E. Senyawa Fenolik
Fenolik adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenolik merupakan senyawa
metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan pada tanaman, dengan lebih dari 8000 struktur fenolik yang telah diketahui, mulai dari struktur yang sederhana
seperti asam fenolat, hingga senyawa yang sangat terpolimersasi seperti tannin Dai dan Mumper, 2010.
Fenolik pada tanaman terdiri dari asam fenolat, flavonoid, dan tannin, serta sedikit ligan. Flavonoid adalah jenis polifenol yang paling sering dikonsumsi.
Flavonoid dibagi ke dalam 6 sub grup yaitu flavones, flafonols, flavanols, flavanones, isoflavones, dan antosianin berdasarkan bagian oksidasi dari cincin C
pusat. Variasi struktur pada setiap sub grup dapat disebabkan karena tingkat dan pola hidroksilasi, metoksilasi, prenilasi, atau glikosilasi Dai dan Mumper, 2010.
Tannin merupakan kelompok utama lainnya dari polifenol yang terdiri dari dua kelompok yaitu tannin terhidrolisis dan tannin terkondensasi. Tannin
terhidrolisis merupakan senyawa yang mengandung inti pusat dari glukosa atau polyol lain yang teresterifikasi dengan gallic acid, yang biasa disebut dengan
gallotanins atau teresterifikasi dengan hexahydroxydiphenic acid yang biasa disebut dengan ellagitanin Dai dan Mumper, 2010.
F. Metode Penyarian
Menurut Departemen Kesehatan RI 1986, penyarian merupakan peristiwa pemindahan massa. Zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik
oleh cairan penyari, sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut. Secara umum metode penyarian dapat dibedakan menjadi:
1. Infundasi
Infundasi merupakan proses penyarian yang umumnya digunakan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati.
Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh karena itu, sari yang diperoleh dengan
cara ini tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam. Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia nabati dengan air pada suhu 90°C selama
15 menit.
2. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar
dan di dalam sel.
3. Perkolasi
Perkolasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Prinsip perkolasi
adalah simplisia ditempatkan dalam suatu bejana silinder yang di bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah
melalui serbuk tersebut dan akan melarutkan zat aktif dari sel-sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh.
4. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga baku yang telah ditetapkan.
G. Proses penyarian senyawa aktif 1. Pembuatan ekstrak
a. Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya. Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahap pembuatan serbuk simplisia kering penyerbukan.
Proses ini dapat mempengaruhi mutu ekstrak karena makin halus simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien, namun makin halus
serbuk, maka makin rumit secara teknologi peralatan untuk tahap filtrasi. Dalam hal simplisia sebagai bahan baku awal dan produk siap
dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun parameter standar umum :
1 Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3 parameter mutu umum suatu bahan material, yaitu kebenaran jenis
identifikasi, kemurnian bebas dari kontaminasi kimia dan biologis, serta aturan penstabilan wadah, penyimpanan, dan transportasi.
2 Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk
kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy Mutu-Aman- Manfaat.
3 Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respon biologis harus mempunyai
spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi jenis dan kadar senyawa kandungan.
Departemen Kesehatan RI, 2000. b. Cairan pelarut. Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak merupakan
pelarut yang baik optimal untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari
bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam
hal ekstrak total, maka cairan pelarut dipilih yaitu yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama untuk
pertimbangan pada pemilihan cairan penyari adalah sebagai berikut: 1 Selektivitas
2 Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan ersebut 3 Ekonomis
4 Ramah lingkungan 5 Keamanan
Departemen Kesehatan RI, 2000. c. Maserasi. Maserasi dihasilkan dengan merendam bahan tanaman dalam
suatu cairan, yang secara umum merupakan pelarut organik pada suhu
ruangan. Pada proses ekstraksi ini, bahan tanaman direndam dengan pelarut dalam wadah tertutup. Larutan diaduk untuk meningkatkan
penyarian senyawa aktif dari bahan tanaman. Setelah penyarian berlangsung sempurna, bahan tanaman dipisahkan dari pelarutnya melalui
penyaringan. Bahan tanaman selanjutnya ditambah dengan pelarut yang baru untuk merendam bahan tanaman tersebut. Langkah ini dapat diulang
selama beberapa kali untuk memastikan bahwa penyarian zat aktif dari bahan tanaman berlangsung sempurna. Maserasi dapat membutuhkan
waktu dalam hitungan jam hingga hari untuk satu kali proses ekstraksi, dan membutuhkan waktu hingga beberapa minggu untuk melakukan
remaserasi. Walaupun maserasi membutuhkan waktu yang relatif lama, tetapi dapat digunakan untuk menyari senyawa yang bersifat tidak stabil
terhadap panas, karena prosesnya dilakukan pada suhu ruangan Tiwari, Brunton, dan Brennan, 2013.
d. Pemekatan Penguapan. Pemekatan berarti peningkatan jumlah senyawa terlarut melalui penguapan pelarut, tetapi tidak sampai menjadi kering,
ekstrak hanya menjadi kentalpekat Departemen Kesehatan RI, 2000. e. Pengeringan ekstrak. Pengeringan berarti menghilangkan perarut dari
bahan sehingga menghasilkan serbuk, masa kering rapuh, tergantung proses dan peralatan yang digunakan. Ada berbagai proses pengeringan
ekstrak, yaitu dengan cara pengeringan evaporasi, vaporasi, sublimasi, kontak, radiasi, dan dielektrik Departemen Kesehatan RI, 2000.
f. Rendemen. Rendemen adalah perbandingan antara ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal Departemen Kesehatan RI, 2000.
2. Ekstraksi bertingkat
Menurut Damayanti dan Suparjana cit Prasetyo, 2013, metode ekstraksi bertingkat menggunakan sederet pelarut dengan kepolaran yang berbeda.
Penyarian menggunakan metode ekstraksi bertingkat yang dilakukan dengan maserasi menggunakan beberapa cairan penyari disebut sebagai fraksinasi karena
cairan penyari yang digunakan berbeda kepolarannya sehingga senyawa dalam fraksi yang didapat telah mengalami pemisahan bersadarkan kepolarannya.
Keuntungan metode ekstraksi bertingkat ini adalah semua senyawa yang berbeda polaritasnya dapat diekstraksi berdasarkan kepolaran terhadap pelarut tertentu.
H. Pelarut 1. Metanol
Pelarut yang cocok digunakan untuk campuran dengan air panas atau dingin adalah metanol, etanol, aseton, dan etil asetat. Metanol dan etanol telah
banyak digunakan untuk mengekstrak antioksidan Sultana et al., 2009. Metanol atau methyl alkohol memiliki rumus molekul CH
4
O, merupakan cairan yang tidak berwarna dan mudah menguap dengan bau yang menyengat
seperti etil alkohol, selain itu metanol dapat bercampur sempurna dengan air. Metanol memiliki titik didih 65
C dan nilai polaritasnya sebesar 5,1 sehingga bersifat polar National Center for Biotechnology Information, 2015.
Metanol banyak digunakan sebagai larutan penyari pada metode ekstraksi maserasi, hal ini dikarenakan metanol diduga mampu melarutkan hampir semua
komponen baik yang bersifat polar, semi polar, maupun non-polar sehingga metanol disebut sebagai pelarut universal Al-Ash’ary, Supriyanti, dan Zackiyah,
2010. Metanol jika terhirup atau tertelan dapat menyebabkan gangguan penglihatan, seperti kabur. United States Environmental Protection Agency,
2013.
2. Etanol
Etanol atau ethyl alkohol dengan rumus molekul C
2
H
6
O dan titik didih 78,2
C, merupakan cairan jernih tidak berwarna dapat dengan cepat diserap oleh saluran pencernaan dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Etanol memiliki
aktivitas bakterisida dan sering digunakan sebagai desinfektan topikal, selain itu juga banyak digunakan sebagai pelarut dan pengawet dalam sediaan farmasi, dan
bahan utama minuman beralkohol National Center for Biotechnology Information, 2015.
Etanol di dalam tubuh akan mengalami oksidasi oleh suatu enzim hati yaitu alkohol dehydrogenase. Hasil dari oksidasi etanol adalah asetaldehid dan
asam asetat. Namun, hasil oksidasi tersebut kurang toksik dibandingkan dengan metanol yang menghasilkan toksik seperti formaldehid dan asam formiat Stoker,
2010.
3. Heksan
Heksan atau N-Hexane memiliki rumus molekul C
6
H
14
dengan titik didih 68,7
C merupakan cairan jernih tidak berwarna dengan bau seperti minyak. Heksan tidak dapat larut air dan banyak digunakan sebagai pelarut, thinner, reaksi
kimia dan sebagai agen pembersih National Center for Biotechnology Information, 2015.
Penggunaan heksan dalam proses fraksinasi adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa nonpolar seperti klorofil, triterpen, lemak dan senyawa
nonpolar lain. Hal ini dikarenakan heksan merupakan senyawa hidrokarbon yang memiliki polaritas 0 sehingga dapat digunakan untuk menarik senyawa-senyawa
non polar yang tidak diinginkan dalam hasil proses ekstrak maupun fraksi Agoes, 2009.
I. Metode Uji Analgesik
Pengujian efek analgesik dalam penemuan dan pengembangan agen analgesik baru yang dilakukan pada hewan uji di laboratorium antara lain:
1. Golongan Analgesik Narkotik
a. Metode jentikan ekor. Pada uji ini ekor mencit atau tikus dicukur dan dilapisi dengan cat penyerap panas berwarna hitam. Hewan uji
ditempatkan pada balok dengan lampu inframerah yang panas sehingga ekor dapat menerima panas secara maksimum. Jarak antara waktu sebelum
hewan uji menjentikkan ekornya untuk keluar dari balok inframerah dicatat. Prosedur pengujian diulangi dengan menggunakan hewan uji yang
sudah diberi dosis agen analgesik yang diteliti, dan perpanjangan waktu selama ekor hewan uji masih berada pada balok yang panas dicatat
Cannon, 2007. b. Metode potensi petidin. Metode ini kurang baik untuk skrining awal,
karena dibutuhkan hewan uji dalam jumlah yang relatif besar untuk melakukan uji ini, namun metode ini dapat digunakan untuk pengujian
lanjutan dari hasil skrining awal. Tiap kelompok terdiri dari 20 ekor tikus,
setengah dari kelompok dibagi menjadi 3 bagian dan diberi petidin dengan dosis berturut-turut 2, 4, dan 8 mgkg. Setengah kelompok yang lain diberi
petidin dengan senyawa uji dengan dosis 25 dari LD
50
. Persen analgesik dihitung dengan bantuan metode rangsang panas. Pengujian ini
memanfaatkan seperangkat alat laboratorium yang berupa lempeng panas dengan suhu yang telah ditentukan. Hewan uji diletakkan pada lempeng
panas dan jarak waktu sebelum hewan uji menunjukkan tanda ketidaknyamanan dicatat. Prosedur uji ini diulang dengan menggunakan
hewan uji yang telah diberi dosis agen analgesik, kemudian diamati jarak waktu selama hewan uji masih dapat tinggal pada lempeng panas sebelum
menunjukkan tanda ketidaknyamanan. Kurva antara dosis dan respon dibuat dan dilakukan analisis secara statistik Cannon, 2007.
2. Golongan Analgesik Non-narkotik
a. Metode rangsang kimia. Metode ini sering digunakan sebagai protokol pada penapisan aktivitas analgesik perifer suatu bahan obat. Prinsip dalam
metode ini adalah senyawa uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang diinduksi secara kimia. Rasa nyeri ini pada
hewan uji diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan geliatan. Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang
dirasakannya. Pada metode ini hewan uji diberikan senyawa kimia yang dapat menginduksi nyeri berupa fenilkuinon, benzokuinon atau asam
asetat, secara intraperitoneal i.p. Selanjutnya dilakukan pengamatan pada hewan uji selama 1 jam. Geliat didefinisikan sebagai gerakan
meregangkan, gerakan pinggang yang memuntir, menarik kaki belakang, dan penarikan abdomen sehingga bagian perut menyentuh lantai. Setiap
geliat yang terjadi dicatat sebagai respon positif. Pemberian analgesik akan mengurangi jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu. Penghambatan
geliat yang merupakan persen proteksi senyawa analgesik diukur dengan persamaan Handerson- Forsaith yaitu:
= 100 − × 100 Keterangan :
O = Jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok perlakuan K = jumlah kumulatif geliat hewan uji kelompok kontrol
Turner, 1965. b. Metode rektodolorimeter. Metode ini menggunakan tegangan listrik yang
dihubungkan dari voltmeter ke kandang tikus. Pada metode ini tikus diletakkan dalam sebuah kandang yang dibuat khusus dengan lantai berupa
tembaga yang dihubungkan dengan sebuah penginduksi yang berupa gulungan. Ujung gulungan tersebut dihubungkan dengan silinder elektroda
tembaga, sedangkan ujung yang lainnya lagi dihubungkan pada ekor hewan uji. Sebuah voltmeter yang peka terhadap adanya perubahan
tegangan sebesar 0,1 volt selanjutnya dihubungkan dengan konduktor yang berada di gulungan bagian atas. Tegangan yang dibutuhkan untuk
menimbulkan teriakan pada tikus adalah 1-2 volt. Respon teriakan hewan uji dihitung setiap 10 menit selama 1 jam Turner, 1965.
J.Asam asetat
Asam asetat atau asam cuka CH
3
COOH adalah golongan asam karboksilat yang sering digunakan sebagai pemberi rasa asam pada makanan,
penurun pH pada industri makanan dan sebagai zat pengawet. Asam asetat murni dikenal sebagai asam asetat glasial yang merupakan senyawa berbentuk cairan,
tak berwarna, berbau menyengat, memiliki rasa asam yang tajam dan larut dalam air, alkohol, gliserol, dan eter, dan memiliki titik leleh 16,6
o
C Sutresna, 2007. Pada pengujian efek analgesik asam asetat glasial digunakan sebagai
senyawa kimia yang menginduksi nyeri. Asam asetat glasial dapat merusak membran sel dan fosfolipid yang akan merangsang munculnya mediator nyeri
Katzung, 2002. Pada pengujian efek analgesik, asam asetat bekerja sebagai iritan yang
merusak jaringan secara lokal. Setelah pemberian secara intraperitoneal, asam asetat mengubah pH di dalam rongga perut akibat pelepasan ion H
+
dari asam asetat yang menyebabkan luka pada membran sel. Fosfolipid dari membran sel
akan melepaskan asam arakidonat yang akan membentuk prostaglandin dan menimbulkan nyeri Wilmana dan Gan, 2007.
Prostaglandin yang dihasilkan pada cairan intraperitoneal terutama prostaglandin E
2
PGE
2
dan prostaglandin F
α2
PGF
α2
. Prostaglandin ini akan menyebabkan nyeri dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Oleh karena itu,
senyawa yang dapat menghambat geliat pada mencit merupakan analgesik yang bekerja dengan menghambat sintesis prostaglandin Muhammad, Saeed, dan
Khan, 2012.
K. Landasan Teori
Nyeri merupakan perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman akibat adanya rangsangan baik berupa mekanis, kimiawi atau fisis kalor dan
listrik yang menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi pelepasan mediator nyeri antara lain histamin, bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin yang
akan mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Untuk mengatasi nyeri diperlukan analgesik yaitu senyawa yang dalam dosis terapeutik dapat menekan rasa nyeri.
Berdasarkan penelitian oleh Puteri dan Kawabata 2010, daun Macaranga tanarius L. memiliki empat kandungan senyawa ellagitannin berupa mallotinic
acid, corilagin, chebulagic acid, dan macatannins B yang berperan sebagai antidiabetes dan memiliki aktivitas terhadap penangkapan radikal bebas DPPH.
Adanya aktivitas penangkapan radikal DPPH oleh senyawa ellagitannin yang terkandung dalam daun Macaranga tanarius L. memungkinkan kemampuan
senyawa tersebut dalam menangkap radikal bebas dalam tubuh yang dilepaskan pada proses pembentukan mediator-mediator nyeri dan peradangan. Radikal bebas
merupakan molekul yang tidak stabil sehingga akan mengambil elektron dari molekul atau sel lain di dalam tubuh untuk mestabilkan diri. Proses pengambilan
elektron ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan dan pelepasan mediator-mediator nyeri. Apabila radikal bebas tersebut dapat dihambat, maka
terjadinya nyeri dapat terhambat. Penyarian senyawa ellagitannin dalam daun Macaranga tanarius L.
dilakukan secara spesifik melalui proses ekstraksi secara bertingkat dengan menggunakan beberapa cairan penyari dengan kepolaran berbeda. Pelarut
metanol-air merupakan campuran yang dapat larut sempurna dan banyak digunakan sebagai larutan penyari pada proses maserasi karena diduga dapat
melarutkan hampir semua komponen baik yang bersifat polar, semi polar, maupun non polar Al-Ash’ary, Supriyanti, dan Zackiyah, 2010. Selanjutnya ekstrak yang
telah didapat difraksinasi menggunakan pelarut etanol-heksan yang memiliki nilai log p campuran 2,97 sehingga dapat menyari dua senyawa ellagitannin berupa
chebulagic acid dan macatannins B yang memiliki rentang kepolaran yaitu semipolar.
Pengujian efek analgesik fraksi etanol-heksan ekstrak metanol-air daun Macaranga tanarius L. dilakukan dengan metode rangsang kimia yang
merupakan protokol pada penapisan aktivitas analgesik perifer. Senyawa penginduksi nyeri yang digunakan adalah asam asetat yang dapat melepaskan ion
H
+
sehingga akan mengubah pH dalam rongga perut dan menyebabkan luka pada membran sel. Adanya kerusakan pada membran sel menyebabkan pelepasan asam
arakhidonat dan membentuk prostaglandin yang akan mensensitisasi reseptor nyeri sehingga dapat menimbulkan nyeri.
L. Hipotesis