Refleksi SWOT Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya.
pelayanan, penyempurnaan kehidupan ini dipupuk dan dirangsang oleh kasih Tuhan dan setiap layanan menjadi suatu perjumpaan dengan Kristus yang
hidup. Menjumpai dan mengasihi Kristus dalam diri orang-orang sakit bersifat hakiki dalam pelayanan.
Kelima, akhirnya, kita harus selalu memandang karya kita sebagai karya layanan dalam kerendahan hati. Kita hanyalah alat-alat di tangan Tuhan, namun kita
harus menjadi alat-alat yang baik. Layanan dalam kerendahan hati ini menghilangkan khayalan dan ambisi kita untuk membantu setiap orang dan
memenuhi setiap kebutuhan. “Dengan segala kerendahan hati kita akan melaksanakan apa yang dapat kita laksanakan, dan dengan segala kerendahan hati
kita akan mempercayakan sisanya kepada Tuhan.” Pokok-pokok penting dalam DCE setidaknya menjelaskan bahwa kasih
harus ditampakkan melalui tindakan nyata. Tanpa tindakan apapun, kasih akan kehilangan makna. Menarik untuk melihat jawaban Yesus terhadap pertanyaan
tentang perintah yang terpenting dengan jalan merujuk kepada perintah kasih dan melukiskan jawaban-Nya dengan mengisahkan perumpamaan tentang orang
Samaria yang baik hati. Pelayanan merupakan penjelmaan dari kasih, dan kasih itu mengunggulinya. Namun kita hanya dapat menyatakan misericordia kerahiman
yang secara harafiah artinya “mengasihi kaum malang, miskin dan yang membutuhkan pertolongan,” bila kita menghubungkannya dengan compassio
belas kasih. Kerahiman berkaitan dengan kasih melalui belas kasihan. Pelayanan semestinya larut dalam kerahiman melalui belas kasih. Dalam surat ensikliknya
yang berjudul “Dives in misericordia” 1980 Paus Yohanes Paulus II berkata:
“Kerahiman adalah dimensi kasih yang sangat diperlukan; seakan-akan ini merupakan nama kedua dari kasih, dan sekaligus cara khusus dimana kasih
dinyatakan dan menjadi lawan dari realitas kejahatan di dunia.” Penulis hendak menggambarkan juga belas kasih, yang merupakan cara
perwujudan kasih sebagai suatu hasrat terhadap penderitaan manusia. Untuk berbelas kasih kita harus membiarkan diri tergerak dengan penuh hasrat terhadap
sengsara, penderitaan sesama manusia. Tapi uniknya kita sering mendapati diri kita sendiri berhadapan dengan dualitas dorongan. Di satu pihak kita terdorong untuk
mewujudkan diri sendiri, dan memikirkan diri sendiri dengan penuh hasrat. Namun di lain pihak kita dihadapkan pada desakan terus-menerus untuk berpaling kepada
sesama yang membutuhkan perhatian. Dorongan untuk perwujudan diri cenderung dibalas dengan kehadiran sesama manusia yang terus-menerus mengusik,
sementara kita berusaha memuaskan hasrat pribadi. Usikan tersebut merupakan basis belas kasih seseorang. Dari sinilah
Levinas menyatakan bahwa wajah pribadi sesama menempatkan seseorang di bawah suatu perintah etika. Kehadiran sesama membatasi kebebasan seseorang
yang semula tak terbatas untuk menjadi asyik dengan diri sendiri. Hal ini mendesaknya untuk menjadi tanggap terhadap kehadiran sesama. Ia melihat
sesamanya dan menghadapi pilihan-pilihan seperti: menutup mata dan melanjutkan hidupnya seperti biasa; atau terus memperhatikannya dan menawarkan kepadanya
ruang hidup yang dibutuhkan sehingga ia dapat menghayati hidup semaunya; atau ia bertanya diri apa yang bisa ia lakukan baginya. Belas kasih merupakan hasil dari
pertanyaan terakhir itu. Ketika seseorang mulai berpikir siapakah sesamanya itu,
apakah yang dia butuhkan, apa yang menyebabkan kegembiraan atau kesusahan padanya, dan bagaimana dia dapat mendampinginya, itulah saatnya seseorang
menjadi berbelas kasih kepada sesama. Itulah belas kasih yang kita jumpai dalam diri Allah sendiri, ketika Dia
menunjukkan diriNya dalam Perjanjian Lama, sebagai Allah yang mendampingi kita dan peka terhadap derita kita.
Dalam kitab Keluaran, Dia bersabda: “Aku telah memperhatikan kehinaan bangsa-Ku di Mesir dan Aku telah mendengar seruan
mereka, ketika mereka diperlakukan dengan kejam oleh orang-orang yang mengawasi mereka.
Aku mengetahui penderitaan mereka” Kel. 3:7. Yesaya menggambarkan Allah sebagai berikut: “Dapatkah seorang perempuan melupakan
bayi yang menyusu di dadanya dan tidak menyayangi anak kandungnya? Sekalipun dia melupakan, Aku tidak akan melupakan engkau. Lihatlah, Aku telah menulis
namamu pada telapak tanganKu; tembok- tembokmu tetap di depan mataKu” Yes.
49:15-16. Kedua teks di atas menggambarkan keterlibatan penuh hasrat dari Allah terhadap umat manusia.
Kerahiman itu harus menjadi dasar semua tindakan pelayanan. Ini merupakan ungkapan dari perintah kasih yang wajib dipatuhi. Kerahiman berkaitan
dengan penghayatan hidup kita sepenuhnya dan berkaitan pula dengan kehidupan seutuhnya. Kerahiman merupakan sikap mendasar yang harus menjadi basis dari
segala tindakan pelayanan. Saat ini peristilahan seperti “belas kasih” dan “kerahiman” sering kali dianggap mencurigakan, karena orang mengiranya sebagai
bukti dari semacam sikap paternalistik. Jenis kritik ini bukanlah barang baru. Agustinus pun sudah memperingatkan kita untuk tidak menyalahgunakan
kerahiman hanya untuk menyenangkan diri kita sendiri karena kita telah menolong sesama. Itulah sebabnya ia menasihati kita untuk menguji kasih kita yang sejati
dalam relasi kita terhadap orang-orang yang sungguh membutuhkan bantuan kita. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa setiap tindakan kita terhadap sesama
manusia hendaknya mencerminkan kerahiman kita, dan sebagai konsekuensinya, semua pelayanan yang diberikan harus bersifat profesional.