Analisis Spasial Iklim terhadap Kejadian Tb di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012

(1)

ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012

TESIS

Oleh

LAMBOK SINAGA 117032170/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

SPATIAL ANALYSIS OF CLIMATE ON THE INCIDENCE OF LUNG TUBERCULOSIS IN SERDANG BEDAGAI REGENCY

IN PERIOD OF 2009-2012

THESIS

By

LAMBOK SINAGA 117032170/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

LAMBOK SINAGA 117032170/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012 Nama Mahasiswa : Lambok Sinaga

Nomor Induk Mahasiswa : 117032170

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri

Menyetujui Komisi Pembimbing

Ketua

(Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc)

Anggota

(dr. Taufik Ashar, M.K.M)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 07 Mei 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Anggota : 1. dr. Taufik Ashar, M.Kes

2. Ir. Evi Naria, M.Kes 3. Ir. Indra Chahaya, M.Si


(6)

PERNYATAAN

ANALISIS SPASIAL IKLIM TERHADAP KEJADIAN TB PARU DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2009 - 2012

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Lambok Sinaga


(7)

ABSTRAK

Penyakit Tb paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Fluktuasi angka prevalensi dalam kurun waktu empat tahun, yang pada tahun 2009 menunjukkan angka prevalensi sebesar 74/100.000, tahun 2010 sebesar 113/100.000, tahun 2011 sebesar 87/100.000 dan tahun 2012 sebesar 129/100.000 jumlah penduduk. Salah satu faktor yang paling besar terhadap epidemiologi TB paru adalah faktor lingkungan. Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian TB paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus TB Paru di suatu wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim dengan kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai dengan mengamati daerah pesisir dan daerah bukan pesisir dengan menggunakan studi ekologi melalui pendekatan spasial dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji korelasi Sperman dan Pearson, dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda pada taraf kepercayaan 95 %, serta analisis spasial dengan tehnik Overlay.

Hasil penelitian ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti. Hasil uji regresi linier berganda diketahui bahwa kelembaban udara (p=0,013) dan lama penyinaran matahari (p=0,012) adalah faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi kejadian Tb paru di daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012. Dari hasil secara spasial variabel iklim berpengaruh terhadap fluktuasi kejadian Tb paru di Kecamatan Perbaungan dan Tebing Sahbandar.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan, perlu berkomunikasi dengan BMKG agar dapat mengantisipasi peningkatan kejadian penyakit infeksi yang disebabkan oleh keadaan iklim terutama penyakit Tb paru dan melakukan peningkatan kemampuan menggunakan program pemetaan, agar dapat memutuskan rantai penularan Tb paru dan faktor yang mempengaruhinya.


(8)

ABSTRACT

Lung tuberculosis becomes the maun health problem in Serdang Bedagai Regency. The fluctuation of prevanlence rate in the period of four years which showed the prevalence rate of the population was 74/100.00 in 2009, 113/100.000 in 2010, 87/100.000 in 2011 dan 129/100.000 in 2012. One of the most important factors of the epidemiology of lung tuberculosis is enviroment. Partially, the factor of enviroment contributes to the incidence of lung tuberculosis individually, and simulataneously it becomes the description of incidence of lung tuberculosis in a region.

The objective of research was to find out the correlation between climate and the incidence of lung tuberculosis in Serdang Bedagai Regency by observing the coastal area dan no-coastal are by using ecology study through spatial approach with secondary data. The data were analyzed by using univariate analysis and bivariate analysis with Spearman dan Pearson correlation test, and multivariate analysis with multiple linear regression tests at the level of reliability of 95 %, as well as spatial analysis with Overlay techique.

The result of the research showed that, statistically, there was no correltion among the studied variables. The result of multiple linear regression analysis showed that humidity (p=0,013) and the lengfh of sunshine (p=0,012) were the climate factor which had the most dominant influence on the incidence of lung tuberculosis in the non-coastal area of Serdang Bedagai Regency in period of 2009-2012. Based on the spatial result, it was found that the variable of climate influenced the fluctuation of the incidence of lung tuberculosis in Perbaungan District dan Tebing Sahbandar.

It it recommended that the Health Service communicate with BMKG to anticipate the increase of incidence infection, especially in the incidence of lung tuberculosis, caused by climate and improve the capability of making mapping program in order to break off the link of lung tuberculosis transmission and the factors which influenced it.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Analisis Spasial Iklim terhadap Kejadian Tb di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ”.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini, menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H,M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

pembimbing dengan sabar dan tulus serta banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

5. Ir. Evi Naria, M.Kes dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku komisi penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini. 6. Seluruh Dosen Minat Studi Manejemen Kesehatan Lingkungan Industri,

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Dr. Helmi Iskandar Sinaga, M. Kes, selaku Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Serdang Bedagai yang telah memberikan izin dan data penelitian.

8. Ayi Sudrajat, S.P, M.Si selaku petugas pada Stasiun BMKG Sampali yang telah memberikan informasi dan data keadaan iklim Kabupaten Serdang.

9. Para teman sejawat dan rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya Minat Studi Manajemen Kesehatan Lingkungan Industri.

Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada keluarga tercinta Ayahanda Johnson Sinaga dan Ibunda Rumintang Lumban Gaol yang telah memberikan dukungan moral dan moril sehingga penulis mendapatkan pendidikan terbaik.

Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis curahkan kepada Isteri tercinta Tiarma Endayani Sianturi dan anakku tersayang Maria Chris Rogate


(11)

Sinaga dan Juan Estomihi Sinaga yang penuh pengertian dan kesabaran, serta turut memberikan doa dengan rela kehilangan banyak waktu bersama dalam masa-masa menempuh pendidikan ini dan banyak sekali memberikan motivasi serta dukungan moril kepada penulis agar dapat menyelesaikan pendidikan.

Akhirnya penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan yang ada, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, Juli 2014 Penulis

Lambok Sinaga 117032170/IKM


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACK ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Kejadian Tuberkulosis Paru ... 8

2.1.1 Batasan ... 8

2.1.2 Epidemiologi TB Paru ... 8

2.1.3 Patogenesis dan Patologi ... 9

2.1.4 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian TB Paru ... 16

2.2 Iklim dan Kejadian Tuberkulosis Paru ... 21

2.2.1 Suhu atau Temperatur Udara ... 22

2.2.2 Kelembaban Udara ... 23

2.2.3 Curah Hujan... 24

2.2.4 Penyinaran Matahari ... 25

2.3 Analisa Spasial ... 27

2.3.1 Pengertian Analisa Spasial ... 27

2.3.2 Sistem Informasi Geografi (SIG) ... 29

2.3.3 Penggunaan ArcView dalam SIG... 30

2.3.4 Teknik Analisa Spasial ... 32

2.4 Defenisi Daerah Pesisir ... 35

2.5 Landasan Teori... 36


(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

3.3 Objek Penelitian ... 41

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 42

3.5.1 Variabel Penelitian ... 42

3.5.2 Defenisi Operasional ... 42

3.6 Metode Analisis Data ... 43

3.7 Analisis Spasial ... 45

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 46

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 46

4.1.1 Keadaan Geografi ... 46

4.1.2 Keadaan Demografi ... 48

4.2 Analisis Univariat ... 50

4.2.1 Gambaran Iklim di Daerah Pesisir ... 50

4.2.2 Kejadian Tb Paru Daerah Pesisir ... 63

4.2.3 Gambaran Iklim di Daerah Bukan Pesisir ... 65

4.2.4 Kejadian Tb Paru Daerah Bukan Pesisir ... 77

4.3 Uji Normalitas Data ... 79

4.3.1 Uji Normalitas Data Daerah Pesisir ... 80

4.3.2 Uji Normalitas Data Daerah Bukan Pesisir ... 81

4.4 Analisis Bivariat ... 82

4.4.1 Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru di daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 82

4.4.2 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 85

4.4.3 Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 89

4.4.4 Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir... 91

4.4.5 Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru di Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir ... 95

4.5 Analisis Multivariat ... 98

4.5.1 Faktor Iklim Paling Dominan yang Mempengaruhi Kejadian Tb paru pada Daerah Bukan Pesisir ... 98

4.6 Analisis Spasial ... 100

4.6.1 Overlay Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 101

4.6.2. Overlay Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 103


(14)

4.6.3 Overlay Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru di

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 103

4.6.4 Overlay Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 106

4.6.5 Overlay Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 106

BAB 5. PEMBAHASAN ... 109

5.1. Gambaran Iklim Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 – 2012 ... 109

5.1.1 Gambaran Suhu Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 110

5.1.2 Gambaran Kelembaban Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 112

5.1.3 Gambaran Curah Hujan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 113

5.1.4 Gambaran Lama Penyinaran Matahari Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012... 115

5.1.5 Gambaran Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 116

5.1.6 Gambaran Kejadian Tb paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 117

5.2. Korelasi Iklim dengan Kejadian Tb paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 118

5.1.1 Korelasi Suhu Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 119

5.1.2 Korelasi Kelembaban Udara Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 120

5.1.3 Korelasi Curah Hujan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 121

5.1.4 Korelasi Lama Penyinaran Matahari Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012... 122

5.1.5 Korelasi Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 123

5.3. Faktor Iklim yang Mempengaruhi Kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 – 2012 ... 124

5.4. Analisis Spasial ... 126

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

6.1. Kesimpulan ... 128


(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 131 LAMPIRAN ... 138


(16)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 3.1 Definisi Operasional ... 42 4.1 Jumlah Penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009

-2012 ... 48 4.2 Jumlah Penduduk pada Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Sei

Rampah, Kecamatan Tanjung Beringin, Kecamatan Sipispis, Kecamatan Tebing Sahbandar dan Kecamatan Kotarih Tahun 2009-2012 ... 49 4.3 Variasi Suhu Udara (0C) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 50 4.4 Distribusi Suhu Udara (0C) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 51 4.5 Variasi Kelembaban Udara (%) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 53 4.6 Distribusi Kelembaban Udara (%) Daerah Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 54 4.7 Variasi Curah Hujan (mm) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 56 4.8 Distribusi Curah Hujan (mm) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 57 4.9 Variasi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 58 4.10 Distribusi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 60 4.11 Variasi Kecepatan Angin (knot) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang


(17)

4.12 Distribusi Kecepatan Angin (knot) Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 62 4.13 Jumlah Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 64 4.14 Distribusi Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 65 4.15 Variasi Suhu Udara (0C) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai Tahun 2009-2012 ... 66 4.16 Distribusi Suhu Udara (0C) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 67 4.17 Variasi Kelembaban Udara (%) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 68 4.18 Distribusi Kelembaban Udara (%) Daerah Bukan Pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 69 4.19 Variasi Curah Hujan (mm) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 70 4.20 Distribusi Curah Hujan (mm) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 71 4.21 Variasi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Bukan Pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 73 4.22 Distribusi Lama Penyinaran Matahari (%) Daerah Bukan Pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 74 4.23 Variasi Kecepatan Angin (knot) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten

Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 75 4.24 Distribusi Kecepatan Angin (knot) Daerah Bukan Pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 76 4.25 Jumlah Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten


(18)

4.26 Distribusi Kejadian Tb paru (kasus) Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 79 4.27 Uji Normalitas Data Variabel – variabel Penelitian Tahun

2009-2012 Daerah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ... 80 4.28 Uji Normalitas Data Variabel – variabel Penelitian Tahun

2009-2012 Daerah Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ... 81 4.29 Analisis Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru Daerah

Pesisir dan Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun

2009-2012 ... 82 4.30 Analisis Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru

Daerah Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 86 4.31 Analisis Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru Daerah

Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 .. 89 4.32 Analisis Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb

paru Daerah Pesisir dan Bukan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun

2009-2012 ... 92 4.33 Analisis Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru

Daerah Pesisir dan Bukan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 97 4.34 Hasil Uji Analisis Regresi Linier Berganda Variabel Penelitian


(19)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit ... 18 2.2 Modifikasi Kerangka Teori Hubungan Faktor Lingkungan

dengan Kejadian Tuberkulosis oleh Murti (2003) dan Achmadi

(2005) ... 38 2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 39 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Serdang Bedagai Menurut

Kecamatan ... 47 4.2 Grafik Jumlah Penduduk di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun

Tahun 2009 – 2012 ... 48 4.3 Grafik Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru Daerah

Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 83 4.4 Grafik Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tb Paru Daerah

Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 85 4.5 Grafik Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru

Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 87 4.6 Grafik Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru

Daerah Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 88 4.7 Grafik Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb Paru Daerah

Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 90 4.8 Grafik Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tb Paru Daerah

Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 91 4.9 Grafik Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb

Paru Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 93 4.10 Grafik Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tb


(20)

4.11 Grafik Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb Paru

Daerah Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 96 4.12 Grafik Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb Paru

Daerah Bukan Pesisir Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 97 4.13 Overlay Rata-rata Suhu Udara dengan Kejadian Tb paru

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 102 4.14 Overlay Rata-rata Kelembaban Udara dengan Kejadian Tb paru

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 104 4.15 Overlay Rata-rata Curah Hujan dengan Kejadian Tb paru

Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 105 4.16 Overlay Rata-rata Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian

Tb Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 ... 107 4.17 Overlay Rata-rata Kecepatan Angin dengan Kejadian Tb paru


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Analisis Univariat ... 138

2. Uji Normalitas ... 144

3. Uji Korelasi ... 149

4. Analisis Regresi Berganda ... 164

5. Data BMKG ... 165

6. Data Sekunder Tb paru Dinas Kesehatan Kab. Serdang Bedagai ... 171

7. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 175

7. Surat Telah Menyelesaikan Penelitian dari Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai ... 176


(22)

ABSTRAK

Penyakit Tb paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di Kabupaten Serdang Bedagai. Fluktuasi angka prevalensi dalam kurun waktu empat tahun, yang pada tahun 2009 menunjukkan angka prevalensi sebesar 74/100.000, tahun 2010 sebesar 113/100.000, tahun 2011 sebesar 87/100.000 dan tahun 2012 sebesar 129/100.000 jumlah penduduk. Salah satu faktor yang paling besar terhadap epidemiologi TB paru adalah faktor lingkungan. Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian TB paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus TB Paru di suatu wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara iklim dengan kejadian Tb paru di Kabupaten Serdang Bedagai dengan mengamati daerah pesisir dan daerah bukan pesisir dengan menggunakan studi ekologi melalui pendekatan spasial dengan menggunakan data sekunder. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat dengan menggunakan uji korelasi Sperman dan Pearson, dan multivariat dengan menggunakan uji analisis regresi linier berganda pada taraf kepercayaan 95 %, serta analisis spasial dengan tehnik Overlay.

Hasil penelitian ini menunjukkan secara statistik bahwa tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti. Hasil uji regresi linier berganda diketahui bahwa kelembaban udara (p=0,013) dan lama penyinaran matahari (p=0,012) adalah faktor iklim yang paling dominan mempengaruhi kejadian Tb paru di daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012. Dari hasil secara spasial variabel iklim berpengaruh terhadap fluktuasi kejadian Tb paru di Kecamatan Perbaungan dan Tebing Sahbandar.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan, perlu berkomunikasi dengan BMKG agar dapat mengantisipasi peningkatan kejadian penyakit infeksi yang disebabkan oleh keadaan iklim terutama penyakit Tb paru dan melakukan peningkatan kemampuan menggunakan program pemetaan, agar dapat memutuskan rantai penularan Tb paru dan faktor yang mempengaruhinya.


(23)

ABSTRACT

Lung tuberculosis becomes the maun health problem in Serdang Bedagai Regency. The fluctuation of prevanlence rate in the period of four years which showed the prevalence rate of the population was 74/100.00 in 2009, 113/100.000 in 2010, 87/100.000 in 2011 dan 129/100.000 in 2012. One of the most important factors of the epidemiology of lung tuberculosis is enviroment. Partially, the factor of enviroment contributes to the incidence of lung tuberculosis individually, and simulataneously it becomes the description of incidence of lung tuberculosis in a region.

The objective of research was to find out the correlation between climate and the incidence of lung tuberculosis in Serdang Bedagai Regency by observing the coastal area dan no-coastal are by using ecology study through spatial approach with secondary data. The data were analyzed by using univariate analysis and bivariate analysis with Spearman dan Pearson correlation test, and multivariate analysis with multiple linear regression tests at the level of reliability of 95 %, as well as spatial analysis with Overlay techique.

The result of the research showed that, statistically, there was no correltion among the studied variables. The result of multiple linear regression analysis showed that humidity (p=0,013) and the lengfh of sunshine (p=0,012) were the climate factor which had the most dominant influence on the incidence of lung tuberculosis in the non-coastal area of Serdang Bedagai Regency in period of 2009-2012. Based on the spatial result, it was found that the variable of climate influenced the fluctuation of the incidence of lung tuberculosis in Perbaungan District dan Tebing Sahbandar.

It it recommended that the Health Service communicate with BMKG to anticipate the increase of incidence infection, especially in the incidence of lung tuberculosis, caused by climate and improve the capability of making mapping program in order to break off the link of lung tuberculosis transmission and the factors which influenced it.


(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara epidemiologi, Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru terjadi di Asia Tenggara sebesar 40%, diikuti regional Afrika (26%), Pasifik Barat (19%), dan terendah pada regional Eropa (3%). Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk (WHO, 2012).

WHO (2009) melaporkan bahwa, bakteri penyebab tuberkulosis paru membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Tahun 2002 – 2020 diperkirakan sekitar 1 milyar manusia akan terinfeksi, dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta setiap tahunnya.

Sejak DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dicanangkan tahun 1995 di Indonesia, penanggulangan tuberkulosis paru mengalami keberhasilan. Keberhasilan pemerintah dalam menerapkan strategi DOTS menunjukkan adanya kemajuan, dari 22 negara yang termasuk high burden country, dimana Indonesia pada tahun 2009 menduduki rangking kelima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria yang sebelumnya dilaporkan sebagai rangking tiga besar dunia (Kemenkes, 2011).


(25)

Namun keberhasilan tersebut tidak menjadi patokan bahwa tuberkulosis paru dapat dilupakan keberadaannya di Indonesia. Dalam Strategi Nasional Pengendalian tuberkulosis paru di Indonesia 2010-2014, Kementerian Kesehatan masih mengganggap bahwa beberapa penyakit menular antara lain, tuberkulosis, Demam Berdarah Dengue (DBD), diare, malaria, HIV/AIDS tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat. Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai dengan baik maka ditetapkan program jangka panjang, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis paru dengan cara memutuskan rantai penularan (Kemenkes, 2011).

Yang menjadi skala prioritas program-program kesehatan, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Periode 2010-2014, dengan sasaran lebih spesifik yaitu menurunkan prevalensi tuberkulosis paru dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Persentase kasus baru yang ditemukan saat ini (73%) dan target 2014 menjadi (90%) serta persentase kasus baru yang disembuhkan kondisi saat ini (85%) dan target 2014 menjadi (88%) (Kemenkes, 2011).

Walaupun upaya penurunan angka kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis paru sudah dilakukan, tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, diketahui angka kejadian tuberkulosis Paru cenderung bervariatif disetiap propinsi, dan berfluktuasi setiap tahunnya. Dari penemuan kasus suspek tuberkulosis paru, diketahui selama kurun waktu 2007-2011, terjadi fluktuasi jumlah suspek tuberkulosis paru. Tahun 2007


(26)

terjadi penurunan sebesar 82 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2006 dan tahun 2009 terjadi penurunan sebesar sebesar 7 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2010 angka ini terjadi peningkatan sebesar 57 per 100.000 penduduk dibandingkan pada tahun 2009, dan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011, angka penjaringan suspek sebesar 550 per 100.000 penduduk. Keadaan ini mendekripsikan bahwa insidensi tuberkulosis paru masih menjadi trend permasalahan penyakit menular di Indonesia, dan pada tahun 2011, angka prevalensi semua tipe tuberkulosis sebesar 316,562 per 100.000 penduduk dengan angka CDR 82,2 % (Kemenkes, 2012).

Begitu juga dengan prevalensi tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai. Berdasarkan Data Profil Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai (2012), menunjukkan bahwa selama kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir 2009-2012, terjadi fluktuasi prevalensi tuberkulosis paru. Tahun 2009 prevalensi tuberkulosis paru sebesar 74 per 100.000 penduduk tahun 2010 prevalensi tuberkulosis paru mengalami kenaikan yaitu sebesar 113 per 100.000 penduduk, tahun 2011 prevalensi tuberkulosis paru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 87 per 100.000 penduduk tetapi masih diatas tahun 2009, sedang tahun 2012 prevalensi mengalami kenaikan yaitu 129 per 100.000 penduduk.

Salah satu faktor yang dinilai mempunyai peran paling besar terhadap epidemiologi tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan. Penelitian Musadad (2006) menjelaskan bahwa faktor lingkungan fisik rumah dalam meningkatkan kejadian tuberkulosis paru seperti, keadaan sirkulasi udara, penggunaan bahan


(27)

bakar, dan kepadatan hunian, dan faktor lingkungan sosial juga menjadi faktor terjadinya peningkatan kasus tuberkulosis paru seperti keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta faktor-faktor bersumber individu lainnya seperti status gizi, umur, pendidikan dan jenis pekerjaan (Helper, 2010).

Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian tuberkulosis paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus tuberkulosis paru di suatu wilayah. Deskripsi kejadian tuberkulosis paru dapat digambarkan berdasarkan karakteristik wilayah yang didasarkan pada karakteristik individu penderita tuberkulosis paru, karakteristik lingkungan fisik seperti iklim, dan keadaan cuaca lainnya secara kewilayahan. Deskripsi keadaan tuberkulosis paru secara kewilayah ini menjadi masukan dalam upaya pengendalian tuberkulosis paru secara kewilayahan dan nasional. Menurut Ahmadi (2011) faktor lingkungan fisik seperti kelembaban udara, suhu, kecepatan angin dan faktor sinar matahari merupakan unsur penting dari lingkungan untuk mendekripsikan keadaan kesehatan penduduk suatu wilayah.

Pendekatan spasial juga dinilai efektif dalam mengambarkan keadaan surveilans epidemiologi tuberkulosis paru. Secara umum sistem surveilans epidemiologi yang lazim digunakan sekarang adalah merujuk pada pengumpulan data secara parsial disetiap wilayah kerja puskesmas, dan hanya mengandalkan tenaga supervisor tuberkulosis paru yang ditunjuk oleh puskesmas, dan sistem pencatatan masih bersifat manual, artinya pencatatan tersebut dinilai tidak efektif


(28)

karena tidak terintegrasi dengan sistem komputer atau sistem yang dapat menjustifikasi keadaan sesungguhnya termasuk keadaan iklim wilayah. Menurut Murti (2003) kegiatan surveilans meliputi pengumpulan data, analisis berupa distribusi kasus, tren penyakit, karakteristik demografik penderita yang kemudian didiseminasikan secara teratur pada pihak yang berwenang untuk mendukung pengambilan keputusan (decision making). Penggunaan SIG akan sangat membantu di bidang kesehatan masyarakat sehingga menjadi lebih terorganisir untuk menganalisa aspek spasial dan temporal dari penyebaran penyakit. Data lokasi dan pola yang dihasilkan oleh SIG dapat membantu di bidang epidemiologi diantaranya memberi petunjuk lokasi paling tepat untuk pemberian intervensi kesehatan yang efektif (Royal Tropical Institute, 2009). Pendekatan spasial sangat beralasan, karena penyebaran suatu penyakit, terutama penyakit menular sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Jika suatu daerah terjangkit suatu penyakit menular, maka terdapat kemungkinan bahwa daerah sekitarnya akan tertular penyakit ini pula (Hartanto, 2010).

Pendekatan spasial dalam mendeskripsikan kejadian tuberkulosis paru suatu wilayah dinilai penting, karena mengingat risiko spasial (ruang/wilayah) seperti iklim,suhu dan lainnya mempunyai peran terhadap fluktuasi kasus tuberkulosis paru. Penelitian Aprisa, et.al (2004) di Kota Yogya menemukan ada perbedaan signifikan kejadian tuberkulosis paru di masing-masing wilayah di Kota Yogya, dan setiap bulannya cenderung berfluktuatif, sehingga pendekatan pengobatan


(29)

dengan DOTS dapat ditingkatkan pada wilayah-wilayah dengan risiko tinggi tuberkulosis.

Fenomena kejadian tuberkulosis paru di Provinsi Sumatera Utara juga sangat bervariatif, termasuk di Kabupaten Serdang Bedagai. Data iklim dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai (2012), menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010-2011, terjadi fluktuasi keadaan iklim di Kabupaten Serdang Bedagai. Tahun 2010 rata-rata suhu udara adalah 28,4 0C dan maksimum 32,1 0C, dengan kelembaban 83%, dan curah hujan 134 mm, dan kasus tuberkulosis paru sebanyak 665 kasus, sedangkan tahun 2011 suhu udara minimum menurun menjadi 27,0 0C, dan maksimum 32,7 0C, dan curah hujan menjadi 92 mm dengan kasus tuberkulosis paru menurun menjadi 586 kasus. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis spasial iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan rekomendasi untuk upaya penanggulangan tuberkulosis paru yang tepat guna, efektif dan efesien.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan fakta bahwa tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan belum adanya pendekatan spasial dalam penerapan surveilans epidemiologi di Kabupaten Serdang Bedagai, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis spasial iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai 2009-2012.


(30)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan analisis spasial iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012.

1.4. Hipotesa

Ho : Tidak ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012.

Ha : Ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan bagi pengambilan kebijakan dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai

b. Bagi ilmu pengetahuan; hasil penelitian ini dapat menjadi informasi ilmiah dalam bidang kesehatan lingkungan.

c. Bagi Peneliti; menambah pengetahuan dan pengalaman baru dalam menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan perangkat lunak Arc View untuk menganalisis suatu permasalah kesehatan.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejadian Tuberkulosis Paru 2.1.1. Batasan

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil sedikit melengkung, dan sifatnya aerob. Kuman ini memiliki dinding sel dengan penyusun struktur dinding sel paling tinggi adalah lipid. Pada pengecatan gram, kuman ini resisten, namun dengan pegecatan fuchsin, kuman ini dapat menyerap warna dan tidak mudah diuraikan warnanya dengan asam-alkohol. Oleh karena itu, bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan asam (Aditama, 2006).

2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang sejarahnya dapat dilacak sampai ribuan tahun sebelum masehi. Sejak zaman purba, penyakit ini dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan. Sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya, penyakit ini masih termasuk penyakit yang mematikan. Saat itu, masih dianut paham bahwa penularan tuberkulosis paru adalah melalui kebiasaan meludah di sembarang tempat ditularkan melalui debu


(32)

dan lalat. Hingga tahun 1960, paham ini masih dianut di Indonesia (Djojodibroto, 2009).

Walaupun upaya memberantas tuberkulosis paru telah dilakukan di Indonesia, tetapi angka insiden maupun prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia tidak pernah turun. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah penderita tuberkulosis paru, dan kini Indonesia adalah negara peringkat kelima terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberkulosis paru. Dengan meningkatnya infeksi HIV/AIDS di Indonesia, penderita tuberkulosis akan meningkat pula. Karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis, pada tahun 1993 WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai kedaruratan global (Djojodibroto, 2009).

2.1.3. Patogenesis dan Patologi

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara (airborne disease) secara langsung dari penderita tuberkulosis paru kepada orang lain. Dengan demikian, penularan penyakit tuberkulosis paru terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang sama. Penyebar penyakit tuberkulosis sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis. Droplet yang mengandung basil tuberkulosis paru yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding sistem pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas,


(33)

droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun ; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi (Djojodibroto, 2009). Bentuk bakteri Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang ramping, kurus, dan tahan akan asam atau sering disebut dengan BTA (batang tahan asam). Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 µm dan lebar 0,2 – 0,5 µm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan (Ginanjar, 2008).

Kuman tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat domant (tertidur lama) selama beberapa tahun (Kemenkes, 2011). Masa inkubasi tuberkulosis paru biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tubuh hingga mencapai jumlah 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman tuberkulosis sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitasi terhadap tuberculin mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primen inilah, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan telah terjadi (Kemenkes 2011).


(34)

Berdasarkan aspek gejala, diketahui tuberkulosis paru mempunyai gejala utama berupa batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit paru selain tuberculosis (Kemenkes, 2011).

Adapun gambaran klinik penderita tuberkulosis paru dapat dibagi atas : 1) Gejala Sistemik

Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam, demam tersebut berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai dengan keluar keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini akan timbul lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah sembuh (tidak demam lagi). Gejala lain adalah malaise (seperti perasaan lesu) yang bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak enak badan, lemah dan lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin kurus, pusing, serta mudah lelah.

2) Gejala Respiratorik

Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih, hal ini terjadi apabila sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau


(35)

sputum, dahak ini kadang bersifat mukoid atau purulent. Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk darah, hal ini disebabkan karena pembuluh darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter (Achmadi, 2008).

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) diulang :

a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.

b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak ulangi dengan SPS lagi.

Bila tiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misal : kotrimoksasol atau amoksisillin) selama 1 – 2 minggu, bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.

a. Kalau hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA positif.

b. Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis tuberkulosis paru.


(36)

1) Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif

2) Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, penderita tersebut bukan tuberkulosis paru

Berdasarkan aspek penularan tuberkulosis paru, diketahui sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis paru ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes, 2007).

Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk berisiko terinfeksi tuberkulosis paru selama satu tahun. ARTI sebesar 1 %, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 %. Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif (Depkes, 2007).


(37)

Secara individu, diketahui banyak variabel yang menjadi faktor risiko kejadian tuberkulosis paru, antara lain faktor jenis kelamin. Widoyono (2008), menjelaskan bahwa seseorang penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit tuberkulosis paru. Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis paru adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa (tidak serumah). Berbagai penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru mengindikasikan hasil yang inkonsisten karena adanya perbedaan lokasi dan tempat penelitian.

Ratnasari (2005) menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, kepadatan hunian dan intensitas pencahayaan merupakan faktor risiko tuberkulosis paru, sedangkan kebiasaan merokok, luas ventilasi dan riwayat kontak bukan merupakan faktor risiko tuberkulosis paru. Hal ini bertentangan dengan penelitian Mahmudah (2003) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru. Serta pada penelitian Simbolon (2007) menunjukkan bahwa luas ventilasi dan riwayat kontak merupakan faktor risiko tuberkulosis paru.

Kartasasmita (2009), faktor risiko terjadinya infeksi tuberkulosis antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan tuberkulosis aktif (kontak tuberkulosis positif ), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak


(38)

sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang banyak terdapat pasien tuberkulosis dewasa aktif. Sumber infeksi tuberkulosis pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.

Lienhard (2003), penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi tuberkulosis di Gambia mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki laki dan perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki laki. Hal ini diduga akibat dari peran social dan aktivitas sehingga lebih terpajan pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya kontak dengan pasien tuberkulosis merupakan faktor risiko utama, dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah (household contact) dengan anggota keluarga yang sakit tuberkulosis sangat berperan untuk terjadinya infeksi tuberkulosis di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit tuberkulosis, dan satu kamar dengan penderita tuberkulosis di malam hari, terutama bila satu tempat tidur


(39)

2.1.4. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Faktor lingkungan sangat berkontribusi untuk mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang seperti yang dikemukakan H.L. Blum (1974) dalam Notoadmodjo (2008) yaitu status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari keempat komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor lingkungan paling besar memberikan kontribusi terhadap terjadinya suatu penyakit, yaitu sebesar 40% sedangkan yang paling kecil adalah pelayanan medis sebesar 10%.

Pendapat lain yang memperkuat bahwa faktor lingkungan memiliki kontribusi yang besar terhadap terjadinya suatu penyakit dapat dipelajari pada teori simpul kejadian penyakit yang dikemukakan Achmadi (2005) dimana suatu penyakit itu terjadi oleh karena adanya interaksi antara faktor lingkungan dan faktor kependudukan. Timbulnya suatu penyakit pada masyarakat tertentu pada dasarnya merupakan hasil interaksi antara penduduk setempat dengan berbagai komponen di lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga. Apabila berbagai komponen lingkungan tersebut mengandung bahan berbahaya seperti beracun, ataupun bahan mikroba yang memiliki potensi timbulnya penyakit, maka manusia akan jatuh sakit dan dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Bulto (2006), iklim adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan kondisi yang memudahkan perkembangan beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme. Iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit dan


(40)

kematian, oleh karena penyakit bounded terhadap ekosistem, dan manusia bagian dari sebuah ekosistem. Sementara itu kejadian penyakit merupakan inti permasalahan kesehatan, dan kesehatan merupakan salah satu kontributor utama penyebab kemiskinan. Hasil telaahan juga mengindikasikan, ada tiga variabel utama yang harus dilakukan secara simultan, yaitu: pendidikan, kesehatan dan pengendalian kemiskinan (perbaikan ekonomi). Berbagai tinjauan kepustakaan lainnya juga menyebutkan bahwa iklim bermakna kehidupan. Perubahan iklim akan diikuti perubahan ekosistem. Atau tata kehidupan yang pada akhirnya merubah pola hubungan interaksi antara lingkungan dan manusia yang berdampak terhadap derajat kesehatan masyarakat. Hubungan iklim dengan penyakit merupakan hubungan yang rumit. Dua aspek dasar pengaruh iklim dengan penyakit, yaitu: hubungan faktor iklim terhadap organisme penyakit atau penyebarannya, dan pengaruh cuaca dan iklim terhadap ketahanan tubuh. Banyak penyakit yang berhubungan dengan iklim atau musim tertentu, terutama dengan suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit hanya dapat menginfeksi manusia di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.

Variabel-variabel yang merupakan komponen iklim menurut Achmadi (2008), seperti: suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, kelembaban ruang, kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel kependudukan. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai penyakit yang berbeda dan dengan cara berbeda satu sama lain pula. Salah satu pengaruh


(41)

perubahan iklim adalah terhadap potensi peningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti: demam berdarah, malaria, dan sebagainya. Hubungan antara lingkungan, kependudukan dan determinan iklim serta dampaknya terhadap kesehatan dapat digambarkan kedalam teori simpul kejadian penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan yang pada hakekatnya juga merupakan model patogenesis kejadian penyakit. Tidak semua variable dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap model hubungan berbagai variable kependudukan dan lingkungan tersebut.

Lebih lanjut Achmadi (2008) menyatakan bahwa semua penyakit harus digambarkan dalam sebuah model dinamika transmisi dengan menggunakan prosedur tertentu, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1. berikut.

Gambar 2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit Sumber, Achmadi, (2008)

Berdasarkan gambar 2.2 di atas, maka patogenesis atau proses kejadian penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yaitu :

Sumber Penyakit (simpul 1)

Media Transmisi (simpul 2)

Kependudukan (simpul 3)

Sakit/Sehat (simpul 4)

Variabel lain yang berpengaruh (topografi, iklim, dan lain-lain) (simpul 5)


(42)

a. Simpul 1 (Sumber Penyakit)

Merupakan titik yang secara konstan maupun sporadis berpotensi meluar pada manusia. Dalam hal ini berupa virus, bakteri, parasit, atau yang lain (Anies, 2006). Sumber penyakit menular adalah penderita penyakit menular itu sendiri, atau bisa juga sebuah proses kegiatan, misalnya sumber penyakit tuberkulosis paru adalah penderita penyakit yang bersangkutan. Selanjutnya sumber penyakit ini dapat disebut agent penyakit. Agen penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan) (Achmadi, 2008). b. Simpul 2 (Media Transmisi Penyakit)

Media transmisi penyakit yaitu komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit, yang pada hakikatnya hanya ada 5 komponen, yaitu udara, air, tanah (pangan), binatang dan manusia. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit atau agent penyakit. Udara dikatakan memiliki potensi menimbulkan penyakit kalau di dalamnya terdapat mycobaterium tuberculosis (Achmadi, 2008). Dalam penelitian ini media transmisi yang diteliti adalah suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin.


(43)

c. Simpul 3 (Perilaku Pemajanan)

Agent penyakit, dengan atau tanpa menumpang komponen lingkungan lain, masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses “hubungan interaktif”. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure. Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit (agent penyakit) (Achmadi, 2008). Misalnya jumlah bakteri mycobacterium tuberculosis yang terhirup manusia sehat ketika berada dekat dengan penderita tuberkulosis paru saat mengeluarkan batuk yang disertai kuman tuberkulosis paru.

d. Simpul 4 (Kejadian Penyakit)

Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang dikatakan sakit kalau salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan rata-rata penduduk lainnya. Biasanya kelainan bentuk atau kelainan fungsi, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial (Achmadi, 2008).

e. Simpul 5 (Variabel Suprasistem)

Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh variabel iklim, topografi, temporal dan suprasistem lainnya, yaitu keputusan politik berupa kebijakan makro yang bisa mempengaruhi semua simpul (Achmadi, 2008).


(44)

2.2. Iklim dan Kejadian Tuberkulosis Paru

Salah satu faktor yang berkorelasi terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan. Komposisi dari faktor lingkungan tersebut antara lain adalah iklim. Iklim berpengaruh terhadap agen hidup di lingkungan dalam terlaksanannya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme mempunyai syarat bagi kehidupan yang optimum, baik temperatur, zat hara, dan lain lain. Iklim juga berpengaruh terhadap host beserta perilakunya, misalnya mortalitas dan morbiditas dikatan bervariasi atas dasar iklim, penyakitpun banyak yang musiman. Tidak hanya penyakit atau agentnya yang dipengaruhi musim, tetapi ternyata manusia juga mengalami siklus atau mempunyai bioritme yang bervariasi seiring musim (Soemirat, 2010). Seperti halnya Mycobacterium tuberculosis akan mati jika terkena sinar UV secara langsung dalam waktu 5 menit (Crofton, 2009).

Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat, terutama terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis wilayah. Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang (bulan, tahun) pada suatu wilayah tertentu. Rata-rata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi dipermukaan bumi (Achmadi, 2008).

Iklim sebagai perwujudan kumulatif keadaan cuaca harian paling sering dipaparkan dengan memanfaatkan rata-rata elemen atau variabel iklim, terutama


(45)

temperatur dan presipitasi, tetapi juga sinar matahari dan angin. Apabila variasi rata-rata iklim digambarkan dalam peta, masalah geografis yang muncul dari distribusi spasial akan terungkap. Menurut Putri (2008), penggunaan rata-rata bulanan, dan bukannya rata-rata tahunan, dapat memperlihatkan karakteristik dari perubahan-perubahan musim. Dan karena rata-rata temperatur tiap bulan biasanya berbeda dari rata-rata iklim untuk jangka waktu yang panjang, penyimpangannya dari statistik dari rata-rata juga dapat dihitungkan dan dicantumkan pada peta.

Penelitian Aprisa, et.al (2004), bahwa kecenderungan kluster tuberkulosis di daerah yang berdekatan dengan sungai. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dengan membuat zona buffer sungai, dan diketahui bahwa 30,32% kasus berada <100m dari sungai; 54,79% kasus berada dalam range <250m dari sungai (77,66% kasus terjadi dalam jarak <500m dari sungai) dan hanya 22,34% kasus yang terletak >500m dari sungai.

2.2.1. Suhu atau Temperatur Udara

Suhu merupakan keadaan udara panas atau dingin suatu waktu yang diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Hubungan antara iklim dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung pemanasan global pada kesehatan manusia misalnya stress akibat kepanasan (heat stress). Selain itu kenaikan temperatur lingkungan juga akan mempengaruhi dampak polusi udara terutama di daerah perkotaan dan berpengaruh terhadap individu dengan penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung, asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya (Achmadi, 2008).


(46)

Menurut Goul dan Brooker dalam Ruswanto (2010), bakteri mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25 - 40 º C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31- 37 º C.

Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, ada yang tumbuh pada suhu yang rendah (15oC – 20oC), bahkan ada pula yang tumbuh pada suhu yang tinggi. Kuman mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu sekitar 37o

2.2.2. Kelembaban Udara

C yang memang kebetulan sesuai dengan suhu tubuh manusia (Depkes, 1999). Penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun 2010, terdapat hubungan signifikan antara kejadian tuberkulosis paru dengan suhu udara ruangan dalam rumah (OR = 4,354) dan adanya asosiasi antara kejadian tuberkulosis paru dengan suhu udara di luar rumah (OR = 3,842).

Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu: kelembapan mutlak dan kelembaban nisbi. Kelembaban mutlak (absolut) ialah jumlah massa uap air yang ada dalam suatu satuan volume di udara. Kelembaban nisbi (relatif) ialah banyaknya uap air di dalam udara berupa perbandingan antara jumlah uap air yang ada dalam udara saat pengukuran dan jumlah uap air maksimum yang dapat ditampung oleh udara tersebut (Ruswanto, 2010).


(47)

Menurut Goul & Brooker dalam Ruswanto (2010), bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Kelembaban merupaan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk Mycobacterium tuberculosis sehingga viabilitasnya lebih lama (Achmadi, 2008). Pada waktu bersin atau batuk pasien tuberkulosis paru BTA positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama, dan percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab (Depkes RI, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi tahun 2003 di Kota Bogor menyebutkan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena tuberkulosis paru 10,7 kali dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60 %.

2.2.3. Curah Hujan

Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup Mycobacterium tuberculosis (Olender, 2003).


(48)

Menurut Chandra dalam Achmad (2010), curah hujan didefenisikan sebagai hujan yang jatuh dari atmosfir pada bidang horizontal, sebelum menguap dan meresap kedalam tanah sebanyak satu liter pada setiap bidang seluas 1 m2

2.2.4. Penyinaran Matahari

. Pada musim hujan rumah menjadi lembab, dinding dan lantai rumah basah oleh air hujan yang merembes naik. Pada saat banjir banyak penderita tuberculosis yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh kembali. Bulan-bulan di wilayah tropik berdasarkan klasifikasi iklim Mohr dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan banyaknya curah hujan, yaitu; bulan dengan curah hujan lebih dari 100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60- 100 mm dan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm.

Matahari adalah sumber panas bagi bumi. Walaupun bumi sudah memiliki panas sendiri yang berasal dari dalam, panas bumi lebih kecil artinya dibandingkan dengan panas matahari. Panas matahari mencapai 60 gram kalori/cm2, tiap jam, sedangkan panas bumi hanya mencapai 55 gram/cm2 tiap tahunnya.

Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung dalam waktu 2 jam, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun (Depkes, 2007).

Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar


(49)

ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari (Soemirat, 2010).

Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah terutama cahaya matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman- kuman patogen seperti kuman Mycobactrium tuberculosis (Achmadi, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun 2010 menyebutkan dari hasil uji statistik multivariat pencahayaan alami juga menunjukkan hasil yang signifikan karena nilai OR = 4,385 dengan CI 95% 1,261<OR<15,241, nilai ρ-value = 0,020, sehingga penduduk yang tinggal dalam rumah yang mempunyai pencahayaan alami < 60 lux mempunyai risiko 4,385 kali dibandingkan dengan penduduk yang tinggal dam rumah yang mempunyai pencahayaan alami ≥ 60 lux terhadap kejadian penyakit tuberkulosis.


(50)

2.3.Analisa Spasial

2.3.1. Pengertian Analisa Spasial

Secara umum, analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan potensi hubungan atau pola-pola yang (mungkin) terdapat di antara unsur-unsur geografis (yang terkandung dalam data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu (Prahasta, 2009).

Analisis spasial merupakan pembuka jalan bagi studi lebih detail dan akurat, menawarkan pendekatan alternatif untuk menghasilkan, mengutamakan, dan menganalisis data untuk mencari sebab-sebab serta faktor risiko penyakit (Achmadi, 2008).

Dalam pengolahan analisis spasial diperlukan data spasial. Data spasial adalah data yang merepresentasikan fenomena geografis yang memiliki posisi absolut (koordinat) atau posisi relatif (jarak) di permukaan bumi dan memiliki atribut tambahan lainnya yang mewakili fenomena tersebut. Data spasial diekspresikan kedalam bentuk vektor dan raster, di dalam bentuk vektor diwujudkan dalam point, garis dan poligon, sedangkan dalam bentuk raster diwujudkan ke dalam grid. Data spasial yang menyangkut persebaran penyakit dan faktor-faktor risikonya merupakan unsur yang sangat penting dalam studi epidemiologi. Dimana untuk mengetahui hubungan hubungan keterjangkitan


(51)

penyakit dengan populasi dan determinan - determinan dalam lingkungan (Erlangga, 2009).

Analisa spasial dalam manajemen penyakit berbasis wilayah dapat dirumuskan sebagai uraian dan analisis kejadian penyakit serta menghubungkannya dengan semua data spasial yang diperkirakan merupakan faktor risiko kesehatan, baik lingkungan maupun faktor sosial ekonomi dan perilaku masyarakat setempat dalam sebuah wilayah spasial, sebagai dasar manajemen penyakit atau kajian lebih lanjut. Analisa spasial dapat menganalisa dua hal sekaligus yakni sebuah titik atau lokasi sebuah events dalam hal ini adalah kejadian penyakit (kasus) hubungannya dengan variabel spasial (faktor risiko) yang mempengaruhinya atau berhubungan pada wilayah spasial atau permukaan bumi (Achmadi, 2008).

Pemanfaatan analisa spasial untuk melakukan analisa persebaran faktor risiko baik penyakit infeksi maupun non infeksi, serta penyakit yang ditularkan oleh binatang nyamuk vektor, pelayanan kesehatan seperti ambulance keliling, rumah sakit, analisa potential hazards lingkungan, pengelompokkan kejadian penyakit, pemetaan informasi kesehatan, data dasar kesehatan masyarakat dan lain sebagainya. Yang terpenting dasar dari sebuah analisa spasial adalah menghubungkan sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka bumi dalam satu wilayah (Achmadi, 2008).


(52)

2.3.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Mustopo (2009) menjelaskan, SIG adalah sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisa, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Kegunaan dari SIG adalah dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk dijital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara.

SIG dapat merepresentasikan dunia nyata pada monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas (Nazaruddin, 2009).

Komponen utama sistem informasi geografis (SIG) terbagi empat kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke system lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut. Sistem informasi geografis (SIG) mempunyai peran penting dalam berbagai aspek kehidupan dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi. Dengan mengembangkan SIG maka informasi yang berkenaan dengan


(53)

pewilayahan (spasial) dan pemodelannya serta permasalahan spasial dapat dianalisis dengan lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan (Prahasta, 2009).

Pemanfaatan SIG sebagai bagian dari Sistem Informasi Kesehatan bidang kesehatan adalah sebagai upaya untuk mendeteksi lokasi fenomana spasial dan dapat menduga penyakit karena lingkungan yang berhubungan dengan manusia dan hewan, sehingga dapat untuk melindungi kesehatan masyarakat melalui kewaspadaan yang dini terhadap kemungkinan munculnya fenomena spasial. Selain itu SIG dapat melihat sumber daya kesehatan, penyakit tertentu dan kejadian kesehatan lain melalui visualisasi peta menurut lingkungan sekeliling dan infrastrukturnya. SIG sebagai alat untuk memetakan risiko penyakit, identifikasi pola distribusi penyakit, memantau surveilan dan kegiatan penanggulangan penyakit, mengevaluasi aksesbilitas ke fasilitas kesehatan dan memperkirakan terjadinya wabah penyakit (Nazaruddin, 2009).

2.3.3. Penggunaan ArcView dalam SIG

ArcView adalah salah satu perangkat lunak GIS yang paling populer dan paling banyak digunakan untuk mengelola data spasial dewasa ini. Software ini dibuat oleh ESRI (Environmental Systems Research Institute), perusahaan yang mengembangkan program Arc/Info. Dengan ArcView kita dengan mudah dapat melakukan input data, menampilkan data, mengelola data, menganalisis data, dan membuat peta serta laporan yang berkaitan dengan data spasial bereferensi geografis (Prahasta, 2009).


(54)

ArcView mengorganisasikan sistem perangkat lunaknya sedemikian rupa sehingga dapat dikelompokkan ke dalam beberapa komponen-komponen penting sebagai berikut: Project merupakan suatu unit organisasi tertinggi di dalam ArcView mirip projects yang dimiliki oleh bahasa-bahasa pemprograman atau paling tidak merupakan suatu file kerja yang dapat digunakan untuk menyimpan, mengelompokkan dan mengorganisasikan semua komponen-komponen program: view, theme, table, chart, layout dan script dalam satu kesatuan yang utuh; theme merupakan suatu bangunan dasar sistem ArcView, dan juga merupakan kumpulan dari beberapa layer ArcView yang membentuk suatu tematik tertentu; view mengorganisasikan theme dan merupakan representasi grafis informasi spasial dan dapat menampung beberapa layer atau theme informasi spasial (titik, garis, poligon dan citra raster) (Prahasta, 2009).

Software yang digunakan untuk melakukan analisis spasial dalam penelitian ini adalah ArcView versi 9.1 yang dikeluarkan ESRI. Fasilitas yang terdapat dalam ArcView versi 9.1 sangat beragam, sementara pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah metode overlay. Melalui overlay dapat diketahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta sehingga nanti akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan beberapa peta dan juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan (As-syakur, 2006).

Overlay (tumpang tindih), yaitu suatu analisis spasial esensial yang mengkombinasikan dua layer/tematik yang menjadi masukkannya (Prahasta,


(55)

2009). Layer dapat berupa lapisan vektor atau raster. Misalnya, layer berupa batas administrasi, garis jalan, garis sungai, lokasi perkantoran dan lain sebagainya. Layer-layer tersebut jika digabungkan (overlay) akan membentuk sebuah peta tertentu.

2.3.4. Teknik Analisa Spasial

Dalam penerapan analisis spasial, Achmadi (2008) menjelaskan ada beberapa teknik analisa spasial yang dapat dilakukan untuk menghubungkan sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka bumi dalam satu wilayah, yaitu:

1) Pengukuran, diukur langsung dengan skala dengan garis lurus, melengkung atau luas. Untuk itu telah dikembangkan software untuk analisa hubungan antar variabel yang diobservasi. Lokasi diukur berdasar ukuran langsung, skala, proyeksi, dan lain-lain.

2) Analisa topologis, deskripsi dan analisis hubungan spasial antar variabel. Misalnya, teknik overlay, kejadian tuberkulosis paru dengan ekosistem daerah aliran dataran tinggi dengan dataran rendah.

3) Analisa jejaring (network analysis) adalah cabang analisa spasial yang menginvestigasi alur atau aliran melalui jejaring. Model satu set titik yang dihubungkan satu sama lain dan gambaran aliran, misal untuk menentukan jalur terpendek pelayanan emergensi.

4) Teknik analisa permukaan (surface analysis) mengeliminir beberapa data yang tidak diperlukan agar terlihat lebih mudah melihat hubungan sebuah


(56)

titik atau beberapa titik dengan benda-benda atau unit-unit dalam satu wilayah spasial.

5) Statistik spasial, misalnya menentukan korelasi secara statistik, trend permukaan ataupun menentukan tetangga terdekat, dan lain-lain.

Metode spasial lain yang lazim dikenal adalah metode spasial epidemiologi. Yaitu suatu bidang ilmu untuk mendeskripsikan dan menganalisis keragaman geografis pada penyakit dengan memperhatikan dimensi geografis, lingkungan, prilaku, sosial ekonomi, genetika, dan faktor risiko penularan. Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit, perbandingan menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas administrasi pemerintahan.

Achmadi (2008) menerangkan, kategori analisis spasial dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok utama, yaitu:

1) Pemetaan kasus penyakit

Pemetaan penyakit memberikan suatu ringkasan visual yang cepat tentang informasi geografis yang amat kompleks, dan dapat mengidentifikasi hal-hal atau beberapa informasi yang hilang apabila disajikan dalam bentuk tabel. Pemetaan dapat dapat digunakan untuk tujuan deskriptif, baik untuk menghasilkan hipotesis seperti etiologi, untuk surveilans untuk pengawasan yang menyoroti area pada risiko yang tinggi, dan untuk membantu alokasi sumber daya dan kebijaksanaan. Pemetaan penyakit secara khusus dapat menunjukkan angka mortalitas atau morbiditas untuk suatu area geografi seperti suatu negara, provinsi, atau daerah.


(57)

Pemetaan penyakit mempunyai dua aspek yakni gambaran visual dan pendekatan intuitif, perlu diperhatikan pula pada penafsiran. Pada gambaran yang menyangkut gambaran citra satelit dengan adanya perbedaan resolusi meski data dan ukuran sama juga dapat menimbulkan salah tafsir.

2) Studi hubungan geografis

Tujuannya adalah untuk menguji variasi geografi disilangkan dengan populasi kelompok pemajanan ke variabel lingkungan (yang mungkin diukur di darat, air, atau tanah), ukuran demografi dan sosial ekonomi (seperti pendapatan dan ras), atau faktor gaya hidup (seperti merokok dan diet) dalam hubungan dengan hasil kesehatan mengukur pada suatu skala geografi.

3) Pengelompokkan penyakit

Penyakit tertentu yang mengelompok pada wilayah tertentu patut dicurigai. Dengan bantuan pemetaan yang baik, insidensi penyakit diketahui berada pada lokasi tertentu. Dengan penyelidikan lebih mendalam, maka dapat dihubungkan dengan sumber-sumber penyakit seperti, tempat pembuangan sampah akhir, jalan raya, pabrik tertentu, pembangkit atau saluran udara tegangan tinggi. Namun penyelidikan dengan teknik pengelompokkan penyakit dan insiden penyakit yang dekat sumber penyakit pada umumnya berasumsi bahwa latar belakang derajat risiko yang sama, padahal sebenarnya konsentrasi amat bervariasi antar waktu dan antar wilayah.

Sensitivitas serta instuisi dalam melihat sebuah fenomena, dalam hal ini amat penting. Elliot P, et.al (1992) dalam Achmadi (2008) menyebutkan bahwa


(58)

geografikal-epidemiologi dapat didefinisikan sebagai deskripsi pola-pola spasial insiden penyakit dan kematian. Ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif yang mana lebih umumnya mengenai penggambaran kejadian penyakit berkenaan dengan karakteristik demografi (seperti umur, ras, jenis kelamin), tempat dan waktu.

2.4. Defenisi Daerah Pesisir

Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin.

Sedangkan menurut Kay dan Alder (1999) menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan.

Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi


(59)

setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang batasan wilayah pesisir, kearah daratan mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan.

2.5 Landasan Teori

Determinan kejadian suatu penyakit di suatu wilayah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan perspektif epidemiologi, diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian suatu penyakit dapat merujuk pada teori klasik “triangle of the epidemiology” yang dikemukakan oleh John Gordon yang menyebutkan bahwa yang berkaitan erat dengan terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: agent (bibit penyakit), host (pejamu), dan environment (lingkungan). Ketiga faktor tersebut secara umum merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru.

Achmadi (2008), terjadinya suatu penyakit disuatu wilayah termasuk kejadian penyakit tuberkulosis paru atau jenis penyakit menular lainnya mempunyai variasi dinamika penularan.

Dinamika transmisi penyakit adalah perpindahan agent penyakit melalui berbagai media, seperti: air, udara, pangan, serangga atau langsung kontak dengan


(60)

tubuh manusia, memiliki jalur rumit dan memiliki sifat khas masing-masing agent penyakit, dan secara skematis dapat digambarkan dalam konsep simpul-simpul, atau dikenal dengan teori simpul. Upaya penanggulangan tuberkulosis paru dapat dilakukan melalui berbagai tahap, salah satu kegiatan yang paling penting adalah surveilans epidemiologi dengan menggunakan sistem informasi geografis, dengan menggunakan teknik analisa spasial.

Prahastra (2009), menjelaskan bahwa analisa spasial merupakan suatu proses atau teknik yang melibatkan sejumlah perhitungan dan evaluasi logika atau matematis yang dilakukann untuk mencari atau menemukan dan menganalisis hubungan antara unsur-unsur geografis seperti iklim, cuaca dan keadaan lingkungan lainnya dengan batas wilayah tertentu.

Manfaat dari analisa spasial adalah tersedianya informasi keadaan geografis berdasarkan kewilayahan/ruangan dan dapat dikaitkan dengan seluruh potensi permasalahan dalam wilayah tersebut termasuk masalah kesehatan seperti deskripsi penyakit tuberkulosis paru.

Berdasarkan determinan tuberkulosis paru, dan dinamika penularan tuberkulosis paru yang dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan seperti iklim, maka kerangka teori adalah modifikasi antara teori hubungan faktor lingkungan kejadian tuberkulosis oleh Murti (2003) dan Achmadi (2008).


(61)

Gambar 2.2. Modifikasi Kerangka Teori Hubungan Faktor Lingkungan dengan Kejadian Tuberkulosis oleh Murti (2003) dan Achmadi (2008)

Host (Penjamu)

Agent (Mycobacterium

b l )

Lingkungan (Lingkungan

Karakteristik Sosidemografi (1) Umur

(2) Pendidikan (3) Pekerjaan (4) StatusGizi (5) Sosial ekonomi (6) Pengetah an

Faktor Lingkungan - Cuaca

- Kelembaban Udara - Suhu Udara

- Ketinggian Wilayah - Kecepatan Angin

P i M t h i

Sumber Penyakit (simpul 1)

Media Transmisi (simpul 2)

Kependudukan

(simpul 3) Sakit/Sehat (simpul 4)

Variabel lain yang berpengaruh (topografi, iklim, dan lain-lain) (simpul 5)


(62)

2.6 Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori dan kerangka teori, maka dapat dirumuskan kerangka konsep penelitian berikut ini:

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian IKLIM

1) Suhu

2) Kelembaban Udara 3) Curah Hujan 4) Lama Penyinaran

Matahari

5) Kecepatan Angin

Angka Kejadian Tuberkulosis Paru


(63)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan studi ekologi dengan pendekatan spasial dan menggunakan data sekunder. Studi ekologi yaitu studi epidemiologi dengan populasi sebagai unit analisis, yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan korelasi antara variabel independen yang terdiri dari suhu, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran dan kecepatan angin dengan variabel dependen (angka prevalensi dan insidensi TB Paru).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara dengan pertimbangan merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara yang mempunyai fluktuasi angka prevalensi TB paru dan variatif antar kecamatan, serta belum pernah dilakukan penelitian serupa di Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Perbaungan, Sei Rampah, Tanjung Beringin yang mewakili daerah pesisir pantai, sedang untuk mewakili daerah yang bukan pesisir pantai yaitu Kecamatan Sipispis, Kecamatan Tebing Sahbandar, dan Kecamatan Kotarih. Penelitian ini laksanakan dari bulan Desember 2012 sampai dengan Juli 2013, yang mencakup survey literatur, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan laporan.


(1)

Correlations Suhu udara pesisir tahun

2012

Curah hujan pesisir tahun

2012

Kecepatan angin pesisir tahun

2012

kejadian tb paru pesisir tahun

2012 Suhu udara pesisir tahun

2012

Pearson Correlation 1 -.061 .175 .005

Sig. (2-tailed) .722 .307 .979

N 36 36 36 36

Curah hujan pesisir tahun 2012

Pearson Correlation -.061 1 -.198 -.146

Sig. (2-tailed) .722 .247 .397

N 36 36 36 36

Kecepatan angin pesisir tahun 2012

Pearson Correlation .175 -.198 1 -.228

Sig. (2-tailed) .307 .247 .182

N 36 36 36 36

kejadian tb paru pesisir tahun 2012

Pearson Correlation .005 -.146 -.228 1

Sig. (2-tailed) .979 .397 .182


(2)

Correlations suhu udara

pesisir

kelembaban udara pesisir

curah hujan pesisir

penyinaran matahari pesisir

kecepatan angin pesisir

Kejadian TB paru Spearma

n's rho

suhu udara pesisir

Correlation Coefficient

1.000 -.670** -.284** .702** .151 .138

Sig. (2-tailed) . .000 .001 .000 .072 .098

N 144 144 144 144 144 144

kelembaban udara pesisir

Correlation Coefficient

-.670** 1.000 .449** -.622** -.313** -.094

Sig. (2-tailed) .000 . .000 .000 .000 .261

N 144 144 144 144 144 144

curah hujan pesisir

Correlation Coefficient

-.284** .449** 1.000 -.402** -.120 -.086

Sig. (2-tailed) .001 .000 . .000 .151 .304

N 144 144 144 144 144 144

penyinaran matahari pesisir

Correlation Coefficient

.702** -.622** -.402** 1.000 .159 .026

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 . .057 .758

N 144 144 144 144 144 144

kecepatan angin pesisir

Correlation Coefficient

.151 -.313** -.120 .159 1.000 .081

Sig. (2-tailed) .072 .000 .151 .057 . .336

N 144 144 144 144 144 144

Kejadian TB paru

Correlation Coefficient


(3)

Sig. (2-tailed) .098 .261 .304 .758 .336 .

N 144 144 144 144 144 144

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Uji korelasi daerah bukan pesisir

Correlations Suhu udara bukan pesisir tahun 2009 Kelembaban udara bukan pesisir tahun 2009 Curah hujan bukan pesisir tahun 2009 Penyinaran matahari bukan pesisir tahun 2009 Kecepatan angin bukan pesisir tahun 2009 kejadian tb paru bukan pesisir tahun 2009 Spearm an's rho

Suhu udara bukan pesisir tahun 2009

Correlation Coefficient

1.000 -.355* -.098 .558** .379* -.075

Sig. (2-tailed) . .034 .568 .000 .023 .666

N 36 36 36 36 36 36

Kelembaban

udara bukan pesisir tahun 2009

Correlation Coefficient

-.355* 1.000 .357* -.614** -.158 .124

Sig. (2-tailed) .034 . .032 .000 .356 .471

N 36 36 36 36 36 36

Curah hujan bukan pesisir tahun 2009

Correlation Coefficient

-.098 .357* 1.000 -.012 -.021 .235

Sig. (2-tailed) .568 .032 . .945 .905 .167

N 36 36 36 36 36 36

Penyinaran

matahari bukan pesisir tahun 2009

Correlation Coefficient

.558** -.614** -.012 1.000 .382* .164

Sig. (2-tailed) .000 .000 .945 . .022 .339

N 36 36 36 36 36 36

Kecepatan angin bukan pesisir

Correlation Coefficient


(4)

tahun 2009 Sig. (2-tailed) .023 .356 .905 .022 . .742

N 36 36 36 36 36 36

kejadian tb paru bukan pesisir tahun 2009

Correlation Coefficient

-.075 .124 .235 .164 -.057 1.000

Sig. (2-tailed) .666 .471 .167 .339 .742 .

N 36 36 36 36 36 36

Correlations

Curah hujan bukan pesisir

tahun 2010

kejadian tb paru bukan pesisir

tahun 2010 Spearman's rho Curah hujan bukan pesisir

tahun 2010

Correlation Coefficient 1.000 .067

Sig. (2-tailed) . .698

N 36 36

kejadian tb paru bukan pesisir tahun 2010

Correlation Coefficient .067 1.000

Sig. (2-tailed) .698 .


(5)

Lampiran 4

Analisis Regresi Berganda

Variables Entered/Removed Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 penyinaran

matahari bukan pesisir, kelembaban udara bukan pesisira

. Enter

a. All requested variables entered.

Model Summaryb Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the

Estimate Durbin-Watson

1 .243a .059 .046 1.946 .877

a. Predictors: (Constant), penyinaran matahari bukan pesisir, kelembaban udara bukan pesisir

b. Dependent Variable: Kejadian TB paru bukan pesisir ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 33.399 2 16.700 4.410 .014a

Residual 533.906 141 3.787

Total 567.306 143

a. Predictors: (Constant), penyinaran matahari bukan pesisir, kelembaban udara bukan pesisir b. Dependent Variable: Kejadian TB paru bukan pesisir


(6)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardi zed Coefficien

ts

t Sig.

Collinearity Statistics B Std. Error Beta Tolerance VIF 1 (Constant) -14.926 6.306 -2.367 .019

kelembaban udara bukan pesisir

.181 .072 .231 2.526 .013 .798 1.254

penyinaran matahari bukan pesisir

.041 .016 .232 2.531 .012 .798 1.254