F. Makna Simbolik Batik Bokong Semar
Proses membatik bukan hanya sekedar melukiskan gambar pada sebuah kain saja, jika kita telisik terdahulu batik dalam setiap bentuk yang digoreskan
oleh sang pengrajin memiliki makna atau simbol dan filosofi yang sangat berarti dalam kehidupan masyarakatnya. Mengandung beberapa pesan, do’a, dan harapan
bagi si pengrajin dan masyarakat luas dalam memakainnya. Begitu pula dalam batik bokong semar yang memiliki makna tersendiri dalam goresan bentuk
motifnya.
a. Makna Simbolik Motif Utama dan Motif Penunjang
Unsur motif utama dalam batik ini ialah motif bokong semar yang memiliki arti atau makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Seperti yang
sudah dijelaskan bahwa motif ini berkaitan dengan sosok sang semar itu sendiri. Sosok semar yang dikenal dalam masyarakat khususnya Jawa termasuk
Indramayu pula tokoh ini sangat digemari. Menurut Bapak Supali Kasim wawancara pada tanggal 8 Juni 2015, tokoh Semar merupakan idola dalam
masyarakat Indramayu dan Cirebon setiap pementasan wayang, karena selain karakter wayang yang sangat humoris, Semar pula merupakan sosok yang sangat
rendah hati. Tokoh Semar selalu memberikan pesan setiap lakon yang melibatkan dia. Semar akan menghibur tuannya atau majikannya dengan memberikan
hiburan, nasehat kajian dan akan turun langsung jika pihak yang benar mengalami kekalahan dan lahir batin dalam membela kebenaran. Beliau adalah sosok yang
sangat sederhana dan tak pernah pamrih. Kesaktiannya tak tertandingi karena
beliau adalah dewa di dalam pewayangan, namun Semar juga tak pernah memamerkan kesaktiannya pada orang lain.
Menurut Ki Dalang H. Suparma wawancara pada tanggal 30 Juli 2015 Dalam cerita ki Semar, Bethara Guru, dan ki lurah Togog. Tiga watak ini
berlomba untuk menguasai kahyangan Pandawaru, central monarki kahyangan, sayembaranya ialah siapa yang bisa menelan gunung Garbawasa. Singkatnya dari
yang tua ki lurah Semar berhasil menelan sampai ke bokongnya, giliran ki lurah Togog baru nguntal gunung Garbawasa ketahuan oleh Hyang Pada Wenang
perilaku sombong para titisan tersebut hingga diusir sebagai sapu-dhendhaning jawata ke maadyapada dunia nyata. Hukuman buruk rupa sesuai kesombongan
garbawasanya, sedangkan Semar bokongnya yang gede dan Togog mulutnya yang ndower. Masing-masing harus menjalankan tugas menjadi pamomong, Semar
pamomong kabecikan kebaikan pandawa dan Togog pamomong angkara kurawa.
Semar dan Togog tidak akan mati sebelum tugas selesai, Togog karena kesombonga
n “mulut” dia bisa sirna margalayu setelah baratayudha, Baratayudha adalah perjalanan sepenggal kisah manusia dari lahir sampai dewasa. Sedangkan
Semar yang menelan kesombongan sampai ke bokong harus lebih lama momong sampai masa wiji ratu tanah jawa ke ratu adil hingga sepanjang masa.
“Blegedhuweg ugeg-ugeg sak dulito mhel-mhel…..” adalah ucapan latah ki Semar. Latahnya adalah ungkapan kegalauan atau lebih tepatnya penyesalan saat
berhasil menelan gunung Garbawasa, ternyata setelah disadarkan oleh Hyang wenang kesaktiannya hanya kesombongan belaka. Yang bermakna sebaiknya