Teori Belajar Humanistik Kajian Teori
Pendekatan humanistik
dalam pendidikan
menekankan pada
perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan
kemampuan tersebut. Hal ini mencakup kemampuan interpersonal untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga masyarakat.
Keterampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Komarudin 2013:58, menyatakan bahwa tokoh-tokoh teori belajar humanistik : 1.
Abraham Maslow Teori maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada
dua hal : 1 suatu usaha yang positif untuk berkembang, dan 2 kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Rifa’i dan Anni 2011: 146, menyatakan maslow merupakan tokoh gerakan psikologi humanistik di Amerika.
Maslow menyampaikan kebutuhan pada tingkat paling rendah adalah kebutuhan fisik
physiological needs,
seperti rasa lapar dan haus, dan harus dipenuhi sebelum individu dapat memenuhi kebutuhan menjadi milik dan dicintai
sense of belonginggness and love,
kemudian kebutuhan penghargaan
esteem needs,
yakni merasa bermanfaat dan hidupnya berharga, dan akhirnya kebutuhan aktualisasi diri
self-actualization needs.
Kebutuhan aktualisasi diri itu termanifestasi di dalam keinginan untuk memenuhi sendiri
self-fulfillment
untuk menjadi diri sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Penekanan maslow
tentang akumulasi pengalaman bukan siap memaknai individu sebagai individu, melainkan pengalaman itu juga dapar digunakan sebagai sumberdaya dalam
kegiatan belajar. Konsep diri peserta didik, yakni individu yang lebih mandiri diperoleh karena telah memiliki banyak pengalaman, yang selanjutnya dapat
digunakan untuk membantu peserta didik dalam menuju pada pengarahan diri
self-direction
atau aktualisasi diri
self actualization.
2. Arthur W. Combs
Combs dalam Komarudin, 2013:58 berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa ingin belajar apabila materi
pelajarannya di susun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal makna yang diharapkan siswa tidaklah menyatu pada persepsi siswa untuk memperoleh makna
belajar bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut yang menghubungkan materi pelajaran dengan kehidupannya sehari-hari.
3. Carl Rogers
Rogers dalam Komarudin, 2013:61 membedakan dua tipe belajar, yaitu
kognitif
kebermaknaan dan
experiental
pengalaman atau signifikasi. Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti
mempelajari mesin dengan tujuan untuk memperbaiki mobil.
Experiental Learning
menunjuk pada pemenuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar
experiential learning
mencakup: keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut Rogers, yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran yaitu :
1 Menjadi manusia berati memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa
tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2 Siswa akan mempelajari
hal-hal yang
bermakna bagi
dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengornaisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. 3
Pengorganisasian bahan pengajaran berati mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4 Belajar yang bermakna dalam masyarakay modern berarti belajar tentang
proses. Komarudin dan Sukardjo 2013:62-63, menyatakan bahwa salah satu
model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers, diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975. Model
ini mengenai kemamuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung, yaitu empati, penghargaan, dan umpan balik positif. Ciri-ciri guru fasilitatif
adalah: 1 Merespon siswa
2 Melaksanakan interaksi dengan siswa 3 Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4 Menghargai siswa 5 Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
6 Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa dan tersenyum pada siswa. Dari penelitian itu, diketahui bahwa guru yang fasilitatif mampu
mengurangi angka membolos, meningkatkan angka konsep diri, meningkatkan upaya meraih prestasi akademik, mengurangi tingkat masalah yang berkaitan
dengan disiplin, mengurangi perusakan pada peralatan sekolah.