1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Mata pelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu pokok yang wajib dipelajari dan diajarkan di sekolah-sekolah. Pelajaran bahasa Indonesia juga
merupakan pelajaran yang diujikan untuk memenuhi standar kelulusan siswa pada saat Ujian Nasional. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk
mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berbahasa siswa. Salah satu keterampilan berbahasa yaitu menulis. Menulis merupakan suatu
keterampilan berbahasa untuk berkomunikasi secara tidak langsung dengan orang lain Tarigan 2008:3. Salah satu bentuk keterampilan menulis adalah mengubah
teks hasil wawancara menjadi narasi. Keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi merupakan kegiatan menyampaikan informasi yang
terdapat dalam teks wawancara secara tidak langsung kepada orang lain atau pembaca.
Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi tersebut harus dikuasai oleh siswa
kelas VII SMP pada semester genap. Dalam KD tersebut, siswa difokuskan untuk mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi secara tertulis. Artinya siswa akan
mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi tertulis dalam bentuk karangan narasi.
Selanjutnya teks hasil wawancara tersebut dapat diubah menjadi narasi. Menurut Keraf 2010:136, narasi dapat dibatasi sebagai suatu bentuk wacana
yang sasaran utamanya adalah tindak-tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Narasi adalah
suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan jelas kepada pembaca tentang suatu peristiwa yang telah terjadi. Dengan demikian, pengertian
narasi itu mencakup dua unsur dasar, yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu Keraf 2010:136. Narasi juga berusaha menjawab
pertanyaan apa yang terjadi. Keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi bertujuan untuk menyampaikan informasi yang terdapat dalam
teks hasil wawancara kepada pembaca. Informasi tersebut dapat dipahami oleh orang lain, dipilihlah jenis karangan narasi yang sesuai untuk mengubah teks hasil
wawancara menjadi narasi. Namun, dalam kenyataannya pembelajaran bahasa Indonesia sering
dianggap pelajaran yang membosankan oleh siswa, sehingga hasil pembelajaran yang dicapai tidak maksimal. Padahal setiap mata pelajaran memiliki peran
penting dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Terlebih pada keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling sulit untuk dikuasai siswa
dibandingkan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Selain itu, pembelajaran keterampilan menulis pada keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi
narasi tampaknya belum menggembirakan. Salah satu realita konkret yang mendukung pernyataan tersebut adalah kondisi pembelajaran keterampilan
mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi di kelas VII A di MTs Negeri
Kendal. Berdasarkan pengalaman guru dan hasil observasi terhadap keadaan pembelajaran keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi di
sekolah tersebut serta wawancara awal yang dilakukan dengan sejumlah guru bahasa Indonesia di sekolah tersebut, diperoleh informasi bahwa motivasi dan
keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi siswa masih sangat rendah yang ditandai siswa sering merasa jenuh jika disuruh mengarang, tidak ada
siswa yang mempunyai keterampilan yang menonjol dalam pembelajaran mengarang, dan hasil karangan siswa yang kurang memuaskan yang dibuktikan
dengan hasil tes mengarang siswa rata-rata yang hanya sekitar 66,5. Seharusnya siswa mencapai target KKM 80.
Fenomena lain yang tampak berdasarkan observasi awal di sekolah yang diteliti adalah pembelajaran keterampilan mengubah teks hasil wawancara
menjadi narasi yang diterapkan oleh guru cenderung monoton dan masih menggunakan metode konvensional. Masalah yang timbul dalam proses
pembelajaran menulis serta keterampilan siswa dalam mengarang yang belum memadai masih rendah sebagaimana uraian tersebut disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu: faktor siswa dan faktor dari luar diri siswa. Adapun faktor yang berasal dari siswa, antara lain: 1 motivasi siswa dalam menulis sangat minim;
2 konsep atau bahan yang dimiliki siswa untuk dikembangkan jadi tulisan sangat terbatas; 3 keterampilan siswa menuangkan gagasan atau pikiran ke dalam
bentuk kalimat-kalimat yang mempunyai kesatuan yang logis dan padu serta diikat oleh struktur bahasa. Adapun faktor yang berasal dari luar diri siswa, antara
lain: 1 sarana dan metode pembelajaran menulis belum efektif. Hal tersebut
mengisyaratkan bahwa dibutuhkan pembenahan dalam pembelajaran menulis. Kompetensi siswa dalam menulis karangan narasi dapat ditingkatkan dengan
membenahi segala hal yang menjadi titik kelemahan siswa dalam menulis. Secara umum, menulis sebagai suatu proses berupa pengelolaan ide atau gagasan dari
tema atau topik yang dipilih untuk dikomunikasikan dan pemilihan jenis wacana tertentu yang sesuai atau tepat dengan situasi dan konteksnya. Keterampilan
menulis yang menuntut kemampuan untuk dapat melahirkan dan menyatakan kepada orang lain tentang hal yang dirasakan, dikehendaki, dan dapat dipikirkan
dengan bahasa tulisan. Keterampilan menulis bukanlah kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak datang dengan sendirinya. Keterampilan ini
menuntut pelatihan yang cukup dan teratur serta pembelajaran yang terprogram. Program-program tersebut disusun dan direncanakan untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam proses belajar menulis, berbagai keterampilan itu tidak mungkin
dikuasai siswa secara bersamaan. Semua kemampuan itu dapat dikuasai siswa melalui suatu proses, serta tahap demi tahap. Karena keeterampilan itu tidak bisa
dikuasai secara serentak. Suatu karangan merupakan pernyataan gagasan atau ide yang bersumber dari pengalaman, pengamatan, imajinasi, pendapat, dan
keyakinan, dengan menggunakan media tulis sebagai alatnya. Kemudian siswa harus memiliki pengetahuan, gagasan, dan ide yang luas. Terkadang mereka tidak
mampu merangkai kata-kata untuk membentuk sebuah karangan, terlebih pada wacana. Siswa juga kurang menyadari hubungan antara kalimat yang satu dengan
kalimat yang lain. Pada akhirnya, sering dijumpai beberapa kalimat sumbang.
Kalimat sumbang sendiri dalam sebuah karangan dapat menimbulkan kekaburan makna atau isi sebuah karangan. Begitu pula sebaliknya, sebuah karangan akan
lebih mudah dipahami jika kalimat-kalimatnya tersusun rapi, jelas kohesi dan koherensi antar kalimatnya. Sebuah karangan pada dasarnya merupakan
perwujudan hasil penalaran siswa. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh ide yang logis. Penalaran ini berkaitan dengan proses
penafsiran fakta sebagai ide dasar untuk dikembangkan menjadi sebuah tulisan. Setiap penulis harus dapat menuangkan pikiran atau gagasannya secara cermat ke
dalam tulisannya. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memunculkan ide adalah dengan curah gagasan. Curah gagasan digunakan untuk menuntun siswa
mengembangkan idenya berdasarkan fakta yang ada di sekitar siswa atau peristiwa yang pernah dialami siswa.
Selain itu, untuk memperoleh bahan informasi atau bahan yang akan ditulis oleh siswa, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah menuntun siswa
mencermati suatu bentuk teks dan menyajikannnya kembali dalam bentuk teks yang berbeda, misalnya dari teks hasil wawancara menjadi narasi. Hal ini
merupakan salah satu kompetensi dasar menulis yang diharapkan dimiliki oleh siswa kelas VII A MTs Negeri Kendal sebagai hasil dari pembelajaran menulis,
yaitu keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi. Pengubahan tersebut dari teks hasil wawancara yang berbentuk dialog ke dalam bentuk wacana
yang berbentuk monolog, yaitu narasi. Teks hasil wawancara dapat diubah dan disajikan dalam bentuk kerangka karangan. Kerangka karangan tersebut
selanjutnya disusun menjadi sebuah tulisan yang utuh. Keberhasilan pembelajaran
menulis narasi ini juga ditentukan oleh faktor lingkungan dan suasana pembelajaran. Pada dasarnya dalam melaksanakan pembelajaran faktor
lingkungan dan suasana pembelajaran pun haruslah menarik dan menyenangkan dari segi psikologis peserta didik. Ada kecenderungan pada saat ini untuk kembali
pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik apabila diciptakan belajar yang bernuansa alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami hal
yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat jangka pendek,
akan tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk menciptakan suasana belajar yang
kooperatif interaktif, menyenangkan, dan bermakna, guru harus cermat memilih dan menerapkan strategi pembelajaran, seperti salah satu metode pembelajaran
yaitu metode student facilitator and explaining. Metode student facilitator and explaining merupakan pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang berorientasi pada masyarakat belajar learning community yang menganggap
bahwa siswa lebih mudah menentukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan sesama temannya. Hal
ini dapat membantu para siswa meningkatkan sikap positif siswa terhadap pembelajaran keterampilan menulis, khususnya menulis narasi. Hasil
pembelajaran melalui pembelajaran kooperatif diharapkan mampu memberikan pengalaman bermakna sehingga sukar dilupakan oleh siswa. Melalui
pembelajaran ini, siswa akan terlatih berpikir dan menghubungkan hal yang
mereka pelajari dengan situasi dunia nyata sehingga menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri. Pembelajaran kooperatif ini merupakan model pembelajaran
yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik academic skill berupa hasil belajar, sekaligus keterampilan sosial social skill berupa kecakapan
berkomunikasi, bekerja bersama, dan solidaritas serta interpersonal skill berupa kemampuan untuk mengerti dan peka terhadap orang lain. Dengan kata lain,
model pembelajaran kooperatif menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang memberikan kesempatan besar dalam memberdayakan potensi siswa secara
optimal. Interaksi antar siswa maupun siswa dengan guru pun dapat terjalin baik dengan pembelajaran ini.
Salah satu pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan minat dan suasana belajar yang kondusif bagi siswa, khususnya
pada pembelajaran keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi adalah metode pembelajaran student facilitator and explaining. Jadi, metode
student facilitator and explaining merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif. Penerapan metode pembelajaran student facilitator and explaining dalam
mata pelajaran bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan relatif mudah oleh seorang guru. Guru memberikan pendampingan aktivitas yang dilakukan siswa
serta mengondisikan siswa agar belajar dengan kelompoknya. Setiap kelompok memperoleh tugas presentasi dan diskusi untuk menyajikan beberapa kompetensi
dasar bahasa Indonesia. Guru memberikan penekanan kembali tentang materi- materi yang penting dikuasai serta bersama siswa mengevaluasi sumbangan
anggota dan prestasi kelompoknya pada akhir kegiatan pembelajaran. Dalam
Qohar 2009:36 Whithin mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi menjadi penting ketika diskusi antarsiswa dilakukan.
Metode student facilitator and explaining merupakan suatu metode dimana siswa mempresentasikan ide atau pendapat pada siswa lainnnya Suyatno,
2009:126. Langkah-langkah pembelajaran dengan metode student facilitator and explaining yaitu guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, guru
menyajikan materi, memberikan kesempatan siswa untuk menjelaskan kepada siswa lainnnya baik melalui bagan atau peta konsep maupun yang lainnya, guru
menyimpulkan ide atau pendapat dari siswa sekaligus memberi penjelasan singkat, evaluasi, dan penutup. Melalui metode student facilitator and explaining
siswa diajak untuk dapat menerangkan kepada siswa yang lain, siswa dapat mengeluarkan ide-ide yang ada di pikirannya sehingga lebih dapat memahami
materi tersebut. Dengan demikian proses pembelajaran bahasa Indonesia khususnya keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi
menggunakan metode student facilitator and explaining diharapkan dapat meningkatkan keterampilan mengubah teks hasil wawancara menjadi narasi.
Kemudian selain itu, dalam proses pembelajaran ini tidak hanya pengetahuan saja yang dibutuhkan, namun pendidikan karakter juga sangat
dibutuhkan. Kebutuhan pendidikan karakter pada saat ini sangat meningkat. Hal itu disebabkan karena generasi pemuda saat ini tidak memperhatikan tingkah laku
mereka. Padahal negara Indonesia sangat menjunjung budaya ketimuran yaitu tentang budaya karakter. Oleh karena itu, guru di sekolah harus menanamkan
nilai-nilai karakter sejak usia dini di lingkungan sekolah. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari orang lain.
Krisis karakter yang dialami bangsa Indonesia saat ini sudah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Sifat tulus, luhur, mulia, jujur, kesopanan, dan
tanggung jawab terkikis seketika tergantikan dengan rasa cemas, kekerasan, perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai, keyakinan, norma-norma, agama,
adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
Pendidikan karakter di sekolah, dianggap akan dapat mencegah meningkatnya perilaku menyimpang pelajar. Pendidikan karakter diharapkan
menciptakan generasi unggul, tangguh dan mempunyai daya saing. Pada kenyataannya, siswa mengalami penurunan etika dalam berkomunikasi dengan
guru dalam proses pembelajaran. Selama jam sekolah berlangsung, siswa yang sedang berada di kelas pada proses pembelajaran, bebas berjalan, keluar-masuk
kelas, mengerjakan tugas mata pelajaran lain, dan sibuk melakukan aktifitas lain seperti menggunakan laptop maupun telepon genggam yang tidak berkaitan
dengan materi. Peserta didik tidak begitu memperhatikan guru yang sedang memberikan petunjuk serta penjelasan mengenai materi dan tugas. Oleh karena
itu, diterapkannya pendidikan karakter di sekolah sangatlah penting.
1.2 Identifikasi Masalah