Kiranya dapatlah dikatakan bahwa pencatatan perkawinan itu bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan
maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu,
sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika diperlukan, terutama sebagai suatu alat bukti tertulis, dengan adanya surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah
suatu perbuatan lain.
5
B. Dasar Hukum Pencatatan Perkawinan
1. Dasar Hukum Menurut Hukum Islam
Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyariatkan dalam agama Islam, namun dilihat dari segi manfaatnya, pencatatan perkawinan sangat diperlukan.
6
Alquran dan Alhadis tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan, akan tetapi dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan.
7
Apabila kita perhatikan surah al-Baqarah ayat : 282 mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga kepastian hukum. Bahkan redaksinya
dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan dari pada kesaksian, yang dalam perkawinan, menjadi salah satu rukun.
5
K. Wantjik Shaleh, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia 1978,. h 17
6
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media 2003, h 123
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika 2006, Cetakan Pertama, h 26
Allah berfirman dalam surath al-baqarah ayat 282 :
…..
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan apa yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya
…... Belum ditemukan sumber-sumber fiqih yang menyebutkan mengapa dalam
hal pencatatan perkawinan dan pembuktiannya dengan akta nikah, tidak dianalogikan kepada ayat tersebut. Dalam kaidah hukum Islam, pencatatan perkawinan dan
membuktikannya dengan akta, sangat jelas mendatangkan maslahat bagi tegaknya rumah tangga. Sejalan dengan prinsip :
لا أر حلاص لا ب ج ع ق ساف
Menolak kemudharata lebih didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan
ح ص لاب ط ّعّلا ع ا الا فّصت
Suatu tindakan peraturan pemerintah, berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan.
8
8
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2003, h 121
Meninjau pencatatan perkawinan di zaman Nabi, s ahabat dan tabi’in secara
detail tidak ditemukan, karena memang landasan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dilihat pada sumber hukum Islam yaitu al-
Qur’an, Hadist serta ijtihad secara eksplisit tidak mengatur atau menyinggung terkait pencatatan
perkawinan. Terdapat beberapa keadaan kenapa pencatatan tidak ditemukan di zaman itu, diantaranya pada zaman Nabi masyarakatnya lebih mengandalkan hafalan atau
ingatan. Memang pada masa-masa awal Islam pencatatan belum dibutuhkan, selain itu
walimat al- „urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping
saksi syar‟i tentang sebuah perkawinan, dalam hadis diterangkan tentang adanya
tuntunan untuk mempublikasikan pelaksanan perkawinan, melalui resepsi walimah, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW ketika mengetahui salah satu sahabatnya,
Abdurrahman ibn „Auf menikah :
س و را لا اور اشب لو لوأ سو ّ ع لا ص لا ل سر لاق
“Selenggarakanlah walimah meski hanya dengan menyembelih satu ekor kambing”. HR. Bukhari dan Muslim.
9
Perintah melakukan publikasi perkawinan dimaksudkan agar orang lain mengetahui adanya perawinan, untuk memperjelas status, serta agar tidak
9
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008, h 149
memungkinkan terjadinya penyimpangan.
10
Ada kesan perkawinan yang berlangsung pada masa-masa awal Islam belum terjadi antar wilayah yang berbeda di mana calon
suami dan calon istri berada dalam suatu wilayah tersebut juga, sehingga alat bukti perkawinan selain saksi belum dibutuhkan.
Disamping perlunya walimah, maka harus ada pemberian kasih sayang, yaitu mahar. Mahar atau mas kawin merupakan satu di antara rukun nikah yang harus ada
dan wajib diberikan oleh seorang mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan dengan jumlah tergantung kesepakatan kedua mempelai berdasarkan kemampuan
ekonomi laki-laki dan kerelaan pihak perempuan.
11
Islam membolehkan mahar untuk menghormati dan memuliakan isteri, namun bukan berarti mesti dilakukan dengan berlebihan. Islam menekankan kemudahan
mahar, sehingga cukup dalam bentuk sang suami mengajar sang isteri sebuah surah dari al-Quran atau sebuah hadiah sederhana, atau bahkan memberinya sebuah cincin
sederhana walaupun terbuat dari besi.
12
Ketika Rasulullah SAW hendak menikahkan seorang sahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia
bersabda :
10
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008, h 150
11
Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, Surabaya : Mutiara Ilmu 1995, h 73
12
Imam Muhammad Syirazi, Dengan Siapa Kita Menikah?: Panduan Islami dalam Memilih Jodoh Membangun Keluarga Sakinah, Jakarta: Pustaka Zahra 2004, h 48
ي ح ن ا تاخ لو س تلا
“Carilah mahar sekalipun cincin yang terbuat dari besi”. Riwayat Al-Bukhari.
13
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika masyarakat yang terus berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Pergeseran kultur
lisan kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat modern, menuntut adanya catatan
akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bias hilang dengan
sebab kematian, manusia dapat juga mengalami kelupaan dan kehilapan. Atas dasar ini diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut akta.
14
Demikian lah pendapat menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan mengenai
pembaharuan hukum Islam mengenai pencatatan perkawinan. Penulis lebih setuju bila perkawinan itu dicatatkan, dengan demikian salah
satu bentuk pembaharuan hukum kekeluargaan Islam adalah dimuatnya pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang harus dipenuhi, meskipun
secara detail tidak ditemukan di dalam Alquran, Alhadis dan kitab-kitab fikih maupun fatwa-fatwa ulama. Hal ini mungkin yang mejadi landasan hukum fatwa-fatwa ulama
atau Majelis Ulama Indonesia MUI tidak mewajibkan pencatatan.
13
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan Dan Keluarga, Jakarta : GRAHA PARAMUDA 2008, h 158
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hu kum Perdata Islam di Indonesia “Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 11974 sa mpai KHI”, Jakarta : Kencana 2004,
Cetakat ke-3, h 121
2. Dasar Hukum Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974