Segalanya perlahan berubah ketika media informasi dan komunikasi menjadi menu makanan setiap hari. Orang menjadi gampang mengakses informasi dan
segala pengetahuan dari berbagai media cetak dan elektronik. Dengan demikian pengetahuan dan kebenaran tidak hanya menjadi milik romo atau
para petugas Gereja semata. Semua orang bisa memiliki pengetahuan yang benar tanpa melalui bantuan romo dan intervensi dari Gereja. Rahasia iman dan
misteri kehidupan umat bisa dipecahkan sendirian dengan hanya membaca buku, atau mengakses internet tanpa harus mendengar penjelasan dari romo
dalam khotbah-khotbah maupun katekese iman.
2 Kehadiran motivator yang menyaingi para pengkhotbah. Berbagai kerutinan
yang dilakukan oleh orang saat ini telah membuat mereka jenuh dan membutuhkan penyegaran. Tawaran-tawaran acara motivasional dalam
berbagai variasi acara seperti outbound, rekreasi, peningkatan kualitas hidup, pencapaian diri yang maksimal dan berbagai bentuk kemasan acara dibuat
untuk memberikan alternatif maupun solusi kepada banyak orang saat ini supaya dapat optimis menghadapi hidup ini dengan segala masalah dan
tantangannya. Jika dicermati dengan sungguh-sungguh berbagai acara motivasional yang dilakukan, maka kita dapat menjumpai filosofi dan konsep-
konsep yang tidak Alkitabiah di dalamnya karena menawarkan solusi cepat dengan berbagai impian melalui kemampuan dalam diri manusia dengan
meditasi, yoga, hipnotis, kekuatan pikiran bawa sadar, telepati, menggunakan kekuatan otak dan lain-lain.
Motivator-motivator banyak bermunculan saat ini dari berbagai latar belakang di luar gereja, menawarkan berbagai solusi atas masalah rumah tangga,
pekerjaan, jodoh, nasib dan peruntungan manusia, sehingga warga gereja juga berinteraksi dengan mereka dan ada yang kemudian percaya dan mengikuti
berbagai pandangan dan jalan keluar yang ditawarkan tanpa memahami adanya hal-hal yang tidak Kristiani dalam metode-metode yang mereka terima.
Keinginan untuk menemukan solusi cepat atas masalah telah membawa beberapa umat yang kurang pemahaman imannya terjebak dalam hal yang
tidak benar.
E. Situasi Pokok
Secara keseluruhan para responden memberi tanggapan yang mengerucut pada satu situasi pokok yakni bahwa umat Stasi Sta. Maria Ngrendeng pada
beberapa tahun terakhir ini sepertinya mulai kendur semangatnya untuk terlibat aktif dalam setiap urusan Gereja. Semua responden yang diwawancarai memberi
kesan yang negatif pada semangat hidup rohani umat―terlebih mengenai komitmen umat dalam mengemban tugas-tugas pastoral stasi.
Para responden menemukannya adanya kemunduran yang luar biasa dalam hal penghayatan iman. Rekam jejak keterlibatan kaum awam dalam hidup
menggereja pada tahun-tahun sebelumnya, diingat secara baik oleh mereka dan kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat perbandingan dengan model
keterlibatan saat ini. Atas alasan demikian maka penulis punya dasar untuk percaya pada mereka. Analisa perbandingan sederhana yang mereka buat demikian, bahwa
sejak para misionaris Eropa mengalihtugas pelayanan kepada imam pribumi, situasinya mulai berubah. Menurut mereka, ketidakaktifan kaum awam mulai terasa
sejak saat itu. Tiga alasan yang dinilai responden sebagai sebab terjadinya kemunduran,
kemalasan, atau kelesuhan semangat umat untuk terlibat dalam setiap urusan rohani. Pertama, karena pengaruh arus globalisasi. Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang begitu pesat setidaknya turut memengaruhi pola penghayatan iman umat. Ada yang berpendapat bahwa sebab dari semuanya ini adalah
menyangkut hal apresiasi terhadap nilai pelayanan dan pengorbanan kepada Gereja. Hal ini khusus mengenai fungsionaris stasi yang kerap mengeluh soal pamrih dari
pelayanan mereka. Keluhan ini akhirnya dinilai sebagai skandal yang melemahkan semangat mereka sebagai pelayan umat. Kedua, minat orang muda akan hal-hal
rohani hampir memudar dalam diri mereka. Ketertatikan mereka dinilai lebih terfokus pada hal-hal yang duniawi, yang sifatnya memikat dan menyenangkan.
Sehingga ketika harus berurusan dengan hal-hal rohani seperti doa, misa, puasa mati raga, dan sebagainya, mereka merasa bosan karena sifatnya abstrak.
Sedangkan ketiga, pola pendekatan dari romo yang tidak mengumat. Sejauh pengamatan mereka, kaum awam akan aktif dengan sendirinya jika pola pendekatan
yang dipakai oleh romo sungguh menyentuh realitas hidup mereka. Namun sebaliknya jika pola pendekatan yang diterapkan tidak memberi kesan positif maka
sudah hampir pasti kaum awam akan menjauh dari Gereja, dan akan merasa biasa- biasa saja dengan urusan imannya.
F. Refleksi SWOT
Berdasarkan data observasi dan wawancara yang di kumpulkan―penulis
menemukan bahwa sejak stasi ini didirikan sampai dengan belasan tahun yang silam, umatnya masih sangat aktif. Romo dan umat punya jalinan kerja sama yang
baik, harmonis dan saling mendukung. Romo sangat menyayangi umatnya, begitupun sebaliknya umat menghargai romo dengan hati yang tulus. Kedua pihak
sama-sama menciptakan dan mengembangkan iklim rohani yang kondusif. Umat lantas merasa at home saat terlibat aktif dalam urusan Gereja. Hal ini tentu
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan iman. Namun situasi macam ini perlahan-lahan mulai memudar. Belakangan
muncul kesan umat mulai mengabaikan dan sengaja melupakan kebiasan-kebiasaan yang berurusan dengan kehidupan rohani semisal malas ke Gereja pada hari
minggu, jarang terlibat aktif dalam rutinitas doa kelompok dan lingkungan, malas ikut latihan nyanyi, malas kerja bakti di Gereja, dan mengeluh saat memberi derma
untuk kepentingan Gereja. Kondisi semacam ini―berdasarkan hasil temuan, paling
kuat menggejala dalam diri kaum muda, termasuk bapak-bapak. Jujur saja, orang muda Katolik sekarang dan sebagian besar bapak-bapak paling malas terlibat dalam
urusan Gereja. Jika ada hal yang berurusan dengan Gereja, yang sering terlibat
hanya ibu-ibu dan anak-anak. Gereja akhirnya identik dengan kaum wanita dan anak-anak. Tentu saja ini menjadi masalah serius yang butuh penanganan.
Hemat penulis, masalah ini bisa sampai terjadi seperti ini karena umat mulai sadar bahwa sumber kebenaran satu-satunya bukan hanya ada pada Gereja.
Paradigma ini dulu memang sangat ketat memengaruhi konsep berpikir kaum awam, sehingga entah sadar atau tidak sadar kaum awam “menjadi takut” kalau
tidak melibatkan diri dalam urusan Gereja. Kaum awam menjadi takut kalau tidak mendekatkan diri dengan Gereja sebagai sumber kebenaran. Paradigma ini secara
amat halus menertibkan umat dan membuat mereka jadi taat kepada Gereja. Namun ketika zaman makin berkembang, paradigma umat pun akhirnya
turut berubah di dalamnya. Dan gejala ini paling kuat mewabah dalam diri orang muda. Sebab mereka punya akses kepada perubahan jauh lebih gampang oleh
karena pemahaman mereka tentang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu tidak heran jika ditanya: kenapa tidak pergi misa, mereka akan spontan menjawab,
kotbah romo bisa diakses via internet. Atau diajak untuk pergi berdoa bersama, tanggapannya: doa bisa dibuat secara spontan, atau doa itu urusan pribadi saya
dengan Tuhan karena itu bisa dibuat kapan saja tanpa diketahui oleh siapapun. Sikap dan tanggapan semacam ini hampir tidak pernah terjadi pada orang tua dulu.
Mereka semua dikenal sebagai pribadi yang saleh dan taat beragama. Itulah sebabnya penulis berpendapat bahwa masalah itu terjadi karena adanya pergeseran
paradigma tentang peran Gereja dalam kehidupan mereka.
Pihak Gereja dalam hal ini romo dan fungsionaris stasi perlu merubah pola pendekatan terhadap umat. Salah satu prinsip yang perlu diinsafi secara bijaksana
oleh pihak Gereja di tengah tuntutan perubahan zaman ini adalah: boleh berakar pada tradisi namun harus tetap terbuka pada realitas. Maksudnya Gereja di tengah
realitas dunia semacam ini perlu membuka diri dan ramah terhadap perubahan asalkan tetap berpegang teguh pada tradisi iman Gereja Katolik.
Jalan keluar yang ditawarkan adalah merubah pola pendekatan. Contoh sederhana, kalau dulu umat mencari romo dan Gereja―oleh karena takut―maka
sekarang romo atau siapa saja yang terlibat sebagai fungsionaris stasi perlu mencari umat dan meyakinkan mereka dengan cara yang bijaksana untuk kembali
mendekatkan diri dengan Gereja. Gaya indoktrinasi pola lama yang sering dipakai untuk menakut-nakuti umat perlu ditinggalkan. Sebagian besar umat sekarang
sudah berpendidikan karena itu model pendekatannya pun perlu disesuaikan dengan tingkat kemampuan mereka. Hal ini tentu bukan perkara gampangan. Butuh strategi
yang mantap agar umat bisa kembali sadar, dan yang mati suri bisa kembali bangkit. Tentang strategi, sepenuhnya diserahkan kepada romo dan fungsionaris
stasi untuk berkreasi berdasarkan kapasitas mereka. Logikanya seperti ini, seorang pasien yang sakit akan sangat percaya pada perawat atau dokter yang telah
menyembuhkannya. Sama halnya dengan “umat yang sakit”. Ia akan bertobat jika romo menerapkan pola pendekatan yang betul-betul menyentuh hatinya. Dalam
situasi seperti ini, seorang pemimpin umat perlu membiarkan dirinya masuk dalam kehidupan umat melalui pintu mereka, setelah itu baru menggiring mereka keluar
melalui pintu yang diinginkan: perubahan cara hidup.
G. Refleksi Teologis
1. Pelayanan Kasih
Pelayanan merupakan bagian dari hakikat kodrat Gereja, karena itu selalu punya kaitan antara sabda dan sakramen. Bagaimana pun kasih mengajak semua
umat kristiani untuk peka terhadap kebutuhan orang lain; agape membangkitkan pelayanan. Paus Benediktus telah mempersembahkan satu doktrin sosial yang
setidaknya mengajak semua umat manusia secara khusus umat Katolik di seluruh dunia untuk terlibat dalam tindakan karitas yang berdasar pada kasih Allah. Secara
ringkas ensiklik tersebut mendorong umat Katolik untuk turut ambil bagian dalam hidup publik mulai dari iman mereka, dan pada semua lapisan masyarakat, baik
secara politis, ekonomis, sosial, legislatif, administratif, budaya, dan sebagainya. Pertanyaannya sekarang ialah bagaimana kita dapat melihat pelayanan
secara konkret sebagai suatu terjemahan dari kasih Allah. Ensiklik DCE memberikan sedikit pokok perhatian yang sangat khusus.
Pertama, pelayanan harus bersifat profesional. Pelayanan dan keahlian tidaklah bertentangan satu sama lainnya, namun berada pada garis yang sama. Kita
dapat merujuk dengan aman kepada mereka sebagai keahlian yang terilham. Diperlukan pembinaan, namun juga pembinaan hati, pembinaan rohani
dan momen-momen dimana ilham hadir secara jelas. Sasarannya haruslah agar para rekan sekerja dibawa pada perjumpaan dengan Tuhan, yang membangkitkan
kasih mereka dan membuka hati mereka terhadap sesama, sehingga kasih sesama tak lagi menjadi perintah yang dijalankan bagi pihak luar sebagaimana terjadi pada