Perkembangan Industri Tempe di Indonesia

10 konsumen terbesar juga terkonsentrasi di Jawa, Jawa merupakan penghasil kedelai terbesar dibandingkan propinsi lain. Untuk lokasi industri tahu lebih banyak terkonsentrasi di daerah kota, sedangkan untuk industri tempe terpusat usahanya di pedesaan Amang B; Husein S; Anas R, 1996. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan penentuan jumlah responden pengrajin tempe yang diambil berada pada satu kawasan yang sama, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengrajin tempe membentuk kluster atau pengelompokkan industri yang sejenis dan sebagian besar usaha ini berskala kecil atau rumah tangga dengan modal yang terbatas. Penelitian ini ditunjukkan oleh Sondang 2008 ; Amalia 2008 yang melakukan penelitian di Desa Citeureup, Patmawaty 2009 di desa Bojong Sempu, serta Kurniasari 2010 yang melakukan penelitian di Kelurahan Semanan Jakarta. Pengrajin tempe, baik yang bergabung dalam satu kawasan industri maupun yang tidak bergabung, diduga jumlahnya semakin meningkat. Peningkatan jumlah industri ini dapat memberikan dampak terhadap penyerapan tenaga kerja dan adanya pemerataan kesempatan kerja, bisnis pembuatan tempe dan tahu umumnya padat karya dan merupakan industri rumah tangga dengan modal terbatas. Dinas Perindustrian dan Perdagangan memberikan definisi tentang industri kecil adalah industri dengan investasi yang kurang dari lima juta rupiah. Sumber modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau lembaga keuangan tidak resmi. Sebagian besar hasil produksi atau jasa mereka hanya dikenal oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah atau sebagian kecil golongan ekonomi menengah, serta jumlah tenaga kerjanya kurang dari 19 orang. Uraian tersebut sesuai dengan penelitian dari Sugianto 1996, Kurniasari 2010, yang menjelaskan bahwa sebagian besar industri tempe berskala kecil terlihat dari jumlah modal investasi yang kecil yaitu antara satu hingga dua juta rupiah. Fakta ini dikuatkan oleh survei yang dilakukan oleh Departemen Perdagangan , yakni modal investasi untuk per unit usaha sebesar Rp 1,55 juta dan modal kerja sebesar Rp 420 ribu.

2.2 Perkembangan Industri Tempe di Indonesia

Industri tempe merupakan industri yang terkait langsung dengan komoditi kedelai karena bahan baku utamanya berupa kedelai. Selain memiliki 11 prospek pasar yang cukup baik akibat tingginya tingkat permintaan, keberadaan industri tempe juga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap diversifikasi konsumsi, dan meningkatkan daya tahan kedelai. Peranan lain yang tak kalah pentingnya adalah menciptakan nilai tambah, meningkatkan pendapatan, dan meningkatkan devisa serta menyerap tenaga kerja Sondang 2008; Ismira 2012. Keunggulan aktivitas pengolahan kedelai menjadi produk olahan penting untuk diperhatikan terkait dengan kondisi bahan baku yang didominasi impor. Kedelai tersebut sebagian besar digunakan oleh industri pengolahan, sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai diolah menjadi tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain seperti tauco, kecap, dan lain- lain. Tempe digemari oleh masyarakat karena kandungan gizinya yang tinggi serta harganya yang relatif murah. Setiadi 2012 menuturkan, Indonesia sendiri sudah dikenal menjadi produsen tempe terbesar di Asia. Selain itu Indonesia adalah negara pengonsumsi tempe terbesar di dunia, terbukti dengan jumlah konsumsi 2,4 juta ton per tahunnya. Peluang mengangkat tempe menjadi industri besar dapat dilakukan karena peluang tersebut sudah terbuka dengan disetujuinya usulan standar tempe yang diajukan Indonesia pada sidang Codex Alimentarius Commission CAC ke-34 di Jenewa 4-9 Juli 2011. Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg, konsumsi ini setara dengan 4,76 kg kedelai. Tahun 1979, jumlah industri tempe di dalam negeri sebesar 99 persen merupakan industri tempe skala kecil, sisanya adalah industri skala menengah dan besar Amang B; Husein S; Anas R , 1996. Tahun 1982, industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil adalah sekitar 94 persen dan sisanya sebesar 6 persen merupakan industri tempe dengan skala menengah dan besar Suharno dan Mulyana 1996. Saat ini diduga jumlah presentase industri tempe yang termasuk ke dalam skala menengah dan besar akan meningkat, mengingat cukup banyak penemuan teknologi baru yang dapat meningkatkan produktivitas pengrajin tempe. Namun peningkatan presentase industri tempe skala menengah dan besar, tidak lebih besar dari industri tempe yang termasuk ke dalam skala kecil. Dengan kata lain presentase industri skala kecil tetap lebih besar dibandingkan industri tempe menengah dan besar. 12 Tidak dipungkiri jumlah pengrajin tempe semakin meningkat jumlahnya karena selain usaha pembuatan tempe merupakan salah satu usaha yang mudah dilakukan karena tidak memerlukan keahlian khusus, modal tidak terlalu besar. Besarnya keuntungan perusahaan berbeda antara perusahaan tempe dengan skala kecil dan skala besar, selain itu lokasi juga menentukan. Pernyataan ini dikuatkan oleh penelitian Amang B; Husein S; Anas R 1996 yang melakukan penelitian di Lampung dan Jawa Barat, bahwa usaha industri tempe memberikan rasio keuntungan yang sedikit lebih tinggi dari usaha tahu. Rata- rata rasio keuntungan persen terhadap total biaya produksi untuk industri tempe dan tahu di Lampung dan Jawa Barat masing-masing adalah 22 persen dan 24 persen. Sedangkan untuk industri tahu di dua daerah tersebut sekitar 19 persen dan 21 persen. Dengan demikian industri tempe memberikan keuntungan sekitar 3 persen lebih tinggi dibandingkan industri tahu di kedua daerah. Semakin meningkatnya jumlah pengrajin tempe maka kebutuhan kedelai di Indonesia juga meningkat, namun di sisi lain Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri sehingga masih tergantung pada kedelai impor. Konsekuensinya harga kedelai di pasar domestik masih dipengaruhi oleh harga di pasar international. Kenaikan harga kedelai pada tahun 2008 sebesar 80 persen di Amerika Serikat yang mewakili pasar internasional membuat harga kedelai dalam negeri meningkat sebesar 134 persen Handayani, 2009. Kenaikan harga kedelai beberapa tahun ini sangat berpengaruh terhadap industri pembuatan tempe. Pengrajin tempe lebih memilih kedelai impor dibanding kedelai lokal. Alasan pemilihan kedelai impor karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih baik, seperti butiran lebih besar dan seragam, serta rendemen tempe lebih tinggi. Secara rata-rata rendemen kedelai impor adalah 2 persen lebih tinggi dari pada kedelai lokal Amang B; Husein S; Anas R, 1996; Krisdiana 2007; Handayani 2009. Kenaikan harga kedelai akan mempengaruhi ongkos produksi tempe, rendahnya harga kedelai impor sekitar 3 hingga 4 persen dibandingkan dengan kedelai dalam negeri telah mendorong industri tempe mensubtitusikan kedelai lokal dengan kedelai impor. Banyaknya 13 industri tempe berskala kecil yang meningkat jumlahnya cenderung rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi misalnya perubahan harga input dan output, dimana perubahan yang sering terjadi adalah perubahan harga input. Perusahaan tidak dapat mempengaruhi harga input yang mereka butuhkan dan gunakan sehingga ketika terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai perusahaan tempe harus membayar harga kedelai sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Pengaruh kenaikan harga kedelai ini merugikan pengrajin tempe dan tahu, hal ini dijelaskan oleh Apretty 2000. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 telah menyebabkan kelompok industri terutama yang bahan bakunya didominasi impor mengalami kerugian. Bahan baku kedelai pada industri tempe yang mahal menyebabkan biaya produksi menjadi mahal dan dalam waktu yang bersamaan daya beli masyarakat menjadi menurun. Pengaruh kenaikan harga kedelai terhadap usaha ini pun dikuatkan oleh penelitian Patmawaty 2009, dimana kenaikan harga kedelai menyebabkan volume produksi tahu mengalami penurunan sehingga menyebabkan total penerimaan pengrajin menurun. Selain kedelai kenaikan input lain yang dialami oleh pengrajin tempe adalah kenaikan harga ragi, pembungkus plastik dan daun dan juga kenaikan upah tenaga kerja. Kenaikan upah tenaga kerja menyebabkan pengurangan penggunaan tenaga kerja untuk mengurangi kenaikan biaya produksi Apretty, 2000. Kenaikan input lain seperti kanaikan harga BBM juga turut mempengaruhi usaha ini. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Latifah 2006, dimana kenaikan harga BBM mempengaruhi kondisi usaha dan hasil produksi mengalami penurunan yang ditandai dengan menurunnya jumlah input yang dipakai.

2.3 Hubungan Kinerja, Skala Usaha dan Biaya Produksi