Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain, Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam berkeluarga dan bermasyarakat serta keseimbangan antara satu dengan yang lain, Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan dua hati, tujuannya yaitu saling membantu dalam segala aspek hidup dan kehidupan. 1 Perkawinan umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi, agama, suku, bangsa, miskin atau kaya. Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk mempertahankan eksistensi kemanusiaan di muka bumi ini, dan perkawinan juga disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi setiap makhluk tuhan. 2 1 Al-Thahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariah Dan Masyarakat, Jakarta :Pustaka Firdaus 1993, h 199 2 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993, h 14 Dalam kehidupan dunia fana ini, semua makhluk hidup baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan tidak bisa lepas dari perkawinan. Ini merupakan sunnatullah hukum alam untuk kelangsungan hidup umat manusia, berkembangbiaknya binatang-binatang dan untuk melestarikan lingkungan alam semesta. Hukum alam semacam ini dijelaskan dalam firman Allah Swt: 3 Allah SWT berfirman di dalam al- Qur’an surat Adz-Dzariyaat ayat 49:         “Dan segala sesuatu Allah ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” QS. Adz-Dzariyaat: 49. 4 Kita semua mengetahui bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan, ada yang diciptakan sebagai laki-laki dan ada pula yang diciptakan sebagai perempuan. Al-Quran sebagai kitab suci yang diyakini bersumber dari Allah pun menyatakan demikian. Allah memberitahukan kepada kita bahwa semuanya diciptakan secara berpasangan. Manusia menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat dengan pihak lain akan membantunya mendapatan kekuatan dan membuatnya lebih mampu mengahadapi tantangan. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan diliputi oleh 3 Mohammad Asmawi, Nikah “Dalam Perbincangan dan Perbedaan”, Yogyakarta : Darussalam 2004, h 18 4 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahannya, Jakarta : MAHKOTA 1989, h 862 ketidakpastian, yang mengantar kepada kecemasan akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman hati bila dilanjutkan dengan perkawinan. Karena alasan-alasan inilah sehingga manusia kawin, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. Tetapi harus diingat, bahwa berpasangan, manusia bukan hanya didorong oleh desakan naruli seksual, tetapi lebih daripada itu, ia adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan. 5 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 6 Allah SWT telah menetapkan tali pernikahan sebagai sunnah ilahi guna menyemarakan kehidupan alam semesta, sekaligus menjadikannya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya yang maha jelas. Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT surat Ar-Ruum ayat 21 :                       Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.Ar-Rum ayat : 21. 5 Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor : Ghalia Indonesia 2010, Hal 177 6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika 2006, Cetakan Pertama, Hal 7 Dari ayat di atas kita bisa mengambil sedikit kesimpulan, bahwa tujuan perkawinan itu untuk mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman, terlindungi, rasa dihargai, diperhatikan. perkawinan disunahkan bagi orang yang membutuhkan dan bagi orang yang sudah mampu menafkahi secara lahir dan batin. 7 Memang benar, bagi orang yang berfikir, pasti akan mengetahui bahwa suatu jalinan hubungan harus dibina atas dasar kasih sayang. Apabila rasa kasih sayang dan saling mencintai telah terbina maka sepasang suami isteri akan menentukan kebahagiaan yang sempurna, menemukan kecocokan yang abadi, sehingga tercapai hidup yang bahagia dan sejahtera. Sesuatu yang didasari rasa cinta menyebabkan yang kurang menjadi sempurna, yang cacat akan tertutup dan yang jelek terasa menjadi bagus dan indah. 8 Perkawinan mempunyai dampak yang luas, baik dalam hubungan kekeluargaan pada khususnya, maupun pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara pada umumnya. Untuk itu diperlukan peran serta dan perhatian serius dari semua pihak, baik pribadi, masyarakat maupun negara. Selain itu, untuk mendukung keseriusan tadi, ada hal yang penting sebagai keniscayaan jaman dan kebutuhan legalitas hukum adalah adanya pencatatan perkawinan. 9 7 Syaikh Muhammad bin Khaasim Algozii, Fathul Qorib Mujib, h 43 8 Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Perkawinan Dan Masalahnya, Jakarta Pustaka Al-Kautsar 1993, h 20 9 Yayan Sopyan, Islam- Negara “Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional”, Jakarta : Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, h 128 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur dalam perundang- undangan, untuk melindungi martabat dan kesucian misaq al-galid perkawinan. 10 Dalam hal pencatatan perkawinan ini, bagi mereka yang menganut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Perkawinan, Talak dan Rujuk. Apabila perkawinan telah dicatatkan, maka perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang sah dan harus dilindungi oleh hukum. Perkawinan yang tidak dicatat sering disebut “perkawinan di bawah tangan” atau dalam bahasa fikih disebut az-zawaj al-urfi. Perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada Petugas Pencatat Nikah dan tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama KUA. 11 Pencatatan perkawinan pada dasarnya tidak disyari’atkan dalam agama Islam, Al-Quran dan Alhadits tidak mengatur secara rinci mengenai pencatatan perkawinan. Namun dirasakan oleh masyarakat mengenai pentingnya hal itu, sehingga diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun melalui Komiplsi Hukum Islam, dan juga jika dilihat dari segi manfaatnya pencatatan perkawinan ini sangat diperlukan di masyarakat. 10 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 2002, h 107 11 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Moderen, Yogyakarta : Graha Ilmu 2011, h 17 Kita melihat suatu kenyataan, bahwa suatu perkawinan tidak selalu langgeng, tidak sedikit terjadi perceraian yang penyelesaiannya berakhir di pengadilan. Apabila perkawinan itu terdaftar di Kantor Urusan Agama KUA dan disamping itu juga mendapat akte nikah, maka untuk menyelesaikan kasus itu lebih mudah mengurusinya, 12 Apabila tidak tercatat dan tidak ada akte nikah, maka pengadilan agama sulit untuk mengurusinya karena perkawinan itu dianggap tidak pernah terjadi. Sekiranya hal semacam ini dibiarkan, maka banyak orang yang melakukan akad nikah di bawah tangan sebagai resikonya, apaila terjadi perselisihan tidak dapat diajukan kepada pengadilan agama, tetapi dapat saja dilakukan secara kekeluargaan, baik sepihak atau pun kedua belah pihak. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 22 tahun 1946 itu menentukan : “Nikah yang dilakukan menurut agama Islam diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya ”. 13 Lalu dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2, yaitu “Tiap- tiap perkawinan harus dicatat”. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam pasal 5 : ayat 1 Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatatkan, 12 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta : Prenada Media 2003, h 123 13 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 1974, h 71 ayat 2 Pencatatan perkawinan tesebut pada ayat 1, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No 32. Tahun 1954. Lalu pasal 6 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan : ayat 1 Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Ayat 2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. 14 Disini kita lihat bahwa pegawai pencatatan nikah itu hanya bertugas mengawasi terlaksananya perkawinan, agar perkawinan itu berlangsung menurut ketentuan-ketentuan agama Islam. Meskipun perkawinan yang tidak dicatatkan adalah sah, baik menurut pandangan agama maupun adat istiadat, namun di mata masyarakat yang mengerti hukum tidak memiliki kekuatan hukum. 15 Hal ini mungkin sebagian masyarakat muslim masih ada yang berpegang teguh kepada perspektif fiqih tradisional, menurut pemahaman sebagian masyarakat bahwa perkawinan sudah sah apabila ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam kitab- kitab fikih sudah terpenuhi, tidak perlu ada pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama dan tidak perlu surat nikah. Sebagai akibat dari pemikiran tersebut di atas, 14 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta : CV. Akademika Pressindo 2007, h 114 15 Muhammad Zain dan Muhkhtar Alshodiq, Me mbangun Keluarga Harmonis “Counter Legal Draft Kompilasi Huku m Islam yang Kontroversial itu”, Jakarta Grahacipta 2005, h 38 banyak timbul perkawinan di bawah tangan tanpa melibatkan pegawai pencatat nikah sebagai petugas resmi mengenai urusan perkawinan. 16 Bahwa dari uraian di atas, perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah dimata masyarakat yang mengerti hukum, tetapi pada kenyataannya masih saja hingga saat ini para pelaku perkawinan di bawah tangan masih berlanjut tanpa ada hentinya dan masih banyak orang-orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Seperti yang terjadi dilingkungan desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi, sering ditemukan banyaknya perkawinan yang dilaksanakan tanpa adanya pencatatan didalamnya, padahal sudah jelas-jelas melanggar undang-undang. Bila dikaitkan dengan akibat hukum dari perkawinan di bawah tangan itu yang tidak menggambarkan adanya kepastian hukum bagi generasi penerus. Demikian juga Undang- Undang No 1 Tahun 1974 telah merupakan ijma’ para ulama yang wajib diikuti oleh umat Islam demi menjamin kepastian hukum dan kemaslahatan umum. 17 Berawal dari latar belakang ini, penulis melihat dan mengamati kehidupan masyarakat Desa Wibawa Mulya Kecamatan Cibarusah Kabupaten Bekasi dalam hal perkawinan diantara mereka masih banyak yang tidak mencatatkan perkawinan, kalau 16 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group 2006, h 47 17 Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama Dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta : Sinar Grafika 2006, h 23 tidak disosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan, maka akan semakin banyak orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan. Berdasarkan uraian diatas, penulis ingin sekali mengadakan penelitian terhadap perkawinan di bawah tangan, dan hasilnya akan dituangkan dalam skripsi dengan judul ”PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI DESA WIBAWA MULYA KECAMATAN CIBARUSAH KABUPATEN BEKASI ”.

B. Identifikasi Masalah