kerahiman hanya untuk menyenangkan diri kita sendiri karena kita telah menolong sesama. Itulah sebabnya ia menasihati kita untuk menguji kasih kita yang sejati
dalam relasi kita terhadap orang-orang yang sungguh membutuhkan bantuan kita. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa setiap tindakan kita terhadap sesama
manusia hendaknya mencerminkan kerahiman kita, dan sebagai konsekuensinya, semua pelayanan yang diberikan harus bersifat profesional.
2. Pelayanan Umat Stasi Ngrendeng Seturut Ensiklik DCE
Secara keseluruhan ensiklik DCE, menggarisbawahi tujuh hal penting, yakni: a subyek yang bertanggung jawab dalam tugas pelayanan kasih Gereja, b
Kristus sebagai sumber inspirasi dalam tugas pelayanan, c cara mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama, d kerendahan hati sebagai salah satu prinsip
pelayanan yang perlu dihidupi, e makna doa bagi seorang pelayan Gereja, f keteguhan iman sebagai syarat utama sebagai pelayan Gereja, dan g hidup dalam
iman, harap, dan kasih, memberi kegembiraan batin bagi seorang pelayan Tuhan. Refleksi penulis didasarkan pada tujuh poin di atas.
Pertama, subyek yang bertanggung jawab dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Inti dari poin ini adalah kesadaran umat untuk turut mengambil bagian
secara aktif dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Kaum awam mendefinisikan diri sebagai salah satu subyek yang mesti bertanggung jawab terhadap tugas pelayanan
kasih Gereja. Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa poin ini sudah dipahami dan diaplikasikan secara baik oleh kaum awam Stasi Ngrendeng.
Sejak didirikan tahun 1970, kaum awam Stasi Ngrendeng sudah terlibat secara aktif dalam tugas pelayanan Gereja.
Kesadaran akan hal tersebut sampai saat ini masih dipegung teguh walau dalam pelaksanaannya kadang tidak sinkron dengan komitmen sebagai seorang
pelayan yang berjiwa besar dan punya loyalitas kepada Gereja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk kaum awam Stasi Ngrendeng seruan Paus
Benediktus XVI yang terdapat dalam rumusan DCE Art. 32 itu, sifatnya hanya menegaskan dan menyegarkan kembali kesadaran mereka tentang peranan mereka
sebagai salah satu subyek pengemban tugas pelayanan kasih Gereja. Kedua, Kristus sebagai sumber inspirasi dalam tugas pelayanan. Paus
mengingatkan kepada umatnya agar senantiasa menjadikan Kristus sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugas pelayanan kasih Gereja. Mereka jangan
mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih
Kristus. Berdasarkan hasil wawancara dengan para responden, penulis menyimpulkan bahwa dasar dari berbagai persoalan kemalasan, kelesuhan, atau
ketidakaktifan kaum awam karena mengabaikan Allah sebagai sumber kasih dan Kristus sebagai sumber inspirasi.
Ketiga, cara mengungkapkan kasih Kristus kepada sesama. Dalam DCE Art. 34, Paus menyebutkan dua cara mewujudkan kasih Kristus kepada sesama,
yakni keterbukaan batiniah dan ketulusan hati dalam memberi melayani. Dua keutamaan ini dinilai sebagai cara yang tepat untuk mengungkapkan kasih Kristus
kepada sesama. Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas universalitas
Gereja, mendorong para pelayan kasih untuk berkarya dalam kesatupaduan dengan sesama pelayan dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan hidup manusia.
Sedangkan ketulusan hati dalam melayani memberi diartikan sebagai suatu tindakan terdalam dari setiap orang yang mengambil bagian pada kebutuhan dan
penderitaan sesama. Berdasarkan hasil wawancara, penulis menilai bahwa aspek ini mulai
melemah dalam realitas pelayanan dalam lingkup Gereja. Penulis juga punya pengamatan dan kesan yang sama dengan kelima responden, bahwa akhir-akhir ini
virus egoisme sedang menggerogoti umat Katolik di wilayah Stasi Maria Assumpta Ngrendeng, sehingga susah mencari dan menemukan orang yang memiliki
keterbukaan batiniah dan punya kepekaan untuk melayani dengan hati. Keempat, kerendahan hati sebagai salah satu prinsip pelayanan yang perlu
dihidupi. Paus berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam posisi melayani sesama perlu menyadari bahwa dengan memberi, dia sendiri menerima, dan
kerelaan untuk melayani sesama bukanlah untuk mencari keuntungan atau sekadar membuat sensasi artifisial. Tetapi tugas dan tanggung jawab itu harus dilihat
sebagai rahmat yang patut disyukuri dan diamalkan. Dari hasil wawancara, secara jelas terlihat bahwa para narasumber sama-sama mengeluh tentang hal ini. Mereka
menilai bahwa motor pelayanan Gereja akhir-akhir ini macet karena ada tendensi dari segelintir fungsionaris stasi untuk mencari keuntungan dari tugas pelayanan
mereka. Selain itu, adapula motivasi semu sensasi artifisial untuk menunjukkan
dirinya sebagai orang yang dermawan, berjiwa sosial, dan sebagainya. Pokoknya
ingin mencari popularitas diri. Keluhan para responden itu bisa dibenarkan, termasuk Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik. Kecemasan itu akhirnya
menuntutnya untuk menerbitkan ensiklik DCE, agar umat Katolik disadarkan kembali akan pentingnya prinsip kerendahan hati dalam mengemban tugas
pelayanan kasih Gereja. Kelima, makna doa bagi seorang pelayan Gereja. Kepenuhan arti
kerendahan hati dalam pelayanan, amat bergantung pada kesadaran setiap orang memaknai doa dalam kehidupannya. Ada dua arti penting doa yang dikemukakan
Paus dalam ensiklik DCE Art. 36-37, yakni doa merupakan sumber kekuatan dalam pelayanan, dan doa sebagai yang dapat mempererat jalinan relasi yang intim dengan
pribadi Allah Tritunggal. Malas berdoa, malas ikut misa, malas membuat pengakuan, malas berpuasa, dan macam-macam kemalasan lainnya, itulah beberapa
contoh konkret yang dikeluhkan para responden. Mereka menilai hal tersebut berdasarkan pengalaman mereka di tengah kehidupan umat. Tentang hal ini penulis
sedikit menepis anggapan mereka yang terkesan generalitatif. Sebab dalam kenyataan masih ada sebagian umat yang bersikap tidak seperti yang dituduh para
responden. Mereka berdoa tetapi tidak secara terang-terangan. Ada penghayatan doa dan sakramen yang bersifat pribadional yang tidak mesti diketahui oleh semua
orang. Tetapi seruan Paus tentang arti pentingnya doa dalam hidup mesti dimaknai dan dihayati secara baik pula dalam tugas pelayanan kasih Gereja.
Keenam, keteguhan iman sebagai syarat utama sebagai pelayan Gereja. Paus berpesan bahwa keteguhan iman pada Allah yang militan, selalu akan teruji
dalam setiap tantangan hidup. Iman kepada-Nya selalu menuntut keyakinan dari
setiap orang untuk percaya bahwa Allah adalah daya dan kekuatan dalam hidup ini. Segala sesuatu ada di muka bumi ini terjadi berkat daya dan penyelenggaraan-Nya.
Penulis menemukan bahwa aspek ini juga mendapat sorotan dari para narasumber. Menurut mereka, salah satu tantangan terberat yang sedang dihadapi oleh umat
Stasi Ngrendeng adalah pengaruh sekularisme di tengah arus globalisasi. Aneka persoalan menyangkut penghayatan iman dan pelayanan rohani muncul oleh karena
umat tidak memiliki keteguhan iman. Umat kelihatan gampang sekali digiring ke mana saja sesuai dengan tuntutan modernisasi. Hasilnya umat kehilangan jati diri
sebagai pribadi Kristiani. Untuk itu Paus mengingatkan kepada kita agar senantiasa bertahan dalam iman walau harus menghadapi tantangan yang menyakitkan.
Apapun tantangan yang dihadapi, orang mesti tetap beriman pada Allah. Ketujuh, hidup dalam iman, harap, dan kasih, memberi kegembiraan batin
bagi seorang pelayan Tuhan. Poin ini merupakan sebuah kesimpulan akhir dari DCE yang berbicara tentang “mereka yang bertanggung jawab akan pelayanan
kasih Gereja”. Secara tidak sengaja poin ini ditempatkan pada bagian akhir dari keseluruhan artikel, dengan maksud agar umat tahu bahwa jika keenam hal
sebagaimana yang diuraikan pada bagian sebelumnya itu dihayati secara baik maka kualitas iman, harap, dan kasihnya tidak akan diragukan lagi. Imannya yang teguh
akan Kristus sebagai sumber inspirasi hidup akan membawa suatu pengharapan hidup yang menggembirakan, sehingga kasih Kristus akan menjadi pedoman bagi
hidupnya terlebih dalam mengamalkan kasih kepada sesama. Jika hal-hal tersebut dihayati secara baik maka seorang pelayan Tuhan akan menuai kegembiraan batin
dalam hidupnya.
Setelah menganalisis hasil penelitian dengan berpedoman pada ketujuh hal pokok dari Ensiklik DCE, maka penulis berkesimpulan bahwa partisipasi umat
Stasi Maria Assumpta Ngrendeng dalam tugas pelayanan kasih dewasa ini sungguh mengalami kemunduran. Hasil analisis penulis ini ternyata benar sesuai dengan
hipotesis penulis sebelum mengadakan penelitian lapangan. Pandangan penulis diafirmasi beberapa narasumber terpilih. Hampir sebagian besar alasan yang
mereka kemukakan senada dengan argumentasi penulis. Atas kenyataan demikian maka sebagai umat Katolik yang punya keprihatinan dan kepedulian terhadap
pelayanan Gereja, penulis coba menawarkan beberapa upaya konkret dalam mengembangkan tugas pelayanan kasih.
3. Respons Solutif
Penulis menawarkan tiga upaya konkret untuk mengembangkan pelayanan kasih Gereja. Pertama, sosialisasi tentang tugas dan tanggung jawab umat sebagai
subyek penting dalam tugas pelayanan kasih Gereja. Upaya ini mungkin dinilai sebagai pola klasik yang tidak relevan lagi. Karena hampir setiap saat ketika ada
masalah, pola ini yang sering diupayakan, tetapi hasilnya selalu saja nihil. Masalah yang sama selalu saja bermunculan. Lalu pertanyaannya, mengapa penulis tetap
menganjurkan pola sosialisasi sebagai langkah mula untuk mengatasi persoalan partisipasi umat? Penulis punya alasan mendasar.
Meski upaya tersebut dinilai sebagai pola klasik namun penulis punya keyakinan bahwa upaya sosialisasi punya khasiat yang luar biasa. Selama ini pola
sosialisasi dinilai bermasalah karena seringkali penerapannya tidak efektif, dan
tidak memberi solusi yang tepat sasar. Dan ini terjadi sebetulnya karena cara melakukan sosialisasinya yang tidak efisien. Masalahnya bukan mengenai pola
yang dipakai, tetapi tergantung pada pribadi yang melakukan sosialisasi tersebut. Karena itu sampai kapan pun penulis tetap menilai dan meyakini bahwa pola
sosialisasi tetap efektif dan perlu dioptimalkan untuk mengatasi setiap persoalan yang berhubungan dengan melemahnya kesadaran seseorang.
Penulis menawarkan agar pola sosialisasinya dilakukan dengan menggunakan pendekatan personal, atau heart to heart approach. Tentu ini menjadi
tugas para gembala umat dan siapa saja yang dipercayakan untuk menjadi fungsionaris stasi. Menurut penulis, pendekatan ini cukup efektif untuk suatu
wilayah kerja yang tidak terlalu luas. Seorang gembala umat tentu mengenal secara baik umatnya secara personal. Oleh karena itu, manfaatkanlah kesempatan tersebut.
Dan penulis sangat yakin bahwa ketika seorang gembala membuat pendekatan secara langsung dengan caranya yang bijaksana, siapa pun orangnya dia tentu akan
tersentuh dan jalan untuk “kembali pulang” kepada kesadarannya semula akan terbuka lebar. Namun sebaliknya jika seorang yang bermasalah hanya ditegur oleh
siapa saja sambil lalu, maka jangan terlalu berharap kalau dia berubah. Sebab perasaan tersentuh dan kemudian berubah tidak akan mungkin terjadi pada pribadi
yang hanya sekedar diteriaki dari mimbar. Kedua, berani membuat evaluasi yang kritis dan bijaksana terhadap pola
pelayanan romo dan fungsionaris stasi. Upaya ini memang berat dan jarang sekali terjadi karena secara kultural masyarakat Jawa sangat menghormati pribadi romo
gembala umat. Sebutan romo secara tidak sadar telah memosisikan dirinya
sebagai pribadi yang patut diteladani. Dengan demikian umat sangat menghormati romo, dan merasa takut untuk memberi kritik terhadap dirinya. Apalagi romo dinilai
sebagai orang yang memiliki pengetahuan lebih tentang misteri kehidupan manusia, maka mustahil dirinya dianggap salah.
Namun penulis berpendapat lain. Kenyataan sebagaimana yang dijelaskan di atas merupakan suatu paradigma konvensional yang mesti dibersihkan dari
pikiran kita. Sebab pada dasarnya, romo juga adalah seorang manusia yang punya kelemahan. Karakter ketidaksempurnaan dirinya sebagai manusia, saya kira tetap
melekat erat dalam dirinya. Meski ia adalah seorang pribadi tertahbis, ia tetap seorang manusia lemah yang punya peluang untuk melakukan kesalahan. Ini
realitas in se yang mesti diakui. Karena itu penulis menganjurkan agar umat juga perlu memainkan perannya sebagai “orang tua” yang bisa mengkritisi setiap pola
pelayanan romo yang dinilai berseberangan dengan kaidah iman Katolik. Upaya ini dimaksudkan untuk menjawabi persoalan seputar pelayanan romo dan fungsionaris
stasi yang tidak menyentuh realitas hidup umat. Penulis menggarisbawahi pernyataan R1 bahwa seorang gembala umat mesti sadar bahwa sikap apa yang
ditunjukkan dan pola pelayanan apa yang diterapkan akan turut memengaruhi partisipasi kaum awam dalam kehidupan Gereja.
Ketiga, mengupayakan konsolidasi komitmen antara romo dan umat baik yang berperan sebagai fungsionaris stasi maupun tidak. Secara teologis Gereja
didefinisiskan sebagai suatu persekutuan umat yang percaya kepada Allah. Definisi teologis ini kemudian diartikan secara sosiologis sebagai suatu institusi
komunal,yang mencakupi tiga komponen penting yakni hierarki, biarawanti, dan
kaum awam. Oleh karena institusi Gereja bersifat komunal maka setiap masalah yang berhubungan dengan Gereja tentu dinilai sebagai masalah komunal. Jika
demikian maka bentuk penyelesaiannya pun harus ditempuh secara komunal. Mengutip apa yang dikemukakan oleh R1 tentang hal ini bahwa bila ada
masalah yang menimpa Gereja maka romo sebagai pelayan umat dan awam sebagai umat yang dilayani harus “sama-sama duduk” mencari akar persoalannya dan
‘bekerja bersama-sama” untuk mengatasi persoalan tersebut. Tanggung jawab itu bukan dilemparkan begitu saja kepada romo sebagai pelayan umat, atau sebaliknya.
Keduanya harus
secara bersama-sama
mematrikan komitmen
untuk mengembangsuburkan iman umat dalam kehidupan menggereja. Ini yang
dimaksudkan dengan konsolidasi komitmen dengan maksud mengembangkan tugas pelayanan kasih Gereja.
H. Usulan Program
Berdasarkan temuan dari refleksi pelayanan awam kristiani dalam terang Deus Caritas Est, penulis mengajukan usulan program berupa sosialisasi untuk
mneingkatkan pemahaman dan penghayatan pelayanan berdasarkan DCE.
1. Latar Belakang
Pelayanan dalam lingkup Gereja Katolik pada umumnya berdasarkan pada kasih. Ungkapan kasih sepertinya sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Tanpa
adanya kasih sebuah karya tidak akan menghadirkan Allah secara nyata. Keadaan zaman yang kian hari makin terkikis oleh budaya modernisme menjadi tantangan
tersendiri bagi sebuah proses perkembangan Gereja. Melihat keprihatinan tersebut Paus Benedictus menuangkannya dalam sebuah ensiklik dengan judul
“Deus Caritas Est” Allah adalah kasih. Perwujudan kasih semakin terkikis oleh zaman.
Keadaan hierarki yang belum sepenuhnya mampu mewujudkan Allah melalui tindakan kasih. Struktur hierarki yang terdekat dengan umat adalah fungsionaris
stasi. Semua yang termasuk dalam hierarki Gereja adalah para pelayan Gereja. Seorang pelayan pada umumnya hendak menyatakan kasih Allah. Perwujudan
kasih Allah dapat dilakukan dengan berbagai hal. Baik melalui materi secara fisik maupun melalui persembahan diri seseorang.
Para fungsionaris stasi merupakan pelayan umat terdekat. Melalui pelayanan dari mereka Gereja sangat terbantu, demikian juga umat. Dari pihak
pengurus stasi, mereka tentunya harus membagi antara waktu untuk pelayanan, keluarga, dan karya. Sebagai seorang beriman kristiani mereka juga ditunut untuk
meneladani jenis-jenis kasih yang telah dilakukan oleh Yesus. Seperti yang dikatakan Paus melalui ensiklik Deus Caritas Est. Kasih Allah kepada manusia
sepenuhnya dapat Agape. Kasih agape merupakan mencintai secara personal. Kasih agape lebih dari itu, yaitu mencintai yang memilih. Memilih untuk mencintai
mereka, yang beranggapan tidak dicintai. Dengan kata lain, para pelayan stasi diminta bukan sekedar melayani, tetapi melayani mereka yang sungguh
membutuhkan. Mereka yang menjadi subjek pelayanan adalah orang-orang yang dihindari dari lingkungan masyarakat, bahkan lingkungan umat sendiri. Tidaklah
sulit untuk memilih mereka yang membutuhkan pelayanan. Namun akan menjadi
sulit apabila tidak melakukan tindakan pelayanan dengan berdasarkan cinta yang agape, seperti halnya yang dilakukan oleh Yesus.
Bertolak dari ensiklis Deus Caritas Est yang mengharapkan setiap fungsionaris bisa melakukan pelayanan dengan beregangan pada cinta yang agape.
Perwujudan cinta agape yaitu melayani dengan totalitas, setia, siap sedia, memprioritas kebutuhan umat baik untuk yang beragama Katolik maupun non
Katolik. Menjadi pelayanan bagi sesama merupakan tugas dari masing-masing orang beriman kristiani. Seorang beriman kristiani yang tidak terlibat menjadi
fungsionaris stasi pun diwajibkan untuk menjadi pelayan bagi sesamanya. Namun dari sisi umat awam tampaknya hal itu belum terlalu tampak. Mereka masih
beranggapan bahwa yang memberikan pelayanan hendaknya mereka yang sudah berkecukupan. Mereka mengkategorikan berkecupukan tersebut dalam hal materi
finansial. Tentunya pandangan seperti itu perlu diubah. Untuk membangun karakter diri menjadi pelayan sepenuhnya tidak
berlangsung secara instan. Tentunya melalui berbagai proses dan tahapan. Berdasrkan dari keadaan yang sudah penulis jumpai di lapangan, maka penulis
mengajukan membuat program untuk meningkatkan pelayanan dengan bertolak dari ensiklik Deus Caritas Est melalui rekoleksi. Melalui kegiatan rekoleksi
tersebut, penulis berharap supaya umat di Stasi Sta Maria Assumpta Ngrendeng memahami makan pelayanan sepenuhnya. Dengan demikian, masing-masing umat
kristiani baik yang terpilih menjadi pengurus maupun umat awam dapat mengetahui jenis-jenis sikap dalam pelayanan. Sehingga spiritualitas pelayanan mereka
sungguh didasari cinta yang agape dan semakin sesuai dengan semangat pelayanan yang dilakukan oleh Yesus semasa hidup-Nya.
2. Sekilas Pengertian Rekoleksi
Kegiatan rekoleksi yang diusulkan ini sebagai sarana untuk meningkatkan spiritualitas pelayanan yang berdasarkan pada ensiklik Deus Caritas Est terutama
bagi fungsionaris stasi dan umat di Stasi Sta. Maria Assumpta Ngredeng. Menurut Mangunhardjana, SJ 1985:18, rekoleksi lebih dimaksudkan untuk meninjau
kembali karya Allah dalam diri kita, cara kerja serta bimbingan-Nya dan tanggapan kita terhadap karya Allah.
Melalui kegiatan rekoleksi ini, para fungsionaris stasi beserta umat diharapkan untuk mengetahui perannya masing-masing dalam kehidupan beriman.
Mengemban tugas sebagai fungsionaris stasi hendaknya mempunyai dasar-dasar kuat yang dapat digunakan sebagai acuan untuk melaksanakan tugasnya. Pengertian
“re” adalah kembali dan “collection” adalah mengumpulkan, maka dari itu rekoleksi adalah mnegumpulkan kembali. Peserta rekoleksi hendak mengumpulkan
kembali pengalaman hidup yang telah dilalui sebelumnya. Khususnya dalam rekoleksi ini peserta diminta untuk mengumpulkan pengalamannya selama menjadi
pelayan dan umat di stasi Sta. Maria Assumpta Ngrendeng. Seperti dalam retret, bahan yang diolah dalam rekoleksi merupakan pengalaman hidup konkret
Mangunhardjana, 1985:18. Dalam membuat usulan kegiatan rekoleksi ini, penulis menyusun langkah-langkah yang dapat membantu pelaksanaan rekoleksi.
3. Metode Appreciative Inquiry
Metode appreciative inquiry merupakan metode pendekatan baru yang dimunculkan oleh David Cooperrider. Sebuah pendekatan konstruksionis untuk
merancang dan mengelola perubahan di masa depan berdasarkan kekuatan positif dan pengalaman terbaik di masa lalu yang telah dicapai oleh individu maupun
kelompok Tim Redaksi, 2016:64 . Metode ini dirasa tepat untuk membantu umat menemukan dan mewujudkan kembali pelayanan kasih yang menjadi harapan
mereka selama ini. Penulis tertarik dengan metode ini, karena relevan dengan situasi umat yang sedang membutuhkan penyegaran rohani kembali. Pelayanan
kasih yang dilaksanakan oleh fungsionaris stasi saat ini tidak dirasakan dampak positifnya oleh umat. Begitu pun dengan situasi umat yang memprihatinkan, karena
kurang terlibat dalam kehidupan menggereja. Pertama, peserta rekoleksi akan dibantu untuk mengumpulkan pengalaman
kehidupan rohani mereka selama ini. Dengan terkumpulnya beberapa pengalaman, umat akan memilahkan antara yang positif dan negatif. Kedua, umat akan diajak
untuk melihat kembali mimpinya berdasarkan pengalaman yang sudah dikumpulkan. Tentunya dari hal-hal yang hendak ia bangun. Setelah menemukan
mimpinya peserta akan diminta untuk merancang design strategi mewujudkan mimpi. Kemudian dari beberapa strategi yang ditemukan peserta akan diminta
untuk memilih dan menentukan destiny satu strategi yang paling tepat untuk mewujudkan mimpi berdasarkan mimpi yang akan diwujudkannya.
Berdasakan hasil penelitian yang saya temukan ada beberapa hal yang masih perlu dibenahi. Misalnya bapak-bapak dan orang muda yang belum ambil bagian
dalam kehidupan menggereja. Padahal, mereka mempunyai harapan besar. Hal seperti inilah yang harus diolah. Dari sudut fungsionaris stasi, mereka belum ada
kesadaran penuh dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan kasih kepada umat. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka penulis
semakin yakin bahwa umat akan mengalami perkembangan dalam menjalani kehidupan menggereja setelah mengikuti resami Rekoleksi Sabtu Minggu.
4. Tujuan Program
Program yang diusulkan penulis ini memiliki beberapa tujuan, yakni: 1
Untuk meningkatkan pelayanan dengan didasari oleh Deus Caritas Est bagi para pengurus atau fungsionaris.
2 Untuk menambah wawasan mengenai pelayanan yang didasari oleh Deus
Caritas Est bagi umat di Stasi Ngrendeng.
5. Usulan Kegiatan Rekoleksi
a. Tema Umum
Berdasarkan dari hasil penelitian, kegiatan rekoleksi ini bertemakan “Meningkatkan Pelayanan awam kristiani dalam Terang Deus Caritas Est”. Tema
ini dipilih untuk membantu para fungsionaris stasi dalam memberikan pelayanan kepada umat. Selain itu juga untuk menambah wawasan bagi umat mengenai
ensiklik Deus Caritas Est.
b. Tujuan Rekoleksi