUSTRI

ANA TURYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(2)

(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan Dinamika Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas pada Kawasan Industri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Ana Turyanti NIM P062100061


(4)

(5)

ANA TURYANTI. Dispersion Modeling of PM10 and SO2 based on Atmospheric Boundary Layer Stability over Industrial Area. Under supervision of TANIA JUNE, EDVIN ALDRIAN, and ERLIZA NOOR

Air pollution has been a major concern in many cities around the world as a consequence of industrials development. Understanding the potential impact of the air pollution to human health, developing strategies to mitigate the pollution should be taken seriously. This study was aimed to evaluate the dispersion of some criticals pollutants emmited by industrial activities, namely: PM10 and SO2. The evaluation was emphasized to estimate pollutant exposure in the industrial area in Tangerang and Jakarta based on atmospheric stability at boundary layer using a well known modelling tool ‘WRFChem’. The WRFChem using the grid size of 4 km x 4 km was simulated for the period of 5 days (120 hours) in August and December 2014. The results show that the maximum concentration of PM10 and SO2 was found in Central and North Jakarta, during midnight to morning. Meanwhile during the day time, both pollutants were concentrated in the regions of South Jakarta, South Tangerang, and Tangerang Regency. Such fluctuation concentration was due to some factors, one of which is atmospheric stability that comprise of static and dynamic stability. Based on static stability analysis, it was found that in both areas, a stable layer thickness of 100 m above the ground occur at night, and cause the accumulation of pollutant. Above the first layer, a weak turbulent layer as a second layer developed in 200 m height, it is called a residual layer. The information of residual layer could predict the chimneys height to safely release the air pollutant. The release of pollutant in the residual layer would prevent the dispersion of pollutant return back to the ground. The dynamic stability analysis showed that there was an increase of stable layer thickness approaching daylight, varied from one area to another. Such variation was caused by difference of land cover. Jakarta with built up area of 30% higher than Tangerang, result in increasing stable layer thickness at night around 26-29%. The impact of increase of stable layer thickness is correlated to the WRFChem concentration data above. The result of health risk (HR) analysis shows that all areas in Jakarta, except Jagakarsa, have HR PM10 value > 1, while in Tangerang SO2 is more dominant; both pollutants are potentially danger for human health. Therefore, it is recommended, that the regional government in both areas to issue regulation on the height of industrial chimney above 150 m, and to monitor air quality continuously in the areas of maximum concentration.

Keywords : air pollution, atmospheric stability, chimney height, Health Risk, WRFChem


(6)

ANA TURYANTI. Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan Dinamika Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas pada Kawasan Industri.

Dibimbing oleh : TANIA JUNE sebagai ketua, EDVIN ALDRIAN dan ERLIZA NOOR masing-masing sebagai anggota.

Aktivitas pembangunan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sektor industri dan transportasi. Namun konsekuensi berupa emisi pencemar ke udara tidak dapat dihindari. Konsentrasi pencemar udara di suatu lokasi berfluktuasi, mengikuti kondisi meteorologi setempat. Proses pencemaran udara terjadi di lapisan atmosfer terbawah yang dikenal sebagai lapisan perbatas (boundary layer). Pemahaman mengenai dispersi pencemar udara di lapisan perbatas menjadi penting untuk menduga lokasi-lokasi yang rawan terpapar pencemar udara dengan konsentrasi maksimum. Pemantauan kualitas udara yang kontinu memerlukan biaya tinggi, sehingga penentuan lokasi pemantauan yang efektif dan representatif sangat diperlukan. Pemodelan terintegrasi meteorologi dan kualitas udara menjadi salah satu pilihan untuk dapat menganalisis kualitas udara secara spasial dari waktu ke waktu (dinamis), sehingga dapat membantu menganalisis lokasi-lokasi yang rawan pencemaran udara, juga dapat membantu mengenali karakteristik atmosfernya. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Weather Research Forecasting-Chemistry (WRFChem).

Bagi wilayah industri PM10 dan SO2 menjadi pencemar utama, sehingga perlu dipelajari pola dispersi kedua jenis pencemar tersebut. Salah satu wilayah industri di Indonesia adalah Kabupaten Tangerang. Di daerah ini belum ada pemantauan kualitas udara ambien yang kontinu, sehingga bantuan pemodelan untuk menganalisis sebaran pencemar terutama PM10 dan SO2 menjadi sangat bermanfaat. Wilayah ini berbatasan dengan DKI Jakarta yang merupakan wilayah urban dengan emisi yang tinggi, juga berada di pinggir pantai, sehingga dalam analisis dispersi pencemar kedua kota ini menjadi satu wilayah kajian.

Berdasarkan hasil pemodelan didapatkan bahwa pola sebaran PM10 dan SO2 mengikuti pola angin, terutama pola angin laut-darat, yang terjadi di Jakarta bagian Utara. Konsentrasi maksimum kedua pencemar pada malam hari cenderung terjadi di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, dengan nilai berturut-turut > 200 µg m-3 untuk PM10 dan 471 µg m-3 untuk SO2. Nilai tersebut berpotensi melebihi nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Siang hari konsentrasi maksimum cenderung terjadi di sekitar Jakarta bagian Selatan, Tangerang Selatan, serta Kabupaten Tangerang. Pada bulan Agustus maupun Desember kondisi tersebut hampir sama, hanya sedikit bergeser ke arah Timur, karena pada bulan Desember dominan angin Baratan mulai terjadi. Pola angin gunung turut mempengaruhi, karena di bagian Selatan wilayah kajian terdapat Gunung Gede-Pangrango, serta dataran yang relatif lebih tinggi di bagian Selatan Kabupaten Tangerang. Pada malam hari, angin gunung menuruni lereng dan menuju ke arah Jakarta yang lebih rendah. Pada siang hari angin laut bertiup cukup dominan terutama pada bulan Desember, saat matahari di Selatan. Kecepatan angin turut berpengaruh, sebagaimana hasil pemantauan di daerah Jakarta Utara kecepatan angin menurun pada malam hari sehingga mempengaruhi akumulasi pencemar di daerah tersebut. Sementara siang hari, kecepatan angin yang rendah terdapat di bagian Selatan Jakarta, sehingga di wilayah ini pada siang hari konsentrasi pencemar mengalami peningkatan. Validasi model menunjukkan model WRFChem dapat merepresentasikan kondisi meteorologi cukup baik, tetapi untuk konsentrasi pencemar masih rendah.


(7)

WRFChem, didapatkan bahwa pada malam hari lapisan atmosfer stabil terbentuk pada ketebalan hingga 100 m. Di atas lapisan stabil terdapat lapisan atmosfer netral dan lapisan dengan turbulensi lemah pada ketinggian 100-200 m. Menurut teori dasar, lapisan ini disebut lapisan residual (residual layer). Lapisan ini dapat dimanfaatkan untuk melepaskan emisi pencemar bagi cerobong industri.

Terdapat perbedaan karakteristik stabilitas atmosfer antara Balaraja (Tangerang) dan Jakarta, yaitu waktu pembentukan dan ketebalan lapisan stabil malam hari. Pada lapisan perbatas atmosfer di wilayah Jakarta, lapisan stabil dan netral terbentuk lebih awal dibandingkan dengan lokasi Balaraja Tangerang. Menjelang tengah malam hingga pagi hari lapisan stabil bertambah ketebalannya. Pada waktu ini pencemar akan mengendap dan terakumulasi di permukaan, serta dapat menurunkan kualitas udara. Oleh karena itu pada waktu-waktu tersebut disarankan untuk membatasi emisi pencemar.

Peningkatan ketebalan lapisan stabil berbeda antara wilayah Balaraja (Tangerang) dan wilayah Jakarta, diduga akibat perbedaan karakteristik permukaan Jakarta dan Balaraja. Penutupan lahan wilayah Jakarta sebagai kota besar (urban area), cenderung berupa lahan terbangun dan tertutup lapisan perkerasan serta beton, mempengaruhi kondisi atmosfer di atasnya. Sementara Balaraja walaupun banyak industri, tetapi masih banyak area yang terbuka dan termasuk daerah suburban. Lahan terbangun di wilayah Jakarta 30% lebih luas dibandingkan di Balaraja, diduga menyebabkan perbedaan ketebalan lapisan atmosfer stabil maksimum pada malam hari sekitar 26-29%. Ketebalan lapisan stabil tersebut mempengaruhi jumlah polutan yang terakumulasi dan akan mempengaruhi kualitas udara setempat.

Penurunan kualitas udara dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan. Risiko kesehatan (HR) dianalisis dengan pendekatan perbandingan dosis potensial dengan nilai Low Observed Adverse Effet level (LOAEL). Didapatkan bahwa dari kelima lokasi stasiun pengamatan di Jakarta, 4 diantaranya memiliki konsentrasi PM10 sudah melampaui nilai LOAEL untuk orang dewasa yang terpapar minimal 6 jam. Daerah Jagakarsa masih cukup baik kondisinya dibandingkan yang lain. Nilai HR SO2 di Jakarta lebih rendah daripada PM10. Sebaliknya di Balaraja Tangerang, nilai LOAEL untuk SO2 lebih tinggi daripada PM10. Pada kedua daerah tersebut nilai LOAEL terlampaui pada saat malam hingga pagi, bahkan menjelang siang hari. Bahkan pagi hari hingga pukul 06.00 kondisi kualitas udara masih memiliki potensi yang cukup rawan untuk kesehatan masyarakat. Hal tersebut harus mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Paparan tersebut di atas merupakan bagian dari kebaruan (novelty) penelitian ini, yaitu (a) integrasi aspek meteorologi, kimia atmosfer dan risiko keterpaparan publik terhadap pencemar udara, (b) pendekatan dinamika stabilitas atmosfer serta ketebalan lapisan perbatas dan keterkaitannya dengan konsentrasi pencemar, (c) dinamika stabilitas atmosfer sebagai basis ilmiah dalam rekomendasi kebijakan penentuan tinggi cerobong dan waktu pengamatan kualitas udara ambien.

Berdasarkan penelitian secara keseluruhan maka beberapa rekomendasi untuk kebijakan pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara adalah pemantauan lebih intensif di Jakarta Pusat dan Utara, pemantauan di wilayah industri khususnya di wilayah Tangerang dilakukan 24 jam atau minimal dilakukan pada malam hari, pengajuan rekomendasi kebijakan tinggi cerobong yang aman > 150 m dan atau pengelolaan waktu emisi yang tepat melalui pembatasan emisi pada malam hari.

Kata kunci : dispersi pencemar, model WRFChem, tinggi cerobong, stabilitas atmosfer, risiko kesehatan


(8)

(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

PEMODELAN DISPERSI PM

10

DAN SO

2

DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA STABILITAS ATMOSFER

DI LAPISAN PERBATAS PADA KAWASAN INDUSTRI

ANA TURYANTI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

DOKTOR

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Rahmat Hidayat

Dr Ir Mahally Kudsy

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Rahmat Hidayat

Dr Ir Mahally Kudsy


(13)

Judul Disertasi : Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan Dinamika Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas pada Kawasan Industri

Nama : Ana Turyanti

NIM : P062100061

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Tania June, MSc Ketua

Prof (Ris) Dr Edvin Aldrian, B.Eng, MSc Prof Dr Ir Erliza Noor Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr


(14)

(15)

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji dan syukur hanya terpanjat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena dengan karuniaNya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Ibu Dr Ir Tania June, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof (Ris) Dr Edvin Aldrian, B Eng, MSc dan Ibu Prof Dr Ir Erliza Noor, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah dengan sabar dan berlapang dada membimbing penulis dalam menyusun disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberi kesempatan untuk memperdalam ilmu lingkungan pada program studi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terimakasih serta penghargaan yang tinggi kepada Bapak Dr Rahmat Hidayat. dan Bapak Dr Ir Mahally Kudsy sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah meluangkan waktu untuk menelaah disertasi ini dan memberi masukan kepada penulis dalam masalah pemodelan lingkungan.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih tiada terhingga kepada Rektor IPB, Dekan FMIPA-IPB dan Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) FMIPA-IPB yang telah memberi ijin penulis untuk melanjutkan studi pada program Strata-3. Tidak lupa terimakasih disampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberi kesempatan penulis untuk mendapatkan beasiswa BPPS dalam menempuh studi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku Kepala Bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen GFM IPB yang banyak memberi masukan dan wawasan serta dorongan semangat kepada penulis. Kepada rekan-rekan sejawat di Departemen GFM penulis sampaikan terimakasih atas segala dukungan yang tiada henti, begitu pula untuk teman-teman seperjuangan di PSL 2010 dan para staf administrasi PSL, penulis sampaikan rasa terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya. Demikian pula untuk pihak BMKG, BPLHD DKI Jakarta, BLHD Kabupaten Tangerang yang sudah membantu pelaksanaan penelitian ini.

Kepada Ayahanda Bapak Danadiredja dan Ibunda Kartimi Kursi’ah, Ayahanda Mertua Bapak Ubad dan Ibunda Mertua Ibu Ronasih, terimakasih tiada terhingga atas pengertian, kasih sayang dan do’a yang senantiasa mengalir setiap saat. Kepada suami tercinta, Ependi dan putri-putri terkasih Syifa dan Izzati, terimakasih atas segala pengertian, pengorbanan dan cinta yang berlimpah. Banyak pihak telah membantu penyelesaian disertasi ini dan tidak dapat disebut satu per satu, penulis ucapkan terimakasih yang tulus, semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda dan penuh berkah.

Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun semoga dapat memberi warna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang meteorologi dan pencemaran udara. Kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa meridloi langkah kebaikan kita yang lalu, kini dan yang akan datang. Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin.

Bogor, Februari 2016 Ana Turyanti


(16)

(17)

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 7 Juli 1971 dari pasangan Bapak Danadiredja dan Ibu Kartimi Kursi’ah, sebagai bungsu dari 10 bersaudara. Penulis menikah dengan Ependi putra dari Bapak Ubad dan Ibu Ronasih pada 27 April 1998, dan saat ini dikaruniai 2 putri yaitu Syifa Nadiyya Nurul Fitri dan Izzatunnisa Aulia Rahmah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Ciamis Jawa Barat. Pada tahun 1990 lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan melanjutkan studi strata-1 di Institut Pertanian Bogor, dengan program studi yang diambil adalah Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA, lulus tahun 1995. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi strata-2 pada Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, dengan beasiswa BPPS, lulus tahun 2005. Pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa BPPS-DIKTI.

Penulis menjadi staf pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) FMIPA-IPB sejak tahun 1998. Sejak menyelesaikan pendidikan S-2 penulis memperdalam dan mengembangkan ilmu terkait meteorologi dan pencemaran udara, di Bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen GFM FMIPA IPB. Selama menjadi dosen penulis juga mengikuti berbagai seminar dan ikut aktif di organisasi Perhimpunan Meteorologi Pertanian (PERHIMPI) sebagai pengurus pusat.

Artikel berjudul “Analisis Pola Dispersi Partikulat dan Sulfurdioksida sekitar Wilayah Industri menggunakan Model WRFChem, Studi Kasus Tangerang dan Jakarta”, telah dikirim dan mendapat review dari jurnal nasional terakreditasi DIKTI, Jurnal Manusia dan Lingkungan-Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM. Selain itu artikel jurnal berjudul Dispersion modeling of air pollutant over Jakarta and Tangerang District using WRFChem: characterization of static and dynamic stability sudah dikirim ke salah satu jurnal internasional terindek scopus yaitu Jurnal Environment Asia.


(18)

DAFTAR TABEL... xx

DAFTAR GAMBAR... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kerangka Pemikiran... 4

1.5 Manfaat Penelitian…... 7

1.6 Kebaruan (Novelty)... 7

1.7 Sistematika Penulisan... 7

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara... 9

2.2 Karakteristik Pencemar dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat…… 10

2.2.1 Partikulat (Particulate Matter)………... 10

2.2.2 Sulfurdioksida (SO2)……….………. 11

2.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Dispersi Pencemar Udara………. 12

2.4 Pemodelan Dispersi Pencemar Udara... 15

2.4.1 Tinjauan Umum Model Dispersi Pencemar Udara WRFChem…………. 16

2.4.2 Penggunaan WRFChem……..……….. 19

2.5 Analisis Risiko Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar Udara... 21

2.5.1 Analisis Paparan / Pajanan………...…… 22

2.5.2 Analisis Risiko Kesehatan ………..……… 24

2.6 Kebijakan dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Udara dan Pengelolaan Kualitas Udara sekitar Kawasan Industri...………... 25

2.7 Tinjauan Umum Lokasi Kajian…………... 26

2.7.1 Kondisi Geografi………... 27

2.7.2 Kondisi Iklim……...……… 27

2.7.3 Kondisi Kualitas Udara dan Kesehatan Masyarakat……… 28

III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 30


(19)

3.3 Tahapan Analisis Data………... 32

3.3.1 Analisis Dispersi Pencemar menggunakan WRFChem……….. 33

3.3.2 Analisis Stabilitas Atmosfer berdasar Stabilitas Statis (dT/dz) dan Richardson Number(Ri)………. 33

3.3.3 Analisis Potensi Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar dengan Konsentrasi Maksimum………... 34

IV POLA DISPERSI PM10 DAN SO2 4.1 Pendahuluan………... 36

4.2 Metode ……….. 37

4.2.1 Analisis Peta Sebaran Pencemar Luaran Model………... 38

4.2.2 Validasi Model………. 38

4.3 Hasil dan Pembahasan……….... 39

4.3.1 Dispersi Pencemar Luaran model WRFChem………. 39

4.3.2 Validasi Model………... 46

4.4 Simpulan dan Saran………... 55

4.4.1 Simpulan………... 55

4.4.2 Saran………... 56

V ANALISIS STABILITAS LAPISAN PERBATAS ATMOSFER WILAYAH JAKARTA DAN KABUPATEN TANGERANG 5.1 Pendahuluan ……….…….... 57

5.2 Metode………. 59

5.2.1 Data……….…….. 59

5.2.2 Analisis Data………..…….……. 59

5.3 Hasil dan Pembahasan 5.3.1 Validasi Parameter Meteorologi Suhu dan Kecepatan Angin…….……… 61

5.3.2 Analisis Stabilitas Statis dan Dinamis Lapisan Atmosfer……….. 63

5.3.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Fluktuasi Konsentrasi Pencemar……….. 65

5.3.4 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar………. 68

5.4 Simpulan dan Saran……….. 75

5.4.1 Simpulan………..………... … 75


(20)

PAJANAN PM10 DAN SO2

6.1 Pendahuluan ……….. 76

6.2 Metode ………….………..… 77

6.2.1 Data……….…….. 77

6.2.2 Analisis Data………... 77

6.3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Balaraja……….… 78

6.3.2 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Wilayah Jakarta………. 79

6.4 Simpulan dan Saran 6.4.1 Simpulan………. 86

6.4.2 Saran……… 86

VII PEMBAHASAN UMUM………... 87

7.1 Pola Dispersi PM10 dan SO2 di Wilayah Tangerang dan Jakarta……… 88

7.2 Analisis Stabilitas Lapisan Perbatas Atmosfer Wilayah Jakarta dan Balaraja Kabupaten Tangerang 7.2.1 Analisis Stabilitas Statis dan Dinamis……….……….. 90

7.2.2 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Fluktuasi Konsentrasi Pencemar………... 91

7.2.3 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar………... 92

7.3 Potensi Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar dengan Konsentrasi Maksimum……….. 93

VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan………. 94

8.2 Saran…..………. 95

DAFTAR PUSTAKA……… 96

LAMPIRAN………... 105


(21)

No. Halaman

1 Contoh konfigurasi parameterisasi……….…………..………... 19

2 Pilihan skema parameter pada tahap WRF………... 33

3 Lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien DKI Jakarta ... 39

4 Nilai koefisien korelasi r dan nilai MNBE konsentrasi PM10 model dan SO2………….. 47

5 Koefisien korelasi pola diurnal PM10luaran WRFChem dan data observasi……….. 50

6 Koefisien korelasi pola diurnal SO2 luaran WRFChem dan data observasi……….... 54

7 Nilai koefisien korelasi faktor meteorologi model dan observasi ……..………. 62

8 Nilai dT/dz vertikal lapisan atmosfer pada lokasi Balaraja (Tangerang)………. 63

9 Nilai dT/dz vertikal lapisan atmosfer rata-rata di Jakarta………. 63

10 Nilai Ri vertikal lapisan atmosfer pada lokasi Balaraja (Tangerang)………... 64

11 Nilai Ri vertikal lapisan atmosfer rata-rata di Jakarta……….. 64

12 Nilai koefisien korelasi parameter meteorologi dengan konsentrasi pencemar... 66

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 6

2 Fluktuasi ketebalan lapisan pencampuran dari waktu ke waktu... 13

3 Profil suhu dan pola kepulan asap cerobong berdasar stabilitas atmosfer………….. 14

4 Konsep pemodelan kualitas udara ambien terintegrasi... 16

5 Skema struktur pemodelan WRFChem (WRFARW)... 20

6 Curah hujan rata-rata bulanan periode 2009-2013 (Stasiun Meteorologi Curug Budiarto Tangerang……… 28

7 Arah angin bulan November dan April…………..……….. 28

8 Arah angin bulan Mei dan Juli………. 28

9 Jumlah penderita penyakit terkait pernapasan di Kecamatan Balaraja……… 29

10 Peta administratif wilayah kajian………. 30

11 Sebaran industri dan lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien…... 31

12 Bagan alir tahapan penelitian………... 35

13 Lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien DKI Jakarta………... 38


(22)

16 Sebaran PM10 Desember 2014 pk 11.00 WIB dan pk 05.00 WIB………. 42 17 Sebaran konsentrasi SO2 bulan Agustus dan Desember tahun 2014………. 43 18 Sebaran SO2 Agustus 2014 pk 11.00 WIB dan pk 05.00 WIB……….. 43 19 Sebaran SO2 Desember 2014 pk 11.00 WIB dan pk 05.00 WIB……… 44 20 Pola angin harian bulan Agustus (a) saing hari (b) malam hari……….. …….. 45 21 Pola angin harian bulan Desember (a) saing hari (b) malam hari……….….. ……. 45 22 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 luaran model bulan (a) Agustus dan (b) Desember.. 48 23 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 data observasi bulan (a) Agustus dan (b) Desember 48 24 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 DKI1 bulan Agustus 2014……….. 51 25 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 DKI1 bulan Desember 2014……….. 51 26 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 luaran model bulan (a) Agustus dan (b) Desember 52 27 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 data observasi bulan (a) Agustus dan (b) Desember 53 28 Fluktuasi kecepatan angin di 5 SPKU DKI Jakarta……… 54 29 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 DKI1 bulan Agustus 2014……….... 54 30 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 DKI1 bulan Desember 2014……… 55 31 Plot data suhu udara permukaan luaran model dan observasi………….……… 62 32 Kecepatan angina rata-rata diurnal SPKU DKI3 (Jagakarsa)………. 62 33 Plot fluktuasi ketebalan lapisan turbulen dan konsentrasi pencemar, model

dan kecepatan angin observasi………. 67

34 Pola fluktuasi diurnal kecepatan angina dan konsentrasi PM10 di Jagakarsa……….. 68 35 Nilai dT/dz malam hari wilayah DKI Jakarta………. 69 36 Nilai dT/dz malam hari wilayah Balaraja Tangerang……….. 69 37 Ketebalan lapisan stabil dan netral 5 hari pengamatan berdasar stabilitas

statis di DKI Jakarta………. 70

38 Ketebalan lapisan stabil dan netral 5 hari pengamatan berdasar stabilitas

statis di Balaraja Tangerang………. 70

39 Nilai rata-rata Ri pada lapisan perbatas DKI Jakarta………... 72 40 Nilai rata-rata Ri pada lapisan perbatas Balaraja (Kabupaten Tangerang)…... 72 41 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil pada malam hari di Balaraja Tangerang………. 74 42 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil pada malam hari di DKI Jakarta………..…. 74 43 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Balaraja……….. 79 44 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Balaraja………. 79


(23)

46 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2 Bundaran HI Jakarta ……….. 80 47 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Kelapa Gading Jakarta ..………….. 82 48 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Kelapa Gading Jakarta ……….. 82 49 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Jagakarsa Jakarta ………. 83 50 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Jagakarsa Jakarta ………... 83 51 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10 Lubang Buaya Jakarta....………….. 84 52 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Lubang Buaya Jakarta ………... 84 53 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Kebon Jeruk Jakarta....…... 85 54 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Kebon Jeruk Jakarta ……….. 85

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Zona industri kawasan dan non-kawasan di Kabupaten Tangerang... 105 2 Kepadatan penduduk Kabupaten Tangerang perr Kecamatan... 106 3 (a) Contoh pola sebaran konsentrasi PM10 bulan Agustus pada pagi hari, siang hari

dan malam hari……….……… 107

(b) Contoh pola sebaran konsentrasi SO2 bulan Agustus pada pagi hari, siang hari

dan malam hari………. 108

4 (a) Contoh pola sebaran konsentrasi PM10 bulan Desember pada pagi hari, siang

hari dan malam hari……….. 109

(b) Contoh pola sebaran konsentrasi SO2 bulan Desember pada pagi hari, siang hari

dan malam hari……… 110

5 Pola diurnal PM10 bulan Agustus………. 111

6 Pola diurnal SO2 bulan Agustus………. …….. 112

7 Fluktuasi suhu udara (C) selama periode pemodelan bulan Agustus………. 113 8 Fluktuasi kecepatan angina permukaan selama periode pemodelan bulan Agustus… 114 9 Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di DKI Jakarta dan Balaraja Kabupaten

Tangerang……….. 115

(a) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Bundaran HI (DKI 1) Jakarta……… 115 (b) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Kelapa Gading (DKI 2) Jakarta…… 116 (c) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Jagakarsa (DKI 3) Jakarta………… 117 (d) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Lubang Buaya (DKI 4) Jakarta…… 118


(24)

(f) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Balaraja Kab Tangerang………….. 120 10 Kondisi permukaan lokasi penelitian

(a) DKI Jakarta (sekitar Bundaran HI)………. 121

(b) Balaraja Tangerang………..… 121

11 Variasi ketebalan lapisan stabil dan netral malam hari berdasar stabilitas statis

selama 5 hari pemodelan ………... 122

12 Plot ketebalan lapisan stabil malam hari berdasar stabilitas dinamis (Ri)

selama 5 hari pemodelan di 5 SPKU DKI Jakarta………. 124 13 Variasi ketebalan lapisan stabil harian DKI Jakarta dan Balaraja Tangerang………. 126


(25)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan adalah upaya manusia dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan hidupnya. Namun pembangunan juga menghadapkan manusia pada sebuah konsekuensi masalah lingkungan. Bahkan pada tingkat tertentu masalah lingkungan tersebut dapat meniadakan manfaat pembangunan itu sendiri (Soemarwoto 2008).

Pada umumnya pembangunan di negara berkembang ditandai oleh pertumbuhan sektor industri dan transportasi yang pesat, tapi berpotensi terjadi pencemaran udara. Pencemaran udara dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan, mulai dari gangguan pernapasan hingga penyakit jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kanker berbagai organ tubuh, gangguan reproduksi serta dapat menyebabkan kematian (Ranzi et al. 2011; Lopez-Cima et al. 2011; Bacarelli et al 2011). Hal tersebut akan lebih parah jika pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara tidak diperhatikan. Penanganan pencemaran udara di negara berkembang seringkali terkendala, terutama karena perhatian masyarakatnya lebih besar untuk upaya pemenuhan kebutuhan pokok (Véron 2006). Penelitian Hu et al. (2008), mendapatkan bahwa risiko kematian akibat stroke terdapat di wilayah dengan penduduk berpendapatan rendah, tingkat pencemaran udara tinggi tetapi ruang terbuka hijau rendah, yang menandakan pengelolaan kualitas udara di wilayah tersebut masih kurang.

Dampak negatif pencemaran udara berkaitan erat dengan konsentrasi dan lama pajanan serta tingkat toksisitas pencemar. Konsentrasi pencemar udara di suatu lokasi berfluktuasi, maka Finn et al. (2010) menyarankan konsentrasi maksimum harus dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam menentukan risiko pajanan. Daerah-daerah yang rawan terpajan pencemar udara dengan konsentrasi maksimum menjadi penting untuk dikenali, agar dapat dilakukan penanganan di lokasi tersebut ataupun dilakukan pengendalian emisi dari sumbernya. Perlu ada kebijakan pemerintah serta kerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan pengendalian emisi dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara.

Menurut Brook et al.(2007), hal penting dalam pengelolaan kualitas udara adalah membuat hubungan kuantitatif antara besar emisi dan konsentrasi pencemar di udara ambien untuk memudahkan pemahaman mengenai pergerakan pencemar serta berapa besar kemungkinan dampak negatif yang dihasilkan. Pergerakan pencemar serta proses-proses yang menyertainya terjadi di lapisan atmosfer terbawah yang dikenal sebagai


(26)

lapisan perbatas (boundary layer). Lapisan ini merupakan lapisan tempat manusia beraktivitas, sehingga kualitasnya berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungannya. Faktor meteorologi seperti arah dan kecepatan angin rata-rata, fluktuasi kecepatan turbulen, serta stabilitas atmosfer sangat berpengaruh terhadap proses terjadinya pencemaran udara pada lapisan tersebut (Oke 1986, Nasstrom et al. 2000, Stroh et al 2005), oleh karena itu penting untuk memahami karateristik meteorologi lapisan perbatas dalam rangka menganalisis proses pencemaran udara.

Daerah sekitar kawasan industri maupun daerah yang ditempati oleh banyak industri merupakan salah satu lokasi penting yang perlu dipantau kualitas udaranya. Pencemar utama di wilayah industri antara lain PM10 dan sulfurdioksida (SO2), memiliki dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Selain menyebabkan gangguan saluran pernapasan, partikel dapat mengandung pencemar lain seperti logam berat yang membahayakan kesehatan. Salah satu contoh adalah adanya potensi kematian akibat kanker pada populasi wanita terutama di lokasi yang terpajan logam berat dengan konsentrasi tinggi bersumber cerobong incinerator di Forli, Itali (Ranzi et al 2011).

Lokasi serta waktu yang berpotensi terpajan konsentrasi pencemar maksimum dapat dikenali dengan cara pemantauan kontinu dalam waktu yang lama, namun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut dapat dibantu menggunakan pemodelan. Salah satu pemodelan kualitas udara yang sudah memadukan proses fisika dan kimia atmosfer adalah Weather Research Forecasting – Chemistry (WRF/Chem). Pada model ini proses transport maupun transformasi kimia pencemar berlangsung secara simultan atau disebut online couple (Grell et al. 2005; Yerramilli et al. 2012; Zhang et al. 2009; Tucella et al. 2011). Di Indonesia beberapa penelitian yang sudah menggunakan model WRF-Chem diantaranya untuk dispersi pencemar perkotaan (Darmanto dan Sofyan 2011), serta pemodelan dispersi asap kebakaran hutan (Heriyanto 2015, Nuryanto 2015).

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia kemajuan di bidang industri sangat pesat dan tidak akan terlepas dari dampaknya terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Pemantauan kualitas udara ambien menjadi hal yang penting, namun masih ada permasalahan yaitu :

a. Pemantauan kualitas udara ambien secara kontinu belum memadai, hanya ada di kota-kota besar, belum menjangkau wilayah-wilayah industri yang cukup tersebar di daerah suburban. Sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 12 Tahun 2010, pemantauan kualitas udara ambien wajib dilakukan oleh kepala daerah dan


(27)

dilaporkan setahun sekali, dengan lokasi-lokasi yang sudah ditentukan peruntukannya.

b. Lokasi dan waktu pemantauan yang dilakukan di wilayah industri tidak konsisten. Pada umumnya pemantauan dilakukan hanya pada satu waktu tertentu yaitu siang hari, dan hanya berorientasi kepada kesehatan dan keselamatan kerja karyawan industri setempat serta sebagai persyaratan memenuhi dokumen lingkungan hidup sesuai peraturan yang berlaku.

c. Pengukuran kualitas udara ambien di lingkungan masyarakat umum sangat terbatas, serta belum melibatkan secara aktif pengaruh faktor meteorologi

d. Pemodelan belum banyak digunakan untuk membantu menentukan kebijakan khususnya dalam pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara

Pada peraturan yang berlaku, faktor meteorologi sudah masuk sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan lokasi pemantauan kualitas udara. Panitia Teknis Sistem Manajemen Lingkungan sudah memasukkan faktor meteorologi dalam tata cara sampling udara ambien dan sudah distandarisasi dalam SNI No. 19-7119.6-2005, dan untuk sampling udara pinggir jalan atau roadside tercantum dalam SNI No. 19-7119.9-2005 (BSN 2005). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.12 tahun 2010 Lampiran VI tentang Pedoman Teknis Pemantauan Kualitas Udara Ambien, juga sudah memasukkan faktor meteorologi sebagai faktor yang dipertimbangkan (KLH 2010). Namun seperti apa faktor tersebut dilibatkan dalam proses penentuan lokasi dan waktu sampling tidak dijelaskan.

Salah satu lokasi di Indonesia yang merupakan wilayah yang cukup pesat perkembangan industrinya adalah Kabupaten Tangerang. Menurut hasil analisis Fiddien et al. (2014), 3 kecamatan yang paling besar kontribusinya terhadap perkembangan luasan lahan industri di Kabupaten Tangerang adalah Balaraja, Cikupa dan Tigaraksa. Ketiga kecamatan tersebut mengalami penambahan luas wilayah industri sekitar 840.88 Ha dari tahun 2005 hingga 2013.

Bahkan ke depan sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011 – 2031, direncanakan wilayah industri besar dan sedang akan diperluas berturut-turut menjadi 8 407 Ha dan 3 586 Ha. Maka potensi pencemaran udara juga akan meningkat. Namun demikian di Kabupaten Tangerang belum ada pemantauan kualitas udara ambien secara kontinu. Selama ini pemantauan kualitas udara ambien hanya dilakukan oleh masing-masing industri. Hal ini belum sejalan dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 12 Tahun 2010.


(28)

Pemantauan kualitas udara yang kontinu memerlukan biaya tinggi, sehingga penentuan lokasi pemantauan yang efektif dan representatif sangat diperlukan. Pemodelan terintegrasi meteorologi dan kualitas udara menjadi salah satu pilihan untuk dapat menganalisis kualitas udara secara spasial dari waktu ke waktu (dinamis), sehingga dapat membantu menganalisis lokasi-lokasi yang rawan pencemaran udara, serta dapat membantu mengenali karakteristik atmosfernya. Bagi wilayah industri PM10 dan SO2 menjadi pencemar utama, sehingga perlu dipelajari pola dispersi kedua jenis pencemar tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan model dispersi PM10 dan SO2 menggunakan WRF/Chem dengan pendekatan dinamika stabilitas atmosfer di lapisan perbatas untuk menduga potensi pajanan pencemar udara masyarakat sekitar kawasan industri. Adapun tahapan yang dilakukan dalam mencapai tujuan utama tersebut adalah : 1. Menganalisis pola sebaran pencemar udara dan pengaruh stabilitas atmosfer di lapisan perbatas terhadap pola dispersi spasial PM10 dan SO2 menggunakan model WRF/Chem

2. Menduga potensi pajanan pencemar udara bagi masyarakat di wilayah kajian

3. Mengajukan rekomendasi metoda pengendalian pencemaran udara serta lokasi dan waktu pemantauan kualitas udara sekitar wilayah industri

1.4 Kerangka Pemikiran

Lokasi-lokasi yang berpotensi mengalami pajanan pencemar udara dengan konsentrasi maksimum perlu dikenali, karena penting dalam menentukan kebijakan yang harus diambil. Salah satu upaya pengenalan lokasi-lokasi tersebut adalah melalui analisis dipersi pencemar udara. Dispersi pencemar udara ditentukan oleh karakteristik emisi dan karakteristik meteorologi setempat. Karakteristik emisi meliputi laju emisi, jenis dan besaran emisi, yang bergantung pada aktivitas sumber. Pengendaliannya sangat ditentukan oleh pengelola industri itu sendiri yaitu dengan pengaturan aktivitas serta bentuk fisik cerobong sebagai media yang menjadi alat pengeluaran emisi ke udara.

Pencemar yang diemisikan ke atmosfer akan mengalami transportasi dan atau trasnformasi kimia, yang ditentukan oleh karakteristik meteorologi dan topografi setempat, seperti arah dan kecepatan angin, turbulensi vertikal serta stabilitas atmosfer (Arya 1999; Nasstrom et al. 2000). Stabilitas atmosfer adalah kondisi atmosfer yang


(29)

menunjukkan kecenderungan gerak vertikal udara, yang berkaitan erat dengan gradien suhu (dT) dan kecepatan angin (dū) secara vertikal (dz). Secara umum ketika kondisi atmosfer tidak stabil maka udara termasuk kandungan pencemar di dalamnya akan cenderung bergerak vertikal dan terjadi pengenceran. Sebaliknya pada saat atmosfer stabil maka udara cenderung mengendap, dan pencemar berpotensi terakumulasi di permukaan, sehingga konsentrasinya maksimum. Penentu stabilitas atmosfer bukan hanya suhu udara tetapi juga kecepatan angin antar lapisan. Stabilitas atmosfer dan kecepatan angin bersama-sama mempengaruhi posisi konsentrasi maksimum polutan jatuh di permukaan (Palau et al. 2008; Ruhiyat 2009).

Kondisi permukaan seperti jenis tutupan lahan dan topografi, akan menentukan kondisi meteorologi lapisan udara di atasnya (lapisan perbatas), yang selanjutnya mempengaruhi perilaku pergerakan (transportasi) maupun transformasi pencemar di udara. Dengan demikian dispersi pencemar dipengaruhi oleh karakteristik atmosfer lapisan perbatas. Parameter meteorologi dan pencemar saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga terdapat hubungan yang kompleks antara zat pencemar dan parameter meteorologi serta antar parameter meteorologi itu sendiri. Pemodelan akan membantu menggambarkan hubungan tersebut secara kuantitatif, serta menghubungkan besar emisi dengan konsentrasi pencemar di udara ambien, yang sangat penting dalam rangka pengelolaan kualitas udara (Brook et al. 2007, Yerramilli et al. 2011).

Konsep pengendalian pencemaran udara (Air Pollution Control)lebih menekankan pada kebijakan-kebijakan dalam aktivitas sumber pencemar. Sebagai contoh penerapan konsep produksi bersih, penanganan limbah sebelum keluar area sumber, serta teknik-teknik pengendalian emisi lainnya. Pada masalah pencemaran udara, yang umum dilakukan adalah dengan cara pengaturan aktivitas emisi, pengaturan tinggi dan bentuk cerobong, penggunaan alat tambahan untuk menyaring, dan sebagainya (Cooper dan Alley 2011). Ketinggian emisi jika ditempatkan secara tepat, maka tidak akan terlalu membahayakan kualitas udara di permukaan.

Konsep pengelolaan kualitas udara berkaitan dengan kebijakan dalam memelihara lingkungan udara ambien, termasuk di dalamnya pemantauan kualitas udara yang kontinu. Menurut Shin et al (2009), seringkali terjadi perrubahan bentuk hubungan antara konsentrasi pencemar dan dampak kesehatan, sebagai akibat dari perpindahan lokasi pemantauan kualitas udara ambien. Oleh karena itu lokasi pemantauan kualitas udara ambien seharusnya tetap atau tidak berpindah sepanjang waktu, agar mengurangi ketidakpastian dalam pendugaan risiko pencemaran udara bagi masyarakat. Penentuan


(30)

lokasi tersebut dapat dibantu oleh pemodelan. Pemodelan kualitas udara sebaiknya dihubungkan dengan evaluasi keterpaparan penduduk sehingga dapat memberikan dukungan yang baik terhadap pengelolaan kualitas udara perkotaan, membantu memberi pertimbangan dan menyediakan data penting untuk pengambil keputusan dan informasi mengenai risiko kesehatan dalam bentuk risiko keterpaparan populasi (Baklanov et al. 2007).

Berdasar pemaparan di atas maka pengambilan kebijakan pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara harus dibuat berdasar analisis yang terintegrasi berbasis dinamika emisi pencemar, dinamika atmosfer, serta sosial-ekonomi masyarakat. Pengendalian emisi pencemar harus memperhatikan kondisi meteorologi setempat, terutama kondisi stabilitas atmosfer. Pengenalan lokasi-lokasi yang rawan terpapar pencemar udara dengan konsentrasi maksimum penting dilakukan, agar kebijakan yang diterapkan lebih tepat sasaran. Gambar 1 menunjukkan bagan alir kerangka pemikiran dan penyelesaian masalah dalam penelitian ini.


(31)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain :

1. Memberi kontribusi ilmiah penerapan sains atmosfer dalam masalah lingkungan khususnya pencemaran udara

2. Menjadi bahan masukan bagi industri terkait tinggi cerobong dan waktu emisi yang aman, dalam rangka upaya pengendalian pencemaran dan pengelolaan kualitas udara

3. Dapat dijadikan basis bagi pemerintah dalam penentuan kebijakan terkait lokasi aman dan rawan terhadap pencemaran udara untuk pemukiman di sekitar kawasan industri

4. Dapat digunakan dalam menentukan lokasi pemantauan kualitas udara ambien kontinu sebagai bagian kebijakan dalam pengelolaan kualitas udara, serta dapat

dijadikan basis dalam analisis risiko kesehatan masyarakat 5. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kualitas udara di lingkungannya,

agar menjadi bahan pertimbangan dalam aktivitas sehari-hari, dan lebih menyadari risiko kesehatan yang dihadapi

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan berupa :

1. Integrasi antara aspek meteorologi, kimia atmosfer serta keterkaitannya dengan potensi risiko keterpaparan pencemar udara bagi publik

2. Analisis keterkaitan konsentrasi pencemar dengan dinamika ketebalan lapisan perbatas di wilayah kajian

3. Dinamika stabilitas lapisan perbatas sebagai basis ilmiah dalam rekomendasi kebijakan penentuan tinggi cerobong dan waktu pemantauan kualitas udara ambien

1.7 Sistematika Penulisan

Disertasi ini dibagi ke dalam 8 Bab yang terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metodologi, 3 Bab Hasil Analisis dan Pembahasan, Pembahasan Umum, Simpulan dan Saran. Bab Pendahuluan berisi latar belakang penelitian terkait pencemaran udara beserta dampak dan faktor yang mempengaruhinya, serta permasalahan terkait pengendalian dan pengelolaan kualitas udara. Pada bab ini juga diuraikan manfaat penelitian, kebaruan (novelty) serta ruang lingkup penelitian termasuk zat pencemar yang dipilih. Berbagai definisi dan teori dasar terkait pencemaran udara


(32)

disampaikan pada Bab II yaitu Tinjauan Pustaka. Karakteristik pencemar yang dipilih, pengaruh faktor meteorologi serta teori dasar mengenai lapisan perbatas juga dampak pencemar terhadap kesehatan masyarakat dibahas pada Bab II ini, termasuk di dalamnya tinjauan tentang model WRFChem dan tinjauan umum wilayah kajian. Bab III menyajikan metodologi, mulai dari penentuan lokasi kajian dan waktu penelitian, serta metode analisis yang digunakan secara keseluruhan. Bab IV membahas hasil penelitian mengenai pola dispersi pencemar PM10 dan SO2 di wilayah Tangerang dan Jakarta. Hasil analisis model WRFChem dibahas secara spasial maupun temporal, serta dibahas mengenai validasinya. Bab V membahas analisis stabilitas statis dan dinamis lapisan perbatas wilayah Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Stabilitas atmosfer secara temporal dibahas untuk melihat keterkaitannya dengan fluktuasi konsentrasi pencemar. Stabilitas atmosfer dianalisis melalui 2 pendekatan yaitu statis dan dinamis, dan ditelaah antar lapisan secara vertikal, serta dibahas implikasinya terhadap kebijakan pengendalian pencemaran udara di wilayah Balaraja Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta. Tingkat keamanan kualitas udara ambien diukur berdasar pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat, yang dapat diduga dari potensi paparan pencemar, yang dibahas pada Bab VI. Bab ini menguraikan tentang potensi pajanan masyarakat terhadap PM10 dan SO2 dengan konsentrasi maksimum di sekitar kawasan industri, dalam hal ini diwakili oleh Kecamatan Balaraja Kabupaten Tangerang. Wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara juga dianalisis sebagai wilayah perkotaan yang berpotensi terpapar konsentrasi maksimum selama periode penelitian. Potensi pajanan diduga berdasar laju intake dan perkiraan dosis yang diterima tubuh serta dibandingkan dengan Lowest Observed Adverse Effect Level (LOAEL). Keseluruhan penelitian dibahas secara umum pada Bab VII. Pada bab ini hasil penelitian dibahas mulai dari sebaran dispersi hingga potensi pajanan terhadap masyarakat. Ditutup dengan beberapa rekomendasi kebijakan berdasar hasil penelitian, seperti waktu dan lokasi yang representatif untuk pemantauan kualitas udara ambien, ketinggian cerobong yang aman untuk dispersi, waktu yang direkomendasikan untuk penghentian emisi sementara, serta waktu-waktu yang aman bagi warga masyarakat untuk beraktivitas di luar. Disertasi ditutup dengan simpulan dan saran pada Bab VIII, yang berisi mengenai simpulan umum serta saran-saran berupa alternatif kebijakan pemerintah. Keseluruhan informasi baik teori maupun data pendukung merujuk pada sejumlah pustaka yang dicantumkan dalam daftar pustaka.


(33)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Atmosfer mengandung berbagai gas, dengan jumlah bervariasi dari waktu ke waktu, namun ada pula beberapa gas yang berjumlah tetap. Fluktuasi jumlah gas terjadi karena masukan yang berasal dari emisi berbagai sumber di permukaan bumi, serta reaksi-reaksi kimia yang terjadi di atmosfer. Secara alami, udara memiliki kemampuan untuk menampung serta mengencerkan zat yang masuk dari berbagai aktivitas di permukaan bumi tersebut. Namun demikian pada tingkat tertentu udara memiliki batas jenuh, sehingga penambahan zat yang masuk secara terus menerus dapat mengakibatkan pencemaran udara. Seinfeld (1986) mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer dengan kandungan substansi yang sudah melebihi batas normal, yang dapat menimbulkan pengaruh (yang terukur) pada manusia, hewan, vegetasi maupun bahan bangunan. Substansi yang dimaksud adalah unsur kimia alami atau buatan manusia atau senyawa yang terbentuk di udara, berupa gas, butir cairan atau partikel padat, yang bersifat membahayakan ataupun aman, tetapi lebih ditekankan pada efek yang tidak diharapkan. Undang-undang RI No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, mendefinisikan pencemaran udara sebagai proses masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (KLH 2002, KLH 2009). Definisi di atas menggambarkan bahwa unsur yang terkait dalam pencemaran udara adalah sumber pencemar, atmosfer sebagai media, dan reseptor. Emisi pencemar dapat berasal dari berbagai sumber seperti industri, transportasi juga domestik, dan secara alami dapat bersumber dari letusan gunung berapi maupun percikan air laut dan penghancuran mahluk hidup secara biologi. Atmosfer merupakan media tempat terjadinya transformasi kimia dan transportasi pencemar, sehingga karakteristik atmosfer akan sangat mempengaruhi proses pencemaran udara. Reseptor menerima pencemar dan akan bereaksi terhadap pencemar yang berlebih.

Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu, akan membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan bangunan (Oke 1978). Partikulat dan sulfurdioksida merupakan pencemar yang erat kaitannya


(34)

dengan penggunaan bahan bakar fosil yang umumnya digunakan pada aktivitas industri serta transportasi.

2.2 Karakteristik Pencemar dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat

Jenis pencemar udara yang dominan berasal dari emisi industri bergantung pada berbagai aktivitas yang terjadi dalam industri, baik aktivitas produksi maupun aktivitas lain seperti penggunaan bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik. Pada umumnya pencemar yang dominan atau selalu terkandung dalam emisi industri adalah partikel (PM) dan sulfurdioksida (SO2). Partikel dan gas memiliki karakteristik berbeda, sehingga akan mempengaruhi pola penyebarannya. Hal tersebut melandasi dipilihnya PM10 dan SO2 dalam penelitian ini.

2.2.1 Partikulat (Particulate Matter)

Partikulat merupakan bahan padat atau cair dengan diameter bervariasi mulai ukuran 0.001µm (fumes) hingga lebih dari 100 µm (debu kasar) bercampur dengan gas yang keluar dari sumber pencemar dan masuk ke atmosfer (Wark & Warner 1981, Cooper & Alley 2011, Ostro 2004, WHO 2006). Sumber utama partikulat di lingkungan perkotaan dapat berupa kendaraan bermotor maupun industri. Namun demikian partikulat juga dapat terbentuk secara sekunder di atmosfer, sebagai akibat teroksidasinya SO2 menjadi aerosol sulfat (Wallace & Hobbs 2006). Menurut Yerramilli et al (2011), di daerah urban, partikulat sekunder terdapat dalam bentuk sulfat dan nitrat dalam kisaran konsentrasi 10 – 40 µg m-3 bahkan dapat mencapai 100 µg m-3.

Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat dikelompokkan menjadi PM10 yaitu partikulat dengan ukuran <10m, PM2,5 yaitu partikulat dengan ukuran < 2,5m, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu seluruh partikel yang tercampur di udara (KLH 2002, WHO 2006). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan menjadi partikel anorganik (garam-garaman, berbagai oksida, senyawa nitrogen, senyawa sulfur, berbagai logam, dan radionuklida) dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong industri yang menggunakan bahan bakar fossil; komposisi kimia dan ukurannya akan bergantung pada sumber bahan bakar). Kandungan partikel seperti logam dan radionuklida dapat mengakibatkan timbulnya penyakit lain yang sama sekali tidak berkaitan dengan penyakit pernafasan, tetapi terkait dengan penyakit kronis seperti kanker, akibat kandungan kimia di dalam partikulat yang terhisap dan masuk ke dalam tubuh melalui peredaran darah, kemudian terakumulasi.


(35)

Dampak partikulat terhadap gangguan saluran pernafasan menjadi hal yang paling umum muncul, seperti radang paru, penurunan fungsi pernafasan hingga pada kasus kronis timbul kanker paru (WHO 2006). Partikulat yang terdapat di udara perkotaan dan lingkungan industri merupakan faktor penting untuk pemicu penyakit jantung kronis dan kematian, dengan mekanisme berawal dari hypoxia, radang paru, penurunan fungsi paru, viskositas plasma darah meningkat dan laju jantung meningkat (Pope 2001). Menurut Bacarelli et al. (2011), partikulat berdampak pada peningkatan tekanan darah. PM10 dapat meningkatkan produksi dahak kronis dan sesak napas pada orang dewasa non-perokok selain itu, dapat memicu asthma juga menimbulkan eczema dan alergi rhinitis pada anak-anak di lingkungan perkotaan (Zemp et al. 1999,Pénard-Morand et al. 2010). Dampak terhadap lingkungan, partikulat terutama yang berukuran kecil bersifat mampu menyerap dan memencarkan cahaya sehingga dapat menurunkan jarak pandang (visibility), mudah masuk ke pernafasan serta mampu menyerap substansi lain di atmosfer yang menyebabkan kerusakan bahan bangunan, tekstil, tanaman dan kesehatan manusia dan hewan. Partikel dengan ukuran yang lebih besar cenderung tersaring oleh rambut-rambut di saluran pernapasan dan dapat keluar melalui dahak atau tertelan (Manahan 1992). Selain itu pada skala global, jika jumlah partikulat di atmosfer terus meningkat, dapat menghalangi masuknya radiasi matahari, sehingga efeknya adalah penurunan suhu udara permukaan.

2.2.2 Sulfurdioksida (SO2)

Sulfurdioksida (SO2) merupakan gas yang tidak berwarna dengan bau menyengat, dapat mencair ketika diberi tekanan, mudah larut dalam air dan tidak mudah terbakar (US Departement of Health and Human Services 1998). Sumber senyawa sulfur di atmosfer adalah penghancuran secara biologi (biology decay), pembakaran bahan bakar fossil dan bahan organik, dan percikan air laut serta industri peleburan logam. Aktivitas antropogenik melepaskan sulfur terutama dalam bentuk SO2, yang selanjutnya teroksidasi menjadi SO3, kedua senyawa tersebut dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO2 bersifat larut dalam air dan dapat mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan serta pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kanker paru hingga kematian (Seinfeld 1986, Abbey et al. 1999). Jika membentuk kabut (haze) dari reaksi fotokimia aerosol, SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer, senyawa sulfur dapat menurunkan jarak pandang; jika bereaksi dengan air hujan akan meningkatkan keasaman air hujan yang dapat menyebabkan asidifikasi sumber air serta penurunan unsur hara tanah; juga


(36)

menyebabkan korosi logam dan bahan bangunan lain.Waktu tinggal SO2 dapat mencapai 6 hari, sehingga memungkinkan adanya akumulasi sebelum bereaksi dengan zat lain.

Sifat SO2 yang mudah larut menyebabkan SO2 mudah diserap oleh bagian yang lembab pada sistem pernafasan bagian atas. Pada konsentrasi di atas 1 ppm dengan periode pemaparan 5 menit saja sudah dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terutama pada saluran pernafasan. Periode pajanan  1 hari dapat menyebabkan penurunan kesehatan pada pasien dengan gejala penyakit bronchitis, bahkan dapat meningkatkan kematian, pajanan singkat tetapi mencapai > 40 ppm juga dapat berakibat kematian (Seinfeld 1986, US Departement of Health and Human Services 1998). Pajanan dengan konsentrasi kecil tetapi lama sebagai contoh terpapar 0.4 – 3.0 ppm selama 20 tahun, dapat menyebabkan perubahan fungsi paru.

2.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Dispersi Pencemar Udara

Pencemaran udara terjadi pada lapisan terendah atmosfer yang disebut lapisan perbatas (atmospheric boundary layer– ABL). Lapisan perbatas adalah lapisan atmosfer yang sifat-sifat dan karakteristiknya sangat ditentukan oleh kondisi permukaan di bawahnya, tempat terjadinya pertukaran momentum, panas ataupun massa, yang diakibatkan oleh interaksi antara permukaan dengan lapisan udara di atasnya (Arya 2001). Ketebalan lapisan ini sangat dipengaruhi oleh laju pemanasan ataupun pendinginan permukaan, kekuatan angin, kekasapan permukaan, serta karakteristik topografi. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan pencampuran (mixing layer).

Secara spasial ketebalan lapisan pencampuran rata-rata 1 km dengan kisaran 0.2 – 5 km, bergantung pada lokasi geografisnya di permukaan bumi. Secara temporal, ketebalan lapisan pencampuran berfluktuasi sesuai dengan besaran radiasi yang diterima permukaan (Gambar 2). Pada pagi hari intensitas radiasi matahari masih rendah, pemanasan belum intensif. Semakin siang pemanasan makin intensif dan lapisan udara semakin mengembang sehingga ketebalan lapisan pencampuran pun meningkat hingga mencapai maksimum beberapa saat setelah tengah hari, sesuai dengan fluktuasi suhu udara permukaan. Menjelang sore radiasi matahari menurun maka suhu udara juga menurun, dan lapisan pencampuran menipis hingga mencapai ketebalan terendah pada malam hingga pagi hari. Fluktuasi ketebalan lapisan ini berimplikasi terhadap proses pencampuran pencemar udara, sehingga pada siang hari proses pencampuran intensif dan berpotensi menurunkan konsentrasi pencemar. Sebaliknya pada malam hari volume pencampuran berkurang dan konsentrasi pencemar berrpotensi meningkat.


(37)

Gambar 2 Fluktuasi ketebalan lapisan pencampuran berdasar waktu (Sheng 2004) Konsentrasi pencemar di udara selain dipengaruhi oleh ketebalan lapisan pencampuran juga dipengaruhi laju emisi dari sumber, laju perubahan baik fisik maupun kimia dari pencemar, serta dispersi dan transportasi pencemar dari dan ke suatu wilayah lainnya (Yerramilli et al. 2011). Menurut Arya (1999), mekanisme dispersi pencemar dari suatu sumber emisi dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi dan karakteristik meteorologi dan topografi setempat.

Faktor meteorologi terdiri dari unsur-unsur radiasi matahari, suhu dan tekanan udara, angin, curah hujan, kelembaban, serta evaporasi. Faktor meteorologi yang berpengaruh langsung terhadap dispersi pencemar adalah angin (arah dan kecepatan) serta stabilitas atmosfer. Kelembaban dan curah hujan lebih berpengaruh pada proses removal atau penghilangan pencemar. Sementara itu bentuk topografi akan turut mempengaruhi karakteristik meteorologi setempat, terutama pola angin (Turyanti 2005). Radiasi tidak secara langsung mempengaruhi dispersi, tetapi mempengaruhi fluktuasi suhu dan tekananyang akan mempengaruhi angin dan stabilitas atmosfer.

Stabilitas atmosfer adalah kecenderungan udara untuk bergerak secara vertikal. Stabilitas atmosfer dibagi 3 kelompok utama yaitu: stabil, netral dan tidak stabil. Pada saat atmosfer tidak stabil, suhu menurun terhadap ketinggian ditandai dengan laju penurunan suhu udara lebih tajam, terutama jika dibandingkan dengan laju penurunan suhu udara kering atau dikenal sebagai Dry Adiabatic Lapse Rate (DALR) yang diasumsikan sebesar 6-7 ºC/km (Wallace & Hobbs 2006). Kondisi atmosfer netral ditunjukkan oleh laju penurunan suhu udara sama dengan DALR. Kondisi stabil terjadi ketika suhu udara meningkat terhadap ketinggian, atau dikenal pula dengan istilah inversi. Contoh paling mudah untuk melihat gambaran stabilitas atmosfer dan hubungannya dengan dispersi pencemar adalah pergerakan kepulan asap (plume) industri pada berbagai


(38)

kondisi stabilitas (Gambar 3). Grafik sebelah kiri pada Gambar 3 menunjukkan profil suhu udara terhadap ketinggian pada ketiga kondisi stabilitas atmosfer.

Pada kondisi netral pergerakan udara secara vertikal dan horizontal seimbang, sedangkan pada kondisi stabil pergerakan udara cenderung horizontal atau bahkan terjadi kecenderungan pengendapan pencemar. Sementara itu kondisi tidak stabil mendorong udara bergerak vertikal secara intensif menyebabkan konsentrasi pencemar di permukaan menurun. Hal ini umumnya terjadi pada siang hari.

Gambar 3 Profil suhu dan pola kepulan asap cerobong berdasar stabilitas atmosfer (a) tidak stabil, (b) netral dan (c) stabil (Godish 2004)

Stabilitas atmosfer dan kecepatan angin bersama-sama mempengaruhi posisi konsentrasi maksimum polutan jatuh di permukaan (Palau et al. 2008; Ruhiyat 2009). Pada kondisi atmosfer tidak stabil, jarak konsentrasi maksimum polutan di permukaan menjadi lebih dekat dengan sumber dengan konsentrasi yang lebih tinggi, sedangkan pada kondisi stabil sebaliknya, jarak konsentrasi polutan maksimum di permukaan menjadi lebih jauh dari sumber dengan konsentrasi lebih rendah. Menurut penelitian Ashrafi dan Hoshyaripour (2010), hubungan yang kuat antara kualitas udara dan stabilitas atmosfer terjadi pada saat musim panas, dan melemah pada musim dingin, dan lebih lemah pada musim semi dan gugur. Angin yang kuat pada musim semi dan gugur mempengaruhi lemahnya korelasi tersebut.

Pengaruh angin terhadap dispersi pencemar terjadi baik karena arah maupun kecepatan angin. Arah angin akan menentukan arah daerah paparan, sedangkan kecepatan


(39)

angin akan menentukan seberapa jauh pencemar akan terbawa sepanjang arah angin dominan. Hal ini menunjukkan, bahwa pada lokasi-lokasi tertentu akan terjadi akumulasi polutan lebih tinggi dibanding yang lain.

Memandang berbagai faktor yang mempengaruhi dispersi pencemar, maka dapat dipahami bahwa tingkat pencemaran udara di suatu wilayah/lokasi sangat ditentukan oleh sumber yaitu jenis dan besar emisinya, serta oleh kondisi meteorologi yaitu angin dan stabilitas atmosfer. Kedua faktor utama tersebut merupakan faktor yang sangat dinamis, sehingga dalam menduga dampak pencemaran udara memerlukan bantuan pemodelan.

2.4 Pemodelan Dispersi Pencemar Udara

Pemodelan kualitas udara yang paling umum digunakan adalah dengan pendekatan sebaran gauss atau dikenal sebagai Gaussian Model, tetapi lebih sesuai untuk analisis sumber titik, atau pun modifikasi dari sumber garis. Model Gauss merupakan model dispersi yang relatif sederhana sehingga banyak digunakan, tetapi menggunakan banyak asumsi yang terlalu ideal (Beychok 2003). Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan dispersi Gauss adalah Rahmawati (2003), Hadibowo & Huboyo (2006), Warlina (2008), Ruhiyat (2009).

Pemodelan kualitas udara yang melibatkan karakteristik dinamika atmosfer, pada umumnya menggabungkan model prediksi cuaca numerik (Numerical Weather Prediction/NWP) dengan model pencemaran udara, sehingga menghasilkan model kualitas udara yang terintegrasi (Grell et al. 2005). Contoh model yang sudah banyak digunakan adalah model WRF/HYSPLIT (Srinivas et al. 2009, Yerramilli et al. 2008), MM5/CHIMERE, WRF/CHIMERE (Jorba et al. 2008, de Meij et al. 2009, Menut et al. 2012, Terrenoire 2013), MM5/CMAQ (Zhou et al. 2012, Sharma et al. 2014). Semua model tersebut merupakan model offline couple, yaitu pasangan model tetapi dijalankan masing-masing, model meteorologi dijalankan di awal lalu outputnya menjadi input untuk model pencemaran udara.

Perkembangan teknologi komputer mendorong perkembangan dunia pemodelan, termasuk dikembangkannya model online couple, yaitu model meteorologi yang dijalankan simultan dengan model kualitas udara. Pada model ini proses pemodelan meteorologi berjalan dengan tambahan input kondisi kimia atmosfer, sehingga proses kimia atmosfer terakomodasi di dalamnya. The Weather Research and Forecasting/ Chemistry (WRF/Chem) Model merupakan model online couple. Model tersebut dikembangkan oleh the National Center for Atmospheric Research (NCAR), the University Corporation for Atmospheric Research (UCAR),the National Oceanic and


(40)

Atmospheric Administration (NOAA), the Cooperative Institute for Research in Environmental Studies (CIRES), the Max Plank Institute, the University of Chile dan Centro de Previsão de Tempo e Estudos Climáticos (NCAR 2014). WRF/CHEM merupakan model meteorologi skala meso yang dipasangkan dengan model kimia yang memungkinkan untuk menduga reaksi dan proses fisik yang terjadi secara simultan di atmosfer(Grell et al. 2005, Yerramilli et al. 2012, Zhang et al. 2009, Tucella et al. 2012). Pemanfaatan pemodelan terintegrasi ini akan sangat penting terutama dalam membantu menyelesaikan masalah pencemaran udara di perkotaan. Sebagaimana menurut Baklanov et al. (2007), pemodelan terintegrasi antara meteorologi, kimia atmosfer dan pajanan pencemar akan sangat membantu pengambilan kebijakan terkait kesehatan masyarakat terutama di perkotaan. Bagan pemodelan tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4 Konsep pemodelan kualitas udara ambien terintegrasi (modifikasi dari

Baklanov et al. 2007)

2.4.1 Tinjauan umum model WRFChem

WRF/Chem adalah model meteorologi skala meso yang meliputi beberapa pilihan parameterisasi fisik dari lapisan perbatas planetari, permukaan lahan dan proses keawanan (WRF) yang digabungkan secara “online” dengan model kimia, dimana komponen meteorologi dan kimia diprediksi secara simultan (Tucella et al. 2011). WRF/Chem dibangun berawal dari kebutuhan akan prediksi kualitas udara, yang


(41)

memerlukan input berbagai faktor meteorologi serta proses kimia di atmosfer yang bersifat sangat dinamis (Grell et al. 2005). Pada kondisi sebenarnya di alam, proses fisik dan kimia atmosfer berlangsung bersamaan dan saling mempengaruhi. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam prediksi kualitas udara. Oleh karena itu penggunaan model yang ”online” sangat diperlukan agar proses pemodelan lebih mendekati proses yang sebenarnya di alam.

Pada pemodelan untuk prediksi kualitas udara yang offline, output dari model cuaca dijadikan input untuk model kualitas udara. Namun pemisahan proses pemodelan tersebut mengakibatkan hilangnya informasi penting tentang proses di atmosfer jika skala yang digunakan kurang dari output waktu model meteorologi, padahal mungkin informasi tersebut penting untuk prediksi kualitas udara (Grell, Baklanov 2011).

Sebagaimana pada umumnya, sistem pemodelan kualitas udara mempertimbangkan berbagai proses fisika dan kimia seperti transport, deposisi, emisi, transformasi kimia, interaksi aerosol, fotolisis dan radiasi. Demikian pula, pada paket model WRF-Chem komponen yang dapat dianalisa adalah deposisi kering, pilihan emisi biogenik, pilihan emisi antropogenik, beberapa pilihan mekanisme kimia fase gas, pilihan skema fotolisis, pilihan skema aerosol beserta efek lamgsung tak langsung, pilihan untuk transport gas rumah kaca, serta pilihan untuk aerosol debu vulkanik. Secara rinci dapat dipelajari dalam User’s Guide (NCAR 2014).

Model WRFChem menjadi bagian dari dynamic solver ARW (Advanced Research WRF). Program utama dalam WRF-Chem adalah : WPS (WRF Pre-processing System), WRF-Var data assimilation system, WRF-solver (ARW-core only) meliputi post-processing dan alat visualisasi.

WPS (WRF Pre-processing System)

WPS adalah 1 set dari 3 program yang secara keseluruhan mempersiapkan input program real untuk simulasi data riil pada domain model. Domain model adalah batasan wilayah studi yang akan dianalisis. Setiap program menampilkan satu tahap persiapan : a. geogrid menentukan domain model dan menginterpolasi data geografis statik menjadi data grid; untuk mendefinisikan domain simulasi, dan menginterpolasi berbagai data terestrial ke grid model. Pada file ini informasi yang dimasukkan adalah lintang, bujur, skala peta, dan geogrid akan menginterpolasi kategori tanah, penggunaan lahan, ketinggian tempat, suhu tanah, fraksi vegetasi, albedo, kategori kelerengan ke grid model secara default.


(42)

b. ungrib mengekstrak data meteorologi dari file format GRIB; menuliskan data dalam format yang sederhana yang disebut intermediate format. File GRIB mengandung data meteorologi variasi waktu dari model regional atau global lain seperti model NCEP’s dan GFS.

c. metgrid secara horizontal menginterpolasi data meteorologi yang telah diekstrak oleh ungrib ke dalam domain simulasi yang telah didefinisikan oleh geogrid. Interpolasi secara vertikal data meteorologi ke WRF eta levels dilakukan dalam program real.

Setiap program WPS membaca parameter dari file namelist. Selain itu ada tabel tambahan yang digunakan untuk program secara individu tetapi tidak perlu diubah oleh pengguna, yaitu file GEOGRID.TBL, METGRID.TBL dan Vtable.

Weather Research Forecasting (WRF)

Model WRF adalah model meteorologi skala meso yang memberi keleluasaan dalam parameterisasi fisik Planetary Boundary Layer (PBL), permukaan lahan dan proses pembentukan awan (cloud processes) sesuai kondisi lokal di permukaan. Model ini memiliki program inisialisasi (real.exe), program integrasi numerik (wrf.exe), program untuk nesting (ndown.exe) dan program untuk mengerjakan badai tropis tiruan (tc.exe). Perbedaan WRFChem dengan WRF biasa adalah pada WRFChem ada bagian model kimia yang memerlukan data grid tambahan terkait emisi. Tambahan data ini disediakan oleh WPS (dust emission fields) atau dibaca selama inisialisasi (misal biomass burning, biogenic emission dan sebagainya), atau selama eksekusi WRF (antropogenic emission, boundary condition, volcanic emission, dan seterusnya). Kesulitan biasanya muncul pada modifikasi kode, konfigurasi model, untuk mendapat bentuk yang tepat sesuai project. Konfigurasi parameter yang digunakan pada WRFChem adalah seperti pada Tabel 1 (Grell et al.2005), tetapi pilihan parameter harus dipelajari sesuai kondisi lokasi penelitian.

Proses mikrofisik meliputi perhitungan proses presipitasi, awan dan uap air. Skema radiasi terdiri dari gelombang panjang dan pendek mengakomodasi proses pemanasan atmosfer dan permukaan. Skema surface layer menghitung kecepatan gesekan dan koefisien pertukaran panas dan kelembaban oleh model land-surface, serta tegangan permukaan di lapisan perbatas. Skema boundary layer bertanggungjawab terhadap perhitungan fluks vertikal yang disebabkan oleh eddy transport dalam seluruh kolom atmosfer, bukan hanya di lapisan perbatas. Parameter cumulus bertanggungjawab terhadap perhitungan efek awan konvektif atau awan rendah. Secara teoritis valid untuk


(43)

ukuran grid > 10 km, tetapi kadang-kadang digunakan untuk grid yang lebih kecil dengan asumsi untuk mendorong atau triggering konveksi.

Tabel 1 Contoh konfigurasi parameterisasi

Proses Pilihan Parameter

Microphysics NCEP 3-class simple ice

Long wave radiation RRTM

Short wave radiation Dudhia

surface layer Monin Obukhov Length

land-surface model OSU

Boundary layer scheme Melor Yamada Janjic TKE

Cumulus Parameterization Bets Miller Janjic

Photolysis scheme Madronich (1987)

Gas phase mechanism RADM2 (303)

Aerosol mode MADE SORGAM

Proses Analisis pada WRFChem

Proses yang dianalisis dalam WRFChem adalah: Proses transport, mekanisme kimia, deposisi kering, Gas-phase Chemistry, perhitungan emisi, parameterisasi aerosol. Parameterisasi aerosol terdiri dari distribusi ukuran, nucleation, condensation and coagulation, kimia aerosol dan frekuensi fotolisis. Mekanisme kimia fase gas termasuk di dalamnya proses deposisi asam, contohnya Regional Acid Deposition Model (RADM) yang meliputi 57 jenis zat kimia, dan 158 reaksi fase gas, 21 diantaranya reaksi fotolitik (Tucella et al. (2012). Proses kimia aerosol salah satunya menggunakan skema MADE (Modal Aerosol Dynamic Model for Europe) untuk fraksi inorganik, dan skema SORGAM (Secondary Organic Aerosol Model) untuk fraksi karbon sekunder.

Visualisasi Hasil Keluaran WRFChem

Bentuk luaran WRFChem adalah dalam bentuk format netCDF, maka NCAR mengeluarkan 4 paket alat visualisasi grafis yaitu : NCL, RIP4, WRF-to-GrADS, and WRF-to-vis5d. Struktur model dalam WRFChem ditunjukkan oleh Gambar 5.

2.4.2 Penggunaan WRFChem

Sistem aplikasi yang memungkinkan pada WRFChem adalah prediksi dan simulasi cuaca, atau iklim regional dan lokal; prediksi cuaca untuk simulasi dispersi unsur pencemar; pasangan model cuaca/dispersi/ kualitas udara dengan interaksi kimia penuh dengan prediksi O3 dan radiasi UV sebaik bahan partikulat; serta studi proses-proses penting dalam isu perubahan iklim global dan


(44)

Gambar 5 Skema struktur pemodelan WRFChem (WRF-ARW)

WRFChem sudah cukup banyak digunakan dalam penelitian-penelitian di Eropa, Cairo, Mexico bahkan di Shanghai (Zhang et al. 2009, Elshazly et al. 2012, Tucella et al. 2012,Tie 2013), namun di Indonesia belum banyak dipublikasikan. Pada tahun 2015 ada beberapa penelitian menggunakan WRFChem untuk pemodelan pada kasus kebakaran hutan di Indonesia (Aouizerats 2015, Heriyanto et al. 2015, Nuryanto 2015). Beberapa penelitian yang menggunakan WRFChem menunjukkan bias yang dihasilkan dalam simulasi cukup kecil, terutama untuk suhu dan kelembaban relatif (Tucella et al. 2012). Namun demikian korelasi yang dihasilkan untuk O3 dan SO2 maupun PM2.5 masih belum terlalu tinggi, salah satunya diakibatkan oleh keterbatasan perhitungan proses oksidasi di dalam model. Menurut Elshazly et al. (2012), variasi diurnal O3 menggunakan WRF/Chem di Cairo lebih baik daripada di Qena, tetapi prediksi angka lebih baik di Qena. Koefisien korelasi ditemukan lebih tinggi pada siang hari daripada malam hari (Zhang et al. 2009). Kedekatan antara observasi dan simulasi bergantung juga pada skema yang dipilih dalam menjalankan model. Ketidakpastian


(45)

dapat muncul akibat pemilihan parameter yang kurang tepat (Zhang et al. 2013). Salah satu sumber ketidakpastian hasil pemodelan adalah resolusi spasial, sebagaimana hasil simulasi NOx yang digunakan di Cairo masih belum bagus yang bisa diakibatkan oleh resolusi yang masih kasar (1o), walaupun untuk akurasi kecepatan angin dan suhu sudah cukup dapat diterima (Elshazly et al. 2012). Beberapa penelitian terakhir menggunakan WRFChem dengan resolusi sekitar 3 – 4 km (Zhang et al. 2009; Tran, Mölders 2012).

Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan umumnya membahas masalah prediksi dispersi, validasi, uji sensitivitas serta membahas pengaruh faktor meteorologi. Pada penelitian – penelitian tersebut belum ada yang membahas mengenai karakteristik stabilitas atmosfer secara vertikal dan penerapannya untuk pengelolaan lingkungan.

2.5 Analisis Risiko Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar Udara

Menurut Krzyzanowski (1997) metode dalam pendugaan dampak pencemaran udara meliputi 4 hal yaitu :

a. pendugaan pencemar yang dilepaskan, b. pendugaan pajanan,

c. pendugaan konsekuensi atau dampak dan d. pendugaan risiko.

Konsentrasi pencemar akan selalu berfluktuasi, tetapi jika terdapat arah angin utama mengarah ke lokasi tertentu, maka akumulasi pencemar mungkin terjadi dan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Dampak negatif pencemaran udara berkaitan erat dengan besar dan lama pajanan serta tingkat toksisitas pencemar. Finn et al. (2010) menyarankan fluktuasi konsentrasi maksimum harus dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam menentukan risiko pajanan.

Risiko adalah potensi terjadinya suatu konsekuensi negatif yang tidak diinginkan, baik terhadap manusia, bangunan maupun lingkungan (Gratt 1996). Pendugaan risiko biasanya didasarkan pada nilai harapan terjadinya suatu kejadian dikalikan dengan konsekuensi harapannya. Pendugaan risiko kesehatan secara kuantitatif biasanya digunakan secara rutin untuk mendukung keputusan suatu kebijakan lingkungan (Lai et al. 2000). Bagi pihak industri misalnya, evaluasi risiko kesehatan manusia akibat terpapar pencemar udara yang bersifat racun sangat diperlukan sebagai bagian dari perolehan izin beroperasinya kegiatan mereka.

Deguen dan Zmirou-Navier (2010) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme utama yang memberi kontribusi terhadap kesehatan masyarakat terkait pencemaran udara, yaitu perbedaan pajanan dan perbedaan tingkat kerentanan. Keduanya dapat terjadi


(1)

Lampiran 11 Lanjutan

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.0 30.1 30.1 30.1 30.1 30.1 0.0

19.0 78.9 103.3 202.3 103.2 103.2 118.2 48.2

20.0 103.1 103.1 162.2 103.1 103.1 114.9 26.4

21.0 103.0 103.0 162.2 103.1 103.1 114.9 26.4

22.0 102.9 102.9 182.0 103.1 103.0 118.8 35.3

23.0 122.8 102.8 122.4 102.9 102.9 110.8 10.8

24.0 102.7 142.5 122.4 102.8 102.8 114.6 17.7

1.0 142.3 102.6 122.4 102.7 102.7 114.5 17.7

2.0 264.1 142.2 142.1 102.7 102.7 150.8 66.4

3.0 320.8 142.1 122.2 102.6 201.5 177.8 88.1

4.0 365.5 161.7 102.3 135.4 201.5 193.3 102.9

5.0 365.3 161.6 102.3 127.3 201.4 191.6 104.0

6.0 396.8 141.8 102.2 152.1 181.5 194.9 116.4

Ketebalan lapisan netral Jakarta - m

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 30.08 30.09 30.11 30.13 30.10 30.10 0.02

19.00 30.05 30.05 29.98 30.05 30.07 30.04 0.04

20.00 30.03 30.03 29.90 30.01 30.04 30.00 0.06

21.00 30.03 29.98 29.88 29.99 30.01 29.98 0.06

22.00 29.92 29.94 29.87 29.97 29.97 29.94 0.04

23.00 29.88 29.89 29.83 29.93 29.92 29.89 0.04

24.00 24.27 24.27 44.35 29.89 29.88 30.53 8.22

1.00 29.81 29.82 44.33 29.86 29.84 32.73 6.48

2.00 29.79 29.79 44.29 29.84 47.98 36.34 9.04

3.00 44.29 29.77 44.26 29.81 102.45 50.12 30.14

4.00 58.72 58.74 44.23 58.92 66.08 57.34 7.98

5.00 58.65 58.70 44.21 44.31 66.00 54.37 9.71

6.00 58.61 58.66 44.20 52.89 65.97 56.07 8.10


(2)

Lampiran 12 Plot ketebalan lapisan stabil malam hari selama 5 hari pemodelan di Jakarta

(BHI = Bundaran HI (DKI1); KG = Kelapa Gading (DKI2); JGK = Jagakarsa (DKI3); LB = Lubang Buaya (DKI4); KJ = Kebun Jeruk (DKI5)


(3)

(4)

Lampiran 13 Variasi ketebalan lapisan stabil harian DKI Jakarta dan Balaraja Tangerang berdasar nilai Ri

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 103.50 103.50 #DIV/0!

19.00 30.08 30.08 102.95 30.07 48.29 36.44

20.00 30.07 30.04 44.99 30.10 33.80 7.46

21.00 30.06 30.02 30.03 30.07 30.04 0.03

22.00 29.98 29.95 30.00 30.01 29.98 0.03

23.00 29.94 29.90 103.01 29.95 48.20 36.54

24.00 29.91 29.87 102.58 54.12 41.97

1.00 29.86 29.85 102.57 102.82 29.87 58.99 39.89

2.00 29.83 29.82 102.46 102.78 66.22 42.03

3.00 935.76 102.73 102.54 380.34 481.00

4.00 934.99 102.35 102.34 102.64 102.38 268.94 372.34

5.00 934.30 102.24 102.28 102.54 327.96 313.86 360.33

6.00 933.95 102.18 102.26 102.50 201.45 288.47 363.38

Ketebalan lapisan stabil BHI - Jakarta (m)

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 30.13 30.13

19.00 30.07 103.37 103.41 78.95 42.33

20.00 102.79 103.19 103.39 103.12 0.31

21.00 30.05 30.00 103.18 39.79 45.21

22.00 30.00 29.98 203.11 64.75 93.62

23.00 29.90 29.90 29.95 29.95 29.92 0.03

24.00 29.85 29.81 102.49 29.92 29.92 44.40 32.47

1.00 29.78 29.80 102.41 29.88 29.86 44.35 32.46

2.00 29.75 29.79 102.33 29.88 47.94 36.26

3.00 935.31 102.25 518.78 589.06

4.00 934.49 102.23 102.67 379.80 480.38

5.00 933.88 102.18 102.20 102.46 201.45 288.43 363.36

6.00 933.51 102.12 102.17 102.47 201.41 288.33 363.21


(5)

Lampiran 13 Lanjutan

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 30.09 30.02 30.06 0.05

19.00 30.04 103.13 30.00 54.39 42.21

20.00 29.99 102.85 102.50 29.98 202.76 93.62 71.02

21.00 102.65 102.69 102.44 29.98 84.44 36.31

22.00 29.86 29.91 29.89 0.04

23.00 29.84 29.88 29.81 102.60 30.15 44.46 32.50

24.00 29.81 29.84 102.36 201.81 29.88 78.74 75.62

1.00 29.81 29.83 29.85 29.83 0.02

2.00 102.41 29.77 66.09 51.36

3.00 934.74 102.34 102.20 29.76 102.33 254.27 381.69

4.00 934.00 102.16 102.20 102.28 310.16 415.89

5.00 933.40 102.14 102.14 102.25 309.98 415.61

6.00 932.74 102.11 517.42 587.35

Ketebalan lapisan stabil JGK - Jakarta (m)

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 30.1 202.5 116.3 121.9

19.00 30.1 30.0 201.7 30.0 73.0 85.9

20.00 30.0 30.0 102.6 30.0 30.0 44.5 32.5

21.00 102.8 102.8 102.5 30.0 30.0 73.6 39.8

22.00 102.6 102.7 102.5 29.9 29.9 73.5 39.8

23.00 29.8 29.8 102.4 102.8 29.9 58.9 39.8

24.00 29.8 102.7 29.9 54.1 42.0

1.00 29.8 102.6 29.8 54.1 42.0

2.00 29.8 102.5 29.8 54.0 42.0

3.00 102.3 29.8 102.4 78.2 41.9

4.00 934.2 102.2 102.3 379.6 480.3

5.00 933.6 102.2 102.3 102.3 934.0 434.9 455.4

6.00 102.1 102.2 102.3 102.4 933.8 268.5 371.9


(6)

Lampiran 13 Lanjutan

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 103.32 103.32

19.00 30.03 103.25 66.64 51.78

20.00 30.01 30.00 102.77 30.02 30.01 44.56 32.54

21.00 29.99 -11.83 30.00 29.99 19.54 20.91

22.00 29.95 -11.83 29.98 29.95 19.51 20.89

23.00 29.91 29.89 -11.83 29.94 29.91 21.57 18.67 24.00 29.89 29.86 102.63 29.90 29.89 44.43 32.53 1.00 29.83 29.81 102.63 29.84 29.83 44.39 32.56 2.00 29.81 29.78 102.47 29.82 29.81 44.34 32.50 3.00 29.78 29.77 102.41 102.68 29.78 58.88 39.86 4.00 935.08 102.36 102.37 29.78 935.08 420.93 470.28 5.00 934.18 102.21 102.31 934.18 518.22 480.31 6.00 933.80 102.17 102.27 102.37 933.80 434.88 455.45

Ketebalan lapisan stabil KJ - Jakarta (m)

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi

18.00 30.11 93.90 62.01 45.11

19.00 30.06 48.31 111.59 59.34 103.41 70.54 35.44 20.00 30.02 48.21 102.66 47.63 79.25 61.55 29.02 21.00 59.10 66.38 64.38 48.30 30.00 53.63 14.96 22.00 44.48 54.21 45.31 64.59 29.97 47.71 12.83 23.00 29.88 29.88 40.12 73.66 29.97 40.70 18.94 24.00 29.87 29.85 102.51 91.07 29.89 56.64 36.88 1.00 29.82 29.82 102.53 66.28 29.85 51.66 32.52 2.00 47.95 29.80 102.42 58.96 29.80 53.79 29.90 3.00 708.90 78.14 102.29 66.24 84.26 207.97 280.33 4.00 934.55 102.28 102.28 78.37 379.91 319.48 365.53 5.00 933.88 102.19 102.25 102.39 599.38 368.02 382.62 6.00 767.22 102.15 102.24 102.42 567.61 328.33 317.48

Ketebalan lapisan stabil rata-rata Jakarta (m)

Waktu hari -1 hari -2 hari -3 hari -4 hari -5 rata-rata

standar deviasi 18.00

19.00 30.07 30.07

20.00 30.03 102.76 30.05 54.28 41.98

21.00 30.00 202.13 30.04 30.01 73.05 86.06 22.00 29.98 30.00 102.73 30.01 29.98 44.54 32.53 23.00 29.94 29.97 102.73 29.98 29.94 44.51 32.55 24.00 29.91 29.93 102.75 29.95 29.90 44.49 32.57 1.00 29.88 29.88 102.73 29.91 29.87 44.45 32.58 2.00 29.85 102.52 202.04 29.88 29.84 78.83 75.72 3.00 29.80 102.43 102.61 29.86 29.81 58.90 39.82 4.00 934.28 201.53 102.52 29.82 29.78 259.59 383.69 5.00 934.26 102.31 102.48 29.79 292.21 429.40

6.00 102.24 102.32 29.77 78.11 41.87