5. Batavia sebagai Pusat Perdagangan Internasional

dagang yang bersangkutan dan pegawai dari negeri Belanda mengirim laporan- laporan secara langsung di bawah pengawasan Pemerintah Batavia. 67 Menurut Hoge Regering dalam penciptaan hubungan langsung itu menyebabkan Batavia tidak dapat lagi memainkan pelayaran dan Perdagangan dengan semestinya. Oleh sebab itu, Batavia sesungguhnya telah memuaskan kepada Hoge Regering pada tahun 1636, namun dengan adanya penghentian pelayaran langsung ke Koromandel, Surat, Gamron, yang telah dimulai sebelum Kota Batavia didirikan. 68 Akan tetapi, 30 tahun kemudian Gubernur Jenderal dan Raad van Indie terpaksa meningkatkan status Sri Langka menjadi basis perdagangan maritim yang kedua, di samping Batavia, bagi kapal-kapal yang masuk dari Eropa atau berangkat lagi ke sana. Menurut Boxer, kelompok ini dipimpin oleh dewan pengelola yang terdiri dari 17 utusan kamar-kamar dagang di Belanda. Kedudukan raja sebagai penguasa negeri hanya sebagai pelindung saja, 69 Sementara itu Heren Zeventien mengizinkan berhubungan dagang dengan Sri Langka hingga diluruskan ke Belanda agar VOC memenuhi kebutuhan akan merica di pasar Eropa, yang tumbuh lebih pesat. Kini merica Malabar, yang bagaimanpun dibawa lebih dulu ke Sri Langka, dapat dingkut ke negeri Belanda dengan lebih pesat dan segera mungkin. Di 67 ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie Hoge Regering, 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 68 ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie Hoge Regering, 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42 69 C R Boxer, Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602 – 1799, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hal. 9-11 samping itu, kayu manis tidak usah dipindahkan dari Sri Langka sendiri, tidak usah lagi dipindahkan di Batavia ke kapal yang akan membawanya ke Eropa, sehingga lebih cepat sampai dan mutunya lebih terjamin. 70 Tidak lama setelah Sri Langka berhubungan langsung dengan negeri Belanda timbullah persaingan sengit antara gubernur Rijklof van Goens, dengan Hage Regering. Menurut Van Goens, sebaiknya Sri Langka, tegasnya kota Galle, yang menjadi tempat kapal-kapal VOC berangkat berlayar ke tanah air, dijadikan titik temu kapal-kapal yang hendak berlayar bersama-sama ke Eropa. Berkat upayanya, sekali-kali armada berangkat berlayar dari Sri Langka membawa muatan lebih kaya dibandingkan kapal-kapal dari Batavia. lalu direksi VOC membuka jalur pelayaran langsung dari Koramandel dan dari Benggala. Tetapi jalur ini tidak sukses, karena Batavia tidak mendukung kebijakan ini. Hoge Regering menduduki tempat semula. Pada abad XVII, selain Batavia hanya Galle yang mempunyai perhubungan langsung dengan Belanda. Perubahan ekonomi-perdagangan maritim Batavia pada abad XVIII, menyebabkan perubahan lain dalam lalu-lintas pelayaran dan perdagangan maritim. Dalam tahun 1700-1730 secara beriringan kapal- kapal dijuluki ‘kapal- kapal kopi dari Moka Pantai Laut Merah menuju negeri Belanda, lewat Galle. Ada perkembangan lain, yang lebih penting lagi pada tahun 1728, setelah bentrokan sengit Heren Zeventien dengan Hoge Regering, tercipta hubungan dagang antara negeri Belanda dengan Kanton Guangzhou. Sampai tahun 1733 70 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia dan ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie Hoge Regering, 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 41 dan 42 Kamer Amsterdam dan Kamer Zeeland mengirimkan 13 kapal ke Kanton, tetapi tidak satupun yang sampai di pelabuhan Cina bagian Selatan. Maka pengiriman kapal dipercayakan kepada Batavia, dengan pengertian bahwa di antara dua atau tiga kapal yang setiap tahunnya berlayar dari Batavia ke Cina, hanya satu yang kembali membawa barang-barang dagangan semisal, teh dan porselin guna menyusuri Selat Sunda. Dan Akhirnya, pada tahun 1756, bersamaan dengan pembentukan Chinase commissie Komisi Cina, lalu-lintas perdagangan maritim beserta barang-barang muatannya semisal teh dan porselin, diurus di negeri Belanda sendiri; pelayaran langsung ke sana tetap dipertahankan. 71 Sesudah Galle dan Kanton Guangzhau, dalam abad XVIII pos dagang VOC di Benggala, Hoogly, menjadi pelabuhan yang ketiga yang mempunyai hubungan dagang dengan Belanda. Mulai 1734 setiap tahun, kapal berlayar dari Benggala ke negeri Belanda. Selain itu, sejak tahun 1750 setiap tahun Kamer Amsterdam mengirim kapal langsung ke Hooghly. Mulai tahun 1770 Koramandel juga termasuk dalam jaringan pelayaran dan perdagangan ini. Meski demikian, adanya hubungan dagang secara langsung dengan pos-pos dagang di Asia pada hakikatnya tidak mengganggu posisi Batavia sebagai pos dagang yang menjadi pusat VOC di Asia. Batavia menjadi pusat administrasi dan pembukuan. Lagi pula, aktivitas dagang kesemuanya ini dalam aktivitas perdagangan yang bercorak maritim dengan Sri Langka, Kanton, Benggala, 71 lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie Hoge Regering, 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 42 kesemuanya itu haruslah tunduk kepada Hoge Regering yang berpusat di Batavia. 72 Pusat-pusat niaga VOC tersebut menjalin kaitan yang erat dan begitu jauh dengan jaringan bandar niaga sebelumnya. Daerah-daerah yang tidak menghasilkan rempah-rempah tidak masuk dalam jangkauan VOC, sedangkan daerah-daerah yang menghasilkan rempah-rempah seperti Ambon, Ternate, dan Bandaneira berkaitan langsung dengan pusat VOC di Batavia.

B. Komoditas Ekspor dan Impor Batavia

Lokasi yang stategis sangatlah menguntungkan bagi Batavia karena terletak pada jalur persilangan lalu lintas perdagangan dunia. Maka semakin membuat padat jalur perdagangan maritim di kawasan Asia Tenggara. Adanya Pelabuhan Batavia dapat mendorong arus distribusi barang-barang dagangan yang berlangsung sangat cepat. Sehingga posisi Belanda sampai saat itu, keberadaannya masih tetap di Batavia. Dan memberlakukan kebijakan-kebijakan sebagai daya upaya untuk mengendalikan perdagangan beras di Pantai Utara Pulau Jawa yang pada saat itu di kuasai oleh para pedagang Cina dengan melakukan pembatasan perdagangan beras serta memberlakukan penarikan pajak. Dalam pembatasan perdagangan beras, Batavia menangani 40 dari perdagangan beras yang terdiri dari volume perdagangan sekitar 500,000 pikul, sisa 60-nya ditangani oleh pedagang Cina dan pedagang pribumi. Dari penarikan pajak, pemerintah Batavia pada saat itu 72 Wawancara Pribadi, Dr. Harto Juwono, Selaku dosen Universitas Indonesia, pada tanggal 24 Mei 2011 didalam Arsip Nasional Republik Indonesia. dan lihat ANRI, dalam koleksi Inventaris van het archief van de Gouverneur Generaal en Raden van Indie Hoge Regering, 1612-1811, Jakarta, 2002, hal. 43 masih diperkuat dari orang-orang Belanda memperoleh tiap tahun pajak dari Cirebon sebesar 1,900 pikul beras pada satu ukuran dari 0.57 rds, dari propinsi Jawa Timur sebesar 28,000 pikul satuan beras dengan satuan ukuran dari 0.54 rds serta hasil dari harga pokok rata-rata 0.5 rds rijksdaalder. 73 Batavia pada saat itu masih dikendalikan Belanda, juga memberlakukan kebijakan-kebijakan dari pembelian semua keperluan dari pedagang beras pada pasar perdagangan besar di Batavia sehingga VOC membuat sebuah laba bruto imajiner dari perdagangan beras sebesar kira-kira 150. 74 Batavia sebagai pasar yang amat penting bagi dunia perdagangan beras selain dijaga ketat oleh pegawai Belanda karena posisi istimewa di Batavia dalam dunia perdagangan beras. Selain itu, Pemerintah Batavia juga memberlakukan larangan ekspor beras ke luar negeri karena pada saat itu, di Batavia sedang dilanda krisis pangan sehingga kebijakan tersebut dilakukan untuk menghindari kelaparan di Batavia. Pemerintah Batavia yang di dalamnya orang-orang Belanda juga memerintahkan administrasi lokal untuk menutup sungai-sungai di Pulau Jawa untuk perdagangan beras, karena adanya kegagalan agraris-maritim. Sehingga kebutuhan barang ekspor dan impor meningkat dengan pesatnya. Barang-barang dagangan yang merupakan komoditi ekspor antara lain: garam, merica pala, adas, cengkeh, kayu gaharu, kayu cendana, damar, kapur barus, gula tebu, pisang, pinang, kapuk, kelapa, kain sutra dan kain katun. Sedangkan komoditi impor yaitu: kain sutra, payung sutra, nila, lilin, belanga besi, piring, mangkuk, keramik cina, warangan, tikar pandan, merica, pala, kapur barus, emas, 73 Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25 74 Lihat Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., hal. 9-25 perak, tembaga dan lain sebagainya. Barang tersebut diperjualbelikan antar-Pulau, antar-pedagang di Nusantara dan juga pedagang asing yang memasuki Batavia sampai ke luar-masuk Pelabuhan Batavia. 75 Ketika Batavia mendatangkan produk dari India, maka Cina berdagang dengan membawa misi berdagang, menjual barang untuk impor dan sebagian komoditasnya andalan dalam bentuk barang dagangan yang dimiliki oleh Cina. Banyak indikasi yang menggambarkan distribusi barang dagangan melalui jalan laut. Banyak yang dilakukan China di Batavia, semisal; melakukan aktivitas perdagangan maritim disertai dengan transito bagi barang-barang dagangan ke tempat di tuju Batavia. China selalu meramaikan barang impor, yakni porselin dan teh dalam abad XVII. Ada beberapa kategori yang mengasumsikan tentang adanya barang dagangan yang diimpor oleh Belanda di wilayah Batavia semisal; ikan, gambir, beras, dan untuk Pulau Jawa mengekspor tembakau. Dalam kategori konsumsi manusia, itu muncul bahwa Batavia adalah importir besar ikan, gambir, padi, dan tembakau Jawa. Jumlah beras, yang paling dasar komoditas, mencapai lebih dari 122,000 pikul. 76 Beras serta lebih dari 4.000 pikul tembakau terutama berasal dari Jawa Tengah. Gambir, sebesar lebih dari 3,500 pikul, datang selat Malaka, khususnya dari Malaka. Ikan, sebesar 1000 pikul yang diimpor dari berbagai tempat, antara yang paling menonjol adalah Siam. Apakah hubungan ini adalah bagian dari pola yang teratur atau yang bersifat sekali-kali berhubungan dalam jalur perdagangan 75 Armando Cortesao ed, op. cit., jilid 2, hal. 270 dan lihat Thomas Stamford Raffles, op. cit., hal 125 76 Gerrit J. Knaap, Shallow Water, op. cit., 49