Kakao di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA

12 jauh di atas US 1 000. Negara-negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi merupakan pengolah dan konsumen dari produk-produk berbasis kakao. Pada tahun 20082009 negara-negara di Eropa mengkonsumsi sekitar 41 persen dari total konsumsi kakao dunia, sementara negara di benua Amerika sekitar 22 persen, diikuti negara-negara di Asia 18 persen, dan Afrika 17 persen. Perbandingan konsumsi kakao antar negara disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Konsumsi Biji Kakao Dunia Tahun 2001-2010 000 Ton Negara 2001 2002 2002 2003 2003 2004 2004 2005 2005 2006 2006 2007 2007 2008 2008 2009 2009 2010 EROPA 1 282 1 320 1 348 1 379 1 456 1 541 1 551 1 446 1 499 Jerman 195 193 225 235 306 357 385 342 361 Belanda 418 450 445 460 455 465 490 440 470 Lainnya 669 677 678 684 695 719 676 664 668 AFRIKA 422 446 464 501 485 515 564 622 660 Pantai Gading 290 315 335 364 336 336 374 419 400 Lainnya 132 131 129 137 149 179 190 203 260 AMERIKA 758 814 852 853 881 854 831 773 813 Brazil 173 196 207 209 223 224 232 216 226 Amerika Serikat 403 410 410 419 432 418 391 361 382 Lainnya 182 208 235 225 226 212 208 196 205 ASIA DAN OCEANIA 413 499 575 622 698 609 804 650 687 Indonesia 105 115 120 115 140 140 160 120 120 Malaysia 105 150 203 249 267 270 331 278 298 Lainnya 203 234 252 258 291 289 313 252 269 TOTAL DUNIA 2 875 3 079 3 239 3 355 3 520 3 609 3 750 3 491 3 659 Sumber: International Cocoa Organization, 2011

2.2 Kakao di Indonesia

Kakao di Indonesia pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa, Sulawesi. Indonesia mengekspor kakao diawali dari pelabuhan Manado ke Manila dengan jumlah ekspor sekitar 92 ton pada tahun 1825-1828. Ekspor Indonesia sempat terhenti setelah tahun 1828 karena serangan hama pada tanaman kakao. Penyebaran tanaman kakao di Jawa baru dimulai sekitar tahun 1880. Percobaan penanaman kakao dilakukan di perkebunan kopi milik orang Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur, karena pada saat itu tanaman kopi Arabika mengalami kerusakan akibat terserang penyakit karat daun. Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis Criollo, Forastero, dan Trtiaro yang berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Jenis Criollo 13 menghasilkan biji kakao bermutu sangat baik dan dikenal sebagai kakao mulia, fine flavor cocoa , choiced cocoa, atau edel cocoa. Jenis Forastero menghasilkan biji kakao bermutu menengah dan dikenal sebagai ordinary coco atau bulk cocoa. Jenis Trtiaro yang merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavor cocoa atau bulk cocoa. Jenis Tritiaro yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati Runggo DR dan Uppertimazone Hybrida atau yang biasa disebut dengan kakao lindak Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, 2011. Pengusahaan perkebunan kakao di Indonesia lebih banyak dilakukan oleh perkebunan rakyat dan sisanya adalah produksi dari perkebunan swasta dan perkebunan pemerintah. Pada tahun 2011 luas areal perkebunan rakyat mencapai 1.60 juta ha diikuti luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing sebesar 54 ribu ha dan 50 ribu ha. Sementara itu, produksi kakao di seluruh Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan bertambahnya luas areal lahan kakao. Produksi kakao diprediksi mencapai 903.09 ton pada tahun 2011. Produksi kakao Indonesia masih sangat berpeluang untuk terus ditingkatkan, dilihat dari ketersediaan lahan perkebunan kakao Indonesia yang cukup luas Direktorat Jenderal Perkebunan, 2011. Sebagian besar produksi kakao Indonesia sebesar 96 persen adalah biji yang belum difermentasi unfermented beans dan umumnya di ekspor belum dalam bentuk olahan, yaitu masih dalam bentuk biji beans. Padahal sebagian besar permintaan impor dari negara Uni Eropa adalah biji kakao yang telah difermentasi untuk dijadikan produk cokelat olahan. Sedangkan ekspor kakao unfermented dari Indonesia yang masuk ke Malaysia dan Singapura akan diolah untuk dijadikan kakao fermentasi dan menjual hasil olahan tersebut dengan harga yang berlipat. Kondisi terjadi akibat keterbatasan pengetahuan yang dimiliki petani dan kebutuhan ekonomi yang seringkali memaksa petani menjual kakao hasil panen mereka dalam bentuk biji yang tidak terfermentasi karena petani sangat membutuhkan bantuan dan dukungan untuk menghasilkan nilai tambah dengan hasil panen yang difermentasi terlebih dahulu. Upaya untuk mencegah berkurangnya keuntungan para petani misalnya dengan cara memberikan penyuluhan dan bimbingan teknis. Kebutuhan kakao untuk industri kakao 14 nasional masih belum tercukupi sehingga tidak heran bila Indonesia masih harus mengimpor biji kakao untuk kepentingan bahan baku industri. Volume dan nilai impor kakao Indonesia disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Kakao Indonesia Tahun 2007-2011 Tahun Impor Volume Ton Nilai 000 US 2007 19 655.40 39 221.30 2008 22 967.90 59 573.50 2009 27 230.00 76 312.40 2010 24 830.60 89 497.00 2011 19 100.00 62 881.00 Sumber: Kementerian Perindustrian, 2012

2.3 Industri Pengolahan kakao