komponen baik yang bersifat polar, semi polar, maupun non-polar sehingga metanol disebut sebagai pelarut universal Al-Ash’ary, Supriyanti, dan Zackiyah,
2010. Metanol jika terhirup atau tertelan dapat menyebabkan gangguan penglihatan, seperti kabur. United States Environmental Protection Agency,
2013.
2. Etanol
Etanol atau ethyl alkohol dengan rumus molekul C
2
H
6
O dan titik didih 78,2
C, merupakan cairan jernih tidak berwarna dapat dengan cepat diserap oleh saluran pencernaan dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Etanol memiliki
aktivitas bakterisida dan sering digunakan sebagai desinfektan topikal, selain itu juga banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam sediaan farmasi, dan
bahan utama minuman beralkohol National Center for Biotechnology Information, 2015.
Etanol di dalam tubuh akan mengalami oksidasi oleh suatu enzim hati yaitu alkohol dehydrogenase. Hasil dari oksidasi etanol adalah asetaldehid dan
asam asetat. Namun, hasil oksidasi tersebut kurang toksik dibandingkan dengan metanol yang menghasilkan toksik seperti formaldehid dan asam formiat Stoker,
2010.
3. Heksan
Heksan atau N-Hexane memiliki rumus molekul C
6
H
14
dengan titik didih 68,7
C merupakan cairan jernih tidak berwarna dengan bau seperti minyak. Heksan tidak dapat larut air dan banyak digunakan sebagai pelarut, thinner, reaksi
kimia dan sebagai agen pembersih National Center for Biotechnology Information, 2015.
Penggunaan heksan dalam proses fraksinasi adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa nonpolar seperti klorofil, triterpen, lemak dan senyawa
nonpolar lain. Hal ini dikarenakan heksan merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki polaritas 0 sehingga dapat digunakan untuk menarik senyawa-senyawa
non polar yang tidak diinginkan dalam hasil proses ekstrak maupun fraksi Agoes, 2009.
I. Metode Uji Analgesik
Pengujian efek analgesik dalam penemuan dan pengembangan agen analgesik baru yang dilakukan pada hewan uji di laboratorium antara lain:
1. Golongan Analgesik Narkotik
a. Metode jentikan ekor. Pada uji ini ekor mencit atau tikus dicukur dan dilapisi dengan cat penyerap panas berwarna hitam. Hewan uji
ditempatkan pada balok dengan lampu inframerah yang panas sehingga ekor dapat menerima panas secara maksimum. Jarak antara waktu sebelum
hewan uji menjentikkan ekornya untuk keluar dari balok inframerah dicatat. Prosedur pengujian diulangi dengan menggunakan hewan uji yang
sudah diberi dosis agen analgesik yang diteliti, dan perpanjangan waktu selama ekor hewan uji masih berada pada balok yang panas dicatat
Cannon, 2007. b. Metode potensi petidin. Metode ini kurang baik untuk skrining awal,
karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah yang relatif besar untuk melakukan uji ini, namun metode ini dapat digunakan untuk pengujian
lanjutan dari hasil skrining awal. Tiap kelompok terdiri dari 20 ekor tikus,
setengah dari kelompok dibagi menjadi 3 bagian dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut 2, 4, dan 8 mgkg. Setengah kelompok yang lain diberi
petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25 dari LD
50
. Persen analgesik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas. Pengujian ini
memanfaatkan seperangkat alat laboratorium yang berupa lempeng panas dengan suhu yang telah ditentukan. Hewan uji diletakkan pada lempeng
panas dan jarak waktu sebelum hewan uji menunjukkan tanda ketidaknyamanan dicatat. Prosedur uji ini diulang dengan menggunakan
hewan uji yang telah diberi dosis agen analgesik, kemudian diamati jarak waktu selama hewan uji masih dapat tinggal pada lempeng panas sebelum
menunjukkan tanda ketidaknyamanan. Kurva antara dosis dan respon dibuat dan dilakukan analisis secara statistik Cannon, 2007.
2. Golongan Analgesik Non-narkotik