Bapak Hasan Pasaribu Ibu Uli Aritonang

58 Beliau berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan dengan adat adalah sebuah pernikahan yang melibatkan tradisi budaya Batak Toba, yakni pernikahan proses adat. Dimana, prosesi adat itu harus melewati beberapa tahap termasuk yang disebut dengan Martandang, Manjalo Tanda, Marhusip, Marhata, Sinamot, PaulakUne dan lain sebagainya dan tidak bisa dipungkiri pernikahan dengan adat dengan adat akan banyak sekali mengeluarkan materi, sementara pernikahan tanpa adat lebih kepada pernikahan yang sederhana, yang tidak membutuhkan materi yang berlebihan. Dalam lingkungan kehidupan sehari-hari yang dijalani beliau, semua sangat wajar kondisinya.Tidak ada masalah dalam kehidupan sosialisasinya.Semua berjalan dengan baik.Hanya saja para tetangga selalu mengusulkan bila sudah memiliki rejeki agar segera menggelar acara adat perkawinannya, dengan alasan supaya lebih nyaman dan lebih kepada menghargai keluarga pihak istri saja.

2. Bapak Hasan Pasaribu Ibu Uli Aritonang

Bapak Hasan Pasaribu adalah seorang petani dengan umur 39 tahun, beliau Menikah dengan ibu Uli Aritonang 37 tahun yang memiliki pekerjaan sebagai petani sekaligus berdagang.Keluarga bapak Hasan sudah menikah selama 13 tahun lamanya dan dikaruniai 4 orang anak.Perkawinan yang dilakukan oleh Bapak Hasan ini adalah perkawinan tanpa adat disebabkan oleh keluarga dari Ibu Aritonang tidak direstui pernikahan.Bapak Hasan Pasaribu berpendapat perkawinan itu adalah pernikahan yang memiliki nilai yangs sangat sakral keberadaannya, sebuah pernikahan tidak dapat dinilai dengan seberapa besar adat yang dijalankan khususnya dalam tradisi Batak tetapi sejauh mana sebuah keluarga mempertanggungjawabkan perkawinan yang di jalankan. Universitas Sumatera Utara 59 Beliau menjelaskan bahwa stratifikasi dikenal dalam masyarakat Batak Toba.Dahulu menurut beliau adalah Raja yang menduduki status sosial yang paling tinggi dalam masyarakat. Bila dahulu raja menduduki tingkat sosial yang paling tinggi dalam masyarakat , namun saat ini Raja Parhata merupakan lapisan sosial yang paling atas dalam masyarakat Batak Toba. Perbedaan antara Raja dan raja parhata mencakup ruang lingkup yang luas baik itu masalah aturan Huta membuat kebijakan dalam suatu wilayah untuk masyarakat itu lah kekuasaan dari pada raja, sedangkan raja parhata yang sampai saat ini dikenal hanya kekuasaannya berfungsi bila ada suatu acara adat Batak ia yang menjadi penceramah, penasihat dan memberi saran kepada masyarakat Batak yang hadir. Orang yang melaksanakan pesta adat akan mengundang raja parhata untuk menyampaikan pencerahan dan nasehat. Parpesta menurut beliau menduduki tingkatan sosial menengah, sedangkan parhobas dalam acara adat menduduki tingkatan sosial paling bawah. Peran dari parhobas dalam acara adat hanya melayani para tamu yang melaksanakan pesta, biasanya parhobas diambil di datangkan dari huta atau dari kampung tempat tinggal dari pihak laki-laki dan perempuan Kalau jaman dahulu sistem pemerintahan dipengang oleh seorang Raja yang mempunya kekuasan tertinggi dalam masyarakat, namun saat ini sistem pemerintahan raja tidak berlaku lagi, menurut beliau raja parhata masih dianggap memiliki kekuasaan tertinggi dalam masyarakat Batak, selama adat masih hidup dalam diri masyarakaat Batak maka yang menjadi kekuasaan tertinggi ada pada seorang raja parhata.Pengangkatan seorang raja parhata itu menurut beliau dilihat dari kemampuannya dalam menyatukan maupun menyesuaikan adat Batak pertama sekali muncul hingga saat ini tanpa memandang apakah seseorang itu masih muda atau sudah lanjut umur. Universitas Sumatera Utara 60 Bapak Hasan Pasaribu berpendapat bahwa beliau adalah putra asli Batak Toba, demikian juga halnya dengan Ibu Aritonang.Mereka sangat paham dengan adat Batak. Dalam adat Batak banyak hal yang perlu dipertimbangkan terutama dalam hal adat perkawinan, ada unsur dalihan na tolu yang dilibatkan dan banyak hal lainnya. Sebagai seorang Batak, Bapak Pasaribu tidak memungkiri betapa beliau bangga menjadi orang Batak yang sesungguhnya dan beliau mengakui bahwa ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi tradisi Batak dan hal ini terbukti dari kenyataan bahwa orangtua dari Bapak Pasaribu merupakan salah satu “ Raja Batak” yang lumayan dikenal terutama di lingkungan sekitar tempat tinggal mereka. Bapak Pasaribu memiliki alasan melakukan pernikahan tanpa prosesi adat, disamping tidak dapat restu dari pihak istri juga faktor ekonomi yang tidak memadai.Bapak Pasaribu mempercayai dalam posisi perkawinan adat Batak membutuhkan biaya yang sangat besar disamping itu prosesi perkawinan adat Batak membutuhkan waktu yang cukup lama.Selain faktor ekonomi ada juga suatu kecelakaan yang sangat fatal bagi para pemuda yang dimana pasangan beliau telah hamil diluar nikah sebelum ada acara pernikahan. Tanggapan keluarga Bapak Pasaribu terhadap perkawinan yang dilakukannya tanpa prosesi adat menimbulkan berbagai spekulasi antara menyetujui dan tidak, kendala inilah yang dihadapi saat ini, terutama terhadap keluarga istri Bapak Pasaribu sebagai hula-hula yang seharusnya dalam dasar dalihan na tolu, pihak hula-hula yang paling dihormati somba marhula- hula. Pada dasarnya yang menjadi kendala paling utama dalam kehidupan rumahtangga adalah kurangnya keharmonisan atau kekompakan antara keduabelah pihak keluarga dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga karena tidak adanya campur tangan prosesi adat dalam pernikahan sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 61 Bapak Hasan ketika dimintai keterangan tentang arti perkawinan oleh penulis.Beliau mengakui bahwa dia adalah seorang Batak dan bahkan mengaku cukup mengerti tentang adat Batak.Menurut beliau orangtuanya adalah sosok orangtua yang cukup menjunjung tinggi adat, dan diakui bahwa beliau dibesarkan dalam tradisi Batak yang cukup kuat. Langkah yang diambil oleh Bapak Pasaribu untuk nikah tanpa proses adat Batak menimbulkan berbagai masalah, salah satunya ketidaksetujuan pihak istrinya dan terutama keluarganya sendiri. Rencana pernikahan itu ditentang habis-habisan oleh kedua belah pihak keluarga, tetapi berdasarkan pendekatan yang mereka lakukan dan memang memakan waktu yang cukup lama, pada akhirnya disetujui walaupun pada dasarnya sangat bertentangan dengan keluarga.Pihak dari istri bapak Hasan Pasaribu sebenarnya sangat berharap agar pernikahannya dilakukan dengan jalan mangadati atau diberlakukannya prosesi adat di dalamnya, sehingga pernikahan Bapak Hasan Pasaribu sempat tidak disetujui oleh pihak keluarga istri beliau. Hingga saat ini berdasarkan penjelasan beliau hubungan kekerabatan antara beliau tetangga yang bersuku Batak Toba dan juga dengan keluarga biasa-biasa saja, pertentangan pandangan pasti ada antara beliau dengan keluarga tetapi tidak sampai konflik yang berkepanjangan. Pertentangan pandangan itu akan terjadi antara keluarga beliau pada saat menghadiri pesta adat yang ada pada keluarga maupun lingkungan, bila seharusnya secara adat mengharuskan beliau untuk “ Mangulosi” atau memberi ulos pada pihak yang mangadakan pesta beliau tidak akan memberikannya tetapi menggantikannya dengan sumbangan yang dianggapnya pantas untuk diberikan sehingga hal ini akan diperbincangkan antara lingkungan keluarga. Hal ini merupakan suatu kendala yang dihadapi oleh beliau dalam proses menjalani rumahtangganya Universitas Sumatera Utara 62 Pernikahan yang dilakukan dengan adat memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan pernikahan tanpa adat, dimana pernikahan adat membawa unsur yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat Batak yaitu unsur Dalihan Na Tolu dan juga berbagai proses adat seperti mangulosi memberi ulos, marbagi jambar pembagian jambar dan masih banyak tahapan lain harus dijalani. Sedangkan pernikahan tanpa adat cukup hanya mengandalkan acara pemberkatan gereja maka pernikahan telah sah adanya. Dalam kehidupan Dalam bersosialisasi dengan masyarakat, menurut pangakuan Bapak Hasan semuanya baik berjalan dengan lancar.masyarakat sekitar memahami alasan beliau untuk tidak andil dalam “paradatan” orang Batak. Perbedaan antara keluarga yang melakukan pernikahan dengan acara adat dengan yang tidak, tentunya ada tetapi tidak terlalu mencolok terasa. Pernikahan yang dilakukan dengan adat diakui kepada tujuan mempererat hubungan kekeluargaan dalam cinta kasih dan kepedulian antara orangtua, saudara dan masyarakat sekitarnya terhadap anak yang dicintainya, hal ini dapat dilihat dari symbol pemberian “ ulos” pada saat pesta adat. Dalam siklus ruamahtangga yang dijalani sehari-hari, Bapak Pasaribu berpendapat tidak ada kendala maupun perbedaan yang mencolok dirasakan oleh keluarganya, hanya saja keakraban antara keluarga memang beda bila dibandingkan dengan keluarga- keluarga yang menjalani prosesi adat pada saat pernikahannya.

3. Bapak Hotman Manalu