Pembahasan Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya.
Namun kondisi ini menurut R4, di satu sisi sangat positif bagi umat Katolik di Ngrendeng namun di lain sisi sebenarnya mendistorsi keharmonisan hidup
masyarakat secara keseluruhan. Umat dari agama lain tentu akan menilai umat Katolik sangat eksklusif menutup diri dalam pergaulan sehingga lambat laun akan
memperburuk suasana toleransi. Sedangkan menurut R5, pelayanan itu merupakan suatu tindakan kasih yang
dilakukan tanpa pamrih oleh orang-orang yang berjiwa sosial dan memiliki ketulusan hati. Meski R5 tidak menyebutkan secara jelas definisi kasih yang dia
maksudkan. Namun dari penjelasannya itu, penulis menilai bahwa R5 punya kesan yang sangat positif terhadap kegiatan-kegiatan pelayanan yang selama ini terjadi di
Stasi Maria Assumpta. Umat begitu giat saling melayani satu sama lain. Tindakan saling menolong melayani dipandang R5 sebagai suatu
kebiasaan baik di Stasi Maria Assumpta. Ia bahkan sudah melihat tindakan tersebut sebagai suatu budaya orang Katolik. Sebagai kelompok minoritas, menurutnya
orang Katolik selalu berbela rasah satu terhadap yang lain. Meskipun argumentasi ini belum bisa dibuktikan kebenarannya namun penulis menangkap kesan bahwa
R5 nampaknya sangat mengagumi spirit “altruisme” dalam ajaran kristiani. Kebiasaan hidup bersama dan saling memberi sungguh memengaruhi keutamaan
hidup seseorang dalam melakukan tindakan pelayanan kasih. Khusus tentang partisipasi umat - penulis mendapat kesan yang bervariasi
dari responden. R1 secara terus terang mengungkapkan keprihatinannya terhadap partisipasi umat dewasa ini. Ia coba membandingkan dengan generasi-generasi
sebelumnya yang sangat giat berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan
kerohanian di Gereja. Secara umum, ia menilai bahwa umat katolik saat ini, khusus di Ngrendeng, sudah mati suri. Animo umat untuk mengabdikan dirinya secara
tulus kepada Gereja, perlahan-lahan mengalami kemerosotan. Ketulusan hati untuk mendedikasikan hidup dan pelayanan mereka kepada Gereja, sepertinya mulai
memudar. Umat saat ini, tampaknya malas terlibat secara aktif dalam kehidupan menggereja. R1 punya kesan yang sangat negatif mengenai partisipasi umat.
Lebih lanjut R1 secara khusus menyoroti soal tanggung jawab pengurus stasi yang menurutnya tidak bekerja optimal. Kerja fungsionaris stasi dewasa ini,
menurutnya hampir tidak sejalan lagi dengan visi dan misi Krisitiani. Hal ini menyata dalam sikap dan komitmen yang mereka tunjukkan saat dituntut untuk
bekerja secara altruistik. Berdasarkan pengalamannya sebagai mantan ketua stasi ia kemudian bercerita tentang prinsip utama yang mesti diperhatikan oleh seorang
pelayan iman. Sejauh yang saya tahu, menjadi seorang fungsionaris stasi, salah satu prinsip
yang perlu dikedepankan adalah “melayani dengan sepenuh hati.” Konsekuensi dari prinsip ini tentu menuntut seorang pelayan untuk
mengabdikan dirinya kepada Gereja tanpa mengharapkan pamrih. Jasa atau imbalan dari sebuah pengorbanan selalu diyakini akan diterima pada
kehidupan akhirat nanti. Namun yang saya amati sekarang, prinsip ini perlahan-lahan mulai memudar dalam diri fungsionaris stasi. Meski mereka
melayani namun selalu saja ada kecenderungan untuk mengharapkan sesuatu dari pelayanan tersebut. Atau kerap membuat perbandingan dengan
tugas lain yang selalu mendatangkan imbalan. Padahal pelayanan untuk Gereja sifatnya sukarela dan tanpa pamrih. [Lampiran R1, 9-10]
R2 memiliki pandangan yang berbeda dengan R1 sehubungan dengan komitmen dan pengorbanan pengurus stasi. Sejauh pengamatannya, selama ini
pengurus stasi sudah bekerja optimal. Sebagai tokoh umat yang masih aktif, ia
mendapat kesan yang kuat bahwa para penguruh stasi sangat berkomitmen dengan tugas dan tanggung jawabnya. Meski bekerja tanpa imbalan, mereka sangat loyal
dengan tugas pelayanan di stasi. Mereka mengerjakan rupa-rupa tugas stasi yang sudah dipercayakan, dari mengurus kebersihan stasi sampai merespons kegelisahan
iman umat. Semuanya mereka jalani dengan senang hati. Meski ada kendala- kendala kecil namun itu bisa diselesaikan dengan tabah. Ketulusan hati untuk
mengabdi pada sesama dan Tuhan menjadi modal utama bagi mereka untuk melawan rasa jenuh ataupun malas.
Meski demikian R2 punya satu catatan penting terkait perhatian dari pihak Gereja Paroki. Menurut R2, keaktifan para fungsionaris stasi ternyata diimbangi
oleh semangat pelayanan dari romo paroki. Memang penilaianya ini tidak ditujukan kepada semua romo. Sebab sejak stasi ini dibentuk ada beberapa romo paroki yang
silih berganti dipercayakan untuk memberi pelayanan kepada umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. R2 menilai ada romo yang sangat dekat sekali dengan umat
dan punya visi yang sejalan dengan para fungsionaris stasi. Namun entah kenapa ada sebagian romo yang jarang sekali berkunjung ke stasi karena alasan jauh dan
lain sebagainya. Hal ini dinilai tidak baik buat pertumbuhan iman umat di stasi. Ini sangat mengancam militansi iman umat.
R2 setidaknya menggarisbawahi pengaruh dukungan romo terhadap spirit pelayanan para fungsionaris stasi. Secara sederhana, R2 hendak mengatakan bahwa
romo dan
fungsionaris stasi
mesti bekerja
sama bahu
membahu, menumbuhkembangkan iman umat. Fungsionaris stasi tidak bekerja sendirian,
begitu pun sebaliknya. Keduanya berada saling mengandaikan satu sama lain.
Komitmen dan spirit pengorbanan fungsionaris stasi akan lebih bermakna kalau mendapat dukungan dari romo melalui perhatian dan perayaan sakramen. Segala
pelayanan kasih-karitatif yang dilakukan pengurus stasi akan bermakna sosial dan eskatologis kalau dikukuhkan dalam perayaan sakramen.
Namun tentang keaktifan umat secara keseluruhan, R2 malah menilai masih sangat kurang. Ia menggunakan parameter yang sangat sederhana yang
memperhatikan keaktifan umat dalam perayaan misa mingguan dan kegiatan doa bersama di lingkungan. Menurutnya, partisipasi umat masih sangat kurang terlebih
dalam kegiatan rohani. Ia beri contoh, misalnya misa pada hari minggu yang biasanya masa-masa awal pembentukan stasi dipadati umat, tetapi sekarang malah
ada begitu banyak bangku Gereja yang kosong. Selain itu, kebiasaan doa rosario atau doa apa saja di lingkungan masing-masing, tampaknya mulai diabaikan. Kalau
masih ada, itu pun hanya beberapa orang tua yang sadar akan pentingnya doa bagi hidup mereka. Mungkin juga karena kebiasaan itu sudah mendarah daging dalam
hidup mereka. Sehingga menurutnya, apapun alasannya mereka pasti hadir. Tetapi hal demikian tidak terjadi untuk orang muda sekarang. Masih ada banyak contoh
lain lagi yang menegaskan adanya kemunduran dalam hal penghayatan iman dan partisipasi umat Katolik di Ngrendeng.
Biarpun demikian R2 tetap optimis menilai bahwa kekatolikan mereka tidak mudah luntur. Umat saat ini memang tidak seaktif orang Katolik dulu namun ketika
ditanya soal agama atau keyakinan, mereka akan secara tegas mengatakan bahwa mereka orang Katolik. Jawaban tersebut setidaknya mengindikasikan dua hal. Satu
sisi partisipasi umat Katolik di Ngrendeng dari waktu ke waktu mengalami
penurunan, tapi di lain sisi mereka masih tetap militan dengan keyakinan mereka sebagai orang Katolik. Mereka masih teguh pada pendiriannya sebagai murid
Kristus. Umat di sini memang ada kecenderungan malas ke gereja dan berdoa.
Namun jangan cepat dulu menilai mereka kafir. Karena kalau ditanya, kalian agama apa
– mereka pasti langsung dengan berani bilang saya beragama Katolik. Percaya pada Yesus Kristus. Tidak ada tawar menawar
soal iman. Titik. [Lampiran, R2, 12]
Namun penulis menilai bahwa ada gap yang besar antara pemaknaan iman sebagai ajaran in se dan pemaknaan iman dalam tindakan konkret. Seharusnya iman
mesti diaktualisasikan dalam tindakan konkret. Beriman pada Kristus berarti mencontohi cara hidup Kristus yang sangat altruistis dan penuh pengorbanan.
Keberimanan seseorang hanya bisa ditingkatkan melalui doaibadat dan perayaan- perayaan sakramen. Karena itu mengabaikan aktivitas doa sudah tentu akan
memengaruhi pilihan sikapnya dalam melakukan aktivitas pelayanan kasih. R3 punya tanggapan yang sangat positif mengenai peran pengurus stasi
dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab gereja. Sejauh ini menurutnya, para pengurus stasi sangat loyal terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya. Mereka bekerja dengan penuh kesadaran dan tanpah pamrih. Semuanya
karena digerakkan oleh iman. Meski tidak mendapat imbalan material namun mereka yakin Tuhan akan memberi imbalan yang pantas saat di
Surga. Mereka selalu bersigap dalam situasi apa pun. Misalnya: saat ada yang sakit, mereka pasti akan bantu mendoakan atau bersedia
menginformasikan kepada romo paroki untuk memberi sakramen penguatan; saat ada yang meninggal, mereka pasti akan mengurusi proses
pemakaman; saat ada yang butuh surat administrasi, mereka selalu siap membantu. [Lampiran R3, 14]
Penulis tentu terkesan dengan pengalaman-pengalaman semacam itu –
sederhana namun punya arti yang besar. Hal penting yang menarik bagi penulis di sini adalah arti pengorbanan dari tindakan pelayanan. Secara implisit, setidaknya
R3 mengapresiasi pengorbanan dari pengurus stasi yang sudah mendedikasikan hidupnya bagi sesama. Poin ini akan diulas lebih jauh pada bagian selanjutnya
mengenai partisipasi konkret umat. Tentang hal ini nampaknya R4 punya pandangan yang berbeda. Ia menilai
selama ini pengurus stasi belum optimal dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Satu hal yang menurutnya, masih perlu diperhatikan secara serius oleh
pengurus stasi adalah cara menggerakan umat agar lebih giat dalam kehidupan menggereja. Di tengah derasnya arus sekularisme, umat tentu butuh sosok
pemimpin yang berintegritas tinggi yang mampu mengarahkan umat ke jalan yang benar. Karena itu menurut R4 menentukan seorang ketua st
asi tidak boleh “asal- asalan” sekadar punya komitmen, namun harus punya kemampuan yang mumpuni.
Mengurus iman ratusan umat itu pekerjaan berat. Harus dibedakan dengan kerjaan pemerintah yang hanya sekadar mendengar keluhan masyarakat lalu
membuat program. Persoalan iman perlu direspons dengan perhatian bukan material. Para pengurus stasi sesungguhnya adalah pelayan iman bukan
pemerintah. Mereka punya hal lain yang memang tidak dimiliki oleh
pemerintah yakni “kesediaan untuk menuntun” umat ke jalan hidup yang sesuai dengan ajaran iman Katolik. [Lampiran R4, 16]
Karena alasan demikian maka menurut R4, mekanisme pemilihan pengurus stasi harus benar-benar dilakukan secara serius. Tujuannya untuk mendapat sosok
pemimpin yang berintegritas secara rohani. Selama ini yang terjadi di Stasi Maria
Assumpta malah asal- asalan: “siapa yang bersedia, langsung mendapat
persetujuan”. Tanpa ada seleksi yang jelas sehingga akan memengaruhi loyalitasnya dalam bekerja. Bahkan menurut R4, ada yang sebenarnya tidak
bersedia jadi ketua stasi malah dipaksa tokoh umat setempat untuk menerima tanggung jawab tersebut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
seorang petugas stasi. “Mereka bekerja melayani, sesungguhnya karena terpaksa sehingga kemungkinan untuk mendahulukan urusan pribadi dan keluarga sangat
besar. Ap alagi tugas pelayanan tersebut sifatnya sukarela.” [Lampiran 4, 5].
Mengenai partisipasi umat R5 sepakat dengan beberapa responden sebelumnya bahwa tidak semua umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng terlibat
aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di stasi. Ada kelompok yang masih aktif seperti lansia, orang tua, dan anak-anak sedangkan orang muda menurutnya, hampir
jarang terlibat dalam berbagai urusan rohani. Beberapa parameter sederhana yang dipakai R5 untuk mengukur paritispasi umat adalah kesediaan mengikuti doa
bersama di lingkungan, latihan koor, bersih-bersih gereja, dan sebagainya. Berikut adalah penilaian R5 terhadap partisipasi umat Stasi Ngrendeng.
Menurut R5, saat ini kaum muda “sedang sakit”. Istilah sakit di sini tentu bermakna konotatif yakni mau menunjukkan kondisi orang muda yang sedang
mengalami krisis iman. Mereka bisa dikatakan sakit karena memang cara hidup mereka yang akhir-akhir ini tidak mencerminkan sikap hidup orang Katolik yang
sesungguhnya. Malas berdoa, enggan terlibat dalam kegiatan rohani, merasa malu kalau ditunjuk sebagai petugas gereja, adalah contoh sikap kaum muda yang tengah
dilanda krisis iman. Ketika ditanya bagaimana cara merespons permasalahan ini,
R5 tidak punya jawaban apa pun. Dia bingung dan tidak tahu langkah-langkah solutif apa yang bisa digunakan untuk merespons persoalan tersebut. Ia pasrah, dan
menunggu tanggapan yang bijaksana dari pihak Gereja.