Pembahasan Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya.

Namun kondisi ini menurut R4, di satu sisi sangat positif bagi umat Katolik di Ngrendeng namun di lain sisi sebenarnya mendistorsi keharmonisan hidup masyarakat secara keseluruhan. Umat dari agama lain tentu akan menilai umat Katolik sangat eksklusif menutup diri dalam pergaulan sehingga lambat laun akan memperburuk suasana toleransi. Sedangkan menurut R5, pelayanan itu merupakan suatu tindakan kasih yang dilakukan tanpa pamrih oleh orang-orang yang berjiwa sosial dan memiliki ketulusan hati. Meski R5 tidak menyebutkan secara jelas definisi kasih yang dia maksudkan. Namun dari penjelasannya itu, penulis menilai bahwa R5 punya kesan yang sangat positif terhadap kegiatan-kegiatan pelayanan yang selama ini terjadi di Stasi Maria Assumpta. Umat begitu giat saling melayani satu sama lain. Tindakan saling menolong melayani dipandang R5 sebagai suatu kebiasaan baik di Stasi Maria Assumpta. Ia bahkan sudah melihat tindakan tersebut sebagai suatu budaya orang Katolik. Sebagai kelompok minoritas, menurutnya orang Katolik selalu berbela rasah satu terhadap yang lain. Meskipun argumentasi ini belum bisa dibuktikan kebenarannya namun penulis menangkap kesan bahwa R5 nampaknya sangat mengagumi spirit “altruisme” dalam ajaran kristiani. Kebiasaan hidup bersama dan saling memberi sungguh memengaruhi keutamaan hidup seseorang dalam melakukan tindakan pelayanan kasih. Khusus tentang partisipasi umat - penulis mendapat kesan yang bervariasi dari responden. R1 secara terus terang mengungkapkan keprihatinannya terhadap partisipasi umat dewasa ini. Ia coba membandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya yang sangat giat berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kerohanian di Gereja. Secara umum, ia menilai bahwa umat katolik saat ini, khusus di Ngrendeng, sudah mati suri. Animo umat untuk mengabdikan dirinya secara tulus kepada Gereja, perlahan-lahan mengalami kemerosotan. Ketulusan hati untuk mendedikasikan hidup dan pelayanan mereka kepada Gereja, sepertinya mulai memudar. Umat saat ini, tampaknya malas terlibat secara aktif dalam kehidupan menggereja. R1 punya kesan yang sangat negatif mengenai partisipasi umat. Lebih lanjut R1 secara khusus menyoroti soal tanggung jawab pengurus stasi yang menurutnya tidak bekerja optimal. Kerja fungsionaris stasi dewasa ini, menurutnya hampir tidak sejalan lagi dengan visi dan misi Krisitiani. Hal ini menyata dalam sikap dan komitmen yang mereka tunjukkan saat dituntut untuk bekerja secara altruistik. Berdasarkan pengalamannya sebagai mantan ketua stasi ia kemudian bercerita tentang prinsip utama yang mesti diperhatikan oleh seorang pelayan iman. Sejauh yang saya tahu, menjadi seorang fungsionaris stasi, salah satu prinsip yang perlu dikedepankan adalah “melayani dengan sepenuh hati.” Konsekuensi dari prinsip ini tentu menuntut seorang pelayan untuk mengabdikan dirinya kepada Gereja tanpa mengharapkan pamrih. Jasa atau imbalan dari sebuah pengorbanan selalu diyakini akan diterima pada kehidupan akhirat nanti. Namun yang saya amati sekarang, prinsip ini perlahan-lahan mulai memudar dalam diri fungsionaris stasi. Meski mereka melayani namun selalu saja ada kecenderungan untuk mengharapkan sesuatu dari pelayanan tersebut. Atau kerap membuat perbandingan dengan tugas lain yang selalu mendatangkan imbalan. Padahal pelayanan untuk Gereja sifatnya sukarela dan tanpa pamrih. [Lampiran R1, 9-10] R2 memiliki pandangan yang berbeda dengan R1 sehubungan dengan komitmen dan pengorbanan pengurus stasi. Sejauh pengamatannya, selama ini pengurus stasi sudah bekerja optimal. Sebagai tokoh umat yang masih aktif, ia mendapat kesan yang kuat bahwa para penguruh stasi sangat berkomitmen dengan tugas dan tanggung jawabnya. Meski bekerja tanpa imbalan, mereka sangat loyal dengan tugas pelayanan di stasi. Mereka mengerjakan rupa-rupa tugas stasi yang sudah dipercayakan, dari mengurus kebersihan stasi sampai merespons kegelisahan iman umat. Semuanya mereka jalani dengan senang hati. Meski ada kendala- kendala kecil namun itu bisa diselesaikan dengan tabah. Ketulusan hati untuk mengabdi pada sesama dan Tuhan menjadi modal utama bagi mereka untuk melawan rasa jenuh ataupun malas. Meski demikian R2 punya satu catatan penting terkait perhatian dari pihak Gereja Paroki. Menurut R2, keaktifan para fungsionaris stasi ternyata diimbangi oleh semangat pelayanan dari romo paroki. Memang penilaianya ini tidak ditujukan kepada semua romo. Sebab sejak stasi ini dibentuk ada beberapa romo paroki yang silih berganti dipercayakan untuk memberi pelayanan kepada umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng. R2 menilai ada romo yang sangat dekat sekali dengan umat dan punya visi yang sejalan dengan para fungsionaris stasi. Namun entah kenapa ada sebagian romo yang jarang sekali berkunjung ke stasi karena alasan jauh dan lain sebagainya. Hal ini dinilai tidak baik buat pertumbuhan iman umat di stasi. Ini sangat mengancam militansi iman umat. R2 setidaknya menggarisbawahi pengaruh dukungan romo terhadap spirit pelayanan para fungsionaris stasi. Secara sederhana, R2 hendak mengatakan bahwa romo dan fungsionaris stasi mesti bekerja sama bahu membahu, menumbuhkembangkan iman umat. Fungsionaris stasi tidak bekerja sendirian, begitu pun sebaliknya. Keduanya berada saling mengandaikan satu sama lain. Komitmen dan spirit pengorbanan fungsionaris stasi akan lebih bermakna kalau mendapat dukungan dari romo melalui perhatian dan perayaan sakramen. Segala pelayanan kasih-karitatif yang dilakukan pengurus stasi akan bermakna sosial dan eskatologis kalau dikukuhkan dalam perayaan sakramen. Namun tentang keaktifan umat secara keseluruhan, R2 malah menilai masih sangat kurang. Ia menggunakan parameter yang sangat sederhana yang memperhatikan keaktifan umat dalam perayaan misa mingguan dan kegiatan doa bersama di lingkungan. Menurutnya, partisipasi umat masih sangat kurang terlebih dalam kegiatan rohani. Ia beri contoh, misalnya misa pada hari minggu yang biasanya masa-masa awal pembentukan stasi dipadati umat, tetapi sekarang malah ada begitu banyak bangku Gereja yang kosong. Selain itu, kebiasaan doa rosario atau doa apa saja di lingkungan masing-masing, tampaknya mulai diabaikan. Kalau masih ada, itu pun hanya beberapa orang tua yang sadar akan pentingnya doa bagi hidup mereka. Mungkin juga karena kebiasaan itu sudah mendarah daging dalam hidup mereka. Sehingga menurutnya, apapun alasannya mereka pasti hadir. Tetapi hal demikian tidak terjadi untuk orang muda sekarang. Masih ada banyak contoh lain lagi yang menegaskan adanya kemunduran dalam hal penghayatan iman dan partisipasi umat Katolik di Ngrendeng. Biarpun demikian R2 tetap optimis menilai bahwa kekatolikan mereka tidak mudah luntur. Umat saat ini memang tidak seaktif orang Katolik dulu namun ketika ditanya soal agama atau keyakinan, mereka akan secara tegas mengatakan bahwa mereka orang Katolik. Jawaban tersebut setidaknya mengindikasikan dua hal. Satu sisi partisipasi umat Katolik di Ngrendeng dari waktu ke waktu mengalami penurunan, tapi di lain sisi mereka masih tetap militan dengan keyakinan mereka sebagai orang Katolik. Mereka masih teguh pada pendiriannya sebagai murid Kristus. Umat di sini memang ada kecenderungan malas ke gereja dan berdoa. Namun jangan cepat dulu menilai mereka kafir. Karena kalau ditanya, kalian agama apa – mereka pasti langsung dengan berani bilang saya beragama Katolik. Percaya pada Yesus Kristus. Tidak ada tawar menawar soal iman. Titik. [Lampiran, R2, 12] Namun penulis menilai bahwa ada gap yang besar antara pemaknaan iman sebagai ajaran in se dan pemaknaan iman dalam tindakan konkret. Seharusnya iman mesti diaktualisasikan dalam tindakan konkret. Beriman pada Kristus berarti mencontohi cara hidup Kristus yang sangat altruistis dan penuh pengorbanan. Keberimanan seseorang hanya bisa ditingkatkan melalui doaibadat dan perayaan- perayaan sakramen. Karena itu mengabaikan aktivitas doa sudah tentu akan memengaruhi pilihan sikapnya dalam melakukan aktivitas pelayanan kasih. R3 punya tanggapan yang sangat positif mengenai peran pengurus stasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab gereja. Sejauh ini menurutnya, para pengurus stasi sangat loyal terhadap apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Mereka bekerja dengan penuh kesadaran dan tanpah pamrih. Semuanya karena digerakkan oleh iman. Meski tidak mendapat imbalan material namun mereka yakin Tuhan akan memberi imbalan yang pantas saat di Surga. Mereka selalu bersigap dalam situasi apa pun. Misalnya: saat ada yang sakit, mereka pasti akan bantu mendoakan atau bersedia menginformasikan kepada romo paroki untuk memberi sakramen penguatan; saat ada yang meninggal, mereka pasti akan mengurusi proses pemakaman; saat ada yang butuh surat administrasi, mereka selalu siap membantu. [Lampiran R3, 14] Penulis tentu terkesan dengan pengalaman-pengalaman semacam itu – sederhana namun punya arti yang besar. Hal penting yang menarik bagi penulis di sini adalah arti pengorbanan dari tindakan pelayanan. Secara implisit, setidaknya R3 mengapresiasi pengorbanan dari pengurus stasi yang sudah mendedikasikan hidupnya bagi sesama. Poin ini akan diulas lebih jauh pada bagian selanjutnya mengenai partisipasi konkret umat. Tentang hal ini nampaknya R4 punya pandangan yang berbeda. Ia menilai selama ini pengurus stasi belum optimal dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya. Satu hal yang menurutnya, masih perlu diperhatikan secara serius oleh pengurus stasi adalah cara menggerakan umat agar lebih giat dalam kehidupan menggereja. Di tengah derasnya arus sekularisme, umat tentu butuh sosok pemimpin yang berintegritas tinggi yang mampu mengarahkan umat ke jalan yang benar. Karena itu menurut R4 menentukan seorang ketua st asi tidak boleh “asal- asalan” sekadar punya komitmen, namun harus punya kemampuan yang mumpuni. Mengurus iman ratusan umat itu pekerjaan berat. Harus dibedakan dengan kerjaan pemerintah yang hanya sekadar mendengar keluhan masyarakat lalu membuat program. Persoalan iman perlu direspons dengan perhatian bukan material. Para pengurus stasi sesungguhnya adalah pelayan iman bukan pemerintah. Mereka punya hal lain yang memang tidak dimiliki oleh pemerintah yakni “kesediaan untuk menuntun” umat ke jalan hidup yang sesuai dengan ajaran iman Katolik. [Lampiran R4, 16] Karena alasan demikian maka menurut R4, mekanisme pemilihan pengurus stasi harus benar-benar dilakukan secara serius. Tujuannya untuk mendapat sosok pemimpin yang berintegritas secara rohani. Selama ini yang terjadi di Stasi Maria Assumpta malah asal- asalan: “siapa yang bersedia, langsung mendapat persetujuan”. Tanpa ada seleksi yang jelas sehingga akan memengaruhi loyalitasnya dalam bekerja. Bahkan menurut R4, ada yang sebenarnya tidak bersedia jadi ketua stasi malah dipaksa tokoh umat setempat untuk menerima tanggung jawab tersebut. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja seorang petugas stasi. “Mereka bekerja melayani, sesungguhnya karena terpaksa sehingga kemungkinan untuk mendahulukan urusan pribadi dan keluarga sangat besar. Ap alagi tugas pelayanan tersebut sifatnya sukarela.” [Lampiran 4, 5]. Mengenai partisipasi umat R5 sepakat dengan beberapa responden sebelumnya bahwa tidak semua umat di Stasi Maria Assumpta Ngrendeng terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di stasi. Ada kelompok yang masih aktif seperti lansia, orang tua, dan anak-anak sedangkan orang muda menurutnya, hampir jarang terlibat dalam berbagai urusan rohani. Beberapa parameter sederhana yang dipakai R5 untuk mengukur paritispasi umat adalah kesediaan mengikuti doa bersama di lingkungan, latihan koor, bersih-bersih gereja, dan sebagainya. Berikut adalah penilaian R5 terhadap partisipasi umat Stasi Ngrendeng. Menurut R5, saat ini kaum muda “sedang sakit”. Istilah sakit di sini tentu bermakna konotatif yakni mau menunjukkan kondisi orang muda yang sedang mengalami krisis iman. Mereka bisa dikatakan sakit karena memang cara hidup mereka yang akhir-akhir ini tidak mencerminkan sikap hidup orang Katolik yang sesungguhnya. Malas berdoa, enggan terlibat dalam kegiatan rohani, merasa malu kalau ditunjuk sebagai petugas gereja, adalah contoh sikap kaum muda yang tengah dilanda krisis iman. Ketika ditanya bagaimana cara merespons permasalahan ini, R5 tidak punya jawaban apa pun. Dia bingung dan tidak tahu langkah-langkah solutif apa yang bisa digunakan untuk merespons persoalan tersebut. Ia pasrah, dan menunggu tanggapan yang bijaksana dari pihak Gereja.

D. Analisis SWOT

Penulis menggunakan model analisis SWOT strenghts, weakness, oppurtunities, threats untuk menilai seberapa besar kekuatan dan kelemahan umat berpartisipasi dalam mengemban tugas pelayanan kasih di Stasi Ngrendeng. Selanjutnya dengan menggunakan model analisis ini juga, penulis bermaksud mengukur peluang dan hambatan yang bisa mendorong dan menghambat keaktifan umat dalam melaksanakan tugas pastoral stasi.

1. Kekuatan

Penulis menemukan dua kekuatan internal yang sangat berpengaruh terhadap partisipasi umat di Stasi Ngrendeng, diantaranya: 1 Dukungan dan kepercayaan dari pihak Gereja kepada umat untuk mengurusi semua tugas pelayanan pastoral stasi. Sebelum Konsili Vatikan II, kita tahu bahwa semua tugas pelayanan Gereja menjadi tanggung jawab kelompok klerus kaum terthabis. Umat hanya berperan sebagai partisipan pasif dalam setiap perayaan-perayaan liturgi dan menjadi obyek pelayanan sakramen. Namun pasca KV II muncul kesadaran baru untuk melibatkan kaum awam umat biasa dalam beberapa tugas pelayanan. Sejak saat itu umat mulai diberi tanggung jawab lebih untuk mengurusi berbagai tugas pelayanan pastoral, misalnya: pemazmur, lektor, pro-diakon, pemimpin ibadat sabda, dan sebagainya. Saat observasi dan wawancara, penulis benar-benar menemukan bahwa umat di Stasi Ngrendeng setidaknya mendapat kepercayaan dari pihak Gereja dalam hal ini Paroki Ngawi untuk mengurusi sendiri kehidupan iman mereka. 2 Semangat kepedulian antar-sesama umat di Ngrendeng sangat kuat. Bahkan oleh beberapa responden - spirit ini dinilai sudah mereka miliki jauh sebelum ajaran Gereja masuk. Menurut mereka kebiasaan saling membantu dan peduli satu terhadap yang lain sudah menjadi hal yang biasa. Dalam situasi apa saja, mereka pasti akan saling membantu. Meski spirit ini kini sedang dirongrong budaya individualistik namun oleh sebagian besar umat di Ngrendeng berdasarkan hasil observasi masih cukup optimis menilai bahwa kebiasaan tersebut akan tetap bertahan.

2. Kelemahan

Penulis menemukan tiga kelemahan internal yang dinilai sangat memengaruhi partisipasi umat dalam tugas pelayanan kasih, diantaranya: 1 Sikap individualistik egosentrisme umat yang semakin bertumbuh subur. Persoalan keaktifan semakin menjadi runyam ketika kebanyakan umat mulai berprinsip egosentris dan menilai waktu sebagai hal yang berharga dalam hidupnya. Semua waktu mesti dipakai secara optimal untuk kesejahteraan dirinya. Membuang waktu untuk suatu urusan yang bersifat umum dinilai ceroboh bahkan serakah karena tidak ekonomis. Sehingga akhir-akhir ini sulit menemukan seorang awam yang betul-betul mau berkorban demi kepentingan sesama umat lain. Dengan demikian jelas kalau Gereja mengalami kesulitan serius di bagian kerasulan awam. Meski struktur organisasi masih eksis sampai dengan saat ini, namun aplikasi praktisnya di lapangan selalu saja menuai persoalan. 2 Minat orang muda terhadap hal-hal rohani mulai memudar. Ketertarikan mereka dinilai lebih terfokus pada hal-hal yang duniawi, yang sifatnya memikat dan menyenangkan. Sehingga ketika harus berurusan dengan hal- hal rohani seperti doa, misa, puasa mati raga, dan sebagainya, mereka merasa bosan karena sifatnya abstrak. 3 Pendekatan romo yang kurang mengumat. Sejauh pengamatan mereka, umat akan aktif dengan sendirinya jika pola pendekatan yang dipakai oleh romo atau pengurus stasi sungguh menyentuh realitas hidup mereka. Namun sebaliknya jika pola pendekatan yang diterapkan tidak memberi kesan positif maka sudah hampir pasti kaum awam akan menjauh dari Gereja, dan akan merasa biasa-biasa saja dengan urusan imannya. Selain itu, khotbah romo yang tidak menarik dan liturgi yang monoton juga menjadi alasan melemahnya semangat umat untuk terlibat dalam urusan pastoral Gereja.

3. Peluang

Penulis menemukan dua peluang eksternal yang sangat memengaruhi partisipasi umat dalam tugas pelayanan kasih, diantaranya: 1 Pemanfaatan media informasi dan teknologi secara online. Meski, di satu sisi pengaruh globalisasi di satu sisi sangat berpengaruh negatif terhadap orang muda, namun sebenarnya di lain sisi bisa menjadi peluang yang bisa membantu orang muda lebih giat dekat dengan Gereja. Jika orang muda mulai membangun jejaring dalam berbagai minat dengan aneka milist, facebook, twitter, blog, website, tentu saja alat ini akan berguna pula bagi pengembangan jejaring muda Katolik penggerak pastoral pelayanan. Yang saya maksud bukanlah media kontak-kontak romantisme belaka, namun terlebih bagaimana memakai media internet untuk menambah pengetahuan iman Katolik bagi OMK. Beberapa website Katolik yang dikelola dengan baik oleh umat bisa ditautkan dengan website OMK dalam rangka membina iman orang muda. 2 Setia pada ajaran iman Katolik. Penulis menemukan bahwa meski partisipasi umat sedikit mengalami penurunan namun tidak berdampak langsung pada iman mereka pada Kristus. Benar bahwa pada beberapa tahun terakhir kebanyakan umat hampir tidak aktif dalam kegiatan-kegiatan rohani di stasi namun kalau ditanya soal agamakeyakinan, mereka akan secara tegas mengatakan bahwa mereka adalah orang Katolik. Di tengah isu intoleransi yang semakin menguat di daerah Jawa, umat Katolik termasuk mereka yang sering kurang aktif merasa diri terancam dan karena itu merasa perlu untuk membela identitas mereka. Dalam banyak kasus, justru orang-orang yang “dinilai kurang aktif” malah lebih getol membela ajaran iman Katolik. Penulis melihat ini sebagai sebuah peluang positif yang terus dipertahankan sembari membangkitkan kembali kesadaran untuk terlibat aktif dalam berbagai aktivitas pastoral stasi.

4. Hambatan

Penulis setidaknya menemukan dua hambatan yang dinilai sangat memengaruhi partisipasi umat dalam tugas pelayanan kasih: 1 Teknologi informasi tanpa batas. Zaman berubah oleh karena arus informasi dan teknologi, pola pikir manusia pun ternyata turut berubah di dalamnya. Ini logika perubahan. Dulu ketika orang belum mengenal radio, televisi, surat kabar, telepon genggam, dan bahkan internet, satu-satunya sumber informasi bersumber dari Gereja. Romo lantas dikenal sebagai sumber informan yang cerdas karena tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan realitas hidup manusia. Rasa ingin tahu umat akan misteri dan realitas hidupnya, menuntut mereka untuk selalu mendekatkan diri pada Gereja. Romo dan Gereja semacam menjadi daya tarik tersendiri bagi umat yang haus akan pengetahuan dan kebijaksanaan hidup. Kondisi ini pun dimanfaatkan secara baik oleh romo untuk manawarkan tugas-tugas pastoral kepada mereka. Umumnya umat menerima tawaran tersebut dengan senang hati. Segalanya perlahan berubah ketika media informasi dan komunikasi menjadi menu makanan setiap hari. Orang menjadi gampang mengakses informasi dan segala pengetahuan dari berbagai media cetak dan elektronik. Dengan demikian pengetahuan dan kebenaran tidak hanya menjadi milik romo atau para petugas Gereja semata. Semua orang bisa memiliki pengetahuan yang benar tanpa melalui bantuan romo dan intervensi dari Gereja. Rahasia iman dan misteri kehidupan umat bisa dipecahkan sendirian dengan hanya membaca buku, atau mengakses internet tanpa harus mendengar penjelasan dari romo dalam khotbah-khotbah maupun katekese iman. 2 Kehadiran motivator yang menyaingi para pengkhotbah. Berbagai kerutinan yang dilakukan oleh orang saat ini telah membuat mereka jenuh dan membutuhkan penyegaran. Tawaran-tawaran acara motivasional dalam berbagai variasi acara seperti outbound, rekreasi, peningkatan kualitas hidup, pencapaian diri yang maksimal dan berbagai bentuk kemasan acara dibuat untuk memberikan alternatif maupun solusi kepada banyak orang saat ini supaya dapat optimis menghadapi hidup ini dengan segala masalah dan tantangannya. Jika dicermati dengan sungguh-sungguh berbagai acara motivasional yang dilakukan, maka kita dapat menjumpai filosofi dan konsep- konsep yang tidak Alkitabiah di dalamnya karena menawarkan solusi cepat dengan berbagai impian melalui kemampuan dalam diri manusia dengan meditasi, yoga, hipnotis, kekuatan pikiran bawa sadar, telepati, menggunakan kekuatan otak dan lain-lain.

Dokumen yang terkait

Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo.

4 72 183

Deskripsi pendidikan iman anak dalam keluarga bagi perkembangan iman anak di Stasi Maria Putri Murni Sejati Cisantana, Paroki Kristus Raja Cigugur, Keuskupan Bandung.

1 20 153

Penghayatan spiritualitas keterlibatan umat berinspirasi pada Santa Maria dalam hidup menggereja di Paroki Santa Maria Kota Bukit Indah Purwakarta.

0 0 189

Penggunaan Bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristi di Stasi Santo Fransiskus Xaverius Kemranggen, Paroki Santo Yohanes Rasul Kutoarjo

1 28 181

Upaya membangun keluarga Kristiani melalui pendampingan keluarga di Paroki Kunjungan Santa Maria Peniung, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

0 6 139

Refleksi pelayanan Kasih Awam Kristiani dalam terang ensiklik Deus Caritas Est di Stasi Santa Maria Assumpta Ngrendeng Paroki Santo Yoseph Ngawi Keuskupan Surabaya

0 7 163

Upaya menumbuhkan hidup doa dalam keluarga-keluarga kristiani umat lingkungan Santa Maria stasi Majenang paroki Santo Stefanus Cilacap melalui katekese umat - USD Repository

0 0 137

UPAYA MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI MELALUI PENDAMPINGAN KELUARGA DI PAROKI KUNJUNGAN SANTA MARIA PENIUNG, KAPUAS HULU, KALIMANTAN BARAT

0 0 137

PERANAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK (PIA) DI LINGKUNGAN SANTO AGUSTINUS GANCAHAN I PAROKI SANTA MARIA ASSUMPTA GAMPING YOGYAKARTA SKRIPSI

0 4 321

Peranan ekaristi dalam meningkatkan hidup beriman umat kristiani usia 30 tahun ke atas Paroki Administratif Santa Maria Assumpta Cawas - USD Repository

1 0 158