Model dinamis perikanan lemuru (Sardinela lemuru) di Selat Bali
MODEL DINAMIS PERIKANAN LEMURU (
Sardinela lemuru)
DI SELAT BALI
BUDI WIYONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamis Perikanan Lemuru (Sardinela lemuru) di Selat Bali adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2011
Budi Wiyono
(3)
ABSTRACT
BUDI WIYONO. Dinamic Model of Sardine Fishery (Sardinela lemuru) in Bali Strait. Under Supervision of Dr. Eko Sri Wiyono,S.Pi. M.Si and Dr. Mustaruddin,S.TP
Sardine fishery is single fishery in Bali Strait and has its dynamics that consist element of biology, fishing gear technology, human resources, and fish processing industries. The four subsystems are interrelated so that the fishery could lead to a dynamic system. Many studies on sardine stock estimation suggested that this fishery in Bali Strait has been over capacity. The number of purse seine fleet reached 423 units with 17,701 fishers (2009), and has 119 large industries and 370 small industries. The study aims to describe the dynamics of the sardine fishery in Bali Strait through simulation (using Powersim 2.5). The study was conducted in October and January-March 2011, Data mainly collected from secondary data of 2005 to 2010 from the Banyuwangi and Jembrana district. Analysis was using descriptive analysis method. Pressure on sardine fish resource is relatively high, so a decline in production was occurred due to over capacity. Since it is a renewable resource, recovery is still in place although cannot reach to maximum, where the MSY is 30,379.917 tons/year with EMSY is
4,600 trip/year. Scenario A of maximum production (72267.92 tons) is higher and faster (2016), but productivity per fleet is lower due to higher number of fishing fleet. Scenario B on maximum production reached 71912.15 tons, but produces one year slower production (2017), with better level of productivity due to lower number of fishing fleets. Scenario B is better from sardine resources perspective since pressure on resource is lower; hence there is a chance for natural recovery. Although, based on simulation both scenarios begin to experience the level of over capacity in 2009. Scenario A can support employment for 16,743 people, while scenario B for 13,385 people. The capacity of fish processing industry is too high compared to the existing resources; hence it is only able to produce approximately 6% of its maximum capacity. The sardine fishery is very dynamic and the fish resource could be threatened if not managed properly. Based on the simulation, we found gap between existing resources with production capacity of industry. This model has some limitation and still needs refinement to obtain better results.
(4)
RINGKASAN
BUDI WIYONO. Model Dinamis Perikanan Lemuru (Sardinela lemuru) di Selat Bali. Dibimbing oleh Dr. Eko Sri Wiyono,S.Pi, M.Si and Dr. Mustaruddin,S.TP
Perikanan lemuru adalah perikanan tunggal (Selat Bali) yang memiliki dinamika seperti perikanan multi spesies, yang tidak terlepas dari unsur biologi, teknologi alat tangkap, sumberdaya manusia, dan industri pengolahan. Keempat subsistem tersebut saling terkait dan mendukung sehingga mengakibatkan sistem perikanan bisa dinamis. Sumberdaya perikanan Selat Bali pada musim timur didominasi oleh lemuru yang mencapai 80% dari hasil tangkapan. Lemuru memiliki umur maksimal 4 tahun dan diperkirakan di Selat Bali sekitar 2,5-3 tahun. Lemuru terpusat di paparan Jawa dan Bali pada kedalaman kurang dari 200 meter.
Metode untuk mengetahui potensi lemuru dengan menggunakan model Schnute sedang untuk simulasi menggunakan program powersim 2.5 dengan dua skenario, yaitu skenario A dengan armada 423 unit dan skenario B dengan 277 unit.
Lemuru ditangkap dengan menggunakan purse seine, di Selat Bali di bedakan menjadi dua yaitu purse seine dengan armada 5-10 GT (armada menengah/KM) dan armada diatas 10 GT sampai 30 GT (armad besar/KB). Jumlah purse seine mencapai 423 unit dengan nelayan tetap 17.701 orang (tahun 2009) dan terdapat 119 industri besar dan 370 industri tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dinamika perikanan lemuru di Selat Bali melalui simulasi.
Armada purse seine di Selat Bali diatur SKB Prop. Jawa Timur dan Prop. Bali no. 238 tahun 1992/674 tahun 1992 mengenai armada dan purse seine, namun di lapangan terjadi pelanggaran baik kuota maupun ukuran jaring. Jumlah armada di UPPP Muncar sekarang 203 unit (terlapor) dan ada 43 unit (KB) ilegal, serta masih ada 146 unit KM yang tidak terlaporkan (kuota 190 unit). Di Kab. Jembrana jumlah armada sejak tahun 2005 berjumlah 74 unit (kuota 80 unit).
Produksi lemuru trend-nya sejak tahun 2005 naik sampai tahun 2010, namun puncak produksi tahun 2007. Kejadian ini merupakan proses alamiah atau merupakan dinamika yang dinamis. Menurunnya produksi tahun 2005 disebabkan ada 3 bulan (Mei, Juni, Juli) di PPP Muncar dan di PPN Pengambengan (April) tidak berproduksi, karena musim paceklik yang berkepanjangan. Produksi tahun 2010 menurun, karena di PPP Muncar ada 5 bulan (Juni, September, Oktober, November, Desember) tidak berproduksi, disebabkan karena faktor cuaca, menurut nelayan berbarengan dengan musim ikan lomba-lomba sehingga lemuru kabur, dan faktor regulasi yang belum terkoordinasi dengan baik.
Daerah fishing ground sejak lama masyarakat mengenal (turun-temurun), yaitu di Klosot, Senggrong, Tanjung Angguk, Karang Ente, Grajagan, Pulukan, Seseh, dan Uluwatu. Produksi per upaya (CPUE) tahun 2005-2010 trend-nya naik, fluktuasi CPUE ini relatif besar berkisar 4,666-6,444 ton/upaya diperoleh
MSY sebesar 30.379,917 ton/tahun dengan EMSY
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, MSY cenderung menurun dari tahun 1986 sampai 2002 dan sedikit naik kembali sampai tahun 2010, hal ini
(5)
menunjukan bahwa dinamika perikanan lemuru dari tahun ke tahun cenderung berubah. Perubahan ini cenderung ke arah negatif yaitu terjadi penurunan produksi walaupun produksi tahun 2002 sampai 2010 mengalami kenaikan, namun masih jauh dibawah tahun 1986. Pola musim penangkapan lemuru terjadi pada musim timur khususnya pada bulan Oktober sampai Maret.
Jumlah nelayan tetap di Kab. Jembrana tahun 2005-2010 meningkat, namun nelayan purse seine cenderung menurun (5.428 orang (2008) dan tinggal 2.960 orang (2009). Armada purse seine hanya mampu menyerap sekitar 29% dari nelayan yang ada, sisanya bergerak di armada lainnya. Kondisi ini berbeda di Kab. Banyuwangi, armada purse seine mampu menyerap 60% dari jumlah nelayan yang ada, karena armada di PPP Muncar relatif banyak.
Industri pengolahan ikan di kedua kabupaten cukup besar, namun tidak diimbangi dengan kapasitas produksi lemuru, sehingga terjadi ketimpangan dengan kapasitas produksi maksimumnya. Kapasitas maksimum industri besar 1.590 ton/hari dan industri tradisional 16,55 ton/hari), sementara potensi lestari 30.379,917 ton/tahun. Berdasarkan kapasitas maksimum, industri hanya mampu memproduksi sekitar 6% dari kapasitasnya.
Skenario A produksi maksimum terjadi tahun 2016 sekitar 72.267,92 ton dengan effort sebesar 11.016 trip, sedang skenario B produksi maksimum 71.912,15 ton dan terjadi pada tahun 2017 dengan effort 10.501. Produksi skenario A lebih cepat satu tahun mencapai maksimum, karena jumlah armada jauh lebih banyak. Skenario A rata-rata per trip menyerap tenaga kerja 47 orang sedang skenario B menyerap tenaga kerja per trip 48 orang, namun jumlah armada skenario A relatif banyak 423 unit, sedang skenario B jumlahnya 277 unit. Skenario A mengalami over exploited mulai tahun 2009 dengan produksi sebesar 33.844,92 ton yang sudah melebihi potensi lestari. Over exploited ini akan berlangsung sampai tahun 2020 (38.267,66 ton). Skenario B mengalami over exploited mulai tahun 2009 (31.449,61 ton) dan berlangsung sampai tahun 2020 (58.990,83 ton). Hasil simulasi dibandingkan dengan kejadian nyata terjadi perbedaan dimana pada tahun 2007 sudah over exploted, sementara simulasi baru mulai tahun 2009, namun masih dalam ragam yang relatif kecil (KF:48,2%).
Perbandingan skenario A dan B dengan mengurangi 146 unit armada KM
mampu memperlambat over exploited hanya beberapa bulan saja, dan
memperlambat produksi maksimum selama satu tahun. Kepentingan lain apabila 146 unit dihitung bisa menyerap tenaga kerja 3.358 orang. Setiap tahun tertentu terjadi penurunan MEY, ini menunjukan bahwa potensi sumberdaya ikan terus mengalami tekanan. Sulit diambil keputusan apabila jumlah armada didasarkan
MEY sebelum tahun 2010, karena jumlah armada yang ada sudah terlanjur banyak. Jumlah armada yang diusulkan semata-mata berdasarkan MEY dan kurang memperhitungkan dampak sosial ekonomi, karena apabila jumlah armada tahun 2007 diberlakukan akan terjadi pengangguran sebesar 15.423 orang, cukup besar dan berbahaya, namun disisi lain sumberdaya ikan terancam kelestariannya. Produksi Lemuru di TPI Kab. Jembrana relatif lebih kecil di banding Kab. Banyuwangi, ini juga berpengaruh terhadap keuntungan maupun PAD yang diterima. Skenario A di Kab. Jembrana berproduksi Rp.17,77-54,29 milyar dan puncak produksi terjadi tahun 2016, skenario B mampu berproduksi maksimum Rp.58,27 milyar dan terjadi tahun 2017. Di Kab. Banyuwangi, mampu berproduksi Rp.28,16-227,01 milyar, puncak produksi tahun 2016 (skenario A),
(6)
sedang skenario B produksi maksimum Rp.221,65 milyar dan terjadi tahun 2017. Walaupun di Kab. Banyuwangi yang berubah, di Kab. Jembrana menerima dampak dari perubahan tersebut, yaitu produksi maksimum meningkat walaupun relatif kecil ini disebabkan adanya KM yang stabil (74 unit) sementara di Kab. Banyuwangi hanya ada 1 unit sehingga persaingan penangkapan lebih baik, karena di daerah zona 2 lebih didominasi nelayan KM Kab. Jembrana.
Peran pedagang/tengkulak juga vital karena proses transisi perdagangan antara nelayan ke industri relatif cepat. Rata-rata pedagang membeli dengan harga Rp. 3.892,43 dan menjual dengan harga Rp. 7.000, kemudian ikan yang rusak dijual dengan harga Rp. 3.000. Keuntungan pedagang (Kab. Banyuwangi) berkisar Rp.3,44-27,71 milyar (skenario A), keuntungan maksimum tahun 2016. Skenario B keuntungan maksimal Rp. 27,06 milyar dan terjadi tahun 2017. Keuntungan maksimum skenario B relatif lebih kecil dan waktunya mundur satu tahun, ini terjadi karena alat produksi yang jauh lebih sedikit sehingga mengakibatkan jumlah produksi berkurang dan lebih lambat. Kab. Jembrana keuntungan pedagang sebesar Rp.206,26-629,96 juta dan keuntungan maksimum tahun 2016 (skenario A), sedang skenario B keuntungan maksimum Rp.679,96 juta dan terjadi tahun 2017. Keuntungan maksimum skenario B meningkat dibanding skenario A karena hasil produksi meningkat akibat dampak dari berkurangnya alat produksi di Kab. Banyuwangi.
Simulasi produk industri merupakan produk ikutan, secara nyata kapasitas produksi di Kab. Jembrana maupun di Kab. Banyuwangi memiliki kapasitas sangat besar, namun sayang kapasitas tersebut tidak bisa optimum karena sumberdaya ikan yang tersedia relatif kecil. Skenario A (Kab. Banyuwangi) produksi tepung Rp.13,69-110,36 milyar dengan hasil sampingan minyak ikan sebesar Rp.4,76-38,38 milyar dengan keuntungan kotor (setelah dipotong PPN dan modal beli ikan) Rp.2,32-18,71 milyar, puncak produksi/keuntungan tahun 2016. Skenario B memiliki produksi maksimum Rp.107,74 milyar tepung dan Rp.37,47 milyar minyak dengan keuntungan kotor maksimum Rp.18,27 milyar dan terjadi tahun 2017. Industri tradisional dengan produksi maksimum skenario
A sebesar Rp.60,35 milyar (tahun 2016) dengan keuntungan maksimum Rp.8,71 milyar dan skenario B sebesar Rp.58,92 milyar (2017) dengan keuntungan maksimum Rp.8,50 milyar. Di Kab. Jembrana pola produksi industri juga sama, dalam simulasi diperoleh produksi maksimum tahun 2016 baik industri tepung (Rp.30,70 milyar), pengalengan (Rp.81,19 milyar), dan tradisional (Rp.2,37 milyar) dan keuntungan maksimum industri tepung Rp.5,21 milyar, pengalengan sebesar Rp.52,41 milyar, dan tradisional sebesar Rp.158,29 juta (skenario A). Skenario B puncak produksi industri tepung (Rp.32,95 milyar), pengalengan (Rp.87,15 milyar), dan tradisional (Rp.2,55) dan keuntungan puncak industri tepung (Rp.5,59 milyar), pengalengan (Rp.56,25 milyar), dan tradisional (Rp.169,90 juta) terjadi tahun 2017. Di Kab. Jembrana terjadi berbanding terbalik dengan di Kab. Banyuwangi, dimana pada skenario B tingkat produksi dan keuntungan baik industri besar maupun industri kecil terjadi lebih besar dibanding dengan skenario A.
(7)
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(8)
BUDI WIYONO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
(9)
(10)
Judul Tesis : Model Dinamis Perikanan Lemuru (Sardinela lemuru) di Selat Bali
Nama : Budi Wiyono
NRP : C452090011
Program Studi : Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Eko Sri Wiyono,S.Pi., M.Si
Ketua Anggota
Dr. Mustaruddin, S.TP
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Dr.Ir.Dahrul Syah,M.Sc,Agr
(11)
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga Tesis dengan judul “Model Dinamis Perikanan Lemuru (Sardinela lemuru) di Selat Bali” dapat diselesaikan dengan baik.
Terima kasih penulisa ucapkan kepada Bapak Dr. Eko Sri Wiyono, S.Pi., M.Si dan Bapak Dr. Mustaruddin, S.TP selaku komisi pembimbing yang telah membantu, membimbing, dan memberi masukan, sehingga tesis ini menjadi baik, serta Bapak Prof.Dr.Ir. John Haluan,MSc dan Dr.Ir. Sugeng Hari Wisudo,Msi sebagai dosen penguji. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh jajaran keluarga (karyawan/karyawati) PT. CIDES Persada Consultant atas dukungan dan partisipasinya, serta penghargaan kepada Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan Kab. Jembrana, PPN Pengambengan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Banyuwangi, dan PPP Muncar atas bantuan dan dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh teman-teman SPT dan TPT 2009 serta seluruh staf pengajar sekolah Pascasarjana Dept. PSP, begitu pula kepada istri (Nur Azizh,SP), anak-anak (Muthia Nurul ’Izza dan M.’Arsy Habibi), Bapak dan Ibu terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2011
(12)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 07 Januari 1969 dari bapak Ponidjo Hadi Siswoyo dan ibu Ngadiyem Hadi Siswoyo. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Surakarta. Di tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi strata 2 pada Program Studi Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap pada Fakultas Pascasarjana IPB.
(13)
DAFTAR ISTILAH
Bwg : Banyuwangi
Aliran/flow : simbul yang selalu dihubungkan dengan level sebagai proses aliran suatu benda yang dapat diamati dan diukur penambahannya dan pengurangannya dalam level.
Auxiliary : variable yang merujuk kepada informasi yang melekat
pada suatu obyek, jadi bukan obyek itu sendiri
Closed seasons/periods : penutupan penangkapan perikanan pada waktu dan daerah tertentu
CPUEstd
Daerah penangkapan ikan/DPI : suatu daerah perairan tempat ikan berkumpul dimana penangkapan ikan dapat dilakukan
: catch per unit effort standart
Effort : besarnya upaya persatuan waktu
EMSY
E
: effort optimum
std
Fish finder : alat untuk menemukan ikan di dalam perairan
: effort standart
Fishing ground : daerah penangkapan ikan
FPI : fishing power index
HRp_Bwg : hasil Rp (π:rente) di Banyuwangi
HRp_Jemb : hasil Rp (π:rente) di Jembrana
Jemb : Jembrana
J_Total : jumlah total
JT_Bwg : jumlah tangkapan di Banyuwangi
JT_Jemb : jumlah tangkapan di Jembrana
JTKB_Bwg : jumlah tangkapan kapal besar di Banyuwangi
JTKB_Jemb : jumlah tangkapan kapal besar di Jembrana
JTKM_Bwg : jumlah tangkapan kapal menengah di Banyuwangi
JTKM_Jemb : jumlah tangkapan kapal menengah di Jembrana
JTrip_Total : jumlah trip total
JTripKB_Bwg : jumlah trip kapal besar di Banyuwangi JTripKB_Jemb : jumlah trip kapal besar di Jembrana
JTripKM_Bwg : jumlah trip kapal menengah di Banyuwangi JTripKM_Jemb : jumlah trip kapal menengah di Jembrana JTTripKB_Bwg : jumlah total trip kapal besar di Banyuwangi
(14)
JTTripKB_Jemb : jumlah total trip kapal besar di Jembrana
JTTripKM_Bwg : jumlah total trip kapal menengah di Banyuwangi JTTripKM_Jemb : jumlah total trip kapal menengah di Jembrana
Kalman Filter (KF) : model validasi dengan membandingkan ragam hasil simulasi dengan ragam riel
Kapasitas pemanfaatan (Capacity Utilitization/CU) : kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan (output maksimum) dengan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan (baik bulanan, musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu s
Kapasitas penangkapan (fishing capacity) : jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal pada suatu periode tertentu (musim atau tahun) pada tingkat biomasa dan struktur populasi, serta pada teknologi tertentu.
KB : kapal besar
KLG : kaleng
KM : kapal menengah
Konstanta : suatu besaran/nilai ketetapan tertentu dari masing-masing komponen.
Level : mewakili pokok persoalan yang menjadi perhatian, untuk
menggambarkan peubah keadaan paa suatu waktu tertentu.
LTKB_Bwg : laju tangakapan kapal besar di Banyuwangi
LTKB_Jemb : laju tangakapan kapal besar di Jembrana
LTKM_Bwg : laju tangakapan kapal menengah di Banyuwangi
LTKM_Jemb : laju tangakapan kapal menengah di Jembrana
LTripKB_Bwg : laju trip kapal besar di Banyuwangi LTripKB_Jemb : laju trip kapal besar di Jembrana
LTripKM_Bwg : laju trip kapal menengah di Banyuwangi LTripKM_Jemb : laju trip kapal menengah di Jembrana
MEY : Maximum Economic yield
Modal_KLG_Bwg : modal harga ikan untuk pengalengan di Banyuwangi Modal_KLG_Jemb : modal harga ikan untuk pengalengan di Jembrana Modal_PDG_Bwg : modal harga ikan untuk pindang di Banyuwangi Modal_PDG_Jemb : modal harga ikan untuk pindang di Jembrana Modal_TPG_Bwg : modal harga ikan untuk tepung di Banyuwangi Modal_TPG_Jemb : modal harga ikan untuk tepung di Jembrana
(15)
Modal_asin_Bwg : modal harga ikan untuk ikan asin di Banyuwangi
Skenario A : skenario dengan menggunakan jumlah armada 423 unit
Skenario B : skenario dengan menggunakan jumlah armada 277 unit
Model simulasi : suatu teknik dimana hubungan sebab akibat dari suatu sistem ditangkap (cupture) di dalam sebuah model komputer, untuk menghasilkan beberapa perilaku sesuai dengan sistem nyata
MSY : Maximum Sustainable Yield
MYK : minyak ikan
Nelayan asli (native/indegenous/aboriginal fishers) : nelayan yang sedikit memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga hak untuk melakukan aktivitas secara komersil walaupun dalam skala yang lebih kecil. Nelayan komersil (commercial fishers) : kelompok/orang yang menangkap ikan
untuk tujuan komersil. Kelompok ini terdiri dari nelayan skala kecil/artisanal dan nelayan skala besar/industri. Nelayan subsisten (subsistence fishers) : nelayan yang menangkap ikan hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
Nelayan rekreasi (recreation/sport fisher) : orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk sekedar kesenangan atau olah raga.
Overcapacity : situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan
(armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu
PAD : pendapatan asli daerah
PDG : pindang
Pengembangan : usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada
sesuatu yang lebih baik, proses yang menuju pada suatu kemajuan.
Perikanan : semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan
dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksakan dalam suatu sistem bisnis.
Perikanan tangkap : kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan di budidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.
(16)
Perikanan tunggal : hasil tangkapan yang didominasi hanya satu spesies saja dan dengan alat tunggal
PAD_Bwg : pendapatan asli daerah di Banyuwangi
PAD_Jemb : pendapatan asli daerah di Jembrana
PPN : Pajak Penambahan Nilai
PPN : Pelabuhan Perikanan Nusantara
PPN_KLG_Bwg : pajak penambahan nilai pengalengan ikan di Banyuwangi PPN_KLG_Jemb : pajak penambahan nilai pengalengan ikan di Jembrana PPN_MYK_Bwg : pajak penambahan nilai minyak ikan di Banyuwangi PPN_MYK_Jemb : pajak penambahan nilai minyak ikan di Jembrana PPN_TPG_Bwg : pajak penambahan nilai tepung ikan di Banyuwangi PPN_TPG_Jemb : pajak penambahan nilai tepung ikan di Jembrana
PPP : pelabuhan perikanan pantai
Produktivitas : perbandingan antara hasil yang dicapai (output) dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan (input) atau dapat dikatakan sebagai ukuran tingkat efisiensi dan efektivitas dari setiap sumber yang digunakan selama proses produksi berlangsung.
Recovery : terbaharui
Rp : rupiah
Scoolling : ikan yang mengelompok dalam jumlah besar
SDM : sumberdaya manusia
SKB : surat keputusan bersama
Simulasi : suatu peniruan perilaku suatu gejala atau proses.
Sumber dan lubuk (sink) : wakil lingkungan sistem, dan aliran dapat terjadi dari sumber ke arah model dan dari model ke lubuk tanpa mempengaruhi lingkungan
Sumberdaya lemuru : potensi jenis ikan lemuru
T_Asin_Bwg : total produksi ikan asin di Banyuwangi TCKB_Bwg : total cost kapal besar di Banyuwangi TCKB_Jemb : total cost kapal besar di Jembrana
TCKM_Bwg : total cost kapal menengah di Banyuwangi
TCKM_Jemb : total cost kapal menengah di Jembrana
TK_KB_Bwg : tenaga kerja kapal besar di Banyuwangi
TK_KB_Jemb : tenaga kerja kapal besar di Jembrana
(17)
TK_KM_Jemb : tenaga kerja kapal menengah di Jembrana
TK_Bwg : tenaga kerja di Banyuwangi
TK_Jemb : tenaga kerja di Jembrana
T_KLG_Bwg : total produksi ikan kaleng di Banyuwangi
T_KLG_Jemb : total produksi ikan kaleng di Jembrana
T_MYK_Bwg : total produksi minyakn ikan di Banyuwangi
T_MYK_Jemb : total produksi minyak ikan di Jembrana
Total cost (TC) : jumlah biaya yang dikeluarkan per trip dikali jumlah trip Total revenue (TR) : jumlah total hasil tangkapan dikali harga per satuan T_PDG_Bwg : total produksi ikan pindang di Banyuwangi
T_PDG_Jemb : total produksi ikan pindang di Jembrana
T_TPG_Bwg : total produksi tepung ikan di Banyuwangi
T_PG_Jemb : total produksi tepung ikan di Banyuwangi
TPI : tempat pelelangan ikan
TRp_Bwg : total reveneu di Banyuwangi
TRp_Jemb : total reveneu di Jembrana
TRpTPI_Bwg : total penerimaan di TPI Banyuwangi
TRpTPI_Jemb : total penerimaan di TPI Jembrana
TTrip : total trip
Rp1_Bwg : harga/Rp ikan kualitas baik di Banyuwangi
Rp1_Jemb : harga/Rp ikan kualitas baik di Jembrana
Rp2_Bwg : harga/Rp ikan kualitas buruk di Banyuwangi
Rp2_Jemb : harga/Rp ikan kualitas buruk di Jembrana
Unit Penangkapan Ikan : satu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan.
Unt : untung
Utg_Tenk_Bwg : keuntungan tengkulak di Banyuwangi Utg_Tenk_Jemb : keuntungan tengkulak di Jembrana Utg_Asin_Bwg : keuntungan ikan asin di Banyuwangi
Utg_KLG_Bwg : keuntungan pengalengan ikan di Banyuwangi Utg_KLG_Jemb : keuntungan pengalengan ikan di Jembrana
Utg_PDG_Bwg : keuntungan ikan pindang di Banyuwangi
(18)
Utg_TPG_Bwg : keuntungan tepung ikan di Banyuwangi
(19)
xvii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...xix
DAFTAR GAMBAR ...xx
DAFTAR LAMPIRAN ...xxii
1 PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar belakang ...1
1.2 Perusan masalahan ...4
1.3 Tujuan penelitian ...5
1.4 Manfaat penelitian ...5
1.5 Kerangka pemikiran penelitian ...5
2 TINJAUAN PUSTAKA ...9
2.1 Kondisi geografi ...9
2.2 Keadan umum Selat Bali ...9
2.3 Sistem perikanan tangkap ...10
2.4 Sumberdaya lemuru ...11
2.5 Alat tangkap ...16
2.6 Fishing ground ...17
2.7 Kebijakan pemerintah daerah ...17
2.8 Nelayan ...19
2.9 Armada perikanan tangkap ...21
2.10 Kapasitas penangkapan ikan ...22
2.11 Musim penangkapan ikan ...23
2.12 Dinamika perikanan tangkap ...24
2.13 Simulasi sistem dinamis ...25
3 METODE PENELITIAN ...27
3.1 Tempat dan waktu penelitian ... 27
3.2 Jenis sumber data ... 28
3.2.1 Musim penangkapan ikan ... 28
3.2.2 Daerah penangkapan ikan ... 28
3.2.3 Keragaan perikanan lemuru ... 29
3.2.4 Kapasitas penangkapan ikan ... 29
3.3 Metode pengumpulan data... 29
3.4 Metode analisis data ... 30
3.4.1 Pengolahan data ... 30
3.4.2 Kerangka analisis ... 30
3.4.3 Analisis daerah penangkapan ... 31
3.4.4 Analisis musim penangkapan ikan ... 32
3.4.5 Keuntungan ekonomi perikanan ... 34
3.4.6 Pengkajian stok (stock assesment) ... 34
3.4.7 Perhitungan penentuan fishing power index (FPI) ... 38
(20)
xviii
3.4.9 Model dinamis ... 40
3.4.9.1 Subsistem teknologi alat tangkap ... 41
3.4.9.2 Subsistem SDM... 41
3.4.9.3 Subsistem industri ... 42
3.4.9.4 Subsistem biologi ... 43
3.4.9.5 Sistem dinamis perikanan lemuru ... 43
3.5 Validasi model ... 43
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1 Hasil ... 47
4.1.1 Perikanan purse seine Selat Bali ... 47
4.1.1.1 Kapal purse seine Selat Bali... 47
4.1.1.2 Alat tangkap purse seine ... 50
4.1.2 Perkembangan perikanan lemuru di Selat Bali ... 52
4.1.2.1 Perkembangan hasil produksi lemuru ... 52
4.1.2.2 Fishing ground ... 57
4.1.2.3 Perkembangan jumlah upaya/effort ... 59
4.1.2.4 Hasil tangkapan per unit upaya/CPEU ... 60
4.1.3 Sumberdaya manusia ... 63
4.1.3.1 Sumberdaya nelayan ... 63
4.1.3.2 Sumberdaya tenaga kerja di bidang perikanan ... 64
4.1.4 Industri perikanan lemuru ... 65
4.1.5 Model dinamis ... 68
4.1.5.1 Validasi model dinamis ... 73
4.1.5.2 Simulasi sumberdaya lemuru ... 74
4.1.5.3 Simulasi upaya/effort ... 76
4.1.5.4 Simulasi tenaga kerja ... 77
4.1.5.5 Simulasi hasil keuntungan nelayan dan pedagang ... 79
4.1.5.6 Simulasi hasil industri lemuru... 81
4.2 Pembahasan ... 87
5 KESIMPULAN ... 105
5.1 Kesimpulan ... 105
5.2 Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 107
(21)
xix
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Beberapa nama lokal Lemuru ... 14
2 Variasi studi stock assessment Lemuru di Selat Bali ... 16
3 Perbedaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.7 tahun 1985//4 Tahun 1985 dengan No. 238 Tahun 1992//674 Tahun 1992. . 19
4 Simbul-simbul diagram alir (Muhammadi, 2001) ... 26
5 Jumlah kapal purse seine di Selat Bali Tahun 2010 ... 47
6 Pertumbuhan kapal purse seine di Selat Bali ... 49
7 Besaran biaya operasional per trip kapal purse seine ... 52
8 Hasil produksi tahunan lemuru di selat bali tahun 2005-2010... 53
9 Rata-rata hasil produksi bulanan lemuru di selat bali tahun 2005-2010 berdasarkan ukuran armada ... 54
10 Rata-rata hasil produksi bulanan lemuru di Selat Bali tahun 2005-2010 berdasarkan ukuran armada ... 55
11 Effort rata-rata bulanan tahun 2005-2010 ... 59
12 Jumlah produksi per effort tahun 2005-2010 ... 60
13 Perkembangan nelayan tetap di Kab. Jembrana dan Kab.Banyuwangi tahun 2005-2010……. ... 64
14 Perkembangan tenaga kerja di sektor perikanan lemuru di Selat Bali Tahun 2005-2010 ... 65
15 Perkembangan industri pengolah hasil lemuru di Selat Bali tahun 2005-2010 ... 66
16 Jumlah industri pengolah lemuru dan kapasitas maksimumnya di Banyuwangi ... 67
17 Konversi hasil produksi pengolahan hasil perikanan lemuru ... 67
18 Industri pengolah lemuru dan kapasitas maksimumnya di Jembrana ... 68
19 Hasil validasi Kalman Filter (KF) ... 73
20 Perbandingan nilai optimum hasil simulasi CPUE-effort-tenaga kerja (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 97
21 Perbandingan nilai optimum hasil simulasi produksi dan keuntungan (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 103
(22)
xx
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian ... 7 2 Perumusan masalah penelitian ... 8 3 Hubungan interaksi multidimensional sistem perikanan tangkap yang
menunjukkan dinamika sumberdaya ikan, armada (modal) dan nelayan
(Charles, 2001) ... 11 4 Sardinella lemuru Bleeker, 1853, Bali sardinella ... 12 5 Wilayah penelitian perairan Selat Bali ... 27 6 Diagram alir kerangka analisis penelitian perikanan lemuru ... 31 7 Kurva yield effort ... 36 8 Diagram pemikiran model dinamis kondisi kenyataan ... 41 9 Diagram simpal kausal subsistem teknologi alat tangkap... 41 10 Diagram simpal kausal subsistem sumberdaya manusia ... 42 11 Diagram simpal kausal subsistem industri/pasar ... 42 12 Diagram simpal kausal subsistem biologi ... 43 13 Diagram stok aliran model dinamis perikanan lemuru di Selat Bali ... 44 14 Grafik pertumbuhan armada purse seine di Selat Bali... 48 15 Armada purse seine di Selat Bali (A= armada purse seine di PPN
Pengambengan, B=armada purse seine di UPPP Muncar) ... 49 16 Jaring purse seine. A=purse seine sedang diperbaiki di UPPP Muncar,
B=purse seine dipersiapkan di kapal ukuran kecil di PPN Pengambengan ... 50 17 Grafik rata-rata hari trip per bulan selama tahun 2005-2010 diSelat Bali ... 51 19 Grafik produksi lemuru selama 6 tahun ... 54 20 Grafik hasil produksi bulanan armada 5–10 GT ... 56 21 Grafik hasil produksi bulanan armada di atas 10-30 GT ... 56 22 Grafik hasil produksi bulanan semua armada (5-30 GT) ... 57 23 Daerah penangkapan (Fishing ground) lemuru di Selat Bali... 58 24 Grafik jumlah effort rata-rata bulanan tahun 2005-2006 ... 59 25 Grafik produktivitas rata-rata bulanan per upaya tahun 2005-2006 ... 60 26 Grafik model surplus produksi (MSY) lemuru di Selat Bali tahun
2005-2010. ... 62 27 Grafik indeks musim penangkapan lemuru di Selat Bali tahun
(23)
xxi
28 Diagram perhitungan simulasi model dinamis perikanan lemuru di Selat Bali ... 70 29 Diagram alir model dinamis dinamika perikanan lemuru di Selat Bali... 71 30 Grafik simulasi hasil produksi lemuru di Selat Bali (A=menurut daftar
kapal, B=menurut laporan) ... 75 31 Grafik simulasi jumlah trip per alat tangkap dan asal daerah di Selat Bali
(A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 77 32 Grafik simulasi penyerapan tenaga kerja di penangkapan lemuru di Selat
Bali (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 79 33 Grafik simulasi nilai keuntungan hasil tangkapan lemuru di Selat Bali
(A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 80 34 Grafik simulasi nilai keuntungan pedagang lemuru di Selat Bali
(A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 82 35 Grafik simulasi total hasil produksi industri pengolahan pengolahan
lemuru di Selat Bali (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 83 36 Grafik simulasi keuntungan industri pengolahan lemuru di Selat Bali
setelah dipotong PPN (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 84 37 Grafik simulasi pendapatan anggaran daerah (PAD) dari PPN pengolahan
lemuru di Selat Bali (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 86 38 Grafik simulasi hasil produksi tanpa kapal ilegal (A=menurut daftar kapal,
B=menurut laporan) ... 88 39 Perbandingan potensi lestari (MSY) lemuru di Selat Bali dari tahun
1986-2010 ... 92 40 Perbandingan besara keuntungan pedagang di Banyuwangi dan Jembrana
dari kedua skenario ... 98 41 Perbandingan hasil produksi industri kecil/rumah tangga dan keuntungan
(Rp) di Banyuwangi dan Jembrana dari kedua skenario ... 100 42 Perbandingan Hasil Produksi Industri Besar dan Keuntungan (Rp) di
Banyuwangi dan Jembrana dari Kedua Model (A=B=model hasil produksi, A1=B1=model keuntungan) ... 101
(24)
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Persamaan model dinamis Powersim 2.5 ... 113 2 Tabel dasar-dasar simulasi powersim ... 123 3 Hasil simulasi jumlah tangkapan per ukuran armada (A=menurut daftar
kapal, B=menurut laporan) ... 131 4 Hasil simulasi jumlah trip per tahun (A=menurut daftar kapal,
B=menurut laporan) ... 132 5 Hasil simulasi jumlah tenaga kerja (ABK) (A=menurut daftar kapal,
B=menurut laporan) ... 133 6 Hasil simulasi jumlah biaya per trip, total produksi, dan hasil bersih
produksi (A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 134 7 Hasil simulasi produksi di TPI dan keuntungan pasar perantara/tengkulak
(A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 135 8 Hasil simulasi jumlah total produksi pengolahan lemuru (A=menurut
daftar kapal, B=menurut laporan) ... 136 9 Hasil simulasi jumlah modal produksi pengolahan lemuru (A=menurut
daftar kapal,B=menurut laporan) ... 137 10 Hasil simulasi jumlah keuntungan kotor industri pengolahan lemuru
(A=menurut daftar kapal,B=menurut laporan) ... 138 11 Hasil simulasi pendapatan anggara daerah dari perikanan lemuru
(A=menurut daftar kapal, B=menurut laporan) ... 139 12 Data produksi perikanan lemuru ... 140 13 Perhitungan surplus produksi ... 146
(25)
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selat Bali memisahkan antara Pulau Jawa dan Bali dengan bentuk seperti corong, di bagian selatan melebar dengan lebar kurang lebih 35 km dan dibagian utara menyempit dengan lebar kurang lebih 2,5 km dengan luas sekitar 2.500 km2. Perikanan di Selat Bali memiliki sifat yang khas yaitu merupakan perikanan tunggal (purse seine/pukat cincin) yang memiliki target khusus ikan lemuru. Secara atministrasi Selat Bali bersinggungan dengan dua propinsi yaitu Provinsi Bali dan Provinsi Jawa Timur dengan 4 kabupaten namun konsentrasi penangkapan hanya di dua kabupaten (Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jembrana). Pusat perikanan Kabupaten Banyuwangi di PPI-Muncar, sedang Kabupaten Jembrana di PPI-Pengambengan. Selat Bali merupakan daerah terjadinya upwelling yang mengakibatkan perairan subur, kondisi seperti ini yang menjadikan perairan banyak ikan lemuru. Berdasarkan hasil penelitian pada bulan September-Oktober 2004, secara umum arus permukaan bergerak dari tenggara (selatan selat) menuju ke luar selat di bagian utara selat, kecepatan arus permukaan antara 0,001 m/dt - 1,6 m/dt, dan arus upwelling dan downwelling berkisar antara 0,01.10-4 m/dt - 2,4.10-4
Sumberdaya perikanan Selat Bali pada musim timur lebih banyak didominasi oleh ikan lemuru yang mencapai 80% dari hasil tangkapan, potensi lemuru tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan Bali dan Jawa Timur terutama oleh nelayan Muncar-Banyuwangi. Densitas ikan pelagis dibagi menjadi 5 strata yaitu 5-10 meter ditemukan densitas sekitar 9216 ekor/1000 m
m/dt (Pranowo dan Realino, 2004).
3
, 10-25 meter ditemukan densitas sekitar 46390 ekor/1000 m3, 25-50 meter ditemukan densitas sekitar 83363 ekor/1000 m3, 50-75 meter ditemukan densitas sekitar 71533 ekor/1000 m3, dan 75-125 m ditemukan densitas sekitar 22.528 ekor/1000 m3
Panjang baku ikan lemuru maksimum 23 cm. Ikan lemuru memiliki umur maksimal mencapai 4 tahun dan diperkirakan berada di Selat Bali sekitar 2,5 - 3 (Hartoyo et al, 1998). Sudah banyak dilakukan penelitian studi pendugaan stok lemuru di Selat Bali, pada dasarnya keadaan ikan lemuru di Selat Bali sudah mengalami over-fishing.
(26)
tahun (Merta & Monintja, 2002). Rata-rata panjang ikan lemuru pertama kali tertangkap adalah 15,9 cm lebih kecil dari ukuran ikan pertama matang gonad adalah 17,5 cm. Hal ini merupakan faktor kritis terhadap kelestarian sumberdaya ikan lemuru.
Berdasarkan penelitian akustik yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dengan menggunakan alat fish finder, ikan lemuru di perairan Selat Bali terpusat di paparan Jawa dan Bali pada kedalaman kurang dari 200 meter, di luar paparan ikan lemuru tidak ditemukan. Di siang hari ikan lemuru mempunyai kebiasaan bergerombol (scoolling) dalam jumlah yang cukup besar dan padat di dasar perairan, sedangkan di malam hari akan naik ke permukaan dan lebih menyebar.
Alat tangkap yang berkembang adalah pukat cincin (purse seine), seiring pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (dahulu Balai Penelitian Perikanan Laut) dikenalkan di Selat Bali. Dengan berkembangnya alat tangkap tersebut, jenis alat tangkap lainnya (payang, bagan, dan gill net) tidak berkembang karena hasil produksi tidak lebih baik dibanding dengan pukat cincin. Jumlah purse seine yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, sehingga pemerintah daerah melakukan pembatasan jumlah armada yang tertuang dalam SKB (Surat keputusan bersama) antara pemerintah daerah Jawa Timur dan Bali, namun hasil Di siang hari gerombolan (scoolling) ikan padat ditemukan dekat dengan dasar perairan, sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan dekat permukaan membentuk gerombolan yang menyebar. Kadang kala gerombolan lemuru ditemukan di permukaan di siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis.
Produksi ikan lemuru mulai meningkat pada bulan Agustus, namun hasil produksi masih lemuru sempenit, pada bulan Desember sampai Maret, ikan sempenit mulai tiada dan digantikan oleh ikan lemuru protolan, dan selanjutnya digantikan oleh peningkatan produksi ikan lemuru kucing. Dengan keadaan seperti tersebut bisa diperkirakan bahwa kegiatan penangkapan ikan lemuru pada bulan April-Juli cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru, karena ikan lemuru Sempenit dan Protolan masih berukuran muda dan sebagian besar belum matang gonad reproduksi. Sumberdaya ikan lemuru akan terancam sumberdayanya dan akan sangat sulit untuk melakukan pemulihan (recovery) secara alami.
(27)
3
evaluasi SKB antara Gubemur Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor: 238 tahun 1992/674 tahun 1992 tanggal 24 Nopember 1992 tentang pengaturan pengendalian penggunaan pukat cincin (purse-seine) di Selat Bali yang dilaksanakan pada tanggal 7 Februari 2000 di Denpasar-Bali, menyatakan bahwa perlu pengkajian lagi secara mendalam tentang quota SIUP (Surat Ijin Usaha Penangkapan) di Selat Bali sebanyak 273 unit (190 unit untuk Jawa Timur, dan 83 unit untuk Bali, karena adanya kecenderungan menurunnya sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali.
Perikanan lemuru merupakan sistem yang terdapat beberapa elemen yang saling terkait diantaranya adalah faktor biologi (sumberdaya ikan lemuru), teknologi (alat tangkap), sumberdaya manusia, dan industri perikanan. Output-input effort di industri perikanan sangat bersifat dinamis yang mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamikaan perikanan lemuru adalah faktor internal yang berhubungan dengan operasi penangkapan meliputi kapasitas alat penangkap ikan, kapasitas kapal, dan biaya operasional dan faktor eksternal yang meliputi musim ikan dan cuaca/lingkungan.
Perubahan yang ada pada perikanan lemuru sekarang adalah terjadinya dinamika perubahan alat tangkap, armada, maupun industri perikanan yaitu terjadinya perubahan besar-besaran ke alat tangkap purse seine dari alat tangkap lain dan armada cenderung lebih besar yang mendekati 30 GT ini terjadi setelah tahun 1972. Dinamika industri perikanan juga sangat pesat tumbuh, dimana di Jembrana terdapat 12 perusahaan yang bergerak di bidang pengalengan, penepungan, minyak ikan, dan es batu, sedang di Banyuwangi terdapat 337 industri besar maupun kecil yang bergerak pada pengalengan ikan, tepung ikan, minyak ikan, coldstorage, pindang, pengasinan, petis, terasi, pengasapan, dan es-esan.
Fakator-faktor yang mempengaruhi kedinamikaan tersebut adalah tentang operasi penangkapan, seperti kapasitas alat penangkap, kapasitas kapal, sumberdaya manusia/nelayan, juga biaya operasional sebagai faktor internal, sedang sebagai faktor eksternal adalah musim ikan dan lingkungan/iklim.
(28)
Keberhasilan pengelolaan sumberdaya ikan lemuru sangat tergantung kapasitas armada penangkapan, stok sumberdaya ikan, dan kebijakan pemanfaatan berkelanjutan. Kunci keberhasilan pengelolaan sumberdaya sebenarnya adalah faktor manusia (nelayan) sebagai pemanfaat dan pengelola sumberdaya ikan.
Kondisi perikanan lemuru tersebut perlu suatu tindakan nyata dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya lemuru, sehingga bisa mengangkat kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan. Untuk menggambarkan pengelolaan berkelanjutan dan berwawasan jauh ke depan, dalam penelitian ini dilakukan pemodelan dinamika perikanan lemuru. Model tersebut adalah model dinamis dengan menggunakan powersimp 2.5. Model dinamis tersebut bisa mempermudah penggambaran dinamika perikanan lemuru dengan mensimulasikan keadaan nyata yang terjadi untuk memprediksi dinamika yang akan terjadi.
1.2 Perumusan Masalah
Penelaahan latar belakang tersebut bisa diidentifikasi permasalahan yang terjadi tentang pengelolaan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali, diantaranya : 1) Kondisi sumber daya ikan lemuru di perairan Selat Bali sudah over fishing. 2) Penangkapan ikan lemuru terjadi di sepanjang tahun, sehingga menyebabkan
sumberdaya ikan tidak memiliki kesempatan untuk berkembang secara optimal, karena belum adanya kebijakan penutupan di daerah tertentu dan bulan tertentu untuk penangkapan (closed seasons/periods).
3) Dinamika perikanan lemuru di perairan Selat Bali yang belum terprediksi dengan baik.
4) Faktor-faktor penyebab terjadinya overcapacity.
Berdasarkan penelaahan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana dinamika keragaan perikanan lemuru dan sebaran daerah
penangkapan ikan lemuru di Selat Bali?
2) Bagaimana karakteristik pola musim ikan lemuru di Selat Bali?
3) Berapa besar jumlah armada dan jumlah nelayan yang optimum di waktu mendatang agar perikanan lemuru berkelanjutan.
(29)
5
1.3 Tujuan Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan. Pada prinsipnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjaga keseimbangan yang lestari terhadap ikan lemuru di masa mendatang. Secara rinci tujuan dari penelitian ini adalah :
1) Mendiskripsikan dinamika perikanan lemuru di Selat Bali.
2) Memprediksi pola musim ikan lemuru dan armada penangkapan ikan di Selat Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1) Dasar strategi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perikanan tangkap ikan lemuru di Selat Bali.
2) Sumber informasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penelitian lanjutan terutama yang berhubungan dengan pemodelan tentang perikanan lemuru.
3) Memberikan gambaran ramalan dinamika perikanan lemuru di Selat Bali.
1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian
Ikan lemuru merupakan pruduk utama, karena hampir 80% hasil tangkapan
di Selata Bali dari jenis ikan lemuru. Hasil produksi pada tahun 2008 sekitar 11.227,479 ton dengan jumlah armada (trip) penangkapan sebesar 2.165 unit kapal untuk didaerah Jembrana. Hasil produksi ikan lemuru pada tahun
2008 sebesar 22.610,51 ton dan jumlah armada penangkapan sebesar 4.524 trip untuk di daerah Banyuwangi. Total produksi pada tahun 2008 di Selat Bali 33.837,989 ton dengan jumlah trip 6.689 unit. Kapal penangkap ikan lemuru didominasi oleh kapal berukuran 5 - 30 GT dengan jaring pure saine.
Pendugaan stok ikan lemuru berdasarkan catatan hasil penelitian dari sejak tahun 1986 sampai tahun 1992 telah mengalami over fishing, dan bahkan hasil penelitian tahun 2005 juga pada kondisi yang sama. Realitas pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut terus dilakukan eksploitasi secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam
(30)
membatasi input produksi perikanan tangkap sehingga terus terjadi peningkatan total fishing effort (upaya penangkapan), jika upaya penangkapan ini terus dilakukan tanpa kontrol akan terjadi penurunan produksi yang sangat membahayakan sumberdaya ikan lemuru. Dampak yang terjadi operasional penangkapan ikan tidak efisien bahkan usaha perikanan lemuru akan terancam collapse, namun tidak demikian faktanya karena sistem perikanan sangat dinamis dimana apabila terjadi ketidak seimbangan baik inpu/output dengan sendirinya akan terjadi penyesuaian baik langsung atau tidak langsung. Apabila output sangat sedikit bahkan merugi tentu effort akan berkurang karena nelayan tidak ingin terus merugi, sebaliknya bila output melimpah effort akan bertambah banyak dan seterusnya.
Untuk mengatasi overcapacity yang berlebihan (over fishing) diperlukan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pemahaman keragaan perikanan lemuru yang terjadi, sehingga dengan diketahui dinamikanya akan lebih mudah memahami sistem perikanan secara menyeluruh. Pemahaman dinamika perikanan tersebut perlu dipelajari tentang keragaan ikan lemuru, keragaan effort (kapal dan jaring), keragaan nelayan, dan keragaan industri pengolahan (dinamika perikanan lemuru). Atas dasar tersebut, diperlukan penelitian kedinamisan perikanan lemuru untuk mencari faktor-faktor penyebab overcapacity baik faktor internal yang bisa dikontrol (keragaan armada kapal dan jenis alat tangkap) maupun faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol (pola musim ikan), serta penelitian membuat model dinamis untuk mencari keseimbangan agar pengelolaan perikanan lemuru di waktu mendatang bisa optimal, berkesinambungan, dan lestari .
Kegiatan penelitan ini dilakukan di perairan Selat Bali (Kabupaten Jembrana - Provinsi Bali dan Kabupaten Banyuwangi - Provinsi Jawa Timur). Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1, sedangkan untuk perumusan masalahnya disajikan pada Gambar 2.
(31)
7
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
PERIKANAN LEMURU DI SELAT BALI 80% DARI TOTAL HASIL TANGKAPAN (PERIKANAN TUNGGAL)
Kebutuhan Pasar/Industri
PAD & Devisa Negara Penyerapan
Tenaga Kerja
STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP LEMURU BERKELANJUTAN Analisis
Kapasitas Unit Penangkapan Ikan
Analisis Pola Musim
(IMP)
Analisis Pemetaan
DPI
SIMULASI MODEL DINAMIS PENANGKAPAN PENENTUAN GOAL
PERIKANAN TANGKAP LEMURU
KONDISI PERIKANAN TANGKAP LEMURU DI SELAT BALI
(OVER FHISING)
DINAMIKA PERIKANAN LEMURU
Tingkat Pertumbuhan Tenaga Kerja/Nelayan Daerah Penangkapan
Industri/Pengolahan Tingkat Penggunaan
Teknologi Alat Tangkap Tingkat Pemanfaatan
SDI Intensif
KAPASITAS PERIKANAN TANGKAP LEMURU
(32)
Gambar 2 Perumusan masalah penelitian
Data Time Series
P
e r
i
k a
n a
n
Spesies
Tunggal Stock
Catch
Effort Data
Bangkitan
Model Produksi
Surplus
Model Schnute
Fungsi Produksi Apakah model yang digunakan
cocok? (Memenuhi kriteria dan
sifat-sifat SDI tsb) tidak
Ya
Upaya optimum tangkapan
Optimum Input,C,E
Simulasi Model Dinamis
Bio Ekonomi Parameter
Ekonomi Biofisik
Teknologi
Lingkungan Analisis
Kapasitas Sumberdaya
Ikan
Paramet er Biologi (r, K, q)
Ekonomi
(33)
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Geografis
Kabupaten Banyuwangi merupakan bagian administrasi Propinsi Jawa Timur yang terletak pada posisi 07o48’-08o46’ LS dan 113o63’-114o38’ BT dengan luas sekitar 5.782,5 km2. Batas-batas wilayah Kabupaten Banyuwangi adalah sebelah utara berbaatasan dengan Kabupaten Situbondo dan Bondowoso, sebelah timur berbatasan dengan Selat Bali, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Jember dan Bondowoso, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (Tinungki, 2005).
Kabupaten Jembrana merupakan bagian administrasi Propinsi Bali yang terletak pada posisi 08o09’30’’-08o28’02’’ LS dan 114o25’33’’-114o56’38’’ BT dengan luas sekitar 841,80 km2. Batas-batas wilayah Kabupaten Jembrana adalah sebelah utara berbaatasan dengan Kabupaten Buleleng, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tabanan, sebelah barat berbatasan dengan Selat Bali, dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia (Tinungki, 2005).
2.2 Keadaan Umum Selat Bali
Selat Bali memisahkan antara Pulau Jawa dan Bali dengan bentuk seperti corong, di bagian selatan melebar dengan lebar + 35 km dan dibagian utara menyempit dengan lebar + 2,5 km. Posisi geografi terletak diantara 114o20’ - 115o10’ BT dan 8o10’ - 8o50’ LS dengan luas sekitar 2.500 km2
Selat Bali merupakan daerah terjadinya upwelling yang mengakibatkan perairan subur, kondisi seperti ini yang menjadikan perairan banyak ikan lemuru. Berdasarkan hasil penelitian pada bulan September-Oktober 2004, secara umum . Perikanan di Selat Bali memiliki sifat yang khas yaitu merupakan perikanan tunggal (purse seine/pukat cincin) yang memiliki target khusus ikan lemuru. Secara atministrasi Selat Bali bersinggungan dengan dua propinsi yaitu Provinsi Bali dan Provinsi Jawa Timur dengan 4 kabupaten namun konsentrasi penangkapan hanya di dua kabupaten (Kab. Banyuwangi dan Kab. Jembrana). Pusat perikanan di Kab. Banyuwangi berada di Muncar, sedang di Kab. Jembrana berpusat di PPI-Pengambengan.
(34)
arus permukaan bergerak dari Tenggara (selatan selat) menuju ke luar selat di bagian utara selat, kecepatan arus pemukaan antara 0,001 m/dt - 1,6 m/dt, dan adanya upwelling dan downwelling berkisar antara 0,01.10-4 m/dt - 2,4.10-4
2.3 Sistem Perikanan Tangkap
Sistem perikanan tangkap tersusun oleh tiga komponen utama yaitu subsistem alam (biologi dan lingkungan peraiaran), subsistem manusia dan subsistem pengelolaan, diantara ketiga komponen utama tersebut memiliki berbagai bentuk interaksi yang kompleks (Carles, 2001).
Dinamika sistem perikanan tangkap mencakup aspek sumberdaya ikan, armada perikanan, dan komunitas nelayan. Sumberdaya ikan dikendalikan melalui dinamika populasi di alam berupa proses reproduksi dan kematian. Armada perikanan bervariasi dalam dinamika modal seperti investasi kapal dan alat tangkap baru yang mengalami depresiasi sepanjang waktu. Penangkapan secara langsung akan mengurangi jumlah stok sumberdya ikan, tetapi disisi nelayan hasil tangkapan merupakan keuntungan yang dapat digunakan untuk menambah modal kembali (Hermawan, 2006). Interaksi multidimensional antara subsistem perikanan tangkap merupakan hubungan kesatuan sistem perikanan tangkap yang digambarkan oleh Charles (2001), sebagai berikut :
m/dt (Pranowo & Realino, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian dari Tinungki (2005) menyatakan bahwa model CYP adalah model Produksi Surplus terbaik untuk perikanan lemuru di Selat Bali berdasarkan statistik indikator, model pendugaan stok hybrid (model surshing) antara model Produksi Surplus dan model Cushing dapat diterapkan pada perikanan lemuru, peubah lingkungan dalam hal curah hujan, SOI (El-Nino dan La-Nian) dapat mempengaruhi sangat nyata dalam memperoleh tampilan statistik, serta effort optimum perikanan lemuru di Selat Bali secara ekonomis adalah 11.384,39 unit penangkapan (trip/tahun), secara sosial adalah 22.768,78 unit penangkapan (trip/tahun), sehingga secara biologis akan berada pada 11.384,39 unit penangkapan (trip/tahun) dan 22.768,78 unit penangkapan (trip/tahun).
(35)
11
Gambar 3 Hubungan interaksi multidimensional sistem perikanan tangkap yang
menunjukkan dinamika sumberdaya ikan, armada (modal) dan nelayan (Charles, 2001)
2.4 Sumberdaya Lemuru
Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (UU No. 31 Tahun 2004). Faktor yang mengatur stok sumberdaya ikan adalah recruitment, pertumbuhan, mortalitas alami dan penangkapan oleh usaha perikanan (Widodo & Suadi, 2006).
Sumberdaya ikan adalah salah satu sumberdaya alam yang bersifat renewable resources dan coomon peroperty resources. Pengertian sifat renewable adalah dapat dipulihkan, ini memberikan implikasi bahwa manusia dapat memanfaatkan sumberdaya ikan dengan hati-hati sehingga aliran manfaatnya akan ada sepanjang tahun. Adapun pengertian coomon peroperty adalah hak kepemilikan bersama atas sumberdaya ikan sehingga setiap orang sebagai pemegang hak properti memiliki tanggungjawab dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Dengan kata lain tidak ada kebebasan bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut (Nikijuluw, 2002).
Namun pada umumnya sumberdaya ikan masih dianggap bersifat open access yakni pemanfaatannya secara tebuka oleh siapa saja dan kapan saja, sehingga menimbulkan persaingan antar nelayan, persaingan teknologi dan modal. Proses persaingan tersebut dalam perairan open access akan berlanjut sampai melampaui suatu titik profit total maksimum sehingga terjadi overcapacity
Dinamika Populasi Ikan
Dinamika Modal
Dinamika Tenaga Kerja
Ikan Armada Nelayan
Panen
Pasar
Keuntungan
Pasca Panen
Kondisi Pasar Ekosistem
Lingkungan Biofisik
Rumah tangga Lingkungan
(36)
(melampaui kapasitas kemampuan menanggung dan mengakomodasi tekanan eksploitasi) dan mengakibatkan penangkapan berlebih (overfishing) terhadap sumberdaya ikan (Widodo & Suadi, 2006).
Secara sederhana overfishing dapat dideteksi dengan melihat hasil tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) yang semakin menurun. Adanya penurunan CPUE mencerminkan bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan semakin tidak efisien dan semakin terbatasnya sumberdaya ikan yang dapat dimanfaatkan nelayan. Indikasi ketidak-efisienan dapat dilihat dari semakin banyaknya energi, dana dan waktu yang dikerahkan untuk memperoleh ikan serta semakin kecilnya individu ikan yang tertangkap dan penurunan total produksi perikanan (King, 1995; Gordon, 1954).
Gambar 4 Sardinella lemuru Bleeker, 1853, Bali sardinella
Kingdom Animalia Phylum Chordata
Subphylum Vertebrata Superclass Gnathostomata
Class Actinopterygii Subclass Neopterygii
Superorder Clupeomorpha Order Clupeiformes
Suborder Clupeoidei Family Clupeidae
Subfamily Clupeinae GenusSardinella
Species
(37)
13
Species Sardinella atricauda Species
(Bleeker's blacktip sardinella) Sardinella aurita Species (round sardinella) Sardinella brachysoma Species (deepbody sardinella)
Species Sardinella fijiense Species (fiji sardinella) Sardinella fimbriata Species (fringescale sardine) Sardinella gibbosa Species (goldstripe sardinella) Sardinella hualiensis Species (Taiwan sardinella) Sardinella janeiro Species (Brazilian sardinella) Species
Species Sardinella lemuru Species
(Bali sardinella) Sardinella longiceps
Species
(Indian oil sardine) Sardinella maderensis Species (Madeiran sardinella) Sardinella marquesensis Species (marguesan sardine) Sardinella melanura Species (blacktip sardinella) Sardinella neglecta Species
(east african sardinella) Sardinella richardsoni Species (Richardson's sardinella) Sardinella rouxi Species (yellowtail sardinella) Sardinella sindensis Species (sind sardinella) Sardinella tawilis Species (freshwater sardinella) Sardinella zunasi
Ikan lemuru terdapat di perairan pantai dan pelagis, memakan phytoplanton dan zooplankton. Panjang baku maksimum 23 cm. Di Laut Hindia bagian timur dan Pacifik bagian barat, Sardinella lemuru mudah dibedakan dari semua clupeid lainnya dengan 9 jari-jari sirip perut. Penyebarannya di Laut Hindia bagian timur dan Pasifik bagian barat, Malay Peninsula, Indonesia bagian barat, Australia bagian barat, Philippina, China, Taiwan dan Jepang bagian Selatan (Anonim, 2008). Ikan lemuru memiliki karakter diagnostik: badan memanjang, bagian perut sebelum sirip perut membundar, panjang kepala 25-29% daripada panjang baku, tinggi badan 27-31%. Jari-jari sirip punggung 14; jari sirip dubur 13-15, jari-jari sirip dada 16, jari-jari-jari-jari sirip perut 9, tulang saring insang bagian bawah 146-166, ruas tulang belakang 47-48. Striae vertikal sisik tidak bertemu di pusat, pada pinggiran sisik bagian belakang tidak terdapat lubang pori-pori yang halus.
(38)
Warna badan keperakan dengan biru gelap pada bagian belakang, tidak terdapat bercak gelap pada dasar sirip punggung, pinggiran tepi sirip ekor berwarna gelap. Ikan lemuru memiliki umur maksimal mencapai 4 tahun (Dwiponggo,1972 dan Merta, 1992) dan diperkirana berada di Selat Bali diperkirakan sekitar sampai 2,5 - 3 tahun (Merta & Monintja, 2002). Di Laut Hindia bagian timur dan Pacifik bagian barat, Sardinella lemuru mudah dibedakan dari semua clupeid lainnya dengan 9 jari-jari sirip perut. Ikan lemuru memiliki beberapa nama daerah yang di dasarkan pada ukuran besar badan, diantaranya adalah seperti tabel berikut :
Tabel 1 Beberapa nama lokal lemuru
Panjang Total Nama Lokal Lokasi
<11 Sempenit/Penpen Muncar/Kedongan -Bali
11-15 Protolan Muncar dan Bali
15-18 Lemuru Muncar dan Bali
>18 Lemuru
kucing/Kucingan
Muncar/Kedongan-Bali
Sumber : Martinus et al, 2004
Rata-rata panjang ikan lemuru pertama kali tertangkap adalah 15,9 cm lebih kecil dari ukuran ikan pertama matang gonad adalah 17,5 cm. Hal inil merupakan faktor kritis terhadap kelestarian sumberdaya ikan lemuru. Hubungan upaya penangkapan dengan produksi per upaya berupa linier positif, sehingga pendugaan kondisi berimbang lestari (MSY) tidak bisa diduga dengan pendekatan Schaefer (1959) dan Fox (1970). Produksi lemuru per unit penangkapan purse seine dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1995 - 2003) semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah upaya penangkapan (Martinus et al, 2004).
Berdasarkan penelitian akustik yang dilakukan oleh Balai Penelitian Perikanan Laut (BPPL) dengan menggunakan alat fish finder, ikan lemuru di perairan Selat Bali terpusat di paparan Jawa dan Bali pada kedalaman kurang dari 200 meter, di luar paparan ikan lemuru tidak ditemukan. Di siang hari ikan lemuru mempunyai kebiasaan bergerombol (scoolling) dalam jumlah yang cukup besar dan padat di dasar perairan, sedangkan di malam hari akan naik ke permukaan dan lebih menyebar.
Di siang hari gerombolan (scoolling) ikan padat ditemukan dekat dengan dasar perairan, sedang pada malam mereka bergerak ke lapisan dekat permukaan
(39)
15
membentuk gerombolan yang menyebar. Kadang kala gerombolan lemuru ditemukan di permukaan di siang hari ketika cuaca berawan dan gerimis.
Juvenile lemuru berada di daerah perairan yang dangkal, ikan ini yang sering menjadi target alat tangkap tradisional (liftnet, gillnets, bagan tancap, bagan apung, dan lain lain). Ikan lemuru yang berada di daerah perairana teluk Pangpang, dekat ujung Sembulungan dan semenanjung Senggrong di sisi pulau Jawa dan di teluk Jimbaran Bali, masih relatif kecil ukurannya yaitu kurang dari 11 cm (lemuru sempenit). Kebanyakan ada sejak memasuki bulan Mei sampai September dan kadang-kadang meluas sampai ke bulan Desember. Ikan lemuru yang besar ukurannya akan menghuni di perairan yang lebih dalam dan secara umum ukuran ikan semakin bertambah besar bila semakin ke arah selatan.
Sebenarnya produksi ikan lemuru mulai meningkat pada bulan Agustus, namun hasil produksi masih lemuru sempenit, pada bulan Desember sampai Maret, ikan sempenit mulai tiada dan digantikan oleh ikan lemuru protolan, dan selanjutnya digantikan oleh peningkatan produksi ikan lemuru kucing. Dengan keaadan seperti tersebut bisa di perkirakan bahwa kegiatan penangkapan ikan lemuru pada bulan April-Juli cukup membahayakan kelestarian sumberdaya ikan lemuru, karena ikan lemuru Sempenit dan Protolan masih berukuran muda dan sebagian besar diduga belum matang gonad reproduksi. Sumberdaya ikan lemuru akan terancam sumberdayanya dan akan sangat sulit untuk dalam melakukan pemulihan (recovery) secara alami.
Sumberdaya perikanan Selat Bali pada musim Timur lebih banyak didominasi oleh ikan lemuru yang mencapai 80% dari hasil tangkapan, potensi lemuru tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh nelayan Bali dan Jawa Timur terutama oleh nelayan Muncar-Banyuwangi (Hartoyo et al, 998). Densitas ikan pelagis dibagi menjadi 5 strata yaitu 5-10 meter ditemukan densitas sekitar 9.216 ekor/1000 m3, 10-25 meter ditemukan densitas sekitar 46.390 ekor/1000 m3, 25-50 meter ditemukan densitas sekitar 83.363 ekor/1000 m3, 50-75 meter ditemukan densitas sekitar 71.533 ekor/1000 m3, dan 75-125 m ditemukan densitas sekitar 22.528 ekor/1000 m3 (Hartoyo et al, 1998). Sudah banyak dilakukan studi pendugaan stock ikan lemuru, pada dasarnya keadaan ikan lemuru di Selat Bali sudah mengalami over-fishing, seperti pada Tabel 2.
(40)
Tabel 2 Variasi studi stock assessment lemuru di Selat Bali
Tahun Model MSY (t) fopt (p.s.unit) Tingkat
Pemanfaatan
1986 Schaefer 66.306 238 Over-fishing
Fox 62.317 242 Over-fishing
1986 Schnute 80.332 207 Over-fishing
Gulland’s moving average
60.559 123 Over-fishing
Schaefer :
q = 0,00108 49.440 260 Over-fishing
q = 0,00068 48.835 257 Over-fishing
Jacknife :
q = 0,00108 49.581 259 Over-fishing
q = 0,00068 47.512 320 Over-fishing
1992 Schaefer 40.000 180 Over-fishing
Sumber : Merta et al, 2000
2.5 Alat Tangkap
Alat tangkap yang dikembangkan adalah pukat cincin (purse seine), pada tahun 1972 oleh Lembaga Penelitian Perikanan Laut (dahulu Balai Penelitian Perikanan Laut), kenaikan produksi ikan lemuru sangat mencolok seimbang dengan bertambahnya jumlah pukat cincin. Dengan berkembangnya alat tangkap tersebut, maka jenis alat tangkap lainnya (payang, bagan, dan gill net) tidak berkembang karena hasil produksi tidak lebih baik dibanding dengan pukat cincin. (Budiharja et al, 1990).
Pukat cincin dioperasikan dengan menggunakan lampu dan tidak menggunakan lampu. Lampu yang dipergunakan adalah lampu petromax berjumlah 4-6 buah. Penggunaan lampu ini sangat dipengaruhi oleh umur bulan, yaitu dilakukan pada saat musim Barat, namun tidak selalu menggunakan lampu apabila terlihat gerombolan ikan yang banyak terus akan dilakukan penurunan jaring. Pada musim timur pengoperasian purse seine tidak menggunakan lampu/gadangan, karena ikan bisa dilihat dengan mata telanjang, bila terlihat gerombolan ikan terus dilakukan penurunan jaring. Waktu operasi penangkapan mengikuti kalender Jawa, yaitu dilakukan pada saat bulan gelap saja di malam hari, begitu bulan mulai muncul, nelayan segera pulang. Saat bulan purnama yaitu sekitar 2-3 hari sebelum dan sesudah purnama penuh, kegiatan penangkapan berhenti. Jumlah hari operasi penangkapan (hari aktif) untuk satu unit pukat dan setiap bulan antara 21-23 hari.
(41)
17
2.6 Fishing Ground
Secara tradisional masyarakat nelayan sudah mengenal daerah tangkapan (fishing ground) secara turun temurun. Fishing ground tersebut diberikan berdasarkan nama daratan terdekat, yaitu: Klosot (Wringinan-paparan Jawa), Senggrong (paparan Jawa), Tanjung Angguk (paparan Jawa), Karang Ente (paparan Jawa), Grajagan, (paparan Jawa), Pulukan, (paparan Bali), Seseh (paparan Bali), dan Uluwatu (paparan Bali). Selain ke delapan daerah tersebut ada juga penangkapan dengan menggunakan bagan tancap dan bagan apung yaitu teluk Pang-pang , teluk Banyubiru, dan teluk Senggrong. Ikan lemuru di Selat Bali menyebar di 8 (delapan) daerah penangkapan utama, yaitu: Klosot, Senggrong, Tanjung Angguk, Karang Ente, dan Grajagan, serta teluk Pangpang di paparan Jawa, sedangkan di paparan Bali terdapat di daerah penangkapan Pulukan, Seseh, dan Uluwatu.
Ikan lemuru ukuran kecil (sempenit) banyak tertangkap di daerah penangkapan Klosot (wringinan), Senggrong, dan Teluk Pangpang, dengan menggunakan alat bagan tancap dan apung. Sedangkan lemuru ukuran besar tertangkap di daerah penangkapan Tanjung Angguk, dan Karang Ente di paparan Jawa, serta Seseh, dan Uluwatu di paparan Bali. Daerah daerah penangkapan tersebut sekaligus merupakan migrasi dari jenis ikan lemuru berdasarkan size kategori. Jenis alat tangkap purse-seine melakukan tekanan penangkapan intensif di daerah penangkapan Tanjung Angguk, dan Karang Ente di paparan Jawa, serta Seseh, dan Uluwatu di paparan Bali. Sedangkan jenis alat bagan hanya melakukan penangkapan di daerah penangkapan Klosot (Wringinan), Senggrong, dan Teluk Pang-pang (Martinus et al, 2004).
2.7 Kebijakan Pemerintah Daerah
Untuk menjaga kelestarian sumberdaya lemuru, pada tanggal 31 Maret 1975, pemerintah, c.q. Direktorat Jendral Perikanan mengeluarkan SK. No. 123/Kpts/Um/1975 yang melarang penggunaan pukat cincin dengan besar mata jaring pada bagian kantong kurang dari 2,54 cm (1 inchi). Peraturan ini tidak dilaksanakan di perairan Selat Bali karena menurut nelayan banyak ikan-ikan lemuru yang menyangkut pada bagian insang (macok) pada jaring sehingga sulit
(42)
dilepaskan dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya dari jaring. Tanggal 20 Mei 1977 dikeluarkan SKB antara Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Bali, No. EK/1/39/1977 yang menetapkan jumlah pukat cincin yang beroperasi di perairan Selat Bali 50 buah untuk Muncar dan 50 buah untuk Bali. SKB ini diperbaharui dengan SKB No. 156 Tahun 1978, EK/Le/146/1978 tanggal 27 Desember 1978, yang menetapkan jumlah pukat cincin yang boleh beroperasi dari Muncar sebanyak 73 unit dan dari Bali 60 unit. SKB ini diperbaharui lagi dengan SKB No. 126 tahun 1983-No. 236 tahun 1983 pada tanggal 4 Agustus 1983 yang memberikan ijin operasi bagi 125 unit pukat cincin dari Muncar dan 75 unit dari Bali.
Tahun 1985 dikeluarkan SKB baru dengan No. 7 tahun 1985 - No. 4 tahun 1985 dengan mengijinkan jumlah pukat cincin yang beroperasi dari Muncar sebanyak 190 unit dan dari Bali sebanyak 83 unit. SKB tersebut diperbaharui pada tahun 1992 dengan dikeluarkannya SKB antara Gubemur Propinsi Jawa Timur dan Bali No. 238 Tuhun 1992/674 tahun 1992 tanggal 24 November 1992 tentang pengaturan pengendalian penggunaan pukat cincin (purse-seine) di Selat Bali, SKB terakhir ini disamping membatasi jumlah unit yang boleh beroperasi sebanyak 283 unit, juga menetapkan besarnya mata jaring pada bagian kantong sekurang-kurannya 2,54 cm dan panjang jaring tidak boleh lebih dari 300 m dan lebar jaring minimal 60 meter, serta ukuran mata jaring bagian kantong minimal 1 inchi (2,54 cm), sedangkan ukuran perahu pukat ancin yang boleh beroperasi maksimal 30 GT (Anonim, 2000 dalam Martinus et al, 2004).
Hasil evaluasi SKB antara Gubemur Propinsi Jawa Timur dan Bali Nomor: 238 tahun 1992/674 tahun 1992 tanggal 24 Nopember 1992 tentang pengaturan pengendalian penggunaan pukat cincin (purse-seine) di Selat Bali yang dilaksanakan pada tanggal 7 Pebruari tahun 2000 di Denpasar Bali, menyatakan bahwa perlu pengkajian lagi secara mendalam tentang quota SlUP (Surat Ijin Usaha Penangkapan) di Selat Bali sebanyak 273 unit (190 unit untuk Banyuwangi Jawa Timur, dan 83 unit untuk Bali. Hal ini perlu dilakukan mengingat situasi adanya kecenderungan menurunnya sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Sebagai indikasinya adalah jumlah pukat cincin yang beroperasi baik yang punya
(43)
19
SIUP ataupun yang tidak ber SlUP berada jauh dibawah quota (273 unit), yaitu berkisar antara 112 - 124 unit (Martinus et al, 2004).
Tabel 3 Perbedaan SKB Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur dan Bali No.7 tahun 985//4 tahun 1985 dengan No. 238 tahun 1992//674 Tahun 1992.
SKB Gubernur KDH Tk.I Jawa Timur dan bali Tahun 1985
SKB Gubernur KDH Tk.I Jawa Timur dan bali Tahun 1992
Daerah Operasi Penangkapan Ikan Ditegaskan kembali koordinatnya Daerah I: perahu layar/tanpa motor
08o40’ LS – 114o33’ BT 08o13’ LS – 114o27’ BT 08o30’ LS – 114o
Daerah I: perahu layar/tanpa motor 08
33’ BT
Daerah II : untuk kapal/perahu motor
o
40’ LS – 114o33’ BT 08o30’ LS – 114o33’ BT 08o30’ LS – 114o53’ BT 08o13’ LS – 114o27’ BT 08o13’ LS – 114o
Jumlah pure seine yang diijinkan 273 unit (Jatim=190 unit dan Bali=83 unit)
23’ BT
Daerah II : untuk kapal/perahu motor Tetap
Ukuran unit pure seine : Panjang maksimal 150 m Mata jaring minimal 1 inchi
Ukuran unit pure seine : Panjang maksimal 300 m Dalam jaring minimal 60 m Mata jaring minimal 1 inchi Tanda pengenal SKB Kepala Dinas
Perikanan Propinsi Dati I Jawa Timur dan Bali nomor:
Tanda pengenal SKB Kepala Dinas Perikanan Propinsi Dati I Jawa Timur dan Bali nomor:
Pengawasan Pemda Tk.II setempat koordinasi dengan unsur SATGAS-KAMLA
Pengawasan tetap, ditambah agar lebih ditingkatkan
Pemasaran Ikan hasil tangkapan harus dujual ke TPI dimana ijin diperoleh
Pemasaran tetap, ditambah KUD Mina kedua daerah dapat mengadakan kerjasama saling menguntungkan di bidang
pemasaran
Sumber : Dinas Perikanan Propinsi Bali, 1999 dalam Zulbainarni, 2002
2.8 Nelayan
Nelayan didefiniskan sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan (UU RI No 31 Tahun 2004). Pengertian lebih luas, nelayan adalah orang yang secara keseluruhan atau sebagian dari hidupnya tergantung dari kegiatan menangkap ikan (Widodo & Suadi, 2006).
Charles (2001) membagi kelompok nelayan dalam empat kelompok, yaitu: 1) Nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang menangkap ikan
hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
2) Nelayan asli (native/indegenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga
02/SK/Utan/I/85
523.41/96/Um/Kabupaten
10 Tahun 1992 02 Tahun 1992
(44)
hak untuk melakukan aktivitas secara komersil walaupun dalam skala yang lebih kecil.
3) Nelayan rekreasi (recreation/sport fisher), yaitu orang yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan ikan hanya untuk sekedar kesenangan atau olah raga.
4) Nelayan komersil (commercial fishers), yaitu kelompok/orang yang menangkap ikan untuk tujuan komersil. Kelompok ini terdiri dari nelayan skala kecil/artisanal dan nelayan skala besar/industri.
Lebih lanjut Charles (2001) menyatakan, usaha perikanan secara umum dibagi dua yaitu usaha perikanan skala kecil/artisanal dan usaha perikanan skala besar (industri). Usaha perikanan skala kecil/artisanal adalah penangkapan ikan untuk komersil tetapi tingkatnya masih rendah dan usaha perikanan industri adalah penangkapan ikan untuk komersil dengan armada dan modal yang intensif.
Berdasarkan technico-sosio-economic, karakateristik perikanan skala kecil dapat dibagi ke dalam dua golongan besar yaitu nelayan industri dan tradisional (Smith, 1983 dalam Hermawan, 2006). Adapun ciri-ciri dari perikanan tradisional adalah sebagai berikut:
1) Kegiatan dilakukan dengan unit penangkapan skala kecil, kadang-kadang menggunakan perahu bermesin atau tidak sama sekali.
2) Aktivitas penangkapan merupakan paruh waktu, dan pendapatan keluarga adakalanya ditambah dari pendapatan lain dari kegiatan diluar penangkapan. 3) Kapal dan alat tangkap biasanya dioperasikan sendiri.
4) Alat tangkap dibuat sendiri dan operasikan tanpa bantuan mesin.
5) Investasi rendah dengan modal; pinjaman dari penampung hasil tangkapan. 6) Hasil tangkapan per unit usaha dan produktivitas pada tingkat sedang sampai
sangat rendah.
7) Hasil tangkapan tidak dijual kepada pasar besar yang terorganisasi dengan baik tapi diedarkan di tempat-tempat pendaratan atau di jual di laut.
8) Sebagian atau keseluruhan hasil tangkapan dikomsusi sendiri bersama keluarganya.
(45)
21
9) Komunitas nelayan tradisional seringkali terisolasi baik secara geografis maupun sosial dengan standar hidup keluarga nelayan yang rendah sampai batas minimal.
2.9 Armada Perikanan Tangkap
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelolaan sampai pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan (UU RI No 45 Tahun 2009). Sedangkan Perikanan tangkap didefinisikan sebagai perikanan yang berbasis usahanya berupa penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum.
Usaha perikanan tangkap adalah semua usaha yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk menangkap ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil (Ditjen Perikanan Tangkap DKP, 2005).
Armada perikanan tangkap merupakan sekelompok kapal-kapal yang terorganisasi untuk melakukan beberapa hal secara bersama-sama seperti kegiatan penangkapan ikan (Dirjen Perikanan Tangkap DKP, 2005), dengan kata lain armada perikanan adalah sekelompok kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu daerah perairan (fishing ground). Sedangkan unit penangkapan didefinisikan sebagai kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan terdiri dari perahu/kapal penangkapan dan alat penangkapan yang di gunakan.
UU No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan, mendefinisikan kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian atau eksploitsi perikanan. Sedangkan berdasarkan fungsinya kapal perikanan, meliputi: kapal penangkapan ikan, kapal pengangkut ikan, kapal pengolah ikan, kapal latih perikanan, kapal penelitian/eksplorasi perikanan, dan kapal operasi penangkapan ikan.
(46)
Menurut Dirjen Perikanan Tangkap DKP (2005), kasifikasi armada perikanan tangkap terdiri atas:
1) Armada penangkapan ikan skala kecil adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu tanpa motor, atau menggunakan perahu motor tempel, atau kapal motor berukuran < 5 GT.
2) Armada penangkapan ikan skala menengah adalah armada penangkapan ikan menggunakan perahu motor tempel atau kapal motor berukuran 5 - 30 GT. 3) Armada penangkapan ikan skala besar adalah armada penangkapan ikan
menggunakan perahu motor tempel atau kapal berukuran > 30 GT.
2.10 Kapasitas Penangkapan Ikan
Kapasitas didefinisikan sebagai jumlah keluaran (output) yang dapat dihasilkan oleh suatu sistem produksi dalam cakrawala waktu tertentu, yang selama satu tahun atau dalam beberapa tahun mendatang. Dengan kata lain kemampuan unit produksi (input) untuk menghasilkan jumlah produk (output) pada suatu periode waktu tertentu (Chase et al, 2001 dalam Haming & Mahfud, 2005). Dengan demikian, kapasitas penangkapan (fishing capacity) dapat diartikan sebagai jumlah maksimum ikan yang dapat ditangkap oleh sebuah kapal pada suatu periode tertentu (musim atau tahun) pada tingkat biomasa dan struktur populasi, serta pada teknologi tertentu. Artinya, kapasitas pemanfaatan (Capacity Utilitization/CU) adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan (output maksimum) dengan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan (baik bulanan, musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri (Wiyono, 2005).
Berdasarkan pengertian tersebut, overcapacity kemudian diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu. Overcapacity yang berlangsung terus menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yang ditandai dengan gejala pada suatu sumberdaya ikan, antara lain: (1) hasil tangkapan nelayan yang terus menurun, (2) daerah penangkapan (fishing ground) semakin jauh dan (3) ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil (Widodo, 2003). Hal senada
(1)
C (ton) E std. CPUE std Y {(Ut+1/Ut) - 1} X1 (Ut) X2 (Et) 2005 11.800,858 2.535 4,655 0,238 4,655 2535,078 2006 18.631,641 3.233 5,763 0,118 5,763 3232,860 2007 38.617,008 5.993 6,444 -0,149 6,444 5992,673 2008 31.806,666 5.797 5,487 -0,143 6,444 5992,673 2009 35.601,506 7.573 4,701 0,141 4,701 7572,664 2010 17.854,857 3.329 5,364
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,979845388
R Square 0,960096984
Adjusted R Square 0,920193967 Standard Error 0,049862212
Observations 5
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 0,119641667 0,059820833 24,06076204 0,039903016
Residual 2 0,00497248 0,00248624
Total 4 0,124614147
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 1,141480791 0,161878696 7,05145779 0,019524337 0,444972979 1,837988604 0,444973 1,837988604 X Variable 1 -0,171226653 0,028592944 -5,988423242 0,026770587 -0,294252163 -0,048201143 -0,294252 -0,048201143 X Variable 2 -2,7889E-05 1,20434E-05 -2,315707519 0,146563892 -7,97076E-05 2,39296E-05 -7,97E-05 2,39296E-05
Lampiran 13 (Lanjutan)
(2)
C (ton) E std. CPUE std Y (Ut) X (Et) 2005 11.800,858 2535,078173 4,655
2006 18.631,641 3232,860186 5,763 4,088 2883,969 2007 38.617,008 5992,673161 6,444 5,166 4612,767 2008 31.806,666 5797,199582 5,487 6,021 5894,936 2009 35.601,506 7572,664426 4,701 5,583 6684,932 2010 17.854,857 3.328,677 5,364 5,078 5450,671 SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,885535043
R Square 0,784172313
Adjusted R Square 0,71222975 Standard Error 0,386121325
Observations 5
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 1,625074136 1,625074136 10,89997751 0,04568166
Residual 3 0,447269034 0,149089678
Total 4 2,072343169
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 2,943482935 0,701163325 4,197998996 0,024663179 0,712068302 5,174897567 0,7120683 5,174897567 X Variable 1 0,000439452 0,000133106 3,301511398 0,04568166 1,58483E-05 0,000863055 1,585E-05 0,000863055
Lampiran 13 (Lanjutan)
(3)
C (ton) E std. CPUE std Y (ln(Ut+1/Ut)) X1{(Ut+Ut+1)/2} X2 {(Et+Et+1)/2} 2005 11.800,858 2535,078173 4,655 0,214 5,209 2883,969 2006 18.631,641 3232,860186 5,763 0,112 6,104 4612,767 2007 38.617,008 5992,673161 6,444 -0,161 5,965 5894,936 2008 31.806,666 5797,199582 5,487 -0,154 5,094 6684,932 2009 35.601,506 7572,664426 4,701 0,132 5,033 5450,671 2010 17.854,857 3.328,677 5,364
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,872086284
R Square 0,760534487
Adjusted R Square 0,521068974 Standard Error 0,12044887
Observations 5
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 0,092153405 0,046076703 3,175966664 0,239465513
Residual 2 0,02901586 0,01450793
Total 4 0,121169266
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 0,941375638 0,687379725 1,369513246 0,304337426 -2,016180611 3,898931888 -2,016181 3,898931888 X Variable 1 -0,071272633 0,11776607 -0,605205163 0,606567554 -0,577979135 0,435433869 -0,577979 0,435433869 X Variable 2 -0,000102319 4,15396E-05 -2,46317129 0,132772867 -0,000281049 7,64113E-05 -0,000281 7,64113E-05
Lampiran 13 (Lanjutan)
(4)
C (ton) E std. CPUE std Y (ln (Ut+1)) X1 (lnUt) X2(Et+Et+1) 2005 11.800,858 2535,078173 4,655 1,751 1,538 5767,938 2006 18.631,641 3232,860186 5,763 1,863 1,751 9225,533 2007 38.617,008 5992,673161 6,444 1,702 1,863 11789,873 2008 31.806,666 5797,199582 5,487 1,548 1,702 13369,864 2009 35.601,506 7572,664426 4,701 1,680 1,548 10901,341 2010 17.854,857 3.328,677 5,364
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,814331038
R Square 0,663135039
Adjusted R Square 0,326270078 Standard Error 0,093985888
Observations 5
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 0,034777746 0,017388873 1,968548573 0,336864961
Residual 2 0,017666694 0,008833347
Total 4 0,05244444
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 1,323909094 0,590852192 2,240677297 0,154349083 -1,218322705 3,866140892 -1,218323 3,866140892 X Variable 1 0,456336881 0,395836184 1,152842764 0,368155585 -1,246808759 2,159482521 -1,246809 2,159482521 X Variable 2 -3,74018E-05 1,89075E-05 -1,978151092 0,186509438 -0,000118754 4,39504E-05 -0,000119 4,39504E-05
Lampiran 13 (Lanjutan)
(5)
Tahun C total E std CPUE std ln Ut (Y) Et (X)
2005 11.800,858 2535,078173 4,655 1,5379 2.887 2006 18.631,641 3232,860186 5,763 1,7515 3.606 2007 38.617,008 5992,673161 6,444 1,8632 6.414 2008 31.806,666 5797,199582 5,487 1,7023 5.697 2009 35.601,506 7572,664426 4,701 1,5478 7.011 2010 17.854,857 3.328,677 5,364 1,6797 4.174 SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,205088068
R Square 0,042061116
Adjusted R Square -0,197423606 Standard Error 0,135616892
Observations 6
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 1 0,003230208 0,003230208 0,175631729 0,696681015
Residual 4 0,073567766 0,018391941
Total 5 0,076797974
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 1,603918616 0,190725673 8,409558029 0,001094432 1,074379254 2,133457977 1,0743793 2,133457977 X Variable 1 1,54055E-05 3,676E-05 0,419084393 0,696681015 -8,66566E-05 0,000117468 -8,67E-05 0,000117468
Lampiran 13 (Lanjutan)
(6)
Tahun C total E std CPUE std (Ut+1 – Ut-1)/2 Ut Ut (X1) Et (X2)
2005 11.800,858 2535,078173 4,655
2006 18.631,641 3232,860186 5,763 0,1552 5,166 3.606 2007 38.617,008 5992,673161 6,444 -0,0215 6,021 6.414 2008 31.806,666 5797,199582 5,487 -0,1588 5,583 5.697 2009 35.601,506 7572,664426 4,701 -0,0130 5,078 7.011 2010 17.854,857 3.328,677 5,364
SUMMARY OUTPUT
Regression Statistics
Multiple R 0,682573245
R Square 0,465906235
Adjusted R Square -0,602281295 Standard Error 0,162728818
Observations 4
ANOVA
df SS MS F Significance F
Regression 2 0,023099892 0,011549946 0,436165207 0,73081719
Residual 1 0,026480668 0,026480668
Total 3 0,049580561
Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0%
Intercept 0,72365291 1,189696976 0,608266579 0,652102761 -14,39288044 15,84018626 -14,39288 15,84018626 X Variable 1 -0,084820591 0,225343408 -0,376405912 0,770815176 -2,948080069 2,778438887 -2,94808 2,778438887 X Variable 2 -4,74991E-05 6,56823E-05 -0,723164073 0,601409974 -0,000882071 0,000787073 -0,000882 0,000787073
Hasil perhitungan model Disequilibrium Schaefer ((Ut+1 – Ut-1 )/2 Ut = r – r/kqUt – qEt)