Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan

19

BAB II PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN PENCATATAN PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan dan Pencatatan Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan

Perkawinan sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini. 1 Menurut Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah , dalam kitab karangannya Al-Mahalli, perkawinan disunahkan bagi orang yang membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu, pengertian mampu disini adalah mampu dalam hal lahir bantin untuk menuju ke jenjang perkawinan. 2 Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Karena dengan perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina. Karena suatu perkawinan merupakan perbuatan hukum, maka tentu saja ia akan menimbulkan akibat hukum. Yang tadinya antara seorang laki-laki dan perempuan haram berhubungan badan, setelah perkawinan menjadi halal. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan, dan saat melangsungkan perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat Nikah. 1 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993, h 14 2 Syaikh Imam Al-Qoyubi Humairah, Al-Mahalli, h 207 Menurut Ma‟ruf Amin, forum Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa sengaja memakai istilah perkawinan di bawah tangan, istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Perkawinan di bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah perkawian yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fikih atau hukum Islam. Namun, perkawinan ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam Perundang-undangan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan di bawah tangan, yang tidak dicatatkan dipandang tidak memenuhi ketetntuan peraturan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap isteri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah. Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Ma‟ruf Amin menegaskan bahwa hukum perkawinan yang awalnya sah memenuhi syarat dan rukunnya, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Dengan demikian, haramnya itu datangnya belakangan, perkawinannya sendiri tidak batal, tapi menjadi berdosa karena ada orang yang terlantarkan, sehingga dia berdosa karena mengorbankan isteri atau anaknya. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. 3 3 Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008, h 147

2. Pengertian Pencatatan Perkawinan