Latar Belakang Ir. Evi Naria, M.Kes dan Ir. Indra Chahaya, M.Si selaku komisi penguji yang

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Secara epidemiologi, Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Jumlah terbesar kasus tuberkulosis paru terjadi di Asia Tenggara sebesar 40, diikuti regional Afrika 26, Pasifik Barat 19, dan terendah pada regional Eropa 3. Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk WHO, 2012. WHO 2009 melaporkan bahwa, bakteri penyebab tuberkulosis paru membunuh sekitar 2 juta jiwa setiap tahunnya. Tahun 2002 – 2020 diperkirakan sekitar 1 milyar manusia akan terinfeksi, dengan kata lain pertambahan jumlah infeksi lebih dari 56 juta setiap tahunnya. Sejak DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse dicanangkan tahun 1995 di Indonesia, penanggulangan tuberkulosis paru mengalami keberhasilan. Keberhasilan pemerintah dalam menerapkan strategi DOTS menunjukkan adanya kemajuan, dari 22 negara yang termasuk high burden country, dimana Indonesia pada tahun 2009 menduduki rangking kelima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria yang sebelumnya dilaporkan sebagai rangking tiga besar dunia Kemenkes, 2011. Universitas Sumatera Utara Namun keberhasilan tersebut tidak menjadi patokan bahwa tuberkulosis paru dapat dilupakan keberadaannya di Indonesia. Dalam Strategi Nasional Pengendalian tuberkulosis paru di Indonesia 2010-2014, Kementerian Kesehatan masih mengganggap bahwa beberapa penyakit menular antara lain, tuberkulosis, Demam Berdarah Dengue DBD, diare, malaria, HIVAIDS tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat. Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai dengan baik maka ditetapkan program jangka panjang, yaitu menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis paru dengan cara memutuskan rantai penularan Kemenkes, 2011. Yang menjadi skala prioritas program-program kesehatan, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN Periode 2010-2014, dengan sasaran lebih spesifik yaitu menurunkan prevalensi tuberkulosis paru dari 235 per 100.000 penduduk menjadi 224 per 100.000 penduduk. Persentase kasus baru yang ditemukan saat ini 73 dan target 2014 menjadi 90 serta persentase kasus baru yang disembuhkan kondisi saat ini 85 dan target 2014 menjadi 88 Kemenkes, 2011. Walaupun upaya penurunan angka kesakitan dan angka kematian penyakit tuberkulosis paru sudah dilakukan, tidak menunjukkan hasil yang memuaskan, berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012, diketahui angka kejadian tuberkulosis Paru cenderung bervariatif disetiap propinsi, dan berfluktuasi setiap tahunnya. Dari penemuan kasus suspek tuberkulosis paru, diketahui selama kurun waktu 2007-2011, terjadi fluktuasi jumlah suspek tuberkulosis paru. Tahun 2007 Universitas Sumatera Utara terjadi penurunan sebesar 82 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2006 dan tahun 2009 terjadi penurunan sebesar sebesar 7 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2010 angka ini terjadi peningkatan sebesar 57 per 100.000 penduduk dibandingkan pada tahun 2009, dan sampai dengan triwulan kedua tahun 2011, angka penjaringan suspek sebesar 550 per 100.000 penduduk. Keadaan ini mendekripsikan bahwa insidensi tuberkulosis paru masih menjadi trend permasalahan penyakit menular di Indonesia, dan pada tahun 2011, angka prevalensi semua tipe tuberkulosis sebesar 316,562 per 100.000 penduduk dengan angka CDR 82,2 Kemenkes, 2012. Begitu juga dengan prevalensi tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai. Berdasarkan Data Profil Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai 2012, menunjukkan bahwa selama kurun waktu 4 empat tahun terakhir 2009-2012, terjadi fluktuasi prevalensi tuberkulosis paru. Tahun 2009 prevalensi tuberkulosis paru sebesar 74 per 100.000 penduduk tahun 2010 prevalensi tuberkulosis paru mengalami kenaikan yaitu sebesar 113 per 100.000 penduduk, tahun 2011 prevalensi tuberkulosis paru mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 87 per 100.000 penduduk tetapi masih diatas tahun 2009, sedang tahun 2012 prevalensi mengalami kenaikan yaitu 129 per 100.000 penduduk. Salah satu faktor yang dinilai mempunyai peran paling besar terhadap epidemiologi tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan. Penelitian Musadad 2006 menjelaskan bahwa faktor lingkungan fisik rumah dalam meningkatkan kejadian tuberkulosis paru seperti, keadaan sirkulasi udara, penggunaan bahan Universitas Sumatera Utara bakar, dan kepadatan hunian, dan faktor lingkungan sosial juga menjadi faktor terjadinya peningkatan kasus tuberkulosis paru seperti keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, serta faktor-faktor bersumber individu lainnya seperti status gizi, umur, pendidikan dan jenis pekerjaan Helper, 2010. Keseluruhan faktor lingkungan tersebut secara parsial memberikan kontribusi terhadap kejadian tuberkulosis paru per individu, dan secara keseluruhan menjadi gambaran kejadian kasus tuberkulosis paru di suatu wilayah. Deskripsi kejadian tuberkulosis paru dapat digambarkan berdasarkan karakteristik wilayah yang didasarkan pada karakteristik individu penderita tuberkulosis paru, karakteristik lingkungan fisik seperti iklim, dan keadaan cuaca lainnya secara kewilayahan. Deskripsi keadaan tuberkulosis paru secara kewilayah ini menjadi masukan dalam upaya pengendalian tuberkulosis paru secara kewilayahan dan nasional. Menurut Ahmadi 2011 faktor lingkungan fisik seperti kelembaban udara, suhu, kecepatan angin dan faktor sinar matahari merupakan unsur penting dari lingkungan untuk mendekripsikan keadaan kesehatan penduduk suatu wilayah. Pendekatan spasial juga dinilai efektif dalam mengambarkan keadaan surveilans epidemiologi tuberkulosis paru. Secara umum sistem surveilans epidemiologi yang lazim digunakan sekarang adalah merujuk pada pengumpulan data secara parsial disetiap wilayah kerja puskesmas, dan hanya mengandalkan tenaga supervisor tuberkulosis paru yang ditunjuk oleh puskesmas, dan sistem pencatatan masih bersifat manual, artinya pencatatan tersebut dinilai tidak efektif Universitas Sumatera Utara karena tidak terintegrasi dengan sistem komputer atau sistem yang dapat menjustifikasi keadaan sesungguhnya termasuk keadaan iklim wilayah. Menurut Murti 2003 kegiatan surveilans meliputi pengumpulan data, analisis berupa distribusi kasus, tren penyakit, karakteristik demografik penderita yang kemudian didiseminasikan secara teratur pada pihak yang berwenang untuk mendukung pengambilan keputusan decision making. Penggunaan SIG akan sangat membantu di bidang kesehatan masyarakat sehingga menjadi lebih terorganisir untuk menganalisa aspek spasial dan temporal dari penyebaran penyakit. Data lokasi dan pola yang dihasilkan oleh SIG dapat membantu di bidang epidemiologi diantaranya memberi petunjuk lokasi paling tepat untuk pemberian intervensi kesehatan yang efektif Royal Tropical Institute, 2009. Pendekatan spasial sangat beralasan, karena penyebaran suatu penyakit, terutama penyakit menular sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Jika suatu daerah terjangkit suatu penyakit menular, maka terdapat kemungkinan bahwa daerah sekitarnya akan tertular penyakit ini pula Hartanto, 2010. Pendekatan spasial dalam mendeskripsikan kejadian tuberkulosis paru suatu wilayah dinilai penting, karena mengingat risiko spasial ruangwilayah seperti iklim,suhu dan lainnya mempunyai peran terhadap fluktuasi kasus tuberkulosis paru. Penelitian Aprisa, et.al 2004 di Kota Yogya menemukan ada perbedaan signifikan kejadian tuberkulosis paru di masing-masing wilayah di Kota Yogya, dan setiap bulannya cenderung berfluktuatif, sehingga pendekatan pengobatan Universitas Sumatera Utara dengan DOTS dapat ditingkatkan pada wilayah-wilayah dengan risiko tinggi tuberkulosis. Fenomena kejadian tuberkulosis paru di Provinsi Sumatera Utara juga sangat bervariatif, termasuk di Kabupaten Serdang Bedagai. Data iklim dari BPS Kabupaten Serdang Bedagai 2012, menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010-2011, terjadi fluktuasi keadaan iklim di Kabupaten Serdang Bedagai. Tahun 2010 rata-rata suhu udara adalah 28,4 C dan maksimum 32,1 C, dengan kelembaban 83, dan curah hujan 134 mm, dan kasus tuberkulosis paru sebanyak 665 kasus, sedangkan tahun 2011 suhu udara minimum menurun menjadi 27,0 C, dan maksimum 32,7 C, dan curah hujan menjadi 92 mm dengan kasus tuberkulosis paru menurun menjadi 586 kasus. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis spasial iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan rekomendasi untuk upaya penanggulangan tuberkulosis paru yang tepat guna, efektif dan efesien.

1.2. Permasalahan