Menurut Goul Brooker dalam Ruswanto 2010, bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Kelembaban merupaan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk Mycobacterium tuberculosis sehingga viabilitasnya lebih lama
Achmadi, 2008. Pada waktu bersin atau batuk pasien tuberkulosis paru BTA positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak droplet
nuclei. Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama, dan percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan gelap dan lembab Depkes RI, 2007. Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi tahun 2003 di Kota Bogor
menyebutkan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 berisiko terkena tuberkulosis paru 10,7 kali
dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60 .
2.2.3. Curah Hujan
Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup
Mycobacterium tuberculosis Olender, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Chandra dalam Achmad 2010, curah hujan didefenisikan sebagai hujan yang jatuh dari atmosfir pada bidang horizontal, sebelum menguap
dan meresap kedalam tanah sebanyak satu liter pada setiap bidang seluas 1 m
2
2.2.4. Penyinaran Matahari
. Pada musim hujan rumah menjadi lembab, dinding dan lantai rumah basah oleh
air hujan yang merembes naik. Pada saat banjir banyak penderita tuberculosis yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh kembali. Bulan-bulan di wilayah tropik
berdasarkan klasifikasi iklim Mohr dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan banyaknya curah hujan, yaitu; bulan dengan curah hujan lebih dari
100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60- 100 mm dan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm.
Matahari adalah sumber panas bagi bumi. Walaupun bumi sudah memiliki panas sendiri yang berasal dari dalam, panas bumi lebih kecil artinya
dibandingkan dengan panas matahari. Panas matahari mencapai 60 gram kaloricm2, tiap jam, sedangkan panas bumi hanya mencapai 55 gramcm2 tiap
tahunnya. Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung dalam
waktu 2 jam, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam
beberapa tahun Depkes, 2007. Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar
Universitas Sumatera Utara
ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban
yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan
langsung yang cukup dari sinar matahari Soemirat, 2010. Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan
kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah terutama cahaya matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-
kuman patogen seperti kuman Mycobactrium tuberculosis Achmadi, 2008. Berdasarkan hasil penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun
2010 menyebutkan dari hasil uji statistik multivariat pencahayaan alami juga menunjukkan hasil yang signifikan karena nilai OR = 4,385 dengan CI 95
1,261OR15,241, nilai ρ-value = 0,020, sehingga penduduk yang tinggal dalam rumah yang mempunyai pencahayaan alami 60 lux mempunyai risiko 4,385 kali
dibandingkan dengan penduduk yang tinggal dam rumah yang mempunyai pencahayaan alami
≥ 60 lux terhadap kejadian penyakit tuberkulosis.
Universitas Sumatera Utara
2.3.Analisa Spasial 2.3.1. Pengertian Analisa Spasial
Secara umum, analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika matematis yang
dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan potensi hubungan atau pola-pola yang mungkin terdapat di antara unsur-unsur geografis yang
terkandung dalam data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu Prahasta, 2009.
Analisis spasial merupakan pembuka jalan bagi studi lebih detail dan akurat, menawarkan pendekatan alternatif untuk menghasilkan, mengutamakan,
dan menganalisis data untuk mencari sebab-sebab serta faktor risiko penyakit Achmadi, 2008.
Dalam pengolahan analisis spasial diperlukan data spasial. Data spasial adalah data yang merepresentasikan fenomena geografis yang memiliki posisi
absolut koordinat atau posisi relatif jarak di permukaan bumi dan memiliki atribut tambahan lainnya yang mewakili fenomena tersebut. Data spasial
diekspresikan kedalam bentuk vektor dan raster, di dalam bentuk vektor diwujudkan dalam point, garis dan poligon, sedangkan dalam bentuk raster
diwujudkan ke dalam grid. Data spasial yang menyangkut persebaran penyakit dan faktor-faktor risikonya merupakan unsur yang sangat penting dalam studi
epidemiologi. Dimana untuk mengetahui hubungan hubungan keterjangkitan
Universitas Sumatera Utara
penyakit dengan populasi dan determinan - determinan dalam lingkungan Erlangga, 2009.
Analisa spasial dalam manajemen penyakit berbasis wilayah dapat dirumuskan sebagai uraian dan analisis kejadian penyakit serta
menghubungkannya dengan semua data spasial yang diperkirakan merupakan faktor risiko kesehatan, baik lingkungan maupun faktor sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat setempat dalam sebuah wilayah spasial, sebagai dasar manajemen penyakit atau kajian lebih lanjut. Analisa spasial dapat menganalisa
dua hal sekaligus yakni sebuah titik atau lokasi sebuah events dalam hal ini adalah kejadian penyakit kasus hubungannya dengan variabel spasial faktor risiko
yang mempengaruhinya atau berhubungan pada wilayah spasial atau permukaan bumi Achmadi, 2008.
Pemanfaatan analisa spasial untuk melakukan analisa persebaran faktor risiko baik penyakit infeksi maupun non infeksi, serta penyakit yang ditularkan
oleh binatang nyamuk vektor, pelayanan kesehatan seperti ambulance keliling, rumah sakit, analisa potential hazards lingkungan, pengelompokkan kejadian
penyakit, pemetaan informasi kesehatan, data dasar kesehatan masyarakat dan lain sebagainya. Yang terpenting dasar dari sebuah analisa spasial adalah
menghubungkan sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka bumi dalam satu wilayah Achmadi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Sistem Informasi Geografis SIG