dengan DOTS dapat ditingkatkan pada wilayah-wilayah dengan risiko tinggi tuberkulosis.
Fenomena kejadian tuberkulosis paru di Provinsi Sumatera Utara juga sangat bervariatif, termasuk di Kabupaten Serdang Bedagai. Data iklim dari BPS
Kabupaten Serdang Bedagai 2012, menunjukkan bahwa selama kurun waktu 2010-2011, terjadi fluktuasi keadaan iklim di Kabupaten Serdang Bedagai. Tahun
2010 rata-rata suhu udara adalah 28,4 C dan maksimum 32,1
C, dengan kelembaban 83, dan curah hujan 134 mm, dan kasus tuberkulosis paru sebanyak
665 kasus, sedangkan tahun 2011 suhu udara minimum menurun menjadi 27,0 C,
dan maksimum 32,7 C, dan curah hujan menjadi 92 mm dengan kasus
tuberkulosis paru menurun menjadi 586 kasus. Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis spasial
iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai, sehingga dapat dijadikan bahan masukan dan rekomendasi untuk upaya
penanggulangan tuberkulosis paru yang tepat guna, efektif dan efesien.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan fakta bahwa tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan belum adanya pendekatan spasial dalam penerapan
surveilans epidemiologi di Kabupaten Serdang Bedagai, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana analisis spasial iklim terhadap kejadian
tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai 2009-2012.
Universitas Sumatera Utara
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan analisis spasial iklim terhadap kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-
2012.
1.4. Hipotesa
Ho : Tidak ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2012.
Ha : Ada hubungan iklim dengan kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai; sebagai bahan masukan bagi pengambilan kebijakan dalam penanggulangan penyakit
tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai b. Bagi ilmu pengetahuan; hasil penelitian ini dapat menjadi informasi
ilmiah dalam bidang kesehatan lingkungan. c. Bagi Peneliti; menambah pengetahuan dan pengalaman baru dalam
menggunakan aplikasi Sistem Informasi Geografis dengan perangkat lunak Arc View untuk menganalisis suatu permasalah kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kejadian Tuberkulosis Paru
2.1.1. Batasan
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis Djojodibroto, 2009. Mycobacterium tuberculosis berbentuk basil sedikit
melengkung, dan sifatnya aerob. Kuman ini memiliki dinding sel dengan penyusun struktur dinding sel paling tinggi adalah lipid. Pada pengecatan gram,
kuman ini resisten, namun dengan pegecatan fuchsin, kuman ini dapat menyerap warna dan tidak mudah diuraikan warnanya dengan asam-alkohol. Oleh karena
itu, bakteri ini disebut sebagai bakteri tahan asam Aditama, 2006.
2.1.2. Epidemiologi Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang sejarahnya dapat dilacak sampai ribuan tahun sebelum masehi. Sejak zaman purba, penyakit ini
dikenal sebagai penyebab kematian yang menakutkan. Sampai pada saat Robert Koch menemukan penyebabnya, penyakit ini masih termasuk penyakit yang
mematikan. Saat itu, masih dianut paham bahwa penularan tuberkulosis paru adalah melalui kebiasaan meludah di sembarang tempat ditularkan melalui debu
8
Universitas Sumatera Utara
dan lalat. Hingga tahun 1960, paham ini masih dianut di Indonesia Djojodibroto, 2009.
Walaupun upaya memberantas tuberkulosis paru telah dilakukan di Indonesia, tetapi angka insiden maupun prevalensi tuberkulosis paru di Indonesia
tidak pernah turun. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah penderita tuberkulosis paru, dan kini Indonesia adalah negara peringkat kelima
terbanyak di dunia dalam jumlah penderita tuberkulosis paru. Dengan meningkatnya infeksi HIVAIDS di Indonesia, penderita tuberkulosis akan
meningkat pula. Karena diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis, pada tahun 1993 WHO mencanangkan tuberkulosis sebagai
kedaruratan global Djojodibroto, 2009.
2.1.3. Patogenesis dan Patologi
Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara airborne disease secara langsung dari penderita tuberkulosis paru kepada orang lain. Dengan demikian,
penularan penyakit tuberkulosis paru terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang yang tertular terinfeksi, misalnya berada di dalam ruangan
tidur atau ruang kerja yang sama. Penyebar penyakit tuberkulosis sering tidak tahu bahwa ia menderita sakit tuberkulosis. Droplet yang mengandung basil
tuberkulosis paru yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi
terhirup oleh orang lain yang sehat, droplet akan terdampar pada dinding sistem pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran pernapasan bagian atas,
Universitas Sumatera Utara
droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus mana pun ; tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil. Pada tempat terdamparnya, basil
tuberkulosis akan membentuk suatu fokus infeksi primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan
reaksi inflamasi Djojodibroto, 2009. Bentuk bakteri Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan batang ramping, kurus, dan
tahan akan asam atau sering disebut dengan BTA batang tahan asam. Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang panjangnya sekitar 2-4 µm dan lebar 0,2 –
0,5 µm yang bergabung membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan Ginanjar, 2008.
Kuman tuberkulosis paru cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat domant tertidur lama selama beberapa tahun Kemenkes, 2011. Masa inkubasi tuberkulosis paru biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tubuh hingga mencapai jumlah 10
3
– 10
4
, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler. Selama berminggu-
minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman tuberkulosis sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitasi terhadap tuberculin
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primen inilah, infeksi tuberkulosis primer dinyatakan telah terjadi Kemenkes 2011.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan aspek gejala, diketahui tuberkulosis paru mempunyai gejala utama berupa batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih.
Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan. Gejala-gejala tersebut dijumpai pula pada penyakit
paru selain tuberculosis Kemenkes, 2011. Adapun gambaran klinik penderita tuberkulosis paru dapat dibagi atas :
1 Gejala Sistemik Secara sistemik pada umumnya penderita akan mengalami demam, demam
tersebut berlangsung pada waktu sore dan malam hari, disertai dengan keluar keringat dingin meskipun tanpa kegiatan, kemudian kadang hilang. Gejala ini
akan timbul lagi beberapa bulan seperti demam influenza biasa dan kemudian juga seolah-olah sembuh tidak demam lagi. Gejala lain adalah malaise seperti
perasaan lesu yang bersifat berkepanjangan kronik, disertai rasa tidak enak badan, lemah dan lesu, pegal-pegal, nafsu makan berkurang, badan semakin
kurus, pusing, serta mudah lelah. 2 Gejala Respiratorik
Adapun gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk bisa berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih, hal ini terjadi
apabila sudah melibatkan bronchus. Gejala respiratorik lainnya adalah batuk produktif sebagai upaya untuk membuang ekskresi peradangan berupa dahak atau
Universitas Sumatera Utara
sputum, dahak ini kadang bersifat mukoid atau purulent. Kadang gejala respiratorik ini ditandai dengan batuk darah, hal ini disebabkan karena pembuluh
darah pecah akibat luka dalam alveoli yang sudah lanjut. Batuk darah inilah yang sering membawa penderita ke dokter Achmadi, 2008.
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA Positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu SPS diulang :
a. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, maka penderita di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA Positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, maka pemeriksaan dahak ulangi dengan SPS lagi.
Bila tiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spektrum luas misal : kotrimoksasol atau amoksisillin selama 1 – 2 minggu, bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan tuberkulosis paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
a. Kalau hasil SPS positif, maka didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA positif.
b. Kalau hasil SPS tetap negatif, dilakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis tuberkulosis paru.
Universitas Sumatera Utara
1 Bila hasil rontgen mendukung tuberkulosis paru, di diagnosis sebagai penderita tuberkulosis paru BTA negatif rontgen positif
2 Bila hasil rontgen tidak mendukung tuberkulosis paru, penderita tersebut bukan tuberkulosis paru
Berdasarkan aspek penularan tuberkulosis paru, diketahui sumber penularan adalah penderita tuberkulosis paru BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak droplet nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman tuberkulosis paru
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut Depkes, 2007.
Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis
Infection ARTI yaitu proporsi penduduk berisiko terinfeksi tuberkulosis paru selama satu tahun. ARTI sebesar 1 , berarti 10 sepuluh orang diantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun. Menurut WHO ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3 . Infeksi tuberkulosis dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin
negatif menjadi positif Depkes, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Secara individu, diketahui banyak variabel yang menjadi faktor risiko kejadian tuberkulosis paru, antara lain faktor jenis kelamin. Widoyono 2008,
menjelaskan bahwa seseorang penderita tuberkulosis paru dengan BTA p ositif
yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit tuberkulosis paru. Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga
kemungkinan setiap kontak untuk tertular tuberkulosis paru adalah 17. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat misalnya keluarga serumah
akan dua kali lebih berisiko dibandingkan kontak biasa tidak serumah. Berbagai
penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru mengindikasikan hasil yang inkonsisten karena adanya
perbedaan lokasi dan tempat penelitian. Ratnasari 2005 menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, kepadatan hunian dan intensitas pencahayaan merupakan faktor risiko tuberkulosis paru, sedangkan kebiasaan merokok, luas ventilasi dan riwayat
kontak bukan merupakan faktor risiko tuberkulosis paru. Hal ini bertentangan dengan penelitian Mahmudah 2003 yang menyatakan bahwa ada hubungan
antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru. Serta pada penelitian Simbolon 2007 menunjukkan bahwa luas ventilasi dan riwayat kontak
merupakan faktor risiko tuberkulosis paru. Kartasasmita 2009, faktor risiko terjadinya infeksi tuberkulosis antara
lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan tuberkulosis aktif kontak tuberkulosis positif , daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
sehat higiene dan sanitasi tidak baik, dan tempat penampungan umum panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain, yang banyak terdapat pasien
tuberkulosis dewasa aktif. Sumber infeksi tuberkulosis pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA
positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin
besar pula kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik droplet nuclei yang infeksius.
Lienhard 2003, penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi tuberkulosis di Gambia mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada
anak laki laki dan perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki laki. Hal ini diduga akibat dari peran social dan aktivitas
sehingga lebih terpajan pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat.
Selanjutnya kontak dengan pasien tuberkulosis merupakan faktor risiko utama, dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah
household contact dengan anggota keluarga yang sakit tuberkulosis sangat berperan untuk terjadinya infeksi tuberkulosis di keluarga, terutama keluarga
terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah kepadatan hunian, lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit tuberkulosis, dan satu kamar dengan
penderita tuberkulosis di malam hari, terutama bila satu tempat tidur
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru
Faktor lingkungan sangat berkontribusi untuk mempengaruhi keadaan kesehatan seseorang seperti yang dikemukakan H.L. Blum 1974 dalam
Notoadmodjo 2008 yaitu status kesehatan seseorang dipengaruhi oleh faktor: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari keempat
komponen tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor lingkungan paling besar memberikan kontribusi terhadap terjadinya suatu penyakit, yaitu sebesar 40
sedangkan yang paling kecil adalah pelayanan medis sebesar 10. Pendapat lain yang memperkuat bahwa faktor lingkungan memiliki
kontribusi yang besar terhadap terjadinya suatu penyakit dapat dipelajari pada teori simpul kejadian penyakit yang dikemukakan Achmadi 2005 dimana suatu
penyakit itu terjadi oleh karena adanya interaksi antara faktor lingkungan dan faktor kependudukan. Timbulnya suatu penyakit pada masyarakat tertentu pada
dasarnya merupakan hasil interaksi antara penduduk setempat dengan berbagai komponen di lingkungannya. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat
berinteraksi dengan pangan, udara, air serta serangga. Apabila berbagai komponen lingkungan tersebut mengandung bahan berbahaya seperti beracun, ataupun bahan
mikroba yang memiliki potensi timbulnya penyakit, maka manusia akan jatuh sakit dan dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Bulto 2006, iklim adalah salah satu faktor yang dapat menimbulkan kondisi yang memudahkan perkembangan beberapa penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme. Iklim berperan dalam setiap kejadian penyakit dan
Universitas Sumatera Utara
kematian, oleh karena penyakit bounded terhadap ekosistem, dan manusia bagian dari sebuah ekosistem. Sementara itu kejadian penyakit merupakan inti
permasalahan kesehatan, dan kesehatan merupakan salah satu kontributor utama penyebab kemiskinan. Hasil telaahan juga mengindikasikan, ada tiga variabel
utama yang harus dilakukan secara simultan, yaitu: pendidikan, kesehatan dan pengendalian kemiskinan perbaikan ekonomi. Berbagai tinjauan kepustakaan
lainnya juga menyebutkan bahwa iklim bermakna kehidupan. Perubahan iklim akan diikuti perubahan ekosistem. Atau tata kehidupan yang pada akhirnya
merubah pola hubungan interaksi antara lingkungan dan manusia yang berdampak terhadap derajat kesehatan masyarakat. Hubungan iklim dengan penyakit
merupakan hubungan yang rumit. Dua aspek dasar pengaruh iklim dengan penyakit, yaitu: hubungan faktor iklim terhadap organisme penyakit atau
penyebarannya, dan pengaruh cuaca dan iklim terhadap ketahanan tubuh. Banyak penyakit yang berhubungan dengan iklim atau musim tertentu, terutama dengan
suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit hanya dapat menginfeksi manusia di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.
Variabel-variabel yang merupakan komponen iklim menurut Achmadi 2008, seperti: suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, kelembaban ruang,
kemarau panjang dan curah hujan mempengaruhi pertumbuhan dan persebaran berbagai spesies mikroba dan parasit serta berbagai variabel kependudukan.
Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap patogenesis berbagai penyakit yang berbeda dan dengan cara berbeda satu sama lain pula. Salah satu pengaruh
Universitas Sumatera Utara
perubahan iklim adalah terhadap potensi peningkatan kejadian timbulnya penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti: demam berdarah, malaria, dan sebagainya.
Hubungan antara lingkungan, kependudukan dan determinan iklim serta dampaknya terhadap kesehatan dapat digambarkan kedalam teori simpul kejadian
penyakit atau paradigma kesehatan lingkungan yang pada hakekatnya juga merupakan model patogenesis kejadian penyakit. Tidak semua variable
dipengaruhi oleh perubahan iklim. Namun perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap model hubungan berbagai variable
kependudukan dan lingkungan tersebut. Lebih lanjut Achmadi 2008 menyatakan bahwa semua penyakit harus
digambarkan dalam sebuah model dinamika transmisi dengan menggunakan prosedur tertentu, seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.1. berikut.
Gambar 2.1 Teori Simpul Kejadian Penyakit
Sumber, Achmadi, 2008 Berdasarkan gambar 2.2 di atas, maka patogenesis atau proses kejadian
penyakit dapat diuraikan ke dalam 4 simpul yaitu :
Sumber Penyakit
simpul 1 Media
Transmisi simpul 2
Kependudukan simpul 3
SakitSehat simpul 4
Variabel lain yang berpengaruh topografi, iklim, dan lain-lain simpul 5
Universitas Sumatera Utara
a. Simpul 1 Sumber Penyakit Merupakan titik yang secara konstan maupun sporadis berpotensi meluar
pada manusia. Dalam hal ini berupa virus, bakteri, parasit, atau yang lain Anies, 2006. Sumber penyakit menular adalah penderita penyakit menular itu sendiri,
atau bisa juga sebuah proses kegiatan, misalnya sumber penyakit tuberkulosis paru adalah penderita penyakit yang bersangkutan. Selanjutnya sumber penyakit
ini dapat disebut agent penyakit. Agen penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan penyakit melalui kontak langsung atau
melalui media perantara yang juga komponen lingkungan Achmadi, 2008. b. Simpul 2 Media Transmisi Penyakit
Media transmisi penyakit yaitu komponen lingkungan yang dapat memindahkan agent penyakit, yang pada hakikatnya hanya ada 5 komponen, yaitu
udara, air, tanah pangan, binatang dan manusia. Media transmisi tidak akan memiliki potensi penyakit kalau di dalamnya tidak mengandung bibit penyakit
atau agent penyakit. Udara dikatakan memiliki potensi menimbulkan penyakit kalau di dalamnya terdapat mycobaterium tuberculosis Achmadi, 2008. Dalam
penelitian ini media transmisi yang diteliti adalah suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin.
Universitas Sumatera Utara
c. Simpul 3 Perilaku Pemajanan Agent penyakit, dengan atau tanpa menumpang komponen lingkungan lain,
masuk ke dalam tubuh melalui satu proses yang kita kenal sebagai proses “hubungan interaktif”. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan
penduduk berikut perilakunya, dapat diukur dalam konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioural exposure. Perilaku pemajanan adalah jumlah
kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya penyakit agent penyakit Achmadi, 2008. Misalnya jumlah bakteri
mycobacterium tuberculosis yang terhirup manusia sehat ketika berada dekat dengan penderita tuberkulosis paru saat mengeluarkan batuk yang disertai kuman
tuberkulosis paru. d. Simpul 4 Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang potensi bahaya gangguan kesehatan. Seseorang
dikatakan sakit kalau salah satu maupun bersama mengalami kelainan dibandingkan rata-rata penduduk lainnya. Biasanya kelainan bentuk atau kelainan
fungsi, sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial Achmadi, 2008.
e. Simpul 5 Variabel Suprasistem Kejadian penyakit masih dipengaruhi oleh variabel iklim, topografi, temporal
dan suprasistem lainnya, yaitu keputusan politik berupa kebijakan makro yang bisa mempengaruhi semua simpul Achmadi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Iklim dan Kejadian Tuberkulosis Paru
Salah satu faktor yang berkorelasi terhadap kejadian tuberkulosis paru adalah faktor lingkungan. Komposisi dari faktor lingkungan tersebut antara lain
adalah iklim. Iklim berpengaruh terhadap agen hidup di lingkungan dalam terlaksanannya siklus reproduksinya. Misalnya mikroorganisme mempunyai
syarat bagi kehidupan yang optimum, baik temperatur, zat hara, dan lain lain. Iklim juga berpengaruh terhadap host beserta perilakunya, misalnya mortalitas
dan morbiditas dikatan bervariasi atas dasar iklim, penyakitpun banyak yang musiman. Tidak hanya penyakit atau agentnya yang dipengaruhi musim, tetapi
ternyata manusia juga mengalami siklus atau mempunyai bioritme yang bervariasi seiring musim Soemirat, 2010. Seperti halnya Mycobacterium tuberculosis akan
mati jika terkena sinar UV secara langsung dalam waktu 5 menit Crofton, 2009. Iklim dan kejadian penyakit memiliki hubungan yang amat erat, terutama
terjadinya berbagai penyakit menular. Iklim dapat dijadikan predictor kejadian berbagai penyakit menular yang seyogyanya dapat dijadikan petunjuk untuk
melakukan manajemen kesehatan, khususnya manajemen penyakit berbasis wilayah. Iklim adalah rata-rata cuaca dalam periode yang panjang bulan, tahun
pada suatu wilayah tertentu. Rata-rata cuaca meliputi semua gambaran yang berhubungan dengan suhu, pola angin, curah hujan yang terjadi dipermukaan
bumi Achmadi, 2008. Iklim sebagai perwujudan kumulatif keadaan cuaca harian paling sering
dipaparkan dengan memanfaatkan rata-rata elemen atau variabel iklim, terutama
Universitas Sumatera Utara
temperatur dan presipitasi, tetapi juga sinar matahari dan angin. Apabila variasi rata-rata iklim digambarkan dalam peta, masalah geografis yang muncul dari
distribusi spasial akan terungkap. Menurut Putri 2008, penggunaan rata-rata bulanan, dan bukannya rata-rata tahunan, dapat memperlihatkan karakteristik dari
perubahan-perubahan musim. Dan karena rata-rata temperatur tiap bulan biasanya berbeda dari rata-rata iklim untuk jangka waktu yang panjang, penyimpangannya
dari statistik dari rata-rata juga dapat dihitungkan dan dicantumkan pada peta. Penelitian Aprisa, et.al 2004, bahwa kecenderungan kluster tuberkulosis
di daerah yang berdekatan dengan sungai. Sedangkan data kuantitatif diperoleh dengan membuat zona buffer sungai, dan diketahui bahwa 30,32 kasus berada
100m dari sungai; 54,79 kasus berada dalam range 250m dari sungai 77,66 kasus terjadi dalam jarak 500m dari sungai dan hanya 22,34 kasus
yang terletak 500m dari sungai.
2.2.1. Suhu atau Temperatur Udara
Suhu merupakan keadaan udara panas atau dingin suatu waktu yang diperoleh dari hasil pengukuran harian dan dirata-ratakan setiap bulan. Hubungan
antara iklim dengan kejadian penyakit bisa terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung pemanasan global pada kesehatan manusia misalnya
stress akibat kepanasan heat stress. Selain itu kenaikan temperatur lingkungan juga akan mempengaruhi dampak polusi udara terutama di daerah perkotaan dan
berpengaruh terhadap individu dengan penyakit-penyakit kronik seperti penyakit jantung, asma dan penyakit saluran pernafasan lainnya Achmadi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Goul dan Brooker dalam Ruswanto 2010, bakteri mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam
rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur
dalam rentang 25 - 40 º C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31- 37 º C.
Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, ada yang tumbuh pada suhu yang rendah 15
o
C – 20
o
C, bahkan ada pula yang tumbuh pada suhu yang tinggi. Kuman mycobacterium tuberculosis tumbuh optimal pada suhu
sekitar 37
o
2.2.2. Kelembaban Udara
C yang memang kebetulan sesuai dengan suhu tubuh manusia Depkes, 1999. Penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun 2010, terdapat
hubungan signifikan antara kejadian tuberkulosis paru dengan suhu udara ruangan dalam rumah OR = 4,354 dan adanya asosiasi antara kejadian tuberkulosis paru
dengan suhu udara di luar rumah OR = 3,842.
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara. Kelembaban udara dapat dibedakan menjadi dua yaitu: kelembapan mutlak dan
kelembaban nisbi. Kelembaban mutlak absolut ialah jumlah massa uap air yang ada dalam suatu satuan volume di udara. Kelembaban nisbi relatif ialah
banyaknya uap air di dalam udara berupa perbandingan antara jumlah uap air yang ada dalam udara saat pengukuran dan jumlah uap air maksimum yang dapat
ditampung oleh udara tersebut Ruswanto, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Goul Brooker dalam Ruswanto 2010, bakteri mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan
subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.
Kelembaban merupaan sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, termasuk Mycobacterium tuberculosis sehingga viabilitasnya lebih lama
Achmadi, 2008. Pada waktu bersin atau batuk pasien tuberkulosis paru BTA positif menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak droplet
nuclei. Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama, dan percikan ini dapat bertahan selama beberapa jam dalam
keadaan gelap dan lembab Depkes RI, 2007. Berdasarkan hasil penelitian Mulyadi tahun 2003 di Kota Bogor
menyebutkan bahwa penghuni rumah yang mempunyai kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 berisiko terkena tuberkulosis paru 10,7 kali
dibanding penduduk yang tinggal pada perumahan yang memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60 .
2.2.3. Curah Hujan
Meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup
Mycobacterium tuberculosis Olender, 2003.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Chandra dalam Achmad 2010, curah hujan didefenisikan sebagai hujan yang jatuh dari atmosfir pada bidang horizontal, sebelum menguap
dan meresap kedalam tanah sebanyak satu liter pada setiap bidang seluas 1 m
2
2.2.4. Penyinaran Matahari
. Pada musim hujan rumah menjadi lembab, dinding dan lantai rumah basah oleh
air hujan yang merembes naik. Pada saat banjir banyak penderita tuberculosis yang dinyatakan sembuh ternyata kambuh kembali. Bulan-bulan di wilayah tropik
berdasarkan klasifikasi iklim Mohr dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan banyaknya curah hujan, yaitu; bulan dengan curah hujan lebih dari
100 mm, bulan dengan curah hujan antara 60- 100 mm dan bulan dengan curah hujan kurang dari 60 mm.
Matahari adalah sumber panas bagi bumi. Walaupun bumi sudah memiliki panas sendiri yang berasal dari dalam, panas bumi lebih kecil artinya
dibandingkan dengan panas matahari. Panas matahari mencapai 60 gram kaloricm2, tiap jam, sedangkan panas bumi hanya mencapai 55 gramcm2 tiap
tahunnya. Kuman tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung dalam
waktu 2 jam, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam
beberapa tahun Depkes, 2007. Faktor lingkungan memegang peranan yang penting dalam penularan
penyakit tuberkulosis, terutama pada pemenuhan physiologis rumah, sebab sinar
Universitas Sumatera Utara
ultra violet yang terdapat pada sinar matahari dapat membunuh kuman tuberkulosis paru, selain itu sinar matahari juga dapat mengurangi kelembaban
yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan
langsung yang cukup dari sinar matahari Soemirat, 2010. Syarat rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, karena dengan
kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah terutama cahaya matahari, akan menjadi media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Cahaya matahari minimal masuk kurang lebih 60 lux dan tidak menyilaukan, sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-
kuman patogen seperti kuman Mycobactrium tuberculosis Achmadi, 2008. Berdasarkan hasil penelitian Ruswanto di Kabupaten Pekalongan tahun
2010 menyebutkan dari hasil uji statistik multivariat pencahayaan alami juga menunjukkan hasil yang signifikan karena nilai OR = 4,385 dengan CI 95
1,261OR15,241, nilai ρ-value = 0,020, sehingga penduduk yang tinggal dalam rumah yang mempunyai pencahayaan alami 60 lux mempunyai risiko 4,385 kali
dibandingkan dengan penduduk yang tinggal dam rumah yang mempunyai pencahayaan alami
≥ 60 lux terhadap kejadian penyakit tuberkulosis.
Universitas Sumatera Utara
2.3.Analisa Spasial 2.3.1. Pengertian Analisa Spasial
Secara umum, analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika matematis yang
dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan potensi hubungan atau pola-pola yang mungkin terdapat di antara unsur-unsur geografis yang
terkandung dalam data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu Prahasta, 2009.
Analisis spasial merupakan pembuka jalan bagi studi lebih detail dan akurat, menawarkan pendekatan alternatif untuk menghasilkan, mengutamakan,
dan menganalisis data untuk mencari sebab-sebab serta faktor risiko penyakit Achmadi, 2008.
Dalam pengolahan analisis spasial diperlukan data spasial. Data spasial adalah data yang merepresentasikan fenomena geografis yang memiliki posisi
absolut koordinat atau posisi relatif jarak di permukaan bumi dan memiliki atribut tambahan lainnya yang mewakili fenomena tersebut. Data spasial
diekspresikan kedalam bentuk vektor dan raster, di dalam bentuk vektor diwujudkan dalam point, garis dan poligon, sedangkan dalam bentuk raster
diwujudkan ke dalam grid. Data spasial yang menyangkut persebaran penyakit dan faktor-faktor risikonya merupakan unsur yang sangat penting dalam studi
epidemiologi. Dimana untuk mengetahui hubungan hubungan keterjangkitan
Universitas Sumatera Utara
penyakit dengan populasi dan determinan - determinan dalam lingkungan Erlangga, 2009.
Analisa spasial dalam manajemen penyakit berbasis wilayah dapat dirumuskan sebagai uraian dan analisis kejadian penyakit serta
menghubungkannya dengan semua data spasial yang diperkirakan merupakan faktor risiko kesehatan, baik lingkungan maupun faktor sosial ekonomi dan
perilaku masyarakat setempat dalam sebuah wilayah spasial, sebagai dasar manajemen penyakit atau kajian lebih lanjut. Analisa spasial dapat menganalisa
dua hal sekaligus yakni sebuah titik atau lokasi sebuah events dalam hal ini adalah kejadian penyakit kasus hubungannya dengan variabel spasial faktor risiko
yang mempengaruhinya atau berhubungan pada wilayah spasial atau permukaan bumi Achmadi, 2008.
Pemanfaatan analisa spasial untuk melakukan analisa persebaran faktor risiko baik penyakit infeksi maupun non infeksi, serta penyakit yang ditularkan
oleh binatang nyamuk vektor, pelayanan kesehatan seperti ambulance keliling, rumah sakit, analisa potential hazards lingkungan, pengelompokkan kejadian
penyakit, pemetaan informasi kesehatan, data dasar kesehatan masyarakat dan lain sebagainya. Yang terpenting dasar dari sebuah analisa spasial adalah
menghubungkan sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka bumi dalam satu wilayah Achmadi, 2008.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Sistem Informasi Geografis SIG
Mustopo 2009 menjelaskan, SIG adalah sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah,
menganalisa, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam suatu perencanaan. Kegunaan dari SIG
adalah dapat dimanfaatkan untuk mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data
yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk dijital. Sistem ini merelasikan data spasial lokasi geografis dengan
data non spasial, sehingga para penggunanya dapat membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara.
SIG dapat merepresentasikan dunia nyata pada monitor komputer sebagaimana lembaran peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas
Nazaruddin, 2009. Komponen utama sistem informasi geografis SIG terbagi empat
kelompok yaitu perangkat keras, perangkat lunak, organisasi manajemen dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda dari satu sistem ke
system lainnya, tergantung dari tujuan dibuatnya SIG tersebut. Sistem informasi geografis SIG mempunyai peran penting dalam berbagai aspek kehidupan
dewasa ini. Melalui sistem informasi geografis, berbagai macam informasi dapat dikumpulkan, diolah dan dianalisis dan dikaitkan dengan letaknya di muka bumi.
Dengan mengembangkan SIG maka informasi yang berkenaan dengan
Universitas Sumatera Utara
pewilayahan spasial dan pemodelannya serta permasalahan spasial dapat dianalisis dengan lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan Prahasta, 2009.
Pemanfaatan SIG sebagai bagian dari Sistem Informasi Kesehatan bidang kesehatan adalah sebagai upaya untuk mendeteksi lokasi fenomana spasial dan
dapat menduga penyakit karena lingkungan yang berhubungan dengan manusia dan hewan, sehingga dapat untuk melindungi kesehatan masyarakat melalui
kewaspadaan yang dini terhadap kemungkinan munculnya fenomena spasial. Selain itu SIG dapat melihat sumber daya kesehatan, penyakit tertentu dan
kejadian kesehatan lain melalui visualisasi peta menurut lingkungan sekeliling dan infrastrukturnya. SIG sebagai alat untuk memetakan risiko penyakit, identifikasi
pola distribusi penyakit, memantau surveilan dan kegiatan penanggulangan penyakit, mengevaluasi aksesbilitas ke fasilitas kesehatan dan memperkirakan
terjadinya wabah penyakit Nazaruddin, 2009.
2.3.3. Penggunaan ArcView dalam SIG
ArcView adalah salah satu perangkat lunak GIS yang paling populer dan paling banyak digunakan untuk mengelola data spasial dewasa ini.
Software ini dibuat oleh ESRI Environmental Systems Research Institute, perusahaan yang mengembangkan program ArcInfo. Dengan ArcView kita
dengan mudah dapat melakukan input data, menampilkan data, mengelola data, menganalisis data, dan membuat peta serta laporan yang berkaitan
dengan data spasial bereferensi geografis Prahasta, 2009.
Universitas Sumatera Utara
ArcView mengorganisasikan sistem perangkat lunaknya sedemikian rupa sehingga dapat dikelompokkan ke dalam beberapa komponen-komponen penting
sebagai berikut: Project merupakan suatu unit organisasi tertinggi di dalam ArcView mirip projects yang dimiliki oleh bahasa-bahasa pemprograman atau
paling tidak merupakan suatu file kerja yang dapat digunakan untuk menyimpan, mengelompokkan dan mengorganisasikan semua komponen-komponen program:
view, theme, table, chart, layout dan script dalam satu kesatuan yang utuh; theme merupakan suatu bangunan dasar sistem ArcView, dan juga merupakan kumpulan
dari beberapa layer ArcView yang membentuk suatu tematik tertentu; view mengorganisasikan theme dan merupakan representasi grafis informasi spasial
dan dapat menampung beberapa layer atau theme informasi spasial titik, garis, poligon dan citra raster Prahasta, 2009.
Software yang digunakan untuk melakukan analisis spasial dalam penelitian ini adalah ArcView versi 9.1 yang dikeluarkan ESRI. Fasilitas yang
terdapat dalam ArcView versi 9.1 sangat beragam, sementara pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah metode overlay. Melalui overlay dapat diketahui
hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta sehingga nanti akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk
dari irisan beberapa peta dan juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan As-syakur, 2006.
Overlay tumpang tindih, yaitu suatu analisis spasial esensial yang mengkombinasikan dua layertematik yang menjadi masukkannya Prahasta,
Universitas Sumatera Utara
2009. Layer dapat berupa lapisan vektor atau raster. Misalnya, layer berupa batas administrasi, garis jalan, garis sungai, lokasi perkantoran dan lain sebagainya.
Layer-layer tersebut jika digabungkan overlay akan membentuk sebuah peta
tertentu. 2.3.4. Teknik Analisa Spasial
Dalam penerapan analisis spasial, Achmadi 2008 menjelaskan ada beberapa teknik analisa spasial yang dapat dilakukan untuk menghubungkan
sebuah titik dengan berbagai benda atau komponen diatas muka bumi dalam satu wilayah, yaitu:
1 Pengukuran, diukur langsung dengan skala dengan garis lurus, melengkung atau luas. Untuk itu telah dikembangkan software untuk analisa hubungan
antar variabel yang diobservasi. Lokasi diukur berdasar ukuran langsung, skala, proyeksi, dan lain-lain.
2 Analisa topologis, deskripsi dan analisis hubungan spasial antar variabel. Misalnya, teknik overlay, kejadian tuberkulosis paru dengan ekosistem
daerah aliran dataran tinggi dengan dataran rendah. 3 Analisa jejaring network analysis adalah cabang analisa spasial yang
menginvestigasi alur atau aliran melalui jejaring. Model satu set titik yang dihubungkan satu sama lain dan gambaran aliran, misal untuk menentukan
jalur terpendek pelayanan emergensi. 4 Teknik analisa permukaan surface analysis mengeliminir beberapa data
yang tidak diperlukan agar terlihat lebih mudah melihat hubungan sebuah
Universitas Sumatera Utara
titik atau beberapa titik dengan benda-benda atau unit-unit dalam satu wilayah spasial.
5 Statistik spasial, misalnya menentukan korelasi secara statistik, trend permukaan ataupun menentukan tetangga terdekat, dan lain-lain.
Metode spasial lain yang lazim dikenal adalah metode spasial epidemiologi. Yaitu suatu bidang ilmu
untuk mendeskripsikan dan menganalisis keragaman geografis pada penyakit dengan memperhatikan dimensi geografis,
lingkungan, prilaku, sosial ekonomi, genetika, dan faktor risiko penularan. Untuk kepentingan mendapatkan pengertian tentang etiologi penyakit, perbandingan
menurut batas-batas alam lebih berguna daripada batas-batas administrasi pemerintahan.
Achmadi 2008 menerangkan, kategori analisis spasial dibagi menjadi 3 tiga kelompok utama, yaitu:
1 Pemetaan kasus penyakit Pemetaan penyakit memberikan suatu ringkasan visual yang cepat tentang
informasi geografis yang amat kompleks, dan dapat mengidentifikasi hal-hal atau beberapa informasi yang hilang apabila disajikan dalam bentuk tabel. Pemetaan
dapat dapat digunakan untuk tujuan deskriptif, baik untuk menghasilkan hipotesis seperti etiologi, untuk surveilans untuk pengawasan yang menyoroti area pada
risiko yang tinggi, dan untuk membantu alokasi sumber daya dan kebijaksanaan. Pemetaan penyakit secara khusus dapat menunjukkan angka mortalitas atau
morbiditas untuk suatu area geografi seperti suatu negara, provinsi, atau daerah.
Universitas Sumatera Utara
Pemetaan penyakit mempunyai dua aspek yakni gambaran visual dan pendekatan intuitif, perlu diperhatikan pula pada penafsiran. Pada gambaran yang menyangkut
gambaran citra satelit dengan adanya perbedaan resolusi meski data dan ukuran sama juga dapat menimbulkan salah tafsir.
2 Studi hubungan geografis Tujuannya adalah untuk menguji variasi geografi disilangkan dengan
populasi kelompok pemajanan ke variabel lingkungan yang mungkin diukur di darat, air, atau tanah, ukuran demografi dan sosial ekonomi seperti pendapatan
dan ras, atau faktor gaya hidup seperti merokok dan diet dalam hubungan dengan hasil kesehatan mengukur pada suatu skala geografi.
3 Pengelompokkan penyakit Penyakit tertentu yang mengelompok pada wilayah tertentu patut
dicurigai. Dengan bantuan pemetaan yang baik, insidensi penyakit diketahui berada pada lokasi tertentu. Dengan penyelidikan lebih mendalam, maka dapat
dihubungkan dengan sumber-sumber penyakit seperti, tempat pembuangan sampah akhir, jalan raya, pabrik tertentu, pembangkit atau saluran udara tegangan
tinggi. Namun penyelidikan dengan teknik pengelompokkan penyakit dan insiden penyakit yang dekat sumber penyakit pada umumnya berasumsi bahwa latar
belakang derajat risiko yang sama, padahal sebenarnya konsentrasi amat bervariasi antar waktu dan antar wilayah.
Sensitivitas serta instuisi dalam melihat sebuah fenomena, dalam hal ini amat penting.
Elliot P, et.al 1992 dalam Achmadi 2008 menyebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
geografikal-epidemiologi dapat didefinisikan sebagai deskripsi pola-pola spasial insiden penyakit dan kematian. Ini merupakan bagian dari epidemiologi deskriptif
yang mana lebih umumnya mengenai penggambaran kejadian penyakit berkenaan dengan karakteristik demografi seperti umur, ras, jenis kelamin, tempat dan
waktu. 2.4. Defenisi Daerah Pesisir
Menurut Suprihayono 2007 wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin.
Sedangkan menurut Kay dan Alder 1999 menyatakan bahwa pesisir merupakan wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah
pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan. Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa
wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh terhadap kondisi fisik
dimana pada umumnya daerah yang berada di sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini sangat mendukung bagi wilayah pesisir
dijadikan daerah yang potensial dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir
hanyalah garis khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi
Universitas Sumatera Utara
setempat. Di daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan
langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit. Menurut UU No. 27 Tahun 2007 Tentang batasan wilayah pesisir, kearah daratan
mencakup wilayah administrasi daratan dan kearah perairan laut sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau kearah perairan
kepulauan.
2.5 Landasan Teori
Determinan kejadian suatu penyakit di suatu wilayah dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan perspektif epidemiologi, diketahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian suatu penyakit dapat merujuk pada teori klasik “triangle of the epidemiology” yang dikemukakan oleh John Gordon yang
menyebutkan bahwa yang berkaitan erat dengan terjadinya suatu penyakit dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: agent bibit penyakit, host pejamu, dan
environment lingkungan. Ketiga faktor tersebut secara umum merupakan faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru.
Achmadi 2008, terjadinya suatu penyakit disuatu wilayah termasuk kejadian penyakit tuberkulosis paru atau jenis penyakit menular lainnya
mempunyai variasi dinamika penularan. Dinamika transmisi penyakit adalah perpindahan agent penyakit melalui
berbagai media, seperti: air, udara, pangan, serangga atau langsung kontak dengan
Universitas Sumatera Utara
tubuh manusia, memiliki jalur rumit dan memiliki sifat khas masing-masing agent penyakit, dan secara skematis dapat digambarkan dalam konsep simpul-simpul,
atau dikenal dengan teori simpul. Upaya penanggulangan tuberkulosis paru dapat dilakukan melalui berbagai tahap, salah satu kegiatan yang paling penting adalah
surveilans epidemiologi dengan menggunakan sistem informasi geografis, dengan menggunakan teknik analisa spasial.
Prahastra 2009, menjelaskan bahwa analisa spasial merupakan suatu proses atau teknik yang melibatkan sejumlah perhitungan dan evaluasi logika atau
matematis yang dilakukann untuk mencari atau menemukan dan menganalisis hubungan antara unsur-unsur geografis seperti iklim, cuaca dan keadaan
lingkungan lainnya dengan batas wilayah tertentu. Manfaat dari analisa spasial adalah tersedianya informasi keadaan
geografis berdasarkan kewilayahanruangan dan dapat dikaitkan dengan seluruh potensi permasalahan dalam wilayah tersebut termasuk masalah kesehatan seperti
deskripsi penyakit tuberkulosis paru. Berdasarkan determinan tuberkulosis paru, dan dinamika penularan
tuberkulosis paru yang dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan seperti iklim, maka kerangka teori adalah modifikasi antara teori hubungan faktor lingkungan
kejadian tuberkulosis oleh Murti 2003 dan Achmadi 2008.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2. Modifikasi Kerangka Teori Hubungan Faktor Lingkungan
dengan Kejadian Tuberkulosis oleh Murti 2003 dan Achmadi 2008
Host Penjamu
Agent Mycobacterium
b l
Lingkungan Lingkungan
Karakteristik Sosidemografi 1 Umur
2 Pendidikan 3 Pekerjaan
4 StatusGizi 5 Sosial ekonomi
6 Pengetah an Faktor Lingkungan
- Cuaca
- Kelembaban Udara
- Suhu Udara
- Ketinggian Wilayah
- Kecepatan Angin
P i
M t h i
Sumber Penyakit
simpul 1 Media
Transmisi simpul 2
Kependudukan simpul 3
SakitSehat simpul 4
Variabel lain yang berpengaruh topografi, iklim, dan lain-lain simpul 5
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep