Saran Strategy of capture fisheries development in nunukan regency East Kalimantan, Indonesia-Malaysia Border

Lampiran 2. Nilai produksiproduksi hasil tangkapan berdasarkan jenis ikan No Nama Ikan Nilai produksiproduksi Nama Indonesia Nama Latin 2005 2006 2007 2008 2009 2010 1 Bawal putih Pampus argenteus 15.000 15.000 15.000 75.000 32.000 50.000 2 Udang windu Penaeus monodon 80.000 79.719 84.878 40.000 50.000 50.000 3 Kurau Eleutheronema tetradactylum 37.500 37.500 37.500 20.000 53.000 35.000 4 Udang putih Penaeus merguiensis 14.969 15.000 17.628 25.000 32.000 32.998 5 Bawal hitam Formio niger 50.000 42.000 50.000 75.000 56.042 31.460 6 Madidihang Thunnus albacares 32.000 25.000 7 Teri Stolephorus spp 3.500 10.000 12.000 24.996 8 Kakap putih Lates calcarifer 18.750 18.750 18.750 22.000 20.915 9 Kakap merahbambangan Lutjanus spp 30.000 13.500 20.092 10 Kuweputih Caranx spp 10.000 10.000 10.000 301.190 25.000 20.027 11 Ikan baronang Siganus guttatus 20.000 12 Udang lainnya 19.167 13 Tenggiri Scomberomorus commerson 8.489 8.500 8.500 30.000 21.000 18.000 14 Kerapu lumpur Epinephelus tauvina 18.000 24.000 18.000 15 Udang bintik 6.000 6.000 6.000 15.000 15.000 17.618 16 Kepiting Scylla serrata 7.500 7.500 7.814 12.500 15.000 13.059 17 Kurosenangin Polynemus spp 7.500 7.500 7.500 18.000 24.000 11.000 18 Tongkol krai Auxis thazard 11.000 19 Pari kembangpari macan Dasyatis spp 1.750 1.750 1.750 5.000 15.000 10.000 20 Belanak Mugil cephalus 6.000 9.000 10.000 21 Arut gerot-gerot Pomadasys maculatus 8.002 8.000 8.000 20.000 19.172 7.837 22 Otek-otekLelle Laut 2.000 2.000 2.028 2.000 8.608 7.263 23 Ikan lainnya 1.000 7.000 24 Alu- alumanggilalapucul Sphyraena barracuda 5.051 25 Ekor KuningPisang- pisang Caesio cuning 7.000 4.733 26 Selangat Anodonstoma chacunda 2.500 2.500 2.500 2.000 3.800 3.500 27 Gulamahtigawaja Nibea albiflora 2.500 2.500 2.500 3.687 8.000 3.000 28 Selar Selaroides spp 3.000 29 Pari burungayam Myliobatus spp 1.750 1.750 1.750 5.000 30 Daun BambuTalang- talang Chorinemus spp 2.000 2.000 2.000 6.000 Lanjutan Lampiran 2 No Nama Ikan Nilai produksiproduksi Nama Indonesia Nama Latin 2005 2006 2007 2008 2009 2010 31 Golok-golok Chirocentrus dorab 2.000 2.000 2.117 32 Kerapu bebek Cromileptes altivelis 40.022 40.002 39.719 33 Puput 2.000 2.000 2.000 34 Udang barong Panulirus versicolor 50.109 49.988 50.000 9 50.000 35 Tembaring Lutjanus argentimaculatus 2.000 2.000 2.000 36 Cakalang Katsuwonus pelamis 20.000 37 Binatang lunak lainnya 5.000 38 Nomei Harpadon nehereus 2.000 2.000 2.000 1.000 Lampiran 3. Perhitungan skoring komoditas unggulan Nama Ikan P ro d u k si sk o r p ro d u k si ta h u n t er ak h ir ra ta -r at a p er tu m b u h an sk o r p er tu m b u h an p ro d u k si sk o r k o n ti n u it as N il ai p ro d u k si p ro d u k si S k o r n il ai p ro d u k si p ro d u k si N il ai LQ sk o r LQ Ju ml ah S k o r 1 udang putih 173 5 197,32 5 5 32.998 4 0,30 1 20 2 Bawal Hitam 79 4 37,04 5 5 31.460 4 3,84 2 20 3 Teri 1.442 5 130,82 5 4 24.996 3 2,69 2 19 4 tenggiri 299 5 65,87 5 5 18.000 2 2,57 2 19 5 Bawal Putih 9 1 34,93 5 5 50.000 5 6,07 3 19 6 udang bintik 941 5 75,87 5 5 17.618 2 DIV0 1 18 7 kerapu lumpur 14 1 27,49 5 5 18.000 2 16,22 5 18 8 Arut gerot-gerot 160 5 -7,47 1 5 7.837 1 18,34 5 17 9 KuwePutih 30 2 681,38 5 5 20.027 3 4,47 2 17 10 pari kembangpari macan 30 2 52,63 5 5 10.000 1 6,01 3 16 11 Kurau 24 1 -1,57 1 5 35.000 4 37,92 5 16 12 kurosenangin 86 4 6,53 2 5 11.000 2 2,58 2 15 13 kepiting 76 4 -24,19 1 5 13.059 2 5,52 3 15 14 kakap merahbambangan 216 5 2,78 2 3 20.092 3 1,66 1 14 15 udang windu 6 1 -35,43 1 5 50.000 5 3,30 2 14 16 Otek-otekLelle Laut 125 5 2,60 2 5 7.263 1 DIV0 13 17 Selangat 23 1 82,51 5 5 3.500 1 2,47 1 13 18 Gulamahtigawaja 65 3 -12,46 1 5 3.000 1 1,63 1 11 19 Belanak 59 3 -3,65 1 3 10.000 1 6,35 3 11 20 Kakap putih 20 1 -45,51 1 4 20.915 3 2,79 2 11 21 pari burungayam 1 43,38 5 3 1 0,00 1 11 22 Ekor KuningPisang- pisang 2 1 -98,74 1 2 4.733 1 2,52 2 7 23 madidihang 1 -98,75 1 1 25.000 3 0,10 1 7 24 Daun BambuTalang- talang 1 -2,50 1 3 1 0,00 1 7 25 Nomei 1 -45,95 1 3 1 0,00 1 7 26 alualumanggilalapucul 20 1 0,00 1 2 5.051 1 2,37 1 6 27 Tongkol krai 20 1 0,00 1 1 11.000 2 0,00 1 6 28 ikan baronang 4 1 0,00 1 1 20.000 2 0,22 1 6 29 udang lainnya 3 1 0,00 1 1 19.167 2 0,00 1 6 30 Selar 1 1 0,00 1 2 3.000 1 0,01 1 6 31 Golok-golok 1 -35,36 1 2 1 0,00 1 6 32 kerapu bebek 1 -32,30 1 2 1 0,00 1 6 33 puput 1 -32,90 1 2 1 DIV0 1 6 34 udang barong 1 -49,90 1 2 1 1,08 1 6 35 Tembaring 1 -32,65 1 2 1 DIV0 1 6 37 Cakalang 1 - 100,00 1 1 1 0,51 1 5 Kriteria Penilaian Skor Produksi Rata-rata pertumbuhan Nilai produksiproduksi LQ Kontinuitas 1 kurang dari 25 ton kurang dari 0 kurang dari 10.000 kurang dai 2,5 1 tahun 2 25-50 ton 1-5 10.000-20.000 2,5 sampai 5 2 tahun 3 50-75 ton 5-10 20.000-30.000 5-7,5 3 tahun 4 75-100 ton 10-15 30.000-40.000 ,5-10 4 tahun 5 diatas 100 ton diatas 15 diatas 40.000 diatas 10 5 tahun Lampiran 4. Struktur Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal Propinsi Propinsi Kalimantan Timur Kapala Badan Sekretaris Subbag Perencanaan Program Subbag Adm Umum Subbag Keuangan Kelompok Fungsional Bid Pembinaan Ekonomi Dunia Usaha Bid Peningkatan Infrastruktur Bid Pengemb Kaw Perbatasan dan Daerah Terpencil Bid Pembinaan sosial Subid PengembPedes aan dan Daerah Terpencil Subid Pengawasan Daerah Perbatasan Subid Peningkatan Pengemb Sosek dan Energi Subid Peningkatan Pengemb Transportasi, Informasi dan Telekomunikasi Subid Kelembagaan Ekonomi, Kemitraan Usaha dan Pendanaan Subid Investasi dan UKM Subid Lembaga Sosial Subid Kebudayaan Lampiran 5. Struktur organisasi Biro Perbatasan, Penataan Wilayah Dan Kerjasama Biro Kerjasama dan Penataan Wilayah Bagian Kerjasama Bagian Kerjasama Bagian Penataan Wilayah Sub Bagian Tapal Batas Sub Bagian Sengketa Antar Wilayah Sub Bagian Kerjasama Luar Negeri Sub Bagian Kerjasama Dalam Negeri Sub Bagian Pengembangan Wilayah Sub Bagian Toponimi Sub Bagian Lampiran 6 Peraturan menteri Kelautan dan Perikanan No 6 Tahun 2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara Lampiran 7 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.14Men2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.06Men2008 tentang Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara Lampiran 8 Dokumentasi penelitian a Kapal penangkap ikan milik nelayan Nunukan b Kapal patrol TNI Angkatan Laut c Bangunan pos retribusi Dinas Perikanan dan Kelautan di Sebatik d Kondisi dermaga PPI Sebatik e Perkampungan nelayan f Suasana di pelabuhan penumpang antar pulau di Sebatik g Armada penangkapan ikan trawl di Tawau Malaysia h Pasar ikan Tawau i Tempat pelelangan ikan Tawau j Pabrik es Tawau k Dermaga pelabuhan Tawau l Pusat perbelanjaan hasil pertanian dan kebutuhan melaut ABSTRACT IIN SOLIHIN. Strategy of Capture Fisheries Development in Nunukan Regency East Kalimantan, Indonesia-Malaysia Border. SUGENG HARI WISUDO, DRAJAT MARTIANTO and JOHN HALUAN The aims of this research are i to analyse the development of fishery product marketing ii to analyse the development of capture fishery production iii to analyse the development of capture fishery institutions iv to analyse the development of fishery strategic environment and v to formulate development strategy for capture fishery in the border area. The location of this research is Nunukan Regency, East Kalimantan. Survey to the capture fishery areas centers in both Nunukan Regency, Indonesia and Tawau, Malaysia – the area exactly in the border of Nunukan, was conducted in order to investigate the capture fishery conditions. Data were taken from March – April 2009 and then in Januari 2010. The catch marketing still have not give sufficient price for Nunukan’s fisher because there is a relatively large dependence of the fishers in Nunukan District to the owners of capital from Tawau through Nunukan middle men. Fishing productivity relatively small namely, 95 kg catching trip, and fisher productivities only reach approximately 3,97kgday. Superior commodities in Nunukan Regency include white shrimp Penaeus merguiensis, black pomfret Formio niger, anchovies Stolephorus spp, narrow-barred Spanish mackerel Scomberomorus commerson,silver pomfret Pampus argenteus,, Greasy rockcod Epinephelus tauvina,, Spotted javelinfish Pomadasys maculatus, jack trevallies Caranx spp, stingrays Dasyatis spp, four finger treadfin Eleutheronema tetradactylum. The problems are the fishing port has not functioned as a supporting infrastructure for capture fisheries and the IUU Fishing. There is no specific regulatin about capture fisheries management in the border area comprehenshiply. Achivement for capture fisheries management in border area are i to increase fisher’s and state’s income by improving catch trade system to abroad ii keeping fish resouces in the border area waters by IUU Fishing handling and imroving cooperation between Indonesia Malaysia in fisheries resources utilization. Nunukan regional economic have adventages to support capture fisheries development but there is infrastructure problems to support fisheries resources utilization. Strategies for capture fisheries development consist of i developing master plan blue print of capture fisheries development in the border area, ii strengthening fisher’s institutions, iii increasing fisher’s skill iv strengthening f isher’s financial capital v increasing fleetboat capacity to cruise over seas vi optimalization fishing port function and accelerating fishing port and fish processing industry development vii optimalization to prevent illegal fishing practices viii optimalization role fishery mentoring ix cooperation to manage capture fisheries resources in border regions between Indonesia and Malaysia government x reformulating fisher collaboration system. Key word: capture fisheries, border area, strategic, Nunukan RINGKASAN IIN SOLIHIN. Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap di Wilayah Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur, Perbatasan Indonesia - Malaysia. Dibimbing oleh SUGENG HARI WISUDO, DRAJAT MARTIANTO dan JOHN HALUAN Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terdapat 92 pulau terluar. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagian besar wilayah terluar Indonesia adalah sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dipahami mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dimana aspek kelautan menjadi sangat dominan. Sangat menungkinkan apabila sektor perikanan dan kelautan dapat menjadi basis dan andalan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut. Namun demikian, dalam kenyataannya wilayah-wilayah perbatasan dengan basis perikanan belum banyak yang berkembang. Terbatasnya akses dari dan ke wilayah tersebut menyebabkan aktifitas perekonomian dan pembangunan pada umumnya belum optimal dilaksanakan. Di sisi lain akses dari wilayah tersebut ke negara tetangga relatif lebih baik. Hal ini menyebabkan interaksi antara masyarakat Indonesia di wilayah terluar tersebut dengan masyarakat negara tetangga lebih intensif dibandingkan dengan masyarakat lain di dalam wilayah Indonesia. Kondisi seperti yang digambarkan di atas juga terjadi di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Potensi pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini diperkirakan masih relatif besar. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang baik, tidak hanya akan mengurangi kerugian negara akibat pencurian ikan oleh nelayan-nelayan asing, tetapi lebih dari itu akan memberikan dampak yang besar bagi peningkatan kesejahteraan pelaku perikanan khususnya dan masyarakat Nunukan pada umumnya. Mengingat karakteristik fisik dan masyarakat yang relatif unik dibandingkan dengan wilayah lain, maka perlu dibangun model pengembangan perikanan tangkap tertentu yang tidak hanya memperhatikan karakteristik potensi perikanan yang ada, tetapi juga aspek-aspek yang perbatasan perlu mendapat penekanan. Penelitian ini bertujuan i menganalisis pengembangan pemasaran hasil tangkapan ikan, ii menganalisis pengembangan produksi penangkapan ikan, iii menganalisis pengembangan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap, iv menganalisis pengembangan lingkungan strategis pengembangan perikanan tangkap dan v merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan Dalam rangka melihat kondisi perikanan tangkap maka dilakukan survey ke wilayah-wilayah konsentrasi perikanan tangkap di Nunukan dan daerah Tawau Malaysia yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Indonesia di wilayah tersebut. Pengambilan data dilakukan pada Maret – April 2009 dan bulan Januari 2010. Pemasaran hasil tangkapan yang ada saat ini belum memberikan harga yang memadai bagi para nelayan Nunukan. Hal ini disebabkan karena adanya keterikatan antara nelayan dengan pemilik modal dari Tawau melalui pedagang- pedagang pengumpul yang menjadi kepanjangan tangan pemilik modal tersebut. Produktifitas penangkapan nelayan Nunukan masih relatif rendah yang ditunjukkan oleh nilai produktifitas alat tangkap maupun produktifitas nelayan yang masing-masing baru mencapai 95 kgharialat tangkap dan 3,97 kgnelayanhari. Komoditas unggulannya di Kabupaten Nunukan adalah udang putih Penaeus merguiensis, bawal hitam Formio niger, teri Stolephorus spp, tenggiri Scomberomorus commerson, bawal putih Pampus argenteus, udang bintik, kerapu lumpur Epinephelus tauvina, arut gerot-gerot Pomadasys maculatus, kuweputih Caranx spp, pari kembangpari macan Dasyatis spp dan Kurau Eleutheronema tetradactylum. Permasalahan yang dihadapi adalah pelabuhan perikanan belum berfungsi sebagai prasarana pendukung penangkapan ikan dan adanya praktek IUU Fishing. Belum adanya peraturan yang spesifik mengatur mengenai pengelolaan perikanan tangkap di perbatasan secara komprehensif. Tujuan pengelolaan perikanan di perbatasan adalah i meningkatkan pendapatan nelayan dan negara melalui penyempurnaan sistem perdagangan hasil tangkapan ke luar negeri ii menjaga kelestarian sumberdaya ikan di wilayah perairan perbatasan melalui penanganan praktek IUU Fishing dan meningkatkan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Kondisi ekonomi wilayah mempunyai keunggulan dan mendukung pengembangan perikanan tangkap. Namun demikian aspek infrastruktur yang relatif terbatas menjadikan kendala dalam pengembangan perikanan tangkap. Strategi pengembangan perikanan di wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan meliputi i penyusunan kebijakan pengelolaan berupa masterplan atau blue print pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan, ii penguatan kelembagaan nelayan, iii peningkatan keterampilan nelayan, iv penguatan permodalan nelayan, v meningkatkan daya jangkau penangkapan vi optimalisasi fungsi dan percepatan pembangunan pelabuhan perikanan dan industri pengolahan, vii optimalisasi penananganan IUU fishing viii optimalisasi peran penyuluh perikanan ix kerjasama pengelolaan dalam bidang perikanan tangkap antara pemerintah Malaysia dan Indonesia x formulasi ulang sistem kemitraan nelayan. 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan kesejahteraan antar kelompok masyarakat dan wilayah. Namun demikian sampai saat ini kesejahteraan masih belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Disamping itu, seiring dengan pembangunan ekonomi yang semakin berorientasi kepada mekanisme pasar serta adanya pergeseran struktur perekonomian, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia merupakan hal yang sulit dihindari. Kesenjangan antar daerah terjadi terutama antara perdesaan dan perkotaan, antara Jawa dan luar Jawa, antara Kawasan Barat Indonesia dan Kawasan Timur Indonesia serta antara kawasan hinterland dengan kawasan perbatasan. Berbagai bentuk kesenjangan yang timbul meliputi kesenjangan tingkat kesejahteraan ekonomi maupun sosial. Kesenjangan yang ada juga diperburuk oleh faktor tidak meratanya potensi sumber daya terutama sumber daya manusia dan sumber daya alam antara daerah yang satu dengan yang lain, serta kebjakan pemerintah yang selama ini terlalu sentralistis baik dalam proses perencanaan maupun pengambilan keputusan. Salah satu ketimpangan pembangunan adalah antara wilayah-wilayah terluar yang merupakan perbatasan dengan negara-negara tetangga dengan wilayah-wilayah dalam. Kondisi sebagian besar wilayah terluar masih sangat jauh dari memadai dibandingkan dengan wilayah lainnya. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan ini adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Sementara itu pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah. Hal ini tentu menjadi sangat krusial mengingat besarnya tekanan-tekanan dari negara lain terhadap wilayah terluar ini berupa tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat pada wilayah-wilayah tertentu bahkan lebih mengenal dan berinteraksi dengan masyarakat negara tetangga daripada dengan masyarakat Indonesia sendiri. Apabila hal tersebut dibiarkan bukan tidak mungkin akan mengancam integritas Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa. Beberapa kasus sengketa perbatasan menunjukkan betapa kerugian yang cukup besar dialami Indonesia karena kehilangan wilayah-wilayah perbatasan ini seperti lepasnya Sipadan dan Ligitan. Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar terdapat 92 pulau terluar. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki sebagian besar wilayah terluar Indonesia tersebut adalah sumberdaya kelautan dan perikanan. Hal ini dapat dipahami mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dimana aspek kelautan menjadi sangat dominan. sektor perikanan dan kelautan sangat menungkinkan menjadi basis dan andalan pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tersebut. Namun demikian, dalam kenyataannya wilayah-wilayah perbatasan dengan basis perikanan belum banyak berkembang. Terbatasnya akses dari dan ke wilayah tersebut menyebabkan aktifitas perekonomian dan pembangunan pada umumnya belum optimal dilaksanakan. Di sisi lain akses dari wilayah tersebut ke negara tetangga relatif lebih baik. Hal ini menyebabkan interaksi antara masyarakat Indonesia di wilayah terluar tersebut dengan masyarakat negara tetangga lebih intensif dibandingkan dengan masyarakat lain di dalam wilayah Indonesia. Di masa lalu, pembangunan di wilayah terluar ini lebih ditekankan pada pendekatan keamanan semata dan kurang memperhatikan pengintegrasian dengan aspek lainnya. Namun demikian ternyata pendekatan ini mempunyai kelemahan dimana wilayah yang harus diawasi relatif luas sementara jumlah SDM dan peralatan militer relatif terbatas. Oleh karena itu perlu pendekatan pembangunan lain dalam mengawasi wilayah-wilayah terluar tersebut. Satu faktor yang relatif terlupakan di masa yang lalu adalah peran masyarakat setempat dalam menjaga wilayah perbatasan yang justru merupakan garda terdepan ketahanan ―halaman depan negara atau pintu gerbang negara‖ ini. Inti dari segala kebijakan pembangunan di daerah perbatasan adalah menyejahterakan hidup masyarakat lokal. Manifestasi dari cita-cita ideal ini harus tercermin dalam berbagai program pembangunan daerah, yang disesuaikan dengan potensi lokal, sebab diskursus tentang isu daerah p erbatasan selalu terpaut dengan ―pendekatan keamanaan‖. Konsekuensi dari pendekatan keamanan yang ditonjolkan pada rezim pemerintahan di masa lalu telah berdampak pada dinegasikannya peningkatan mutu hidup masyarakat di garis terdepan negara, sebagai ujung tombak pertahanan negara itu sendiri. Pendekatan tersebut seyogyanya diubah dengan tidak hanya melalui pendekatan keamanan tetapi lebih dipentingkan melalui pendekatan-pendekatan eknomi dan sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perbatasan. Oleh karena itu, programkegiatan-kegiatan yang mengarah pada pembangkitan aktifitas perekonomian perlu didorong dan dikembangkan di wilayah terluar ini. Fokus terhadap pembangunan prasarana fisik seperti jalan, pasar dan fasilitas umum lainnya, harus diikuti dengan pembangunan manusia yang mampu mengenal dan memanfaatkan potensi lokal untuk perbaikan mutu hidup mereka. Pada wilayah yang mempunyai potensi sumberdaya perikanan yang besar, maka aktifitas perekonomian yang berbasis perikanan menjadi hal yang strategis untuk dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Perairan Propinsi Kalimantan Timur termasuk Kabupaten Nunukan masih mempunyai potensi sumberdaya perikanan laut yang relatif besar. Perairan ini termasuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP RI 716 yaitu Laut Sulawesi. Potensi sumberdaya ikan di perairan ini terutama ikan pelagis kecil, pelagis besar dan ikan demersal. Namun demikian dalam kenyataannya, pengusahaan perikanan laut belum sepenuhnya memberikan dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi perikanan, pengembangan industri, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di wilayah ini menghadapi permasalahan yang kompleks. Kompleksitas tersebut terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap itu sendiri dan posisi geografis Kabupaten Nunukan yang berbatasan dengan negara lain yaitu Malaysia yang berimplikasi pada kondisi sosial dan politik wilayah Nunukan. Permasalahan-permasalahan perikanan tangkap di wilayah perbatasan dapat dikelompokkan ke dalam : 1. Bagaimana kondisi pemasaran hasil tangkapan yang berjalan selama ini? Apakah pola pemasaran tersebut telah memberikan keberpihakan kepada nelayan Nunukan untuk mendapatkan keuntungan yang memadai? 2. Bagaimana kondisi pengusahaan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan? Bagaimana kondisi sumberdaya ikan, unit penangkapan, infrastruktur pelabuhan perikanan dan sumberdaya manusia perikanan dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi penangkapan ikan? 3. Apakah kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap yang ada mampu berjalan secara efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pengelolaan perikanan tangkap? 4. Faktor apa saja di luar perikanan tangkap yang menjadi lingkungan strategis dan dapat mempengaruhi kinerja perikanan tangkap? 5. Strategi apa yang perlu dilakukan dalam mengembangkan perikanan tangkap di wilayah perbatasan. Mengatasi permasalahan tersebut, perlu ada strategi yang menyeluruh dengan memperhatikan faktor-faktor penentu keberhasilan pengembangan perikanan tangkap di perbatasan. Mengingat karakteristik fisik dan masyarakat yang relatif unik dibandingkan dengan wilayah lain non perbatasan, maka strategi pengembangan perikanan tangkap perlu mengelaborasikan antara elemen-elemen perikanan tangkap dan elemen-elemen wilayah perbatasan.

1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis pengembangan pemasaran hasil tangkapan ikan

2. Menganalisis pengembangan produksi penangkapan ikan 3. Menganalisis pengembangan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap 4. Menganalisis pengembangan lingkungan strategis pengembangan perikanan tangkap 5. Merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama bidang pengelolaan perikanan tangkap. Secara khusus penelitian ini bermanfaat sebagai masukan bagi pengelolaan dan pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan terutama wilayah Nunukan Kalimantan Timur.

1.5 Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan perikanan tangkap di wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain berupa perairan laut dimana sumberdaya yang cukup dominan di wilayah tersebut adalah perikanan tangkap. Pengembangan perikanan tangkap di wilayah perbatasan ini perlu memperhatikan empat komponen utama yaitu pengembangan produksi perikanan tangkap, pengembangan pemasaran hasil tangkapan, kelembagaan pengelolaan dan pengembangan lingkungan strategis.

1.5.1 Pengembangan produksi perikanan tangkap

Undang-undang no 31 tahun 2004 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan dengan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Upaya pengembangan penangkapan sangat terkait dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang ada di perairan tersebut. Dalam konteks penangkapan sebagai suatu bisnis, tentu tidak sembarang ikan yang akan ditangkap tetapi terutama ikan-ikan yang mempunyai mempunyai nilai jual yang tinggi dan tersedia dalam jumlah yang memadai untuk diusahakan. Oleh karena itu, identifikasi komoditas unggulan menjadi sangat penting dilakukan. Tingkat teknologi penangkapan seharusnya juga menjadi bahan pertimbangan dalam upaya meningkatkan produksi penangkapan ikan. Teknologi penangkapan akan berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas penangkapan yang dilakukan. Efisiensi mengacu pada penggunaan sumberdaya yang lebih kecil untuk mendapatkan hasil yang sama atau bahkan lebih besar seperti penggunaan modal, sarana penangkapan dan penggunaan sumberdaya manusia. Sedang efektifitas mengacu pada besaran hasil tangkapan yang dapat diperoleh dengan menggunakan alat tangkap tertentu. Penggunaan alat tangkap tertentu dapat dipengaruhi oleh karakteristik sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan, karakteristik daerah penangkapan, jumlah hasil tangkapan yang ingin ditangkap, ketersediaan modal pendukung dan adanya permintaan pasar terhadap komoditas ikan tertentu. Praktek penangkapan ikan illegal Illegal, Unreported, Unregulated Fishing menjadi permasalahan penting dalam penanganan perikanan tangkap di wilayah-wilayah perbatasan. Adanya praktek penangkapan seperti ini tidak hanya merugikan secara ekonomi maupun finansial, terlebih lagi akan memberikan ketidakpastian jumlah potensi sumberdaya ikan yang dimiliki. Pada gilirannya hal ini akan menyebabkan terjadinya bias dalam pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang ada. Infrastruktur pelabuhan perikanan merupakan bagian dari sistem perikanan tangkap. Perannya sangat besar sebagai fishing base dan market base bagi hasil tangkapan yang didaratkan. Sebagai fishing base, pelabuhan perikanan berperan dalam penyediaan bahan perbekalan melaut es, air, BBM, dll. Sedangkan sebagai market base, pelabuhan perikanan merupakan rantai terpenting dalam pendistribusian hasil tangkapan ke wilayah-wilayah pemasaran. UU no 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyatakan bahwa Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. Fungsi-fungsi tersebut berupa pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan, pelayanan bongkar muat, pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan, pemasaran dan distribusi ikan, pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan, tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan, pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan, tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan, pelaksanaan kesyahbandaran, tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan, publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan, tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan, pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari danatau pengendalian lingkungan.

1.5.2 Pengembangan pemasaran hasil tangkapan

Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan nilai ekonomi suatu barang. Kotler, 2007 mengatakan bahwa pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan mempertukarkan produk yang bernilai kepada pihak lain. Pemasaran menjadi penghubung antara produsen dan konsumen. Hasil tangkapan ikan tidak mempunyai nilai ekonomi sampai didistribusikan dan dipasarkan kepada konsumen. Aspek pemasaran ini sangat penting dalam pengembangan perikanan tangkap. Hal ini terkait dengan karakteristik sumberdaya ikan yang relatif cepat mengalami penurunan mutu . Oleh karena itu hasil tangkapan ini harus segera dipasarkan kepada konsumen untuk dikonsumsi atau menjadi bahan baku industri pengolahan. Disamping itu, pemasaran memainkan peranan yang besar dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para pelakunya terutama nelayan. Hasil tangkapan yang dipasarkan dengan baik akan memberikan keuntungan yang besar kepada nelayan yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Namun demikian dalam pelaksanaannya pemasaran hasil tangkapan relatif kompleks terlebih lagi pemasaran hasil tangkapan di wilayah perbatasan. Kompleksitas tersebut pertama berkaitan dengan daerah pemasaran yang tidak hanya pemasaran antar daerah di dalam negeri, tetapi yang lebih memungkinkan adalah pemasaran luar negeri dengan pelaku usaha negara tetangga. Kedua, berkaitan dengan pola keterikatan nelayan dengan pihak lain. Sebagian besar nelayan relatif tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk usaha penangkapannya. Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan tersebut, nelayan meminta bantuan permodalan kepada pihak lain yaitu para pemilik modal. Dalam kenyataannya, para nelayan ini tidak mempunyai sumberdaya yang dapat meningkatkan kemampuan tawar mereka dengan para pemilik modal. Akibatnya, usaha penangkapan nelayan sepenuhnya mengikuti polakebijakan dari para pemilik modal. Pola-pola interaksi inilah yang perlu diungkap untuk selanjutnya dilakukan intervensi kebijakan apabila terjadi ketidakadilan dalam hubungan tersebut.

1.5.3 Kelembagaan pengelolaan

Kelembagaan adalah suatu aturan yang dikenal atau diikuti secara baik oleh anggota masyarakat, yang memberi naungan liberty dan meminimalkan hambatan constraints bagi individu atau anggota masyarakat. Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi kelembagaan juga tidak ditulis secara formal seperti aturan adat dan norma yang dianut masyarakat. Kelembagaan itu umumnya dapat diprediksi dan cukup stabil serta dapat diaplikasikan pada situasi berulang Wiratno dan Tarigan, 2002 dalam Yopulalan, 2009. Aspek kelembagaan ini terkait dua unsur yaitu tata aturanperaturan yang menjadi landasan pengelolaan dan organisasi pengelola yang melaksanakan pengelolaan Kompleksitas pengelolaan perikanan tangkap terkait dengan lingkup pengelolaan yang tidak hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang terkait langsung dengan perikanan tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan atau Dinas Perikanan dan Kelautan tetapi juga instansi pemerintah lainnya. Hal ini berimplikasi pada adanya permasalahan sinkronisasi aturan dan kegiatan dan koordinasi antar lembaga terkait.

1.5.4 Pengembangan lingkungan strategis

Pengembangan perikanan tangkap di suatu daerah merupakan bagian dari pengembangan perekonomian wilayah secara keseluruhan. Keberhasilan perikanan tangkap juga sangat dipengaruhi oleh peran dan keterkaitannya dengan kondisi lingkungan dimana pengelolaan tersebut dilakukan. Lingkungan strategis tersebut terkait dengan kondisi makro ekonomi wilayah secara keseluruhan, infrastruktur wilayah, kondisi masyarakat, aksesibilitas wilayah dan kebijakan pengelolaan wilayah perbatasan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, kerangka pemikiran penelitian dapat diskemakan seperti terlihat pada Gambar 1. Ketersediaan Sumberdaya Ikan Komoditas Unggulan Teknologi Penangkapan Ikan Penanganan IUU Fishing Infrastruktur Pelabuhan Perikanan Tata Aturan dan Kebijakan Pengelolaan Organisasi Pengelola Infrastruktur Perbatasan Kebijakan Perbatasan Pola Distribusi Hasil Tangkapan Pola Interaksi Sosial Pengembangan Produksi Penangkapan Ikan Pengembangan Pemasaran Hasil Tangkapan Kelembagaan Pengelolaan Pengembangan Lingkungan Strategis Pengembangan Perikanan Tangkap di Wilayah Perbatasan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Komponen sistem perikanan tangkap Charles 2001 membagi sistem perikanan kedalam tiga subsistem utama yaitu sistem alam natural system, sistem manusia human system dan sistem pengelolaan management system. Masing-masing sub sistem tersebut terdiri atas berbagai macam komponen pendukung yang demikian kompleks. Sistem Manusia Karakteristik masyarakat nelayan dan usahanya sangat berbeda dengan masyarakat pedesaan lainnya dimana corak mata pencahariannya pertanian. Pollnac 1988 mengatakan karakteristik tersebut adalah bahwa para petani menghadapi situasi ekologis yang relatif dapat dikontrol sedangkan nelayan menghadapi situasi ekologis yang sulit dikontrol yang diakibatkan oleh sifat sumberdaya ikan yang berpindah-pindah dan berada di dalam perairan sehingga menyulitkan untuk diketahui dan dipantau. Resiko usaha yang besar dimana faktor kondisi alam sangat menentukan keberhasilan usaha penangkapan. Kondisi alam yang dimaksud adalah keadaan gelombang, hujan, badai dan lain-lain dimana pada kondisi yang ekstrim akan dapat melenyapkan unit penangkapan yang digunakan. Sistem usaha yang bersifat musiman, tergantung dari keberadaan ikan di perairan dan kondisi cuaca yang ada. Dengan kondisi seperti itu, maka nelayan tidak dapat melaut sepanjang tahun. Pada saat tidak melaut dengan sendirinya mereka tidak mempunyai pendapatan dari usaha penangkapan yang mungkin saja merupakan mata pencaharian satu- satunya. Nelayan terbiasa dengan kehidupan di laut yang keras sehingga mereka umunya bersikap keras, tegas dan terbuka. Kondisi kerja di laut yang keras membentuk sikap kerjasama dan saling ketergantungan yang kuat diantara nelayan yang melakukan penangkapan. Adanya spesialisasi peran dari setiap awak dan kondisi fisik lingkungan laut, menambah penting sikap kerjasama dan saling ketergantungan antar awak kapal tersebut. Belum lagi kerjasama itu harus dibangun bukan hanya antar awak kapal, tetapi juga antara awak kapal dengan pemilik kapal yang sering kali tidak ikut dalam operasi penangkapan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena segala kemungkinan dapat terjadi di tengah laut yang berakibat pada hilangnya armada penangkapan. Bahkan kalau tidak ada kerjasama dan saling kepercayaan, maka bisa saja terjadi moral hazard dari awak kapal dengan memanipulasi produksi hasil tangkapan yang didapatkan ataupun kondisi dan keberadaan unit penangkapannya sendiri. Nelayan juga mempunyai sifat kemandirian yang besar. Anggapan ini berasal dari kondisi lingkungan dan mata pencaharian menangkap ikan. Mereka dipaksa untuk mengambil keputusan secara cepat dan sering berhadapan dengan ketidakpastian – keputusan yang mempunyai efek segera terhadap keselamatan kapal dan waknya ataupun keberhasilan operasi penangkapannya itu sendiri. Lebih dari itu, nelayan di laut jauh dari pertolongan masyarakat banyak di darat. Di laut, mereka melakukan tugas yang rumit secara mandiri, dengan sedikit komunikasi lisan. Charles 2001 membagi perikanan komersial ke dalam dua katagori yaitu perikanan artisanal perikanan skala kecil dan perikanan industri perikanan skala besar. Beberapa ciri dari perikanan tradisional adalah 1 ketergantungan yang tinggi terhadap keluarga, kesempatan bekerja di luar nelayan relatif kecil, kadang pendapatan yang diperoleh relatif kecil, 2 kapal yang digunakan relatif kecil dan biasanya merupakan milik sendiri, 3 sering kali lebih menerapkan sistem bagi hasil antara pemilik kapal, nakhoda dan anak buah kapal daripada menggunakan sistem penggajian, 4 umumnya relatif jauh dari pusat aktifitas ekonomi dan politik seperti di pedesaan dan 5 sering dipandang oleh analis kebijakan dalam satu dari dua yang berbeda : sebagai obyek untuk aktifitas modernisasi dan rasionalisasi atau sebagai orang atau kelompok yang mendapat perlakuan dari kekuatan ekonomi eksternal dan memerlukan perlindungan. Lebih lanjut Orbach dalam Charles 2001 mengatakan bahwa sumberdaya manusia perikanan tidak terbatas pada nelayan saja, tetapi juga pihak-pihak lain yang terkait dengan penangkapan dari habitat tersebut. Untuk setiap nelayan komersial, terdapat tiga kelompok SDM dalam aktifitas tersebut yaitu keluarga dan masyarakat dalam konteks sosial dan politik, orang-orang yang bekerja di galangan kapal, supplier, fasilitas pelayanan yang secara integral bergantung pada aktifitas penangkapan dan distributor, pedagang dan konsumen yang menciptakan permintaan produk tersebut. Sektor pasca penangkapan juga memiliki peranan yang cukup penting terlebih dikaitkan dengan maksimisasi manfaatkeuntungan dari setiap ikan yang ditangkap secara berkelanjutan. Pendekatan pembangunan berkelanjutan mendorong jumlah ikan yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efisien untuk tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan nutrisi, ketenagakerjaan, dan pembangunan sosial ekonomi. Hal tersebut sangat relevan dengan sektor pasca penangkapan, yang dibutuhkan untuk mengurangi limbah dan penyusutan pasca penangkapan, maksimisasi nilai tambah added value melalui pengolahan, membangun dan atau memperbaiki sistem distribusi dan pemasaran, dan mengintegrasikan perikanan ke dalam upaya-upaya pembangunan pedesaan secara keseluruhan. Pemasaran merupakan aktifitas penting dalam perikanan. Dalam konteks komersial, suatu tangkapan yang baik hanya bermanfaat apabila hasil tangkapan tersebut dijual. Marketing merupakan aktifitas pengalokasian dan penyusunan suatu pasar khususnya pembeli untuk hasil tangkapan yang didapatkan oleh nelayan, koperasi perusahaan atau masyarakat. Sistem Pengelolaan Perikanan Charles 2001 mengatakan bahwa secara ide dasar pembangunan perikanan bertujuan untuk menginisiasi suatu yang baru, memperbaiki kondisi yang ada dari sistem perikanan yang memberikan keuntungan secara berkelanjutan. Secara umum, proses pembangunan perikanan terdiri dari dua tahapan yaitu menduga tingkat pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan menghitung tingkat tangkapan yang berkelanjutan dan hubungannya dengan ukuran armada dan membangun input sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik supaya mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam yang ada. Pembangunan perikanan merupakan suatu proses yang penting yang mencakup upaya-upaya meningkatkan manfaat benefit secara berkesinambungan tidak hanya melalui pelaksanaan ukuran-ukuran manajemen, tetapi melalui perbaikan-perbaikan improvement beberapa hal pada sistem perikanan. Hal tersebut dapat berupa 1 pendampingan nelayan untuk meningkatkan kemampuan penangkapannya mulai dari subsidi pembuatan kapal sampai dukungan terhadap motorisasi armada penangkapan artisanal, 2 adaptasi teknologi penangkapan yang sesuai, 3 pelatihan nelayan dalam hal metoda penangkapan maupun penanganan hasil tangkapan, 4 penguatan kelembagaan baik manajemen individu maupun organisasi, 5 fasilitasi pengembangan koperasi dan organisasi- organisasi nelayan lainnya, 6 perbaikan pada tahapan pasca penangkapan termasuk pengembangan pasar, kontrol kualitas pengolahan dan proses distribusi produk, 7 pembangunan inrastruktur yang diperlukan seperti pelabuhan perikanan dan 8 perlindungan lingkungan dan upaya-upaya perbaikan produktivitas stok sumberdaya ikan. Dalam konteks kewilayahan, pembangunan perikanan berkaitan dengan pembangunan masyarakat pantai dan lingkungan sosial ekonomi wilayah pesisir tersebut. Hal ini mengarahkan pada suatu fokus pada pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dimana perhatian diberikan pada semua sumberdaya pesisir secara simultan termasuk pada orang dan masyarakat yang ada di wilayah pesisir tersebut Charles 2001. Budiono dan Sri Atmini 2002 mengatakan bahwa rencana dan strategi pengelolaan perikanan hendaknya mencakup hal hal 1 optimasi manajemen pemanfaatan sumberdaya perikanan. Hal ini diantaranya dilakukan melalui pengurangan tekanan penangkapan pada wilayah-wilayah fully dan over exploited dan meningkatkan penangkapan pada wilayah yang under exploited. Didukung oleh pembangunan infrastruktur dan sistem pemasaran, kerjasama antara usaha skala kecil dan skala besar, memperkuat sistem monitoring untuk mendorong kepatuhan terhadap kebijakan pengelolaan, 2 reformulasi perencanaan spasial dari zona penangkapan, 3 memproteksi dan merehabilitasi lingkungan dan ekosistem pesisir termasuk rehabilitasi dan pengelolaan karang, mangrove, kontrol pencemaran air, pengelolaan dan pembangunan pesisir yang terintegrasi dan 4 dukungan program dan strategi untuk peningkatan kepedulian masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan dan membuat alternatif-alternatif pembangkitan pendapatan. Secara substansi yang lebih kompleks dari sistem perikanan digambarkan Charles 2001 sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Kompleksitas sistem perikanan Charles, 2001

2.1.2 Pengelolaan perikanan tangkap di wilayah perbatasan

Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di wilayah perbatasan negara telah diatur dalam aturan internasional yaitu dalam Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS tahun 1982. Khusus mengenai konservasi dan manajemen perikanan laut dalam ZEE Pasal 61 UNCLOS mewajibkan negara pantai seperti Indonesia untuk menentukan jumlah yang dapat ditangkap atau total Lingk Biofisik Lingk Sosial Ekonomi Ekosistem Rumah tangga dan masyarakat Ikan Kapal Nelayan Penangkapan Dinamika tenaga kerja Dinamika modal Dinamika populasi Pasca penangkapan Pasar Kondisi pasar Benefit:  Sosial  Budaya  Ekonomi  Biodiversity allowable catch TAC. Menurut Djalal 2003, dalam penentuan TAC di ZEE, negara pantai berkewajiban, antara lain: 1 memastikan tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya perikanan; 2 bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang kompeten; 3 berusaha memulihkan kembali jenis populasi ikan yang ditangkap; 4 menjamin maximum sustainable yield MSY; dan 5 menjaga agar jangan terjadi akibat yang negatif dari penangkapan tertentu terhadap jenis-jenis kehidupan laut lainnya yang berkaitan atau jenis yang tergantung dari perikanan tersebut. Beberapa tindakan untuk pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ZEE seperti dikemukakan Hasim DJalal 1995 yang diacu Monintja 1996, di antaranya: 1 Untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di ZEE, Indonesia perlu mengeluarkan peraturan-peraturan perikanan yang diperkenankan oleh konvensi, seperti izin penangkapan ikan, penentuan umur dan ukuran ikan yang boleh ditangkap, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan, penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai, dan sebagainya. 2 Mengatur dengan negaraorganisasi regional dan internasional tentang pemeliharaan dan pengembangan sumber-sumber perikanan yang terdapat di ZEE dua negara atau lebih, highly migratory species dan memperhatikan ketentuan- ketentuan mengenai ―marine mammals, anadromous dan catadromous species, serta sedentary species. Pemanfaatan Sumberdaya Alam berdasarkan Konvensi Hukum Laut UNCLOS 1982 dapat disarikan sebagaimana Tabel 1. Pasal 3 UU No. No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia menyatakan apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik Indonesia dan negara yang bersangkutan. Selama persetujuan tersebut belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan, maka batas zona ekonomi eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar Indonesia dan garis-garis pangkal laut wilayah atau titik-titik terluar negara tersebut, kecuali jika dengan negara tersebut telah tercapai persetujuan tentang pengaturan sementara yang berkaitan dengan batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Tabel 1 Batas laut, status hukum dan pemanfaatan sumberdaya alam Bagian laut Status hukum Pemanfaatan Sumberdaya Alam Hak Kewajiban Perairan pedalaman Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi Perairan kepulauan Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi Mengakui Hak Perikanan Tradisional Negara Tetangga Laut teritorial Kedaulatan Pemanfaatan Penuh Konservasi Zona tambahan Yurisdiksi terbatas Pengawasan sepanjang berkaitan ZEE Hak-hak berdaulat Yurisdiksi Pemanfaatan ekslusif Konservasi Memberi kesempatan negara lain terhadap surplus perikanan Laut lepas Kebebasan Kebebasan Konservasi Menghormati Hak Negara Lain Laut kontinen Hak-hak berdaulat Pemanfaatan ekslusif Memberi sumbangan dari hasil produksi di luar 200 mil laut Kawasan dasar laut internasional Warisan bersama umat manusia Pemanfaatan bersama Sumber : Agoes, 2003 Namun demikian, saat ini setelah lebih dari 20 tahun sejak peraturan itu diundangkan, masih terdapat 70 batas-batas yuridiksi perairan ZEEI tersebut belum disepakati oleh negara-negara tetangga. Perbatasan yang belum disepakati tersebut mencakup perbatasan dengan negara Timor Leste, Filipina, Vietnam, Thailand, dan India Kompas, 3 Maret 2007. Masih banyaknya wilayah perbatasan yang belum disepakati dengan negara berpotensi menimbulkan konflik dengan negara yang bersangkutan yang pada akhirnya akan merugikan kepentingan nasional.

2.1.3 Konflik pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaiannya

Fisher et al. 2000, Rubin et al. 1994, Sarwono 2001 dalam Shaliza 2004 mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dengan perkataan lain terdapat pertentangan antar dua pihak atau lebih. Bahkan Sarwono menegaskan bahwa pertentangan tersebut tidak hanya pada tataran individu tetapi juga dapat terjadi antar kelompok masyarakat bahkan antar bangsa dan negara. Soekanto 1982 dalam Hasyim 2007 menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya konflik di dalam suatu masyarakat karena adanya perbedaan individu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan dan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Perbedaan individubudaya terjadi karena perbedaan lingkungan yang membentuk kedua belah pihak yang melahirkan prinsip-prinsip nilai kebiasaan atau tatacara yang berbeda. Konflik dapat terjadi jika masing-masing pihak tidak dapat menerima atau menghormati prinsip atau sistem nilai yang dimiliki pihak lain. Lebih lanjut Fisher et al 2000 mengatakan bahwa pada dasarnya konflik dapat terjadi karena dipicu oleh beberapa hal, yaitu 1 Polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat teori hubungan masyarakat 2 Terdapat posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konlik teori negosiasi prinsip 3 Adanya usaha untuk menghalang-halangi pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik kebutuhan fisik, mental dan sosial teori kebutuhan manusia 4 Terancamnya identitas yang sering berakar pada hilangnya sesuatu hal atau karena penderitaan di masa yang lalu yang tidak terselesaikan teori identitas 5 Ketidakcocokkan dalam cara-cara berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda teori kesalahfahaman antar budaya 6 Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi teori transformasi konflik Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam berpotensi menimbulkan konflik terutama karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut. Bennet dan Neiland 2000 dalam Budiono 2005 berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan. Pemanfaatan sumberdaya alam dapat menimbulkan eksternalitas yang terkadang tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Terdapat tiga jenis eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yaitu Schlager et al, 1992 dalam Budiono, 2005 : 1 Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari stok yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut. 2 Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika nelayan secara fisik saling melakukan intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Ekternalitas ini dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentuk-bentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu sama lainnya. 3 Assignment problem. Assignment problem muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah penangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkandibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems ini dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik Anonimous, 2002 dalam Budiono, 2005 yaitu i persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukan otonomi daerah, ii perebutan daerahlokasi penangkapan, iii perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama, iv perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah yang sama, v pelanggaran batas wilayah perairan, vi operasi sekelompok nelayan merusakmenerjang peralatan tangkap nelayan lain, dan vii pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Sedangkan Sari 2010 berdasarkan penelitiannya di Kabupaten Bengkalis menyimpulkan bahwa faktor mendasar pendorong terjadinya konflik perikanan tangkap adalah i latar belakang budaya masyarakat nelayan yang berbeda dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan ii faktor sosial yang cenderung melakukan perebutan wilayah tangkap dan iii faktor yuridis yaitu keberadaan peraturan yang tidak sesuai dengan karakteristik daerah dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat nelayan. Konflik di perikanan tangkap ternyata juga tidak hanya antar nelayan, tetapi juga antara nelayan dengan stakeholder lainnya sebagaimana yang dikaji Hendriwan 2007 yaitu antara nelayan besar dengan nelayan kecil, interaksi petugas keamanan laut dengan nelayan, nelayan besar dan nelayan pendatang, nelayan tradisional dengan pendatang, pemerintah kota dan propinsi, pemerintah kota dengan nelayan dan interaksi dengan KUD. Dalam rangka mengatasi berbagai konflik tersebut, beberapa ahli mengajukan pendapatnya. Leonardo Boff sebagaimana dikutip Chang 2003 mengatakan bahwa perlu ditekankan etika dunia baru yang mencakup i etika yang menyerukan umat manusia untuk saling melihat antara satu sama lain dalam pengertian positif, ii etika solidaritas yang ditandai dengan sikap solidaritas sosial terhadap siapa yang dililit kesulitan, iii etika tanggung jawab yang megutamakan sikap tanggung jawab setiap orang terhadap pemikiran, ucapan, tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari, iv etika berdialog yang dimulai dengan dialog yang hidup, tulus dan ikhlas dan v etika suci yang mencakup dan dapat diterima oleh semua pihak sebab didahului oleh nilai-nilai kebaikan secara universal yang dapat diterima oleh semua orang dalam setiap kondisi. Konflik penangkapan ikan di wilayah perbatasan relatif lebih kompleks lagi. Hal ini disebabkan karena pihak-pihak yang berkonflik terkadang berasal dari negara yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaikan di tingkat nelayan tetapi oleh dua pemerintahan yang berkonflik. Bentuk konflik penangkapan yang terjadi antar negara biasanya berupa penangkapan illegal yang dikenal dengan istilah Illegal Unreported, Unregulated IUU Fishing. Pengertian Illegal Fishing merujuk pada pengertian yang dikeluarkan oleh International Plan of Action IPOA – Illegal, Unreported, Unregulated IUU Fishing yang diprakarsai oleh FAO dalam konteks implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF. Pengertian Illegal Fishing adalah i kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yuridiksinya tanpa izin dari negara yang memiliki yuridiksi atau kegiatan penangkapan ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu dan ii kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management Organization RFMO tetapi pengoperasian kapal-kapalnya bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasidan pengelolaan perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan dengan hukum internasional dan iii kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO. Sedangkan Unreported Fishing mengacu pada i aktifitas penangkapan yang tidak dilaporkan, atau pelaporan yang salah misreported kepada otoritas nasional yang bertentangan dengan peraturan nasional ii penangkapan dalam wilayah RFMO yang tidak dilaporkan atau pelaporan yang bertentangan dengan prosedur organisasi. Dan Unregulated Fishing mengacu pada i penangkapan di wilayah pengelolaan RFMO yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, negara bendera tapi bukan untuk kepentingan RFMO, atau oleh entitas nelayan dengan cara yang tidak konsisten dengan atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan organisasi dan ii penangkapan di daerah atau untuk stok ikan yang tidak ada konservasi atau tindakan manajemen yang berlaku dan di mana aktivitas penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara untuk konservasi sumberdaya hayati laut di bawah hukum internasional. Adhuri 2005 menjelaskan salah satu kasus IUU Fishing di wilayah perbatasan Indonesia-Australia yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia. Penyebab terjadi pelanggaran tersebut adalah i conflicting claims dimana terjadi perbedaan persepsi diantara nelayan dan ii pasar internasional sumberdaya ikan yang mendorong nelayan melakukan penangkapan meski terkatagori IUU Fishing.

2.1.4 Potensi sumberdaya ikan

Perairan Kabupaten Nunukan termasuk Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP RI 716 yaitu Perairan Laut Sulawesi dan Sebelah Utara Pulau Halmahera. Daerah yang termasuk kedalam WPP ini meliputi Kalimantan Timur Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Nunukan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara Kabupaten Bolaang Mengondow, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Sangihe Talaud, Kabupaten Kepulauan Talaud, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Bitung, Sulawesi Tengah Kabupaten Toli-Toli, Kabupaten Buol dan Maluku Utara Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara. Berdasarkan DJPT 2011, estimasi potensi sumberdaya ikan yang dominan adalah ikan pelagis kecil 230,9 ribu tontahun, pelagis besar 70,1 ribu tontahun dan ikan demersal 24,7 ribu tontahun. Sedangkan jenis ikan lain relatif sedikit yaitu ikan karang konsumsi 6,5 ribu tontahun, udang penaid 1,1 ribu tontahun, lobster dan cumi-cumi masing-masing dengan potensi 0,2 ribu tontahun. Sedangkan produksi penangkapan pada tahun 2010 didominasi beberapa jenis ikan diantaranya adalah cakalang 49,2 ribu ton, laying 34,6 ribu ton, albakora dan madidihang masing-masing 15,3 ribu ton dan 14,6 ribu ton. Sedangkan jenis ikan lainnya masih dibawah 10 ribu ton yaitu tongkol abu-abu, teri, tongkol krai, tenggiri, selar dan kembung. Alat tangkap yang banyak digunakan khususnya yang mempunyai izin pusat adalah alat tangkap purse seine dan rawai tuna masing-masing 368 unit dan 142 unit. Sedangkan alat tangkap lainnya adalah huhate 35 unit, jarring insang 4 unit, hand line 3 dan pancing rawai 1 unit. 2.2 Konsepsi Pembangunan Wilayah 2.2.1 Pengertian pembangunan wilayah Secara tradisional, pembangunan development hanya diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan tahunan atas pendapatan nasional bruto. Pernah juga pembangunan ekonomi hanya diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur produksi dan penyerapan sumberdaya employment yang diupayakan secara terencana. Artinya bahwa pembangunan hanya diartikan sebagai suatu proses untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun demikian pada perjalanannya, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan yang hanya menyandarkan pada satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi ternyata telah menimbulkan berbagai kelemahan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu World Bank seperti yang dikutip Todaro 1999 menegaskan bahwa : Tantangan utama pembangunan .... adalah memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin, kualitas hidup yang lebih baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang tinggi-namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu hanya merupakan salah satu dari sekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Banyak hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi lingkungan hidup, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya. Todaro merumuskan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Paling tidak terdapat tiga nilai inti pembangunan yang harus dipahami yaitu kecukupan sustenance yang merupakan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar ; jati diri self esteem yaitu kemampuan atau dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa pantas dan layak mengejar atau melakukan sesuatu dan lain-lain ; dan kebebasan freedom yaitu kebebasan dari sikap menghamba atau kemampuan untuk memilih. Tiga tujuan inti pembangunan adalah : 1 peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi berbagai macam barang kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan perlindungan keamanan 2 peningkatan standar hidup yang tidak hanya peningkatan pendapatan, tetapi juga meliputi penambahan penyediaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, serta peningkatan perhatian atas nilai-nilai kultural dan kemanusiaan, yang kesemuanya itu tidak hanya untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, tetapi juga menumbuhkan jati diri pribadi dan bangsa 3 perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial bagi setiap individu serta bangsa secara keseluruhan yakni dengan membebaskan mereka dari belitan-belitan sikap menghamba dan ketergantungan, bukan hanya terhadap orang atau negara bangsa lain, tetapi juga terhadap setiap kekuatan yang berpotensi merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tahapan berikutnya, terjadi evolusi pemikiran tujuan pembangunan yang tidak hanya memperhatikan aspek-aspek pertumbuhan ekonomi, peningkatan pembangunan manusia, pengahapusan kemiskinan dan pemenuhan hak-hak dasar tetapi sudah mengarah pada pembangunan yang berkelanjutan. Evolusi pemikiran pembangunan dengan baik disampaikan oleh Gerald Meier dan Joseph Stiglitz dalam Frontiers of Development Economic 2002 sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Evolusi pemikiran pembangunan Gross Domes tic Product Human Develop ment Index GDP Per kapita Riil Pengha pusan Kemis kinan Kebe basan Pemba ngunan Berkelan jutan