Penyediaan Fasilitas Pendidikan Dasar

2.2 Penyediaan Fasilitas Pendidikan Dasar

  Penyediaan fasilitas pendidikan berupa sekolah adalah salah satu aspek yang paling penting dalam pembangunan pendidikan. Ketersediaan sekolah, menurut Hartono (2005), merupakan pertimbangan utama bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Menurut Sa’ud (2006) dalam Yuniarsih et al. (2008) agar kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dapat terpenuh i maka perlu disediakan lembaga-lembaga dan fasilitas pendidikan.

  Akhmadi et al. (2003) dan Syahza (2008) menyatakan keberlanjutan sekolah seorang siswa juga dipengaruhi oleh penyediaan fasilitas pendidikan. Menurut Suryadharma et al. (2006) jumlah tertinggi angka putus sekolah pada anak-anak di Indonesia terjadi diantara jenjang pendidikan, misalnya banyak lulusan SD yang kemudian tidak melanjutkan studinya ke SMP, menyediakan lebih banyak sekolah akan meningkatkan kemungkinan peserta didik untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi.

  Penyediaan fasilitas pendidikan dasar dapat didefinisikan sebagai pengalokasian fasilitas pendidikan dasar berupa sekolah dalam jumlah, jenis dan daya tampung tertentu guna memberikan kesempatan terhadap seluruh masyarakat Penyediaan fasilitas pendidikan dasar dapat didefinisikan sebagai pengalokasian fasilitas pendidikan dasar berupa sekolah dalam jumlah, jenis dan daya tampung tertentu guna memberikan kesempatan terhadap seluruh masyarakat

  ΣS

  A = ---------

  A = Tingkat ketersediaan (availability) sekolah

  ΣS

  = Jumlah sekolah yang tersedia (supply) ΣD = Jumlah sekolah yang dibutuhkan (demand)

  Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana Untuk Sekolah DasarMadrasah Ibtidaiyah (SDMI), Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah (SMPMTs), dan Sekolah Menengah AtasMadrasah Aliyah (SMAMA) harus disediakan sekurang- kurangnya satu SD dengan enam rombongan belajar untuk 2.000 penduduk atau satu kelurahan, sedangkan pada wilayah berpenduduk lebih dari 2.000 Jiwa maka sarana dan prasarana di SD yang telah ada dapat ditambah untuk melayani tambahan rombongan belajar atau disediakan SD yang baru. Selain itu dalam tiap kecamatan harus ada setidaknya satu SMP. Semua lulusan SD dari kecamatan tersebut harus dapat ditampung oleh SMP yang ada di Kecamatan itu sendiri.

2.2.1 Jumlah dan Jenis Sekolah

  Sekolah harus disediakan dalam jumlah dan jenis yan g mencukupi. Jumlah sekolah merupakan indikator paling umum yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat penyediaan sekolah. Mutmainah et al. (2008) menggunakan indeks aksesibilitas Hansen untuk mengukur ketersediaan (availabilitas) fasilitas pendidikan berdasarkan jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Grobogan. Indeks aksesibilitas Hansen dihitung menggunakan rumus (Tarigan, 2008): Sekolah harus disediakan dalam jumlah dan jenis yan g mencukupi. Jumlah sekolah merupakan indikator paling umum yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat penyediaan sekolah. Mutmainah et al. (2008) menggunakan indeks aksesibilitas Hansen untuk mengukur ketersediaan (availabilitas) fasilitas pendidikan berdasarkan jumlah sekolah yang ada di Kabupaten Grobogan. Indeks aksesibilitas Hansen dihitung menggunakan rumus (Tarigan, 2008):

  A ij = --------

  = Accesibility Index daerah i terhadap daerah j.

  E j

  = Total lapangan kerja di daerah j.

  d

  ij

  = Jarak antara i dan j.

  b = Pangkat dari d ij .

  Indeks aksesibilitas adalah faktor utama bagi seseorang dalam memilih lokasi bertempat tinggal. Faktor jumlah lapangan kerja (E j) , dalam konteks pendidikan oleh Mutmainah et al. (2008) diganti dengan jumlah sekolah yang tersedia.

  Jenis sekolah adalah pengelompokkankategorisasi sekolah berdasarkan bentuk satuan pendidikan, status pengelolaan, standarisasi dan akreditasi sekolah. Menurut Ihsan (1997) satuan pendidikan adalah satuan dalam sistem pendidikan nasional sebagai arena belajar. Satuan pendidikan harus dapat menciptakan suasana yang menunjang perkembangan peserta didik sesuai tujuan dan fungsi sistem pendidikan nasional. Sedangkan jenis pendidikan adalah satuan pendidikan yang dikelompokkan sesuai sifat dan tujuannya.

  Berdasarkan bentuk satuan pendidikannya, sekolah dikdas dibedakan menjadi SD dan SMP. Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu kelas 1 sampai dengan kelas 6. Sedangkan SMP adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar yang terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 7, kelas 8, dan kelas 9 sebagai lanjutan dari SD atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD.

  Berdasarkan statusnya pengelolaannya, sekolah dikdas dapat dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri yaitu sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintahpemerintah daerah sedangkan sekolah Berdasarkan statusnya pengelolaannya, sekolah dikdas dapat dibedakan menjadi sekolah negeri dan sekolah swasta. Sekolah negeri yaitu sekolah yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintahpemerintah daerah sedangkan sekolah

  Bila ditinjau dari aspek standarisasi mutu atau kualitasnya sekolah dapat dibedakan menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM)Sekolah Standar Nasional (SSN) dan Sekolah Non Standar. SKMSSN adalah sekolah yang hampir atau sudah memenuhi standar nasional pendidikan yang meliputi delapan standar yaitu standar isi, standar kompetensi lulusan, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (Depdiknas, 2008). Sekolah non standar berarti sekolah yang belum memenuhi standar nasional pendidikan.

  Secara umum jenis sekolah dapat ditinjau dari aspek akreditasi sekolah. Akreditasi sekolah adalah kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pemerintah danatau lembaga mandiri yang berwenang untuk menentukan kelayakan program danatau satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non -formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang dilakukan dilakukan secara objektif, adil, transparan, dan komprehensif sebagai bentuk akuntabilitas publik dengan menggunakan instrumen dan kriteria yang mengacu kepada standar nasional pendidikan (Sudrajat, 2009).

  Akreditasi tersebut dilaksanakan menggunakan teknik skoring terhadap komponen-komponen penyelenggaraan sekolah (komponen akreditasi) oleh Badan Akreditasi Nasional SekolahMadrasah (BAN SM). Pasal 86 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan perlunya dilakukan akreditasi pada setiap jenjang dan satuan pendidikan untuk menentukan kelayakan program dan atau satuan pendidikan. Berdasarkan ketentuan Permendiknas No. 112009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Sekolah DasarMadrasah Ibtidaiyah (SDMI) dan berdasarkan ketentuan Permendiknas No. 122009 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah (SMPMTs), sekolah dinyatakan terakreditasi jika memenuhi seluruh kriteria berikut:

  1. Memperoleh Nilai Akhir Akreditasi sekurang-kurangnya 56.

  2. Tidak lebih dari dua Nilai Komponen Akreditasi Skala Ratusan <56.

  3. Tidak ada Nilai Komponen Akreditasi Skala Ratusan <40.

  Sekolah dinyatakan tidak terakreditasi jika tidak memenuhi kriteria di atas. Sedangkan pemeringkatan akreditasi sekolah adalah sebagai berikut:

  1. Peringkat akreditasi A (Sangat Baik) jika sekolahmadrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 86 sampai dengan 100 (86 < NA < 100).

  2. Peringkat akreditasi B (Baik) jika sekolahmadrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 71 sampai dengan 85 (71 < NA < 85).

  3. Peringkat akreditasi C (Cukup Baik) jika sekolahmadrasah memperoleh Nilai Akhir Akreditasi (NA) sebesar 56 sampai dengan 70 (56 < NA < 70).

  Pada perkembangannya kemudian diperkenalkan juga konsep-konsep seperti sekolah unggulan, sekolah kawasan, sekolah berstandar internasional (SBI) atau sekolah nasional berstandar internasional (SNBI). Menurut Nurkolis (2002) dalam Yuniarsih et al. (2008) sekolah unggul adalah sekolah yang meningkatkan kinerjanya secara terus menerus dan menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mengembangkan prestasi peserta didik. Keunggulan sekolah juga terletak pada bagaimana cara pengelolaan sekolah sebagai organisasi.

  Menurut Sahudi (2008) dalam Yuniarsih et al. (2008) sekolah kawasan adalah sekolah yang dibentuk berdasarkan kedekatan geografis. Konsep sekolah kawasan dianggap mampu mewujudkan pemerataan mutu dan menghilangkan kesenjangan pendidikan. Sekolah kawasan diharapkan dapat mengatasi kurangnya pemerataan siswa. Selama ini siswa hanya mendaftar di sekolah tertentu sehingga ada sekolah yang memiliki pendaftar berlimpah sementara disisi lain ada sekolah yang kekurangan pendaftar. Program sekolah kawasan menyangkut tiga hal yang meliputi peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, manajemen sekola h, dan sistem pembelajaran. Sekolah berstandar internasional (SBI) adalah sekolah yang telah memenuhi standar nasional pendidikan dan penyelenggarakan serta l ulusan berciri internasional. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan minimal satu buah satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan sebagai satuan pendidikan bertaraf internasional. (Yuniarsih et al, 2008).

  Indeks Aksesibilitas Hansen dalam konteks pendidikan, terkait dengan jumlah dan jenis sekolah, dapat dituliskan sebagai berikut (Analisis, 2010):

  (S j ) (R sj ) (R aj )

  A j = ----------------------

  = Accesibility Index daerah j.

  S j

  = Jumlah sekolah di daerah j.

  R sj

  = Rasio sekolah yang terstandarisasi SKMSSN di daerah j.

  R aj

  = Rasio sekolah yang terakreditasi di daerah j.

  d

  ij

  = Jarak, digunakan jarak rata-rata antar Kecamatan.

  b = Pangkat dari d ij , ditetapkan 2.

2.2.2 Daya Tampung Sekolah

  Nugroho dan Dahuri (2004) mengatakan Berry dan Garrison merumuskan ukuran wilayah pasar sebagai jumlah individu minimal yang diperlukan agar kegiatan ekonomi dapat berlangsung. Menurut Blair (1981) dalam Nugroho dan Dahuri (2004) jumlah individu minimal tersebut berkaitan dengan volume, kapasitas atau intensitas tempat kegiatan produksi, contohnya rumah sakit memiliki wilayah pasar sebesar 1.159 jiwa, taksi 762 jiwa, Sekolah Dasar 322 jiwa dan lain sebagainya. Dalam konteks pendidikan, wilayah pasar dapat disamakan dengan daya tampung sekolah. Daya tampung sekolah adalah kemampuan atau kapasitas sekolah menerima peserta didik dalam jumlah optimal.

  Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah DasarMadrasah Ibtidaiyah (SDMI), Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah (SMPMTs), dan Sekolah Menengah AtasMadrasah Aliyah (SMAMA) Satu SD harus memiliki sarana dan prasarana yang dapat melayani minimum 6 rombongan belajar (rombel) dan maksimum 24 rombel dan Satu SMP memiliki sarana dan prasarana yang dapat melayani minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor. 3 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Dasar (SD)Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)Madrasah Aliyah (MA) jumlah peserta didik Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana untuk Sekolah DasarMadrasah Ibtidaiyah (SDMI), Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah (SMPMTs), dan Sekolah Menengah AtasMadrasah Aliyah (SMAMA) Satu SD harus memiliki sarana dan prasarana yang dapat melayani minimum 6 rombongan belajar (rombel) dan maksimum 24 rombel dan Satu SMP memiliki sarana dan prasarana yang dapat melayani minimum 3 rombel dan maksimum 27 rombel. Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor. 3 Tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah Dasar (SD)Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)Madrasah Aliyah (MA) jumlah peserta didik

  Salah satu parameter yang menggambarkan daya tampung suatu sekolah adalah rasio siswa per kelas. Rumusnya adalah sebagai berikut (Husaini, 2006):

  Dimana: R

  = Rasio Siswa Per Kelas

  ΣS

  = Jumlah Siswa pada jenjang pendidikan tertentu ΣK = Jumlah Kelas pada jenjang pendidikan tertentu

2.2.3 Kesesuaian Lahan Sekolah

  Lokasi sekolah harus mempertimbangkan kesesuaian lahan agar siswa dapat belajar dengan baik dan tenang. Sekolah sebaiknya tidak terletak pada tapak yang memiliki guna lahan dan atau aktivitas lingkungan berbahaya, berdampak negatif, dan tidak mendukung proses pendidikan. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian lokasi tapak sebagai lokasi sekolah maka perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan atau evaluasi lahan. Menurut Ritung et al. (2007) Kesesuaian lahan adalah tingkat kesesuaian sebidang lahan untuk penggunaan tertentu, analisis ini dapat dilakukan untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan kondisi lahan (kesesuaian lahan potensial) sedangkan evaluasi lahan merupakan suatu proses penilaian sumber daya lahan menggunakan pendekatancara yang telah teruji. Evaluasi lahan akan memberikan informasi dan atau arahan penggunaan lahan. 3 Karakteristik lahan yang berkaitan erat untuk keperluan evaluasi lahan adalah topografi, tanah dan iklim. Karakteristik - karakteristik tersebut, khususnya topografi dan tanah adalah unsur pemben tuk satuan peta tanah.

  Menurut Notohadiprawiro (1991) istilah kesesuaian lahan berkonotasi ekonomi karena penilaian kesesuaian lahan dimaksudkan untuk mengetahui pengelolaan yang diperlukan agar diperoleh rasio yang lebih baik antara input dan output lahan, baik berdasarkan pengalaman maupun berdasarkan antisipasi.

  Analisis kesesuaian lahan erat kaitannya dengan pertanian. Food And Agriculture Organization (FAO) (1976) dalam Notohadiprawiro (1991) mengklasifikasikan kesesuaian lahan berdasarkan 2 ordo yakni S (suitablesesuai) dan N ((not suitable tidak sesuai). Ordo terbagi lagi dalam kelas, sub kelas dan unit.

  Menurut Chiara dan Koppelman (1990) sekolah harus terletak pada lokasi yang tidak terganggu hiruk pikuk aktifitas perdaganganbisnis sehingga seb aiknya tidak berdekatan dengan pusat perbelanjaan atau pertokoan. Sekolah harus terhindar dari kebisingan, bau-bauan, debu dan lalu lalang kegiatan industri dan lalu lintas jalan raya. Ukuran tapak sebaiknya mampu mewadahi semua kegiatan belajar mengajar (KBM) saat ini dengan baik dan masih dapat mewadahi kemungkinan pertambahan aktifitas KBM dimasa mendatang. Untuk itu ukuran

  tapak sebaiknya memenuhi ketentuan minimum 10 acre (± 40.468 m 2 ) untuk SD ditambah 1 acre (± 4.046,8 m 2 ) untuk setiap 100 murid serta 20 acre untuk SMP

  ditambah 1 acre untuk setiap 100 murid. Selain itu ukuran tapak juga masih memungkinkan penyediaan area bermain bagi anak-anak. Disisi lain, Claire (1973) mengatakan bahwa sebagian besar otoritas di Amerika mensyaratkan luas minimal untuk SD adalah 5 acre dengan tambahan 1 acre untuk setiap 100 murid. Pada aspek sifat khas tapak, sebaiknya sekolah terletak pada tapak dengan bentuk persegi atau persegi panjang daripada bentuk yang tidak beraturan, memiliki view yang baik, terdapat sifat khas yang berguna bagi pendidikan serta ukuran yang tidak mengurangi keleluasaan perencanaan. Lokasi sekolah juga sebaiknya memiliki akses yang baik terhadap utilitas kota (Chiara dan Koppelman, 1990).