unit penangkapan ikan berjumlah 3 orang, maka nelayan yang menggantungkan hidupnya ada sekitar 1200 nelayan.
Peran tauke Tawau ini sangat besar bahkan sudah ada keterikatan yang sistemik sehingga nelayan tidak mungkin terlepas dari pengaruh tauke ini.
Adanya keterikatan permodalan tersebut mengakibatkan nelayan tidak bisa menjual hasil tangkapannya kepada pihak lain selain kepada pedagang
pengumpulnya. Harga yang terjadi ditentukan oleh pedagang pungumpul dan pemodal dari Tawau. Beberapa harga ikan di tingkat nelayan, pedagang
pengumpul dan harga pasaran di Tawau disajikan pada Tabel 15. Tabel 15
Harga ikan di tingkat nelayan Nunukan, pedagang pengumpul dan Pasar Tawau
Jenis ikan Tingkat Harga Rp
Harga pembelian dari nelayan
Harga jual ke Tawau Harga pasaran di
Tawau Udang bintik
10.500 12.600
Udang tiger 78.000
90.000 120.000
Kuwe 12.000
18.000 27.000
Belanak 15.000
21.000 24.000
Kakap merah 18.000
24.000 27.000
Kerapu 18.000
24.000 30.000
Sumber : Hasil Wawancara dengan nelayan
Dalam konteks hubungan tersebut, nelayan bukanlah pihak yang mendapatkan keuntungan yang relatif besar. Berdasarkan informasi harga yang
disajikan pada Tabel 15 dan Tabel 16, margin harga paling besar dinikmati oleh para tauke yang berkisar antara 50 sampai 125 bila dibandingkan dengan
harga di tingkat nelayan. Sedangkan bila dibandingkan dengan harga pembelian di tingkat pedagang pengumpul, maka margin keuntungan berkisar antara 12
sampai 50 . Meski margin yang diperoleh nelayan lebih kecil, tapi mereka tetap menjual
hasil tangkapannya kepada para tauke Tawau. Disamping karena adanya keterikatan diantara mereka, juga harga jual hasil tangkapan tersebut masih relatif
lebih tinggi bila dibandingkan dengan harga jual di wilayah lokal Nunukan maupun wilayah sekitarnya seperti Tarakan dan Balikpapan.
Tabel 16 Margin harga di tingkat nelayan, pedagang pengumpul dan Pasar
Tawau
Jenis ikan Margin harga di
tingkat pengumpul dibandingkan di
tingkat nelayan Margin harga di tingkat
pemodal dibandingkan di tingkat pengumpul
Margin harga di pasar Tawau dibandingkan
dengan di tingkat nelayan
Udang bintik 20,00
42,86 71,43
Udang tiger 15,38
33,33 53,85
Kuwe 50,00
50,00 125,00
Belanak 40,00
14,29 60,00
Kakap merah 33,33
12,50 50,00
Kerapu 33,33
25,00 66,67
5.3 Pembahasan
Interaksi sosial proses sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan orang-orang perorangan, antar kelompok-
kelompok manusia dan antara orang perorangan dengan kelompok manusia Gillin dan Gillin, 1954 dalam Soekanto 2000. Proses sosial inilah yang
nantinya akan membentuk pola hubungan tertentu antar para pihak yang terlibat. Dalam konteks hubungan masyarakat nelayan dengan usaha penangkapan
ikan di Kabupaten Nunukan, terdapat tiga pihak yang terlibat yaitu nelayan, pedagang pengumpul dan pemilik modal tauke. Hubungan-hubungan ini
menjadi unik karena ternyata para pihak tersebut dibatasi oleh wilayah administrasi negara yang berbeda dimana nelayan dan pedagang pengumpul
merupakan Warga Negara Indonesia di Nunukan, sedangkan pemilik modal berasal dari Tawau Malaysia. Hal ini dipandang lebih kompleks karena tidak
hanya terkait dengan pola hubungan tersebut, tetapi juga dengan sumberdaya ekonomi yang diusahakan yaitu perikanan tangkap dengan batas-batas
administrasi pengelolaan dan peluang menghasilkan pendapatan negara dari hasil usaha tersebut.
Sebagian besar usaha penangkapan yang dilakukan nelayan Nunukan masih berskala kecil. Penangkapan skala kecil sebagaimana disampaikan Pollnac dalam
Cernea 1998 dicirikan dengan letaknya di daerah pedesaan dan pesisir, dekat
dengan pinggiran laut atau muara, nampak khas karena tumpang tindih dengan kegiatan lain seperti pertanian, peternakan dan udidaya ikan, biasanya sangat
padat karya dan sesedikit mungkin menggunakan tenaga mesin, walaupun mungkin menggunakan perahu motor umumnya tidak menggunakan mesin,
menggunakan teknologi primitif untuk penanganan dan pengolahan beberapa diantaranya menggunakan es atau fasilitas kamar dingin dengan akibat bahwa
kerugian panenan sungguh berarti, memanen persediaan dengan biomass yang kecil dibandingkan dengan persediaan ikan laut dalam.
Salah satu penyebab masih relatif miskin sebagian besar nelayan adalah masih terbatasnya akses modal bagi usaha penangkapan ikan mereka. Terlebih
lagi bagi nelayan-nelayan di wilayah perbatasan seperti nelayan Kabupaten Nunukan dimana secara geografi pun akses terhadap wilayah lain di Indonesia
\relatif terbatas. Oleh karena itu, adanya hubungan nelayan dengan pedagang pengumpul dan tauke dari Tawau dalam konteks usaha penangkapan ikan
merupakan suatu keniscayaan. Pada satu sisi nelayan tidak mempunyai modal untuk melakukan usaha penangkapan ikan dan di sisi lain para tauke mempunyai
kepentingan memutarkan dananya untuk mendapatkan keuntungan. Hampir sebagian besar nelayan Kabupaten Nunukan menggantungkan hidupnya dari
pinjaman para Tauke. Adalah wajar apabila kemudian hubungan ini lebih dominan daripada hubungan nelayan baik dengan pemodal lain dari dalam negeri
maupun dengan lembaga formal pemberi pinjaman seperti bank maupun non bank.
Lembaga keuangan konvensional saat ini belum mampu mengimbangi pasokan modal dari para tauke Tawau. Ketidakberdayaan lembaga keuangan
formal terutama disebabkan karena adanya informasi yang asimetrik asymetrical information dalam mengidentifikasi calon penerima pinjaman dan memonitor
usaha mereka. Dalam konteks usaha perbankan yang menekankan pada aspek kepercayaan dan keyakinan akan kemampuan membayar, kedua aspek ini mutlak
diperlukan. Lembaga keuangan formal mengatasi ketiadaan informasi dan ketidakmampuan melakukan monitoring ini dengan menggunakan perangkat
agunan collateral kepada calon peminjam yang justru tidak dapat dipenuhi oleh nelayan.
Pola hubungan antara nelayan, pedagang pengumpul dan tauke dapat mengatasi permasalahan informasi asimetrik tadi. Para pelaku tersebut tidak
hanya menerapkan satu sistem kontrak yaitu kontrak pinjam meminjam, tetapi menerapkan beberapa keterkaitan kontrak-kontrak contract interlikages yang
diperlukan untuk memperkecil biaya-biaya transaksi yang diakibatkan oleh informasi yang asimetrik tadi. Berbeda dengan lembaga keuangan formal, para
tauke melakukan transaksi tidak sebatas transaksi pinjam meminjam tetapi juga transaksi pemasaran dimana tauke melalui para pedagang perantaranya
mempunyai kepastian mendapatkan hasil tangkapan dari nelayan. Keterkaitan pinjaman dan pemasaran ini merupakan salah satu karakteristik pasar perikanan
yang memperlihatkan bahwa pasar persaingan sempurna tidak terjadi pada pasar produk ini Charles, 2001. Beberapa asumsi dasar pasar persaingan sempurna
tidak terpenuhi oleh pasar produk perikanan yaitu i jumlah penjual dan pembeli yang relatif banyak. Tidak ada satu individupun yang mampu mengontrol harga
sehingga tidak ada kolusi antara penjual dan pembeli ii ada keseimbangan harga antara penawaran dan permintaan dan iii ketersediaan informasi yang cukup
bagi semua pelaku. Oleh karena itu sistem pemasaran hasil tangkapan bersifat kontraktual antara nelayan dan pemilik modal.
Dalam rangka memastikan dana digunakan sesuai dengan tujuannya, pemilik modal menempatkan pedagang pengumpul sebagai penseleksi maupun
pemantau penggunaan modal yang diberikannya. Boleh jadi tauke Tawau tidak mengenal secara langsung nelayan-nelayan yang diberi pinjaman, tapi dia
menempatkan orang kepercayaannya yaitu pedagang pengumpul untuk berinteraksi langsung dengan nelayan. Pedagang pengumpul ini adalah orang-
orang yang berasal dari kalangan nelayan atau non nelayan yang dikenal dan mengenal nelayan, bahkan tidak jarang dari mereka merupakan tokoh-tokoh
masyarakat. Hal ini sangat memudahkan dalam proses pemantauan usaha. Prinsip yang digunakan dalam hubungan nelayan dan pedagang pengumpul ini
adalah kepercayaan trust. Insentif yang diperoleh pedagang pengumpul ini disamping dari komisi yang diberikan oleh tauke Tawau juga dari margin
penjualan ikan hasil tangkapan nelayan.
Disamping itu, terdapat keterikatan sosial antara nelayan, pedagang dan tauke Tawau dimana mereka sama sama berasal dari suku Bugis Sulawesi Selatan.
Orang-orang Bugis yang bearada di Tawau dapat mencapai 70 dari jumlah penduduk Tawau masih mempunyai keterikatan dengan kampung halamannya di
Indonesia. Sebagaimana dikatakan Soekanto 2000 bahwa masyarakat pedesaan –termasuk juga nelayan-nelayan Nunukan- mempunyai hubungan yang erat dan
mendalam atas dasar sistem kekeluargaan. Keeratan hubungan ini kemudian dimanfaatkan dalam membangun hubungan antar pelaku perikanan tangkap.
Dengan berbagai kelebihan tersebut, maka permasalahan informasi asimetrik yang berupa informasi identifikasi nelayan calon peminjam dan
pengawasan perilaku usaha para nelayan dapat diatasi. Dengan demikian, persyaratan-persyaratan administrasi
–sebagaimana diberlakukan pada lembaga keuangan formal tidak ada seperti i para pemilik modal tidak mensyaratkan
agunan untuk setiap transaksi ii penyediaan pinjaman yang tidak terbatas jumlahnya dan iii dapat melakukan transaksi kapan saja diperlukan tanpa aturan-
aturan administrasi yang berbelit. Pola hubungan sebagaimana yang disebutkan diatas merupakan pola
hubungan yang optimal dilaksanakan. Pola hubungan ini banyak terjadi pada perikanan tangkap skala kecil. Memang dalam pola hubungan tersebut ada dua
hal yang terjadi yaitu rendahnya pendapatan nelayan di satu sisi dan resiko yang tinggi yang ditanggung tauke pada sisi yang lain Charles, 2001. Namun
demikian, pola tersebut masih belum memberikan peluang bagi nelayan untuk berkembang lebih baik. Nelayan menanggung seluruh resiko kegagalan dari
usaha penangkapannya sementara margin keuntungan terbesar ada pada pemilik modal. Para pemilik modal meski ada resiko dananya tidak kembali akibat
kegagalan usaha penangkapan, tapi mereka dapat menutupinya dari penjualan hasil tangkapannya pada trip-trip penangkapan sebelumnya. Sedangkan bagi
nelayan, mereka harus menanggung seluruh kerugian dan harus tetap membayar walaupun dengan cara mencicil dengan batas waktu yang lama.
Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui berbagai skema pengaturan
penangkapan hendaknya
memperhatikan pola-pola
hubungan ada.