49 rata per kg kedelai. Berdasarkan pada Tabel 15 terlihat bahwa biaya tetap rata-
rata per kg kedelai yang dikeluarkan pengrajin semakin rendah apabila skala produksinya semakin besar, bukti ini diperlihatkan oleh besarnya biaya tetap
rata-rata per kg kedelai pada produksi skala III yang merupakan biaya paling rendah diantara dua skala lainnya.
Berdasarkan Tabel 15 terlihat adanya jumlah biaya tetap maksimum dan minimum. Jumlah ini diperoleh dari rata-rata jumlah biaya tetap yang
dikeluarkan oleh pengrajin pada setiap skala. Biaya maksimum tertinggi dari tiga skala tersebut ada pada skala I, dan biaya minimum terendah ada pada
skala III. Sementara standar deviasi merupakan perhitungan yang digunakan untuk melihat seberapa besar penyimpangan yang terjadi pada pengeluaran
biaya tetap yang dikeluarkan oleh pengrajin pada masing-masing skala usaha.
6.2 Biaya Variabel Usaha Tempe di Desa Citeureup
Biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin tempe terdiri dari biaya variabel tunai dan non tunai. Biaya variabel tunai yaitu meliputi biaya
pembelian kedelai, ragi, plastik, daun pisang, tenaga kerja, bahan bakar yang berupa kayu dan gas, biaya untuk listrik yang digunakan untuk menggerakkan
mesin pemecah kedelai dan air yang menggunakan sumur bor. Sementara untuk biaya variabel non tunai adalah biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja
dalam keluarga. Jumlah biaya variabel yang dikeluarkan sangat bergantung pada banyak sedikitnya kedelai yang digunakan untuk produksi. Perhitungan
biaya variabel seluruhnya merupakan biaya variabel secara tunai. Untuk lebih rincinya jumlah biaya variabel yang dikeluarkan oleh pengrajin untuk produksi
dapat dilihat pada Tabel 16. Berdasarkan pada Tabel 16 dapat dilihat komponen biaya variabel yang
dikeluarkan oleh pengrajin baik skala I, II dan skala III pada kondisi sebelum kenaikan harga kedelai. Komponen biaya terbesar yang dikeluarkan adalah
biaya untuk pembelian kedelai. Berdasarkan jumlah biaya terbesar tersebut dapat dijelaskan mengapa pengrajin tempe menjadi merugi apabila terjadi
kenaikan harga kedelai, dikarenakan persentase biaya penggunaan kedelai di atas 60 persen apabila dipersentasikan. Harga kedelai yang berlaku pada saat
50 sebelum kenaikan harga adalah pada harga Rp 6.200 hingga Rp 6.300,00 per
kg. Harga ini berlaku sesuai jumlah pembelian kedelai, semakin banyak jumlah kedelai yang dibeli maka harga akan turun. Untuk pembelian kurang dari 100
kg harga yang berlaku adalah Rp 6.300 sedangkan untuk pembelian 200 kg lebih harga berlaku adalah Rp 6.200 per kg.
Tabel 16. Komponen Biaya Variabel Rata-Rata Sebelum dan Setelah Kenaikan
Harga Kedelai Berdasarkan Skala Produksi Per 100 kg Tahun 2012
Uraian Sebelum
Setelah Skala I
Rp Skala II
Rp Skala III
Rp Skala I
Rp Skala II
Rp Skala III
Rp Kedelai
630.000 628.125
620.000 790.000
780.000 766.667
Ragi 2.300
2.475 1.771
2.211 2.475
1.771 Kayu Bakar
7.222 12.750
27.143 7.222
12.750 27.143
Gas 6.597
1.406 0,0
6.597 1.406
0,0 Plastik
14.000 22.125
24.000 11.778
22.125 24.000
Daun pisang 27.083
20.625 11.190
27.083 20.625
11.190 Listrik
2.574 3.021
1.964 1.343
3.021 1.964
TKLK 36.364
42.039 89.524
36.364 42.039
89.524 TKDK
171.327 125.000
80.000 171.327
125.000 80.000
Jumlah 919.809
857.833 842.962
1.077.698 1.005.691
996.772 Rata-rata per
kg 9.198
8.578 8.430
10.777 10.057
9.968 Maksimum
10.037 9.117
8.808 11.637
10.630 10.308
Minimum 8.004
8.114 8.223
9.604 9.354
9.758 Standar
deviasi 669
344 328
670 395
297
Komponen biaya terbesar kedua adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga. Biaya tenaga kerja dalam keluarga TKDK, perhitungannya sama
dengan upah yang diberikan kepada tenaga kerja luar keluarga TKLK. Penggunaan tenaga kerja luar keluarga digunakan sebagai tambahan apabila
kekurangan tenaga kerja dalam keluarga. Semua pengrajin tempe di lokasi penelitian menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, namun jika mereka
memproduksi dalam jumlah banyak dan tenaga kerja dalam keluarga kurang maka akan mengambil tenaga kerja dari luar. Biaya TKDK tertinggi ada pada
skala I yaitu sebesar Rp 171.327. Biaya ini merupakan biaya diperhitungkan
51 karena hampir semua pengrajin menggunakan tenaga kerja dalam keluarga
dalam memproduksi tempe. Pada skala I ada beberapa pengrajin yang tidak menggunaka tenaga kerja luar keluarga dikarenakan menurut mereka tenaga
dari dalam keluarga sudah mencukupi. Skala II juga hampir sama dengan skala I, di mana jumlah tenaga kerja dalam keluarga lebih banyak dibandingan tenaga
kerja luar keluarga. Sementara untuk skala III cenderung lebih banyak menggunakan tenaga
kerja dari luar keluarga. Berdasarkan penjelasan di atas, dengan banyaknya penggunaan tenaga kerja pada skala I belum tentu mengindikasikan bahwa
penggunaan tenaga kerja dalam keluarga tidak efisien. Meskipun tingginya penggunaan tenaga kerja dalam keluarga pada skala I, pengrajin pada skala ini
tetap bertahan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Hal ini karena biaya tenaga kerja dalam keluarga merupakan biaya diperhitungkan dan sebenarnya
menjadi pemasukan atau pendapatan bagi pengrajin tempe atas tenaga kerja dalam keluarga yang dikeluarkannya.
Sementara untuk tenaga kerja luar keluarga TKLK pada pengrajin skala I cenderung paling rendah dikarenakan pada skala ini pengrajin lebih
banyak menggunakan tenaga kerja dalam keluarga karena produksinya yang tidak banyak dan tenaga kerja dalam keluarga sudah mencukupi. Berbeda
dengan skala II dan III yang mampu membayar tenaga kerja luar keluarga dikarenakan jumlah produksi yang banyak sehingga tenaga kerja dalam
keluarga tidak mencukupi. Dilihat pada Tabel 16 terlihat bahwa skala III merupakan skala yang pengeluaran biaya tenaga kerja luar keluarga yang paling
tinggi dibandingkan dua skala lainnya, dikarenakan memang jumlah produksinya yang tinggi sehingga memerlukan tenaga kerja tambahan.
Upah yang diberikan kepada tenaga kerja pada skala I berkisar Rp 50.000,00 hingga Rp 60.000,00 per hari dikarenakan jumlah kedelai yang
digunakan kurang dari 100 kg per hari. Sedangkan pada skala II dan besar upah yang diberikan Rp 70.000 hingga Rp 80.000, yang membedakan skala II dan
skala III adalah jumlah dari tenaga kerjanya. Pada skala III jumlah tenaga kerja lebih banyak dibandingkan dua skala lainnya. Jumlah tenaga kerja pada skala I
paling bayak hanya satu orang dan beberapa dari pengrajin juga memilih tidak
52 menggunakan jasa tenaga kerja tetapi dikerjakan sendiri, skala II dua orang,
dan skala III tiga hingga empat orang tenaga kerja. Oleh karena itu jumlah upah tenaga kerja pada skala III menjadi paling tinggi dibanding upah tenaga kerja
pada skala I dan II. Terlihat pada Tabel 16, penggunaan biaya variabel yang tinggi selain
tenaga kerja pada skala I adalah pengunaan pengemas yang berupa daun pisang, dikarenakan pada skala ini lebih banyak memproduksi tempe dengan
kemasan daun pisang dibanding plastik, untuk ukuran tempe yang dibuat pada skala I lebih banyak memproduksi tempe berukuran kecil yaitu 12 x 25 yang
biasa dijual dengan harga Rp 1.500,00 per buah. Pada skala II dan skala III jumlah biaya tinggi selain biaya kedelai dan tenaga kerja adalah penggunaan
pengemas plastik, dikarenakan pada skala ini pengrajin lebih banyak memproduksi tempe yang berukuran lebih besar dan dikemas dengan plastik.
Selain itu pada skala III, biaya yang tinggi juga dikeluarkan untuk biaya bahan bakar karena jumlah kedelai yang digunakan lebih banyak, sehingga
membutuhkan waktu lebih lama dan penggunaan bahan bakar lebih banyak dibandingkan skala I dan II pada proses perebusan kedelai. Untuk bahan bakar
yang digunakan pada pengrajin skala I dan II ada dua macam yaitu dengan menggunakan kayu bakar dan gas dengan tabung kecil berukuran tiga kg.
Jumlah penggunaan gas pada skala II lebih sedikit dikarenakan sebagian besar dari pengrajin skala II lebih banyak menggunakan kayu bakar. Biaya listrik
yang dikeluarkan tiga skala tersebut cenderung lebih banyak pada skala II, dikarenakan penggunaan listrik lebih banyak. Penggunaan listrik ini dibagi
menjadi dua yaitu untuk menggerakkan dynamo mesin pemecah kedelai dan digunakan untuk membantu dalam mengalirkan air dari sumur bor. Pada skala
I, II, maupun III tidak ada perbedaan dalam penggunaan peralatan, yang membedakan hanya jumlah peralatan yang digunakan saja.
Tabel 16 juga menunjukkan bagaimana komponen biaya variabel pada kondisi setelah adanya kenaikan harga kedelai. Kenaikan harga kedelai yang
terjadi adalah sebesar Rp 1.700 atau 21 persen dari harga sebelum kenikan Rp 6.200 hingga Rp 6.300 dan setelah adanya kenaikan antara Rp 7.700 hingga Rp
7.900. Kenaikan harga ini dinilai tidak setinggi pada saat kenaikan pada tahun
53 2008 yang mencapai 80 persen. Namun kenaikan ini merugikan pengrajin,
dikarenakan kenaikan yang terjadi secara terus menerus dan tidak dapat diperkirakan oleh pengrajin. Kesulitan yang dialami pengrajin adalah pengrajin
harus membuat strategi untuk menyiasati kenaikan tersebut sedangkan modal yang dimiliki oleh pengrajin terbatas, sehingga hal inilah yang membuat
pengrajin dirugikan. Pada kondisi adanya kenaikan harga kedelai, komponen biaya yang
berubah adalah hanya harga kedelai sedangkan harga dari komponen lain tetap. Namun pada skala I terjadi perubahan jumlah produksi setelah adanya kenaikan
harga kedelai, dua dari sebelas responden merubah jumlah produksi yaitu dengan mengurangi jumlah produksi kedelai yang digunakan. Pengurangan
jumlah kedelai yang dilakukan sebesar 10 kg hingga 25 kg. Dengan demikian ada penyesuaian pada jumlah bahan baku lain yang digunakan seperti ragi,
plastik yang menjdi berkurang. Hal ini dilakukan karena pengrajin kekurangan modal untuk tetap mempertahankan jumlah produksi semula. Selain itu
pengurangan jumlah produksi juga merupakan salah satu cara penyesuaian yang dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga kedelai. Sesuai dengan teori
yang ada bahwa pada saat terjadi kenaikan harga input yaitu kedelai maka jumlah permintaan kedelai akan menurun.
Sementara untuk pengrajin yang tidak mengubah jumlah produksi, mereka melakukan upaya penyesuaian yang berbeda. Dengan demikian, dengan
adanya kenaikan harga kedelai penyesuaian yang dilakukan adalah dengan mengurangi keuntungan. Hal ini dilakukan karena pengrajin dengan modal
terbatas, namun ingin memberikan kepuasan maksimum, dan mereka tidak dapat melakukan subtitusi input, sehingga pilihan yang dilakukan adalah
mengurangi keuntungan yang diperoleh. Dilihat pada Tabel 16, setelah adanya kenaikan harga kedelai jumlah
biaya yang digunakan untuk pembelian kedelai pun meningkat, sehingga menyebabkan jumlah biaya total variabel pun meningkat. Berdasarkan hasil
analisis pada usaha tempe di Desa Citeureup, bahwa biaya variabel rata-rata per kg kedelai akan lebih murah pada skala III, baik pada keadaan sebelum
54 kenaikan harga kedelai maupun setelah kenaikan harga kedelai. Dikarenakan
pada skala ini relatif dapat menekan biaya variabel yang dikeluarkan.
6.3 Biaya Total Usaha Tempe di Desa Citeureup