dirinya sampai lupa bahwa di samping kiri dan kanannya ada orang lain. Nah kalau orang sadar akan hal ini maka saya jamin deh pelayanan apa
pun bentuknya bisa sukses. [Lampiran R3, 13-14]
d. Responden 4:
Tujuannya agar makin banyak orang Katolik peduli pada sesamanya. Ingat, tidak semua orang punya nasib sama. Ada yang hidupnya serba
berkecukupan; ada yang hidupnya pas-pasan; namun ada juga yang memang serba berkekurangan. Kondisi macam ini menurut saya butuh
tindakan saling berbela rasah, agar tidak ada gap antara yang kaya dan miskin. Orang mesti peduli sehingga hidup terasa lebih harmonis.
[Lampiran R4, 15-16]
e. Responden 5:
Sebagai anak muda di stasi ini, terus terang saya prihatin dengan corak hidup kaum muda Katolik saat ini. Jarang terlibat dalam urusan-urusan
rohani. Ketika diajak ikut doa lingkungan atau menghadiri misa, selalu saja ada alasan sana-sini. Tapi anehnya selalu ada waktu buat jalan-jalan
ke mall atau nonton di bioskop. Karena itu ketika ditanya apa sih tujuan dari pelayanan - menurut saya, agar memberi kesadaran kepada anak-
anak muda sehingga lebih giat ke gereja dan sebagainya. Menegnai cara menarik mereka untuk terlibat, saya kira ini yang masih jadi persoalan.
Saya sendiri binggu bagaiman cara yang efektif. [Lampiran R5, 17-18]
4. Sasaran Pelayanan Kasih
Penulis bertanya kepada semua responden tentang apa saja yang mereka ketahui tentang sasaran pelayanan kasih dalam gereja khusus yang dilakukan di
Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. Tanggapan dari masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden terkait hal ini.
a. Responden 1:
Pelayanan ini ditujukan kepada orang sakit, para janda, dan umat Katolik seluruhnya di stasi Ngrendeng. Sasaran utamanya adalah
kelompok orang yang berkekurangan, dan yang mengalami penderitaan.
Tapi menurut saya, secara keseluruhan sasaran pelayanan adalah semua orang yang percaya pada Krsitus. [Lampiran R1, 9]
b. Responden 2:
Sasaranya adalah semura orang. Tidak memandang darimana asal agama maupun latar belakang sosial dan budayanya. Menurut saya,
pelayanan yang dilakukan itu mesti memberi manfaat kepada semua orang. [Lampiran R2, 12]
c. Responden 3:
Fokus pelayanan selama ini masih tertuju pada sesama umat yang beragama Katolik. Mungkin karena kita minoritas jadi rasa solidaritas
itu sangat kuat. Kita akan lebih senang membantu sesama kita daripada yang beragama lain. Ini contoh sederhana
– misalnya, ada tetangga sebelah rumah yang mengalami kekurangan makanan, maka mereka
akan lebih senang menceritakan kekurangan kepada tetangganya yang beragama Katolik dan mengharapkan bantuan dari mereka. Atau contoh
lain, kalau ada kematian maka respons pertama yang muncul adalah menanyakan status agama keluarga yang mengalai musibah kematian.
Jika agama sama maka reaksinya akan cepat, begitu pun sebaliknya. [Lampiran R3, 14]
d. Responden 4:
Setahu saya pelayanan itu menyasar semua kelompok kategorial. Entah itu lansia, orang dewasa, anak muda, anak-anak, orang sehat maupun
sakit, yang kaya maupun miskin. Namun masalahnya tidak semua aktivitas pelayanan selama ini belum tepat sasar. Bahkan ada yang sama
sekali tidak dilaksankan secara baik. Alih-alih terima tanggung jawab jadi pemimpin atau petugas gereja namun sama sekali tidak paham tugas
dan tanggung jawab sebagai pelayan. Bila demikian maka otomatis dia juga tidak tahu apa sasaran targetnya dan tujuan yang hendak dicapai.
[Lampiran R4, 16]
e. Responden 5:
Kalau saya lihat sasaran utama pelayanan saat ini adalah orang muda. Itu misi utama yang patut diperhatikan secara serius oleh gereja.
Kelompok ini sedang sakit parah. Mamang saya sadar bahwa ada begitu banyak sasaran pelayanan. Namun yang paling mendesak saat ini adalah
kaum muda. Pihak gereja perlu memikirkan secara serius cara yang efektif untuk mengajak anak-anak muda peduli pada urusan imannya.
Meski ini menjadi tantangan yang sulit tapi tidak berarti kita harus menyerah. Kalau sosial media bisa bikin orang muda terpesona bahkan
sampai tergila-gila, kenapa gereja nggak bisa? Cari tahu dong apa daya tariknya. [Lampiran R5, 18]
5. Pihak yang Terlibat Partisipasi Umat
Penulis bertanya kepada semua responden tentang siapa-siapa saja yang selama ini terlibat aktif maupun pasif dalam urusan-urusan rohani. Tanggapan dari
masing-masing responden beragam. Berikut adalah hasil tanggapan para responden terkait hal ini.
a. Responden 1:
Kondisi stasi – terus terang, pada hari minggu hanya ada ibu-ibu dan
anak-anak. Sulit bagi kita untuk menjumpai orang muda pada hari minggu di stasi, apalagi pada saat doa atau ibadat di lingkungan. Nggak
tahu mereka ke mana. Biasanya mereka hadir di stasi hanya di waktu- waktu tertentu, misalnya Natal dan Paskah. Dan kalau pun mereka
hadir, itu pun hanya formalitas. Sebab intensi utama mereka nampaknya bukan berdoa melainkan show fashion atau bertemu dengan teman-
temannya. Tidak heran kalau mereka gampang beralih agama karena memang fondasi iman mereka tidak kuat. Tidak dipupuk sejak dini.
[Lampiran R1, 9-10].
b. Responden 2:
Kalau saya lihat, pihak-pihak yang paling aktif selama ini di stasi adalah orang tua khususnya yang sudah lansia dan ibu-ibu. Selain itu ada ana-
anak kecil juga yang memang sering diajak ibunya untuk ikut misa, doa, pendampingan iman dan termasuk kunjungan emaus. Meski demikian
saya juga lihat, pengurus stasi sangat aktif melayani orang yang butuh bantuan. Namun satu masalah yang saya lihat, romo paroki kurang aktif
berkunjung lagi di stasi. [...] Seaktif-aktifnya ketua stasi dan umat, kalau romonya jarang datang maka akan memengaruhi umat. Sudah tentu
– umat akan malas. Kerinduan mereka untuk merayakan ekaristi dan
menerima Tubuh dan Darah Kristus harus dilihat sebagai salah satu
aspek penting dalam keseluruhan proses perkembangan iman umat. Tanpa itu umat pasti malas. Karena saya lihat kerja pengurus stasi akan
tampak sia-sia kalau tidak mendapat dukungan dari para romo paroki. [Lampiran R2, 12].
c. Responden 3:
Saya lihat pihak yang paling aktif menghayati arti pelayanan kasih adalah pengurus stasi dan kelompok ibu-ibu. Selama ini mereka bekerja
dengan sangat loyal dan tulus. Semuanya karena digerakkan oleh iman. Meski tidak mendapat imbalan material namun mereka yakin Tuhan
akan memberi imbalan yang pantas saat di Surga. Mereka selalu bersigap dalam situasi apa pun. Misalnya: saat ada yang sakit, mereka
pasti akan bantu mendoakan atau bersedia menginformasikan kepada romo paroki untuk memberi sakramen penguatan; saat ada yang
meninggal, mereka pasti akan mengurusi proses pemakaman; saat ada yang butuh surat administrasi, mereka selalu siap membantu. [Lampiran
R3, 14]
d. Responden 4:
Siapa saja yang aktif dan siapa saja yang nggak? Saya kira ini pertanyaan yang menarik. Saya susah memberi jawaban yang pasti
karena menurut saya kondisinya selalu tidak menentu. Cenderung berubah-ubah. [...] Jika harus jujur, saya kira tidak semua pengurus stasi
bekerja dengan tulus. Mereka bekerja
– melayani, sesungguhnya karena terpaksa sehingga kemungkinan untuk mendahulukan urusan pribadi
dan keluarga sangat besar. Apalagi tugas pelayanan tersebut sifatnya sukarela. [Lampiran R4, 16].
e. Responden 5:
Tidak semua umat terlibat aktif, mbak. Menurut saya kelompok yang saat ini “sedang sakit” adalah kaum muda. Saya juga orang muda,
karena itu saya tahu situasi yang terjadi saat ini. […] Pernah suatu ketika, saya ikut ibadat sabda di stasi dan saya sama sekali tidak
menemukan orang muda yang menghadiri ibadat tersebut. Awalnya saya berpikir positif namun lama kelamaan saya mendapat kesan yang
sama juga dari ibu saya. Dia mengatakan hal yang sama bahwa orang muda dewasa ini hampir jarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan rohani
di stasi. Misal saja, doa rosario
– tidak satu pun orang muda yang hadir. Ketika ditanya alasan kenapa gak hadir, mereka pasti akan menjawab
“kami sibuk dengan tugas sekolah” dan macam-macam alasan lainnya. [Lampiran R5, 18].
C. Pembahasan
Penulis menemukan respons dari umat yang bervariasi terkait arti, jenis dan tujuan pelayanan kasih. Hal ini bukan karena keluasan tema pelayanan itu sendiri
melainkan karena keragaman pemahaman dan refleksi dari masing-masing responden. Secara umum penulis menilai bahwa hampir sebagian responden sangat
memahami apa itu pelayanan kasih dan tindakan karitatif dalam Gereja Katolik. Pemahaman mereka bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja take for granted
tetapi diperoleh melalui refleksi atas pengalaman hidup mereka sebagai umat Katolik. “Mereka mengalami sendiri apa yang mereka imani; mereka beriman
karena mereka benar-benar percaya; dan mereka bertindak karena mereka tahu konsekuensi dari tindakan ka
sih yang dilakukan.” [Lampiran 0, 6]. Oleh sebab itu, penulis meyakini bahwa setiap respons
– entah positif maupun negatif mengenai topik pelayanan kasih-karitatif, sesungguhnya merupakan ungkapan hati
yang jujur dari umat. Dengan latar belakang sebagai seorang tokoh umat yang pernah
mengemban tanggung jawab sebagai ketua stasi – R1 merespons topik ini dengan
menjelaskan secara sederhana pemahamannya tentang pelayanan kasih-karitatif sebagai sebuah “tindakan memberi dan membantu” umat yang membutuhkan
pertolongan dan pendampingan. Namun lebih jauh, R1 menambahkan bahwa tindakan tersebut sama sekali tidak bernilai jika tidak bersumber pada kasih.
Artinya ketika melakukan perbuatan amal kepada sesama harus betul-betul tulus, entah itu pelayanan material maupun batiniah.
Tentang pelayanan material dan batiniah – R1 mencontohkan dengan
memberi bantuan seperti bahan makanansembako kepada sesama yang sangat membutuhkan. Perbedaan kelas, suku atau agama tidak menghalanginya untuk
melakukan kebaikan. Tindakan kasih-karitatif, menurutnya harus melampui batas- batas perbedaan. Sedangkan pelayanan batiniah yang umumnya dilakukan adalah
menasihati umat yang jarang terlibat dalam kegiatan gereja supaya lebih aktif; mendengarkan keluh kesah umat sekaligus menawarkan solusi; dan meyakinkan
umat yang berada dalam situasi bimbang agar lebih tekun dalam berdoa dan setia pada iman kristianinya.
R1 bahkan menuturkan bahwa – tantangan terbesar saat ini adalah sulitnya
merawat kesetiaan dan keutuhan iman umat Katolik. Fenomena ini paling sering dijumpai di kalangan orang muda katolik. Menurutnya, orang muda saat ini tengah
mengalami krisis iman yang akut. Sejauh pengamatannya, kelompok ini cenderung permisif terhadap segala kegiatan yang bernuansa rohani. Mereka sangat apatis
terhadap urusan-urusan doa dan ibadat di stasi – dan gampang beralih “keyakinan”
tergantung pada situasi dan kondisi. R2 sebagai salah seorang tokoh umat yang sangat aktif terlibat dalam
urusan-urusan stasi menuturkan bahwa pelayanan kasih itu – sederhananya adalah
peka terhadap kesulitan dan kebutuhan sesama lalu coba memberi bantuan sejauh mampu. Menurutnya tindakan melayani itu sebenarnya sudah diketahui dan
dipraktekan masyarakat Indonesia jauh sebelum agama masuk. Tindakan saling
menolong itu sebetulnya telah menjadi salah satu bagian terpenting dari peradaban bangsa Timur. Umumnya sikap solider antar-sesama mudah dijumpai dalam
budaya bangsa-bangsa terjajah, termasuk Indonesia. Karena itu pada saat Gereja masuk dengan ajaran tentang pelayanan kasih saling menolong, mudah diterima
umat Katolik di Indonesia karena sejalan dengan kultur masyarakat setempat. Bagi R2, topik pelayanan kasih sebetulnya sudah tidak asing lagi bagi
dirinya dan orang-orang di Stasi Ngrendeng. Dalam kesehariannya, mereka sudah sering mempraktekan hal itu dalam hal peka terhadap kesulitan hidup sesama dan
kemudian terdorong untuk memberi pertolongan. Berikut beberapa contoh konkret, misalnya kalau ada sesama yang sakit biasanya langsung direspons, dan
tanggapannya macam-macam. Ada yang misalnya datang menjenguk sambil beri penghiburan, ada yang bantu biaya pengobatan, ada yang membawa makanan, dan
sebagainya. Hal lain misalnya membantu sesama yang janda dan yang sudah tua. Selain itu juga, kalau ada sesama yang mengalami musibah kematian, langsung
mendapat respons cepat dari sesama. Khusus untuk umat Stasi Ngrendeng, ada kesepakatan agar bahu-membahu menolong keluarga yang berduka. Mulai dari
mendoakan arwah yang meninggal sampai mengurus pemakamannya. Termasuk menghadiri doa atau ibadat peringatan kematian.
Cerita di atas secara jelas menunjukan bahwa umat Stasi Ngrendeng sudah terbiasa saling membantu. Namun penulis mempertanyakan, apakah kebiasaan
tersebut dipengaruhi oleh ajaran Gereja atau karena kultur masyarakat setempat? Sebab menurut R2 mereka sudah mengenal nilai solider dan gotong royong jauh
sebelum Gereja Katolik masuk. Poin ini akan dianalisis oleh penulis pada bagian selanjutnya.
R3 menyoroti hal lain dari dimensi pelayanan kasih yakni perhatian yang bersifat umum kepada sesama umat manusia. “Benar bahwa kita mesti
mengutamakan sesama kita yang seiman, namun pelayanan itu semestinya melampaui batas agamakeyakinan.” [Lampiran 3, 2]. Ungkapan ini secara jelas
menunjukan sikap R3 yang selama ini lebih cenderung memaknai pelayanan sebagai perbuatan kasih yang tertuju kepada semua orang. Sejauh pengamatannya
hal demikian belum terwujud secara baik di Stasi Ngrendeng. Pelayanan yang dilakukan selama ini masih cenderung mengarah kepada sesama umat beriman.
Misalnya, pengurus stasi umumnya hanya fokus melayani umat Katolik sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya. Begitu juga umat lainnya yang lebih sering
membantu sesamanya yang beragama Katolik daripada beragama lain. Fokus pelayanan menurut R3 selama ini masih tertuju pada sesama umat
yang beragama Katolik. Mungkin karena kita minoritas jadi rasa solidaritas itu sangat kuat. Menurutnya, ada kecenderungan kita lebih senang membantu sesama
seiman daripada yang beragama lain. Ini contoh sederhana misalnya, ada tetangga sebelah rumah yang mengalami kekurangan makanan, maka mereka akan lebih
senang menceritakan kekurangan kepada tetangganya yang beragama Katolik dan mengharapkan bantuan dari mereka. Atau contoh lain, kalau ada kematian maka
respons pertama yang muncul adalah menanyakan status agama keluarga yang mengalai musibah kematian. Jika agama sama maka reaksinya akan cepat, begitu
pun sebaliknya.
R4 nampaknya sependapat dengan padangan-pandangan dari ketiga responden sebelumnya. Ia mengartikan pelayanan sebagai sebuah kegiatan sosial
yang membutuhkan pengorbanan dari masing-masing orang. Pelayanan itu lebih sebagai sebuah kepedulian yang melampaui batas-batas perbedaan.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman R4 selama ini umat di Ngrendeng punya kepedulian sosial yang besar. Kebiasaan saling membantu sangat terlihat
jelas dalam keseharian hidup umat Ngrendeng. Begitu juga dalam kehidupan menggereja, R4 juga menemukan adanya kepedulian yang besar antar sesama umat
Katolik. Ada dua hal yang sangat mengesankan dari cara hidup umat kristiani di Ngrendeng, yakni: a persaudaraan fraternity, dan b solidaritas solidarity.
R4 menguraikan kedua hal tersebut dengan sangat sederhana. Dulu mungkin karena orang Katolik di Ngrendeng jumlahnya sangat sedikit maka
perasaan sebagai satu keluarga itu sangat besar. Meski kita tidak punya hubungan darah atau ikatan keluarga, namun karena memiliki satu kepercayaan maka kita
sering berkumpul sebagai satu keluarga. Berdasarkan cerita orang tua dulu katanya mereka sering berkumpul untuk berdoa bersama. Kesempatan untuk berdoa itu
selalu mereka pakai untuk bercerita dan berbagi pengalaman hidup. Lama- kelamaan hubungan persaudaraan itu tumbuh dan semakin kuat terjalin. Tentu rasa
solider satu terhadap yang lain dengan sendiri muncul saat ada yang mengalami masalah atau musibah. Misalnya saat ada tetangga yang mengalami musibah
kecelakaan atau lelayu biasanya langsung mendapat respons yang baik dari sesama yang beragama Katolik.
Namun kondisi ini menurut R4, di satu sisi sangat positif bagi umat Katolik di Ngrendeng namun di lain sisi sebenarnya mendistorsi keharmonisan hidup
masyarakat secara keseluruhan. Umat dari agama lain tentu akan menilai umat Katolik sangat eksklusif menutup diri dalam pergaulan sehingga lambat laun akan
memperburuk suasana toleransi. Sedangkan menurut R5, pelayanan itu merupakan suatu tindakan kasih yang
dilakukan tanpa pamrih oleh orang-orang yang berjiwa sosial dan memiliki ketulusan hati. Meski R5 tidak menyebutkan secara jelas definisi kasih yang dia
maksudkan. Namun dari penjelasannya itu, penulis menilai bahwa R5 punya kesan yang sangat positif terhadap kegiatan-kegiatan pelayanan yang selama ini terjadi di
Stasi Maria Assumpta. Umat begitu giat saling melayani satu sama lain. Tindakan saling menolong melayani dipandang R5 sebagai suatu
kebiasaan baik di Stasi Maria Assumpta. Ia bahkan sudah melihat tindakan tersebut sebagai suatu budaya orang Katolik. Sebagai kelompok minoritas, menurutnya
orang Katolik selalu berbela rasah satu terhadap yang lain. Meskipun argumentasi ini belum bisa dibuktikan kebenarannya namun penulis menangkap kesan bahwa
R5 nampaknya sangat mengagumi spirit “altruisme” dalam ajaran kristiani. Kebiasaan hidup bersama dan saling memberi sungguh memengaruhi keutamaan
hidup seseorang dalam melakukan tindakan pelayanan kasih. Khusus tentang partisipasi umat - penulis mendapat kesan yang bervariasi
dari responden. R1 secara terus terang mengungkapkan keprihatinannya terhadap partisipasi umat dewasa ini. Ia coba membandingkan dengan generasi-generasi
sebelumnya yang sangat giat berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan