Batik Bokong Semar Warna Biru, Merah, dan Hijau
beliau adalah dewa di dalam pewayangan, namun Semar juga tak pernah memamerkan kesaktiannya pada orang lain.
Menurut Ki Dalang H. Suparma wawancara pada tanggal 30 Juli 2015 Dalam cerita ki Semar, Bethara Guru, dan ki lurah Togog. Tiga watak ini
berlomba untuk menguasai kahyangan Pandawaru, central monarki kahyangan, sayembaranya ialah siapa yang bisa menelan gunung Garbawasa. Singkatnya dari
yang tua ki lurah Semar berhasil menelan sampai ke bokongnya, giliran ki lurah Togog baru nguntal gunung Garbawasa ketahuan oleh Hyang Pada Wenang
perilaku sombong para titisan tersebut hingga diusir sebagai sapu-dhendhaning jawata ke maadyapada dunia nyata. Hukuman buruk rupa sesuai kesombongan
garbawasanya, sedangkan Semar bokongnya yang gede dan Togog mulutnya yang ndower. Masing-masing harus menjalankan tugas menjadi pamomong, Semar
pamomong kabecikan kebaikan pandawa dan Togog pamomong angkara kurawa.
Semar dan Togog tidak akan mati sebelum tugas selesai, Togog karena kesombonga
n “mulut” dia bisa sirna margalayu setelah baratayudha, Baratayudha adalah perjalanan sepenggal kisah manusia dari lahir sampai dewasa. Sedangkan
Semar yang menelan kesombongan sampai ke bokong harus lebih lama momong sampai masa wiji ratu tanah jawa ke ratu adil hingga sepanjang masa.
“Blegedhuweg ugeg-ugeg sak dulito mhel-mhel…..” adalah ucapan latah ki Semar. Latahnya adalah ungkapan kegalauan atau lebih tepatnya penyesalan saat
berhasil menelan gunung Garbawasa, ternyata setelah disadarkan oleh Hyang wenang kesaktiannya hanya kesombongan belaka. Yang bermakna sebaiknya
penyesalan dan pertobatan harus latah dilakukan sebagai kewaspadaan agar tidak mengulangi dosa yang sama. https:pangudoroso.wordpress.com20130617ki-
lurah-semar-bodronoyo-hyang-ismoyo-margo-ewuh diunduh pada tanggal 7
september 2015. Dalam skripsi Dian Pradita Kusuma 2008: 96 menjelaskan bahwa,
…bahwa semar wajah semar ialah laki-laki, namun badannya serba bulat, payudara montok, seperti layaknya seorang wanita. Rambutnya putih dan
kerut wajahnya menunjukkan bahwa ia sangat tua, namun berkuncung seperti anak-anak. Bibirnya tersenyum mesem-mesem, tetapi mata selalu
mengeluarkan air mata ndrejes. Kain poleng bangbintulu aji, dodot poleng yang mirip dengan dipakai Bima menandakan insan yang telah
berhasil mengatasi keempat nafsunya dan maampu pergi ke kahyangan dengan raga secara utuh.
Menurut Ki Dalang H. Suparma wawancara pada tanggal 30 Juli 2015
mejelaskan, walaupun bentuk wajah dan badannya sangat jelek namun sang Semar merupakan tokoh sebaik-baiknya tokoh dalam pewayangan. Hal ini pula
dijelaskan dalam skripsi Dian Pradita Kusuma 2008: 64, bahwa dalam tema lakon Sang Hyang Munged Turun Ampah adalah demi mengutamakan pada dunia
setelah mati, dia berupaya ingin mencapai kesempurnaan hidup, yang artinya menyingkirkan semua keduniaan yang bersifat fanah dan hanya sementara, tidak
untuk selamanya. Dalam tema lakon ini pula terdapat amanat yaitu siapa orang yang menanam akan memetik buahnya, yang artinya siapa yang menanam amal
baik di dunia maka akan memetik hasilnya baik pula nantinya. Sang Hyang Munged atau Semar sebagai contoh tokoh yang tidak sombong adigang-
adiguna, walaupun dia mempuyai kelebihan tetapi rela menjadi seorang panakawan yang kehidupannya selalu menerima, sabar tawakal, dan yang paling