Gambaran Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Gambaran Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012

dalam waktu 2 jam, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur lama dalam beberapa tahun Depkes, 2007. Dari hasil penelitian Ruswanto 2010 didapat bahwa penduduk yang tinggal dalam rumah yang mempunyai pencahayaan alami 60 lux mempunyai risiko 4,385 kali dibandingkan dengan penduduk yang tinggal dalam rumah yang mempunyai pencahayaan alami ≥ 60 lux terhadap kejadian penyakit tuberkulosis.

5.1.5 Gambaran Kecepatan Angin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012

Gambaran rata-rata kecepatan angin daerah pesisir adalah sebesar rata sebesar 1,1 knot dan daerah bukan pesisir sebesar 1,2 knot. Lebih tingginya kecepatan angin di daerah bukan pesisir disebabkan topografi daerah pesisir yang relatif lebih tinggi dari pada daerah bukan pesisir, walaupun perbedaan topografi tidak terlalu jauh. Menurut Hidayat 2013, bahwa angin terjadi disebabkan udara yang bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Kecepatan angin minimum dan maksimum daerah pesisir dan daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009 hingga tahun 2012 tercatat antara 0,1 knot hingga 2,2 knot. Kecepatan angin daerah pesisir dan daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai lebih rendah jika dibandingkan dengan kecepatan angin rata-rata di Indonesia menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah 2,5 - 6,0 meterdetik atau sekitar 5 – 12 knot. Universitas Sumatera Utara Penularan Tuberkulosis paru dapat terjadi melalui udara, yaitu dengan percikan dahak droplet nuclei oleh penderita tuberkulosis jika sekali batuk akan menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak Kemenkes, 2007. Kecepatan angin dalam hal ini adalah udara yang mengalir untuk membantu penyebaran kuman tuberkolosis baik itu di ruangan tertutup atau diluar ruangan. Hubungan angin dalam penyebaran kuman tuberkulosis paru diidentikkan dengan luas ventilasi suatu rumah, dari penelitian Ruswanto 2010 diperoleh bahwa luas ventilasi suatu rumah berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis paru.

5.1.6 Gambaran Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dari tahun 2009 hingga 2012 dapat dilihat bahwa kejadian tuberkulosis paru untuk daerah pesisir dan daerah bukan pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Jumlah kejadian tuberkulosis paru daerah pesisir tahun 2009 sebanyak 92 kasus, meningkat pada tahun 2010 sebanyak 138 kasus, di tahun 2011 mengalami sedikit penurunan sebanyak 123 kasus, dan pada tahun 2012 kembali mengalami kenaikan yaitu sebanyak 173 kasus. Begitu juga dengan keadaan yang terjadi di daerah bukan pesisir yaitu pada tahun 2009 tercatat ada sebanyak 51 kasus tuberkulosis paru, di tahun 2010 Universitas Sumatera Utara sebanyak 75 kasus, tahun 2011 sebanyak 78 kasus dan tahun 2012 sebanyak 94 kasus. Terjadinya peningkatan kejadian tuberkulosis paru dari tahun ke tahun di Kabupaten Serdang Bedagai, kemungkinan disebabkan faktor iklim, dimana suhu udara Kabupaten Serdang Bedagai yang diamati berada pada 26 C hingga 29,2 Keadaan iklim lain yang mendukung peningkatan kejadian tuberkulosis paru pada daerah yang diamati di Kabupaten Serdang Bedagai adalah curah hujan, walaupun jumlah curah hujan yang tidak melebih 2000 mmtahun dan berada antara angka 1600 – 1675 mmtahun tetap memungkinkan kuman tuberkulosis berkembang biak karena meningkatnya curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup Mycobacterium tuberculosis Olender, 2003. C yang berada pada interval suhu udara yang subur tumbuhnya Mycobacterium tuberculosis dalam rentang 25 - 40 º C. Begitu juga dengan kelembaban udara yang tinggi diatas 60 yaitu antara 73 – 87 juga memungkinkan bakteri Mycobacterium tuberculosis tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. 5.2 Korelasi Iklim dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Dari hasil uji korelasi, variabel suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin, menunjukkan tidak ada Universitas Sumatera Utara korelasi dengan kejadian tuberkulosis paru, baik itu korelasi bulanan maupun tahunan. Sehingga hipotesis ditolak. Tidak adanya korelasi antara variabel iklim dengan kejadian tuberkulosis paru, berarti kejadian Tuberkulosis paru tidak tergantung dengan keadaan iklim, kemungkinan dipengaruhi faktor lain. Hasil ini sejalan dengan penelitian Achmad 2010, menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara kelembaban udara, suhu udara, intensitas matahari dan curah hujan dengan kejadian tuberkulosis paru di Kota Administrasi Jakarta Selatan tahun 2007-2009. 5.2.1 Korelasi Suhu Udara dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada korelasi antara suhu udara dengan jumlah kasus tuberkulosis paru di daerah pesisir dan daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2009-2012. Secara keseluruhan rata-rata tahunan, suhu terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu 26,4 C dan tertinggi pada tahun 2010 sebesar 28 Rata-rata suhu udara terendah dan tertinggi di Kabupaten Serdang Bedagai yaitu antara 26,4 – 28 C. C, berada pada rentang 25-40 C, yang mana menurut Goul dan Brooker 2003, pada keadaan tersebut Mycobacterium tuberculosis dapat tumbuh dengan subur, tetapi tidak dapat tumbuh dengan optimal dikarena bukan berada pada rentang suhu suhu 31- 37 º C. Universitas Sumatera Utara Faktor penghambat yang lain adalah keterpaparan kuman tuberkulosis dengan sinar ultraviolet. Lama penyinaran matahari daerah pesisir dan daerah bukan pesisir berada diatas 43 , yaitu berada pada interval 49 hingga 54,8 , merupakan keadaan yang memungkinkan membunuh kuman tuberkulosis dan juga penyinaran matahari dapat mengurangi kelembaban yang berlebihan, sehingga dapat mencegah berkembangnya kuman tuberkulosis paru dalam rumah, oleh karenanya suatu rumah sangat perlu adanya pencahayaan langsung yang cukup dari sinar matahari. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan pada sebuah rumah sakit di London oleh Proceedings of the National Academy of Sciences, London , memperoleh hasil 95 pasien yang diberikan kombinasi antibiotik dan pil vitamin D lebih cepat dua minggu pemulihannya dibandingkan dengan hanya antibiotik saja Tempo, 2012. Secara alami tubuh kita yang terpapar sinar matahari menghasilkan vitamin D yang tinggi, kemudian bersama dengan antibiotik akan membantu pasien penyakit infeksi paru sembuh lebih cepat Kompas, 2012. 5.2.2 Korelasi Kelembaban Udara dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Walaupun tidak ada korelasi antara kelembaban udara dengan kejadian tuberkulosis paru di daerah pesisir maupun daerah bukan pesisir, bukan serta merta menyimpulkan tuberkulosis paru tidak perlu diperhatikan. Bila dilihat dari hasil pengamatan secara keseluruhan kelembaban udara minimum dan maksimum daerah pesisir dan bukan pesisir berada diantara 74 - 87 , lebih tinggi dari Universitas Sumatera Utara kelembaban yang tidak baik untuk kesehatan yaitu 70 Depkes, 2005. Keadaan kelembaban yang tidak baik ini sejalan dengan terus bertambahnya jumlah kejadian tuberkulosis paru dari 143 kasus pada tahun 2009, 213 kasus pada tahun 2010, 201 kasus pada tahun 2011 dan puncaknya sebanyak 267 kasus pada tahun 2012. Akan tetapi kelembaban udara lingkungan yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya mempengaruhi keadaan kelembaban udara di dalam rumah. Baiknya ventilasi dan pencahayaan rumah, memungkinan sinar ultraviolet masuk dengan demikian kuman bakteri tuberkulosis dapat segera mati. Kuman bakteri tuberkulosis tersebut mati, jika terkena sinar ultraviolet secara langsung dalam waktu 5 menit. 5.2.3 Korelasi Curah Hujan dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Hasil korelasi menunjukkan tidak ada korelasi antara curah hujan dengan kejadian tuberkulosis paru untuk seluruh wilayah yang diamati tahun 2009, 2010, 2011, 2012 dan periode 2009-2012. Bila dilihat dari pola curah hujan di Kabupaten Serdang Bedagai mengikuti pola ekuatorial dan pola lokal, dimana puncak musim hujan sekitar Maret, Mei, Oktober, dan Nopember untuk pola ekuatorial dan puncak musim hujan bulan Juli atau Agustus untuk pola lokal APN Capable, 2009. Pola puncak musim hujan tersebut, jika dibandingkan dengan peningkatan kejadian tuberkulosis paru bulanan, diperoleh pada keadaan dimana curah hujan meningkat Universitas Sumatera Utara kejadian Tuberkulosis paru juga meningkat, ini terjadi pada bulan Nopember tahun 2009 dan Mei tahun 2012 di daerah pesisir, sedangkan di daerah bukan pesisir, ini terjadi pada bulan Nopember tahun 2009, 2010, Maret 2011 dan Juli tahun 2012. Dari hasil perbandingan diatas secara desktriptif dapat dikatakan ada hubungan antara kenaikan curah hujan dengan kenaikan kejadian tuberkulosis paru. Hasil tersebut diatas berbeda dengan interval curah hujan minimum dan maksimum yang memiliki jarak yang jauh berbeda, ada saat dimana curah hujan di Kabupaten Serdang Bedagai hanya 1 mm pada keadaan minimum, 448 mm pada keadaan maksimum. Kondisi tersebut sedikit banyaknya mempengaruhi unsur iklim lain seperti suhu udara dan kelembaban udara, sehingga berpengaruh juga dengan kemampuan hidup kuman tuberkolosis. Hal ini sejalan dengan pendapat Olender 2003 yang menyatakan curah hujan akan berdampak pada perubahan suhu udara dan kelembaban udara, sehingga akan berpengaruh terhadap kemampuan hidup Mycobacterium tuberculosis. 5.2.4 Korelasi Lama Penyinaran Matahari dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Tidak adanya korelasi secara statistik bukan berarti antara lama penyinaran matahari dengan kejadian tuberkulosis paru tidak memiliki hubungan. Dari hasil analisis univariat diyakini 95 lama penyinaran matahari berada pada 49,9 – 53,4 berada di daerah pesisir, dan 51,1 -54,8 di daerah bukan pesisir. Hasil Universitas Sumatera Utara tersebut menunjukkan intensitas matahari di daerah Kabupaten Serdang Bedagai cukup tinggi, berada diatas 43 . Keadaan itu memungkinan Mycobacterium tuberculosis tidak dapat tumbuh dengan baik dan bahkan mati. Karena secara langsung sinar ultraviolet dapat membunuh kuman bakteri tuberkulosis paru. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat memanfaatkan sinar matahari tersebut dengan baik. Kondisi fisik rumah yang masih ditemukan tidak memiliki pencahayaan yang sesuai standar kesehatan, dapat memicu bakteri tersebut lebih baik untuk berkembang biak. Apalagi kondisi fisik rumah tersebut merupakan kondisi fisik rumah penderita tuberkulosis paru. Sejalan dengan penelitian Wulandari 2012 di wilayah kerja Puskesmas Bandaharjo Kota Semarang, dimana pencahayaan ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat lebih berisiko 21,5 kali terjadi penyebaran kuman tuberkulosis paru bilang dibandingkan dengan pencahayaan ruang keluarga yang memenuhi syarat. 5.2.5 Korelasi Kecepatan Angin dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009-2012 Kecepatan angin minimum dan maksimum daerah pesisir dan daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009 hingga tahun 2012 tercatat antara 0,1 knot hingga 2,2 knot. Kecepatan angin daerah pesisir dan daerah bukan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai lebih rendah jika dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara kecepatan angin rata-rata di Indonesia menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah 2,5 - 6,0 meterdetik atau sekitar 5 – 12 knot. Rendahnya kecepatan angin pada daerah pesisir dan daerah bukan pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai, tidak membantu dalam penularan kuman tuberkulosis, dikarenakan penularan yang terjadi didalam rumah lebih banyak dipengaruhi faktor lain, walaupun percikan dahak dapat ditularkan melalui udara. Walaupun belum ada hasil penelitian yang menunjukkan hubungan kecepatan angin terhadap kejadian Tuberkulosis paru, beberapa penelitian lain menunjukkan pengaruh ventilasi dalam ruangan berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru. Seperti pada penelitian Christian et.al 2012 pada Puskesmas Sentani Propinsi Papua menunjukkan ada hubungan ventilasi udara dengan kejadian tuberkulosis paru. 5.3. Faktor Iklim yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Paru di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2009 – 2012. Kejadian Tuberkulosis paru untuk daerah pesisir dan daerah bukan pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai, selama pengamatan 2009 hingga 2012, menunjukkan kenaikan dan secara deskriptif mengalami puncak kenaikan pada tahun 2012, walaupun ada sedikit perbedaan, dimana pada daerah pesisir antara tahun 2010 hingga tahun 2011 menunjukkan sedikit penurunan jumlah kejadian tuberkulosis paru. Dominan keadaan iklim seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin secara deskriptif Universitas Sumatera Utara menunjukkan perubahan seiring dengan kenaikan jumlah kejadian tuberkulosis paru pertahunnya. Berdasarkan hasil analisis bivariat tidak diperoleh korelasi antara suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin dengan kejadian tuberkulosis paru. Sedangkan berdasarkan hasil uji regresi linier berganda diperoleh kelembaban udara dan lama penyinaran matahari diprediksikan paling berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru dibandingkan variabel lainnya untuk daerah bukan pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Elemen iklim seperti suhu udara, kelembaban udara, curah hujan, lama penyinaran matahari dan kecepatan angin adalah elemen yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, yang sedikit banyak dapat mempengaruhi tumbuh kembang kuman Mycobacterium tuberculosis. Sifat dari kuman tuberkulosis berbeda dengan bakteri penyebab penyebab penyakit lain, dimana bakteri Tuberkulosis paru memiliki dinding sel yang sebagian besar tersusun dari asam mikolik dengan cabang molekul lipid yang memberikan penghalang tak tembus di sekitar sel. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan terhadap asam dan gangguan fisika kimia. Selain itu pada kondisi tidur, bakteri tuberkulosis dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun dalam udara kering maupun dingin. Setelah bangkit dari keadaan tidur, bakteri dapat kembali aktif seperti sedia kala. Kedua hal ini lah yang sedikit banyak menunjukkan kenaikkan Universitas Sumatera Utara kejadian tuberkulosis paru di Kabupaten Serdang Bedagai baik itu didaerah pesisir maupun daerah bukan pesisir. Perlunya memperhatikan keadaan iklim dan pentingnya konsistensi pasien adalah dua hal yang diharapkan mengurangi angka kejadian tuberkulosis paru. Faktor selain iklim, seperti status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial lainnya dapat mempengaruhi keterpaparan penyakit Tuberkulosis paru bagi seseorang Hiswani, 2009. Sedangkan menurut Permatasari 2005, faktor sarana kesehatan, faktor penderita, dan keluarga memberi peranan penting dalam keberhasilan pengobatan Tuberkulosis paru.

5.4 Analisis Spasial