Awam Kristiani Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya.
terpisahkan antara kasih dan kenyataan cinta manusiawi. Bagian kedua berbicara secara lebih konkret tentang cara mengasihi sesama dalam setiap tugas pelayanan.
Dalam ensiklik DCE Art. 32-39, Paus Benediktus secara amat khusus menguraikan ten
tang pokok pikirannya mengenai “mereka yang bertanggung jawab akan pelayanan kasih Gereja”. Menurut Paus, subyek yang sesungguhnya
bertanggung jawab mengembang tugas pelayanan kasih adalah Gereja sendiri di segala tingkatnya―dari paroki, melalui Gereja setempat dan sampai pada Gereja
universal art.32. Tentu yang dimaksudkan dengan Gereja di sini, adalah semua anggota umat Allah dalam Gereja Katolik baik yang tertahbis hierarki,
biarawanbiarawati maupun non tertahbis kaum awam. Kepada setiap anggota Gereja yang bertanggung jawab akan tugas pelayanan kasih tersebut, Paus
mengingatkan agar senantiasa menjadikan Kristus sebagai sumber inspirasi dalam melaksanakan tugas pelayanan kasih Gereja.
Dalam artikel 33, Paus menulis demikian: Mereka jangan mendapatkan inspirasi dari ideologi-ideologi yang
bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih. Konsekuensinya, lebih daripada yang lain,
mereka harus menjadi pribadi yang digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi- pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh Kristus dengan cintaNya sehingga
tumbuh dengannya kasih akan sesama.
Sikap altruistik yang mengutamakan kepentingan sesama harus menjadi target pelayanan. Hal ini menjadi nyata jika Kristus menjadi inspirasi yang
memampukan setiap orang untuk tidak lagi hidup bagi dirinya sendiri, melainkan bagi Dia, dan bagi sesama.
Pertanyaannya sekarang, bagaimana cara mengungkapkan mewujudkan kasih Kristus itu kepada sesama? Agar sesama betul merasakan kebaikan Allah dan
keindahan kasih Kristus dalam hidupnya. Menurut Paus Benediktus, ada dua keutamaan yang dinilai sebagai cara yang tepat untuk mengungkapkan kasih
Kristus kepada sesama, yakni keterbukaan batiniah dan ketulusan hati art. 34. Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas universalitas Gereja,
mendorong umat untuk berkarya dalam kesatupaduan dengan sesama pelayan dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan hidup manusia art. 34. Tidak efektif
jika setiap orang berjuang sendirian dalam mengembangsuburkan harapan Gereja. Kerja bersama selalu memungkinkan orang untuk saling mengawasi dan
memperjuangkan harapan untuk menjadikan dunia ini diselubungi kasih Kristus. Sedangkan ketulusan hati dalam melayani merupakan suatu sikap peduli
terhadap kebutuhan dan penderitaan sesama. Khusus bagi mereka yang peduli pada sesama, Paus berpesan agar mereka harus memberikan kepada sesama tidak saja
sesuatu yang dari miliknya, namun memberikan dirinya sendiri. Artinya mereka harus secara personal hadir dalam kesulitan hidup sesamanya art. 34. Paus
berpendapat bahwa seseorang yang berada dalam posisi menolong sesama perlu menyadari bahwa dengan memberi, dia sendiri akan menerima imbalan setimpal
dari Allah―yang disebut sebagai rahmat yang patut disyukuri dan diamalkan art. 35.
Kepenuhan arti keterbukaan ketulusan hati dalam pelayanan, amat bergantung pada kesadaran setiap orang dalam memaknai doa dalam kehidupannya.
Dalam artikel 36 dan 37, doa menjadi hal pokok yang digarisbawahi Paus
Benediktus. Ada dua arti penting doa yang dikemukakan Paus dalam ensiklik tersebut. Pertama, doa merupakan sumber kekuatan dalam pelayanan. Dalam
pelayanan, selalu ada kemungkinan untuk berpaling pada ideologi lain yang menyenangkan, dan kadang itu berseberangan dengan harapan dan tujuan Gereja
art. 36-37. Ini yang sering dinamakan dengan godaan, hambatan, atau tantangan dalam pelayanan. Dan benar bahwa Gereja senantiasa bertumbuh dan berkembang
dalam aneka godaan atau tantangan. Sadar akan hal demikian maka Paus menyerukan kepada semua umat beriman untuk selalu mengutamakan doa dalam
kesehariaan hidupnya. Karena melalui doa, setiap orang akan menimba kekuataan dari Allah dalam diri Kristus dan mampu menghadapi cobaan apa saja dengan baik.
Kedua, doa sebagai sarana yang dapat mempererat jalinan relasi dengan Allah. Paus Benediktus berpendapat bahwa di tengah kenyataan aktivisme dan
berkembangnya sekularisme di kalangan umat Kristiani yang terlibat dalam karya karitatif, doa adalah sarana yang mampu mengarahkan orang pada Allah. Allah
menjadi titik mulai dan titik akhir pelayanan. Karena itu relasi yang intim dengan- Nya perlu dijaga dan dihidupi. Hal ini hanya bisa terjadi dalam aktivitas doa. Sebab
suatu relasi pribadi dengan Allah dalam doa, dapat menyelamatkannya agar tidak jatuh menjadi kurban ajaran yang menumbuhkan fanatisme berlebihan art 36-37.
Meski demikian, tantangan apapun bentuknya selalu ada dalam tugas pelayanan Gereja. Biasanya orang gampang patah semangat, jika tantangan yang
dihadapinya terlampau berat. Orang mudah kehilangan harapan jika segala perjuangannya yang tulus tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Hal ini
terkadang membawa orang pada suatu kondisi dilematis, dan akhirnya bermuara
pada gugatan akan eksistensi Allah. “Mengapa Allah tidak berpihak pada saya, dan membiarkan saya sendirian berjuang?” Seperti Ayub yang berkeluh kesah di
hadapan Allah tentang adanya penderitaan di dunia yang tak terpahami dan terasa pula tidak adil art. 38.
Terhadap kondisi semacam ini, Paus menyerukan kepada setiap umat Kristiani agar senantiasa memiliki ketahanan dalam iman. Apapun tantangan yang
dihadapi, orang mesti tetap beriman pada Allah. Iman yang murni selalu akan ditempah dalam tanur api tantangan, semisal penderitaan dan sebagainya.
Keteguhan iman pada Allah yang militan, selalu akan teruji dalam setiap tantangan hidup. Iman kepada-Nya selalu menuntut keyakinan untuk percaya bahwa Allah
adalah daya dan kekuatan dalam hidup. Segala sesuatu ada di muka bumi ini terjadi berkat daya dan penyelenggaraan-Nya.
Mengasihi sesama sebenarnya sama dengan mengasihi Allah. Semua kasih sejati pada hakikatnya ialah kasih Allah. Inilah kasih manusia yang mempersatukan
dirinya dengan Allah. Begitu ia mulai mengasihi sesama, Allah menjadi hidup di dalam dirinya. Santo Agustinus mendalami ide ini dengan membalikkan perkataan
Yohanes “Allah adalah Kasih,” menjadi “Kasih adalah Allah.” Nilai pelayanan dalam Gereja menjadi bermakna karena bersumber dari kasih Allah art. 39.
22