Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi

13 industri tempe berskala kecil yang meningkat jumlahnya cenderung rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi misalnya perubahan harga input dan output, dimana perubahan yang sering terjadi adalah perubahan harga input. Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga input yang mereka butuhkan dan gunakan sehingga ketika terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai perusahaan tempe harus membayar harga kedelai sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Pengaruh kenaikan harga kedelai ini merugikan pengrajin tempe dan tahu, hal ini dijelaskan oleh Apretty 2000. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan kelompok industri terutama yang bahan bakunya didominasi impor mengalami kerugian. Bahan baku kedelai pada industri tempe yang mahal menyebabkan biaya produksi menjadi mahal dan dalam waktu yang bersamaan daya beli masyarakat menjadi menurun. Pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha ini pun dikuatkan oleh penelitian Patmawaty 2009, dimana kenaikan harga kedelai menyebabkan volume produksi tahu mengalami penurunan sehingga menyebabkan total penerimaan pengrajin menurun. Selain kedelai kenaikan input lain yang dialami oleh pengrajin tempe adalah kenaikan harga ragi, pembungkus plastik dan daun dan juga kenaikan upah tenaga kerja. Kenaikan upah tenaga kerja menyebabkan pengurangan penggunaan tenaga kerja untuk mengurangi kenaikan biaya produksi Apretty, 2000. Kenaikan input lain seperti kanaikan harga BBM juga turut mempengaruhi usaha ini. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Latifah 2006, dimana kenaikan harga BBM mempengaruhi kondisi usaha dan hasil produksi mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya jumlah input yang dipakai.

2.3 Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi

Perkembangan industri tempe di Indonesia tidak hanya dilihat dari bertambahnya jumlah industri secara keseluruhan, tetapi juga dari ditinjau dari kinerja dan skala produksinya. Kinerja dan skala produksi ini dapat dilihat dari jumlah penggunaan tenaga kerja, kapasitas produksi, teknologi yang digunakan, serta modal. Berdasarkan uraian tersebut dapat dinilai bahwa kinerja usaha 14 tidak dapat dipisahkan dari perusahaan. Kinerja dapat dikatakan sebagai suatu hasil yang dicapai ketika mengerjakan sesuatu atau tugas. Keberhasilan suatu usaha diukur dengan kinerja usaha, dimana kinerja usaha sendiri sangat ditentukan oleh kinerja masing-masing individu dalam perusahaan tersebut. Pengelolaan atas kinerja yang dilakukan secara strategis merupakan hal utama bagi organisasi untuk membangun dan meraih keunggulan kompetitif melalui peran sumber daya. Indikator kinerja usaha juga penting diketahui untuk mengukur hasil yang telah dicapai. Indikator kinerja usaha adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator yaitu : masukan input, keluaran output, hasil outcome, manfaat benefit, dampak impact manusia dalam menjalankan strategi organisasi. Koriawan 2009 . Kinerja usaha pada industri tempe juga dipengaruhi oleh skala produksi, yang mana skala produksi pada industri tempe dipengaruhi produktivitas pengrajin dalam menghasilkan tempe. Skala produksi untuk industri tempe dibagi menjadi tiga, meliputi skala produksi kecil, menengah, dan besar. Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan, suatu industri dapat dikelompokkan secara umum, termasuk industri dalam skala produksi kecil yaitu mempekerjakan tenaga kerja kurang dari dua puluh orang, sedangkan untuk industri skala produksi menengah dan besar apabila mempekerjakan tenaga kerja sebanyak dua puluh orang atau lebih BPSb, 2010. Penentuan skala usaha pembuatan tempe dapat juga dilakukan berdasarkan jumlah kedelai yang digunakan. Berdasarkan kapasitas produksinya, industri tempe dikelompokkan menjadi industri sekala kecil, menengah, dan besar. Industri skala kecil mengolah kurang dari 300 kg kedelai per hari, sedangkan industri skala besar mengolah lebih dari 300 kg kedelai per hari Latifah, 2006. Berbeda lagi dengan penuturan Harvita, 2007 yang mengelompokkan industri tempe skala kecil dengan penggunaan jumlah kapasitas kedelai kurang dari 50 kg kedelai per hari, skala menengah mengolah kedelai 50 hingga 100 kg kedelai per hari, dan industri skala besar mengolah lebih dari 100 kg kedelai per hari. Sedangkan 15 menurut Kurniasari 2010, pengelompokkan industri skala kecil adalah industri yang penggunaan kedelai kurang dari 100 kg per produksi, skala menengah menggunaka kedelai antara 100 hingga 200 kg per produksi dan skala besar dengan penggunaan kedelai lebih dari 200 kg per produksi. Beragamnya skala usaha akan mengakibatkan struktur biaya yang digunakan pun berbeda pada masing-masing skala usaha. Adanya perbedaan skala produksi pada industri tempe diduga akan mempengaruhi struktur biaya dan keuntungan. Suharno dan Mulyana 1996, meneliti bahwa pengrajin tempe skala kecil studi kasus di Jawa Barat memiliki rasio keuntungan sebesar 21,40 persen lebih kecil dibandingkan dengan pengrajin skala besar dengan rasio keuntungan sebesar 23,48 persen. Tingkat keuntungan yang lebih besar pada pengrajin skala besar dapat disebabkan oleh jumlah produksi yang lebih besar atau harga jual produk yang lebih mahal karena adanya perbedaan kualitas produk yang relatif lebih baik. Ditinjau dari struktur biaya yang dikeluarkan diduga terdapat perbedaan antar pengrajin tempe yang berbeda skala produksinya. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari 2010 yang menunjukkan ada kecenderungan dengan semakin besar skala produksi akan semakin menurunkan biaya produksi yang dikeluarkan. Berdasakan biaya total rata-rata per kg kedelai yang dikeluarkan pengrajin tempe, memperlihatkan kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala produksi pengrajin, dalam hal ini penggunaan jumlah kedelai maka biaya total rata-rata per kg kedelai semakin turun. Selain itu adanya kenaikan harga kedelai membuat pengrajin tempe skala kecil dan menengah melakukan upaya dengan memperkecil ukuran tempe, sedangkan untuk skala besar cenderung mengurangi jumlah jam penggunaan tenaga kerja luar keluarga. Adanya kecenderungan biaya produksi yang semakin rendah dengan semakin besarnya produksi, dapat disebabkan karena pada produsen dengan skala besar memperoleh harga pembelian input yang lebih murah karena melakukan pembelian dalam jumlah yang besar. Berbeda dengan produsen skala kecil yang pada umumnya membeli input faktor produksi dalam jumlah kecil atau kadang secara eceran karena memang kebutuhan faktor produksi 16 untuk setiap produksi kecil. Menurut Alim 1996, perbedaan jumlah pembelian faktor produksi pada produsen yang berbeda skala akan mempengaruhi daya tahan produsen terhadap gejolak harga faktor produksi. Perbedaan ini tidak hanya berlaku pada industri tempe, melainkan pada beberapa industri lain yaitu pada usaha kambing perah dan usaha penggemukan sapi perah perah. Stani 2009, mengungkapkan bahwa kecenderungan dengan semakin meningkatnya skala usaha maka biaya per satuan ternak dan per liter susu semakin menurun. Penurunan ini disebabkan biaya tetap perawatan kandang pada peternak skala kecil lebih besar dibandingkan biaya tetap pada peternak skala besar. Penelitian Lisa 2010 menguatkan, bahwa berdasarkan rata-rata biaya produksi per unit menunjukkan bahwa dengan meningkatnya skala usaha maka diperoleh biaya per kg sapi potong yang semakin rendah, dikarenakan biaya yang dikeluarkan untuk bakalan, pakan dan obat, serta tenaga kerja lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa skala usaha dapat mempengaruhi struktur biaya. Dimana skala produksi yang berbeda membuat proporsi komponen biaya produksi yang berbeda juga. Berdasarkan hasil tinjauan pustaka bahwa adanya kecenderungan pada posisi skala ekonomi dengan semakin meningkatnya skala produksi dapat menurunkan biaya rata- rata per produksi yang dikeluarkan. Hal ini disebabkan oleh adanya spesialisasi faktor produksi, efisiensi penggunaan input. Sedangkan pada posisi skala tidak ekonomi apabila terjadi pertambahan skala produksi menyebabkan biaya rata-rata produksi menjadi semakin tinggi. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan produksi yang dilakukan tidak efisien, atau suatu usaha dengan cakupan yang besar sehingga birokrasi yang terjadi semakin rumit dan komplek dan sulit dalam penentuan pengambilan keputusan. Selain itu struktur biaya juga dipengaruhi oleh teknologi, baik penggunaan teknologi tinggi ataupun sederhana harus digunakan sesuai dengan kemampuan usaha tersebut berproduksi serta jumlah produksi yang ingin dicapai. 17

III. KERANGKA PEMIKIRAN