Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah

50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Pandangan Masyarakat Desa Wibawa Mulya tentang Perkawinan di Bawah

Tangan Apabila memperhatikan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya” dan ayat 2, yaitu “Tiap-tiap perkawinan harus dicatat”, dapat di pahami bahwa perkawinan yang sah adalah menurut agama dan undang-undang harus dicatatkan. Ahmad Rofiq berpendapat, artinya perkawinan tetap sah, karena standar sah dan tidaknya perkawinan ditentukan oleh norma-norma agama dari pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur karena tanpa pencatatan, suatu perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum. Akibat yang timbul adalah, apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya, maka pihak lain tidak dapat melakukan upaya hukum, karena tidak memiliki bukti-bukti yang sah dan otentik dari perkawinan yang dilangsungkannya. 1 1 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003, h 110 Menurut penulis, Pencatatan perkawinan memegang peran yang sangat menentukan diakuinya perkawinan tersebut oleh undang-undang. Bila suatu perkawinan tidak dicatat, maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh undang- undang, begitu pula sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut, dampaknya sangat meruginkan bagi isteri dan anaknya. Abdulkadir Muhammad memberikan keterangan: “Pada saat ini status hukum seseorang sangalah penting karena dengan pastinya status hukum seseorang maka ia akan mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya. Dengan memiliki status hukum yang jelas, maka seseorang akan tahu apa yang boleh dilakukan. Dengan memiliki status hukum yang baru, maka seseorang dapat dengan mudah untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa harus melakukan suatu pelanggaran. Seseorang yang telah menikah dan mencatatkan perkawinannya pada pegawai pencatat nikah, maka ia mempunya status hukum yang baru. Dengan status hukum yang baru tersebut maka hak dan kewajibannya pun akan berubah pula atau tidak sama sekali seperti waktu ia belum menikah ”. 2 Praktek perkawinan di bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi, padahal perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi perempuan serta tidak melindungi hak-hak kaum perempuan, dan juga hak anak. 2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesia, Bandung : PT. Citra Adtya Bakti, 2003, hal. 48 Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah “perkawinan di bawah tangan” dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 2. 3 Pada kenyataannya banyak masyarakat yang belum mengetahui tetang Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini, khususnya tentang pencatatan perkawinan. Maka undang-undang ini harus disosialisasikan kepada masyarakat, hal itu sependapat dengan Zainuddin Ali, penacatatan perkawinan yang tercantum dalam pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, sangat tepat diterapkan di tengah-tengah masyarakat. Hal ini karena dengan semakin berkembangnya kehidupan masyarakat, maka segala sesuatu yang dilakukan harus lah memerlukan suatu kepastian hukum. 4 Dengan mencatatkan perkawinannya berarti ia mempunyai akta perkawinan yang dapat dijadikan bukti apabila dikemudian hari ia menghadapi masalah yang 3 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008, h 150 4 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika 2006, h 26 berhubungan dengan perkawinan. Akta perkawinan merupakan bukti yang autentik untuk membuktikan bahwa seseorang itu telah menikah. 5 Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang ada di desa Wibawa Mulya, penulis melakukan wawancara dengan ibu Sofiah, menurut ibu Sofiah perkawinan di bawah tangan itu sama aja seperti halnya perkawinan lainnya. Ia menuturkan bahwa perkawinan di bawah tangan itu yang membedakan adalah tidak mendapatkan buku nikah, dan perkawinannya juga sah, karena menurut agama juga sudah sah. Ketika ada saudara ibu Sofiah menikah, saudaranya tidak mendapatkan buku nikah, dan ditawarkan oleh bapak amil jika dia ingin mempunyai buku nikah prosesnya lama dan harus membayar lima ratus ribu rupiah, ia merasakan terlalu mahal, maka ia tidak mau, lebih baik uangnya digunakan untuk yang lain, dari pada harus membeli buku nikah, dan ia juga tidak tahu akan pentingnya pencatatan perkawinan, ujar ibu Sofiah. Karena saudara ibu Sofiah tidak mau, sodaranya menikah sesuai yang di syariatkan oleh agama Islam saja, dan hanya dihadiri oleh tokoh masyarakat dan sodara-sodara terdekat saja. 6 Selanjutnya penulis mewawancarai Ibu Ela, ia mengatakan kalau perkawinan di bawah tangan itu sah-sah saja, dan warga yang melakukan perkawinan di bawah tangan tidak akan dianggap aneh atau berbeda, dan ketika ada seorang warga yang 5 Ahmad Rofiq, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003, h 116 6 Wawancara Pribadi dengan Ibu Sofiah, Selasa, 25 Maret 2014 pukul 16:30, Di depan rumah ibu Sofiah. menikah di bawah tangan atau tidak mendatangkan Pegawai Pencatat Nikah, mungkin dia itu tidak punya biaya, cukuplah dengan syariat islam perkawinannya sudah sah, kata ibu Ela. 7 Melihat realita dari ibu Sofiah dan ibu Ela ini sangat jelas tidak tahunya tentang pentingnya pencatatan perkawinan, masalah pencatatan ini jelas tidak dapat dilepaskan dari kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan tidak akan efektif akibat kurangnya kesadaran dari hukum masyarakat sendiri. Menurut Bapak Ahyad selaku RT 05 desa Wibawa Mulya, faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pencatatan itu karena rendahnya pendidikan, jadi mereka beranggapan bahwa pencatatan perkawinan itu tidak terlalu penting dan hanya memakan waktu dan dirasakan sangat mahal diatas ketentuan Peraturan Pemerintah No . 51 tahun 2001 mengenai Biaya Pencatatan Perkawinan sebesar Rp; 30.000 ribu rupiah, dan juga masih kentalnya budaya agama dan adat sunda yang ada di desa Wibawa Mulya ini, kalau perkawinan sudah terpenuhi syarat dan rukunnya maka perkawinannya pun sudah dianggap sah. 8 Melihat pandangan masyarakat tentang perkawinan di bawah tangan, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui akan pentingnya pencatatan perkawinan, 7 Wawancara Pribadi dengan Ibu Ela, Selasa, 25 Maret 2014 pukul 17:00. Di depan rumah ibu Ela 8 Wawancara pribadi dengan bapak Ahyad RT 05, Minggu, 30 Maret 2014 pukul 09:00. Di rumah bapak RT Ahyad mereka beranggapan perkawinan di bawah tangan itu sah, tetapi karena tidak mengetahui sahnya menurut perundang-undangan, ketika ada seorang masyarakat baik itu tetangganya atau bukan, masyarakat memandang bahwa perkawinan itu sebagaimana mestinya dan tidak ada yang aneh atau berbeda baik orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan maupun perkawinan yang sah sebagaimana yang di atur oleh peraturan perundang-undangan. Sebagian besar pola pemikiran masyarakat desa Wibawa Mulya tentang perkawinan di bawah tangan sama, yaitu tidak membeda-bedakan perkawinan di bawah tangan dan perkawinan yang sah atau perkawinan yang dicatatkan.

B. Wawancara Masyarakat Pelaku Perkawinan di Bawah Tangan dan Tokoh