bimbingan dan penyuluhan dibidang hukum termasuk sasaran bantuan hukum dan lain sebagainya.
19
Sementara pengertian bantuan bantuan hukum oleh jaksa Agung RI menyatakan bawa bantuan hukum adalah pembelaan yang diperoleh seorang
terdakwa dari seorang penasehat hukum sewaktu perkaranya diperiksa dalam pemeriksaaan pendahuluan atau proses perkaranya dimuka pengadilan.
20
Seminar Pembinaan profesi hukum berpendapat bahwa pengertian bantuan hukum terdiri dari bantuan hukum diluar pengadilan. Pemberian bantuan hukum
didalam pengadilan menimbulakan masalah verpilichte procururstelling yang berarti hak dan kewajiban mendaptkan bantuan hukum. Hak untuk mendapatkan bantuan
hukum tersebut dilayani sebagai berikut: 1.
Mewajibkan oengadilan untuk menunjukan secara langsung atau melalui organisasi profesi advokat untuk mendampingimewakili setiap orang yang
berurusan di muka pengadilan. 2.
mewajibkan seseorang dari kalangan profesi hukum untuk memberikan bantuan hukum tersebut diatas.
Menurut Clerence J Dias. Menyatakan bahwa bantuan hukum “legal aid
refers to the provision of the service of the legal profession to eneure that
19
Soeerjono Sekanto, Bantuan Hukum: Suatu tinjauan Sosio Yuridis, Jakarta: Ghalia, 1983 h. 22
20
Ibid h. 23
nonindividual is deprived of the right to recive legal advice or…legal representation before courts… for lack of financial resources.”
Dapatlah dikatakan disini bahwa yang dimaksud dengan bantuan hukum disini adalah segala bentuk pemberian layanan oleh kaum profesi hukum kepada
khalayak didalam masyarakat dengan maksud untuk menjamin agar tidak seorangpun didalam masyarakat yang akan terampas haknya untuk memeroleh nasehat-nasehat
hukum yang diperlukan atau kalau perlu juga untuk memperoleh wakil kuasa yang akan membela kepentingannya dimuka pengadilan oleh karena sebab tidak
dimilikinya sumber daya finansial yang cukup.
21
Meskipun perumusan tentang bantuan hukum yang teelah dikemukakan diatas sifatnya beraneka ragam namun dari kesemuannya itu terdapat beberapa kesamaan
prinsip yang secara keseluruhan dapat dikemukakan sebagai berikut: 1.
Bantuan hukum adalah merupakan suatu hak jadi bantuan hukum merupakan sesuatu yang dituntut oleh setiap subjek hukum bilamana ia memerlukannya
dan pemenuhannya itu merupakan suatu kewajiban 2.
Bantuan hukum adalah merupakan suatu pekerjaan yang bersifat professional yang berarti untuk melkukan pekerjaan yang dimaksud diperlukan suatu
pendidikan khusus dan keahlian khusus, keahlian yang demikian adalah berupa keterampilan untuk mempergunakan dan menerapakan suatu ketentuan
hukum in abstrakto kedalam kasus-kasus tertentu.
21
Bambang Sunggono dan Aries Harrianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jember: Mandar Maju, 1994 h. 10
3. Bantuan hukum merupakan sutau pekerjaan pemberian jasa kepada orang
yang memerlukannya, jasa tersebut dapat berupa pemikiran atau perbuatan tertentu berupa bantuan dalam mempertahankan hak, memenuhi kewajiban
hukum tertentu. 4.
Bantuan hukum diberikan untuk semua aspek kehidupan, karena hukum mengatur manusia sejak ia lahir samapi ia meninggal dunia maka bantuan
itupun harus diberikan mencangkup seluruh aspek kehidupan tersebut. Pemberian jasa ini dapat dilakukan dalam membantu pembuatan kontrak-
kontrak samapi memepertahankan dimuka pengadilan, pemikirn apa yang dilakukan dalam lalu lintas hukum dan sebagainya sehingga sifatnya menjadi
sangat luas sekali.
C. Sejarah Singkat Bantuan Hukum di Indonesia
Bantuan Hukum sebenarnya sudah dilaksanakan pada masyarakat Barat sejak zaman Romawi, dimana pada waktu itu bantuan hukum berada dalam bidang moral
dan dianggap sebagai pekerjaan yang mulia khsusnya untuk menolong orang-orang tanpa mengharapkan dan atau menerima imbalan atau honorarium.
22
Setelah meletusnya Revolusi Prancis yang momumental itu, bantuan hukum kemudian mulai menjadi bagian dari kegiatan hukum atau kegiatan yuridik, dengan
mulai lebih menekankan pada hak yang sama bagi masyarakat untuk
22
Abdurrahman, Aspek-Aspek bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: Cendana Press. 1983 h. 30
mempertahankan kepentingannya dimuka pengadilan, dan hingga awal abad ke 20 kiranya bantuan hukum ini lebih banyak dianggap sebagai pekerjaan memberi jasa
dibidang hukum tanpa suatu imbalan. Bantuan hukum khususnya bagi rakyat kecil yang tidak mampu dan buta
hukum tampaknya merupakan hal yang dapat dikatakan relatif baru dinegara-negara berkembang, demikian juga di Indonesia. Bantuan Hukum sebagai suatu legal
institution lembaga hukum, semula tidak dikenal dalam sistem hukum tradisional, dia baru dikenal di Indonesia sejak masuknya atau diberlakukannya sistem hukum
Barat di Indonesia.
23
Namun demikian, bantuan hukum sebagai kegiatan pelayanan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum dalam decade terakhir ini
tampak menunjukan perkembangan yang amat pesat di Indonesia, apalagi sejak PELITA ke III Pemerintah mencanangkan program bantuan hukum sebagai jalur
untuk meratakan jalan menuju pemerataan keadilan di bidang hukum. Dalam tulisannya, Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa bantuan
hukum secara formal di Indonesia sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, hal ini bermula pada tahun 1848 ketika di Belanda terjadi perubahan besar dalam sejarah
hukumnya. Berdasarkan asas konkordansi, maka dengan firman Raja tanggal 16 Mei
1848 Nomor 1, perundang-undangan baru dinegeri Belanda tersebut juga diberlakukan untuk Indonesia, antara lain peraturan tentang susunan Kehakiman dan
23
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1988 h. 23
Kebijaksanaan Pengadilan Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der Justice atau lazim disingkat RO.
Mengingat baru dalam peraturan hukum itulah diatur untuk pertama kalinya “Lembaga Advokat” maka dapatlah diperkirakan bahwa bantuan hukum dalam arti
yang formal baru mulai di Indonesia pada tahun-tahun itu, dan hal itu pun baru terbatas bagi orang-orang Eropa saja di dalam peradilan Raad van Justice.
Sementara itu advokat pertama bangsa Indonesia adalah Mr. Besar Mertokoesoemo yang baru membuka kantornya di Tegal dan Semarang sekitar tahun 1923.
24
Lebih tegas lagi dalam hukum positif Indonesia masalah bantuan hukum ini diatur dalam pasal 250 ayat 5 dan 6 HIRHukum Acara Pidana Lama Het Herziene
Indoneisiche Reglemen dengan cangkupan yang terbatas artinya pasal ini dalam prakteknya hanya lebih mengutamakan bangsa Belanda dari pada bangsa Indonesia
yang waktu itu lebih popular disebut inladers, disamping itu daya laku pasal ini hanya terbatas apabila para advokat tersedia dan bersedia membela mereka yang
dituduh dan diancam hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup. Pada masa penjajahan Jepang, tidak terlihat adanya kemajuan dari kondisi
bantuan hukum yang ada, sekalipun peraturan hukum tentang bantuan hukum yang berlaku pada masa Belanda seperi RO masih tetap diberlakukan, akan tetapi situasi
dan kondisi waktu itu tampaknya tidak memungkinkan untuk mengembangkan dan memajukan program bantuan hukum di Indonesia.
24
Todung Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES, 1986 h. 7-8
Keadaan yang sama kira-kira juga terjadi pada seputar tahun-tahun awal setelah bangsa Indonesia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945,
karena seluruh bangsa sedang mengkosentrasikan dirinya untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, demikian pula pengakuan kedaulatan Rakyat
Indonesia pada tahun 1950 keadaan yang demikian relatif tidak berubah. Dalam periode berikutnya sekitar pada tahun 1950-1959an terjadi perubahan
sistem peradilan di Indonesia dengan dihapuskannya secara perlahan-lahan pluralisme dibidang peradilan, hingga ada satu sistem peradilan yang berlaku bagi
seluruh penduduk Indonesia, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, demikian pula telah diberlakukan satu hukum acara yaitu HIR.
Pada periode sesudahnya yaitu pada masa kekuasaan Orde Lama Soekarno hingga pada tahun 1965, dapat dikatakan bahwa dalam periode ini merupakan saat-
saat yang rawan bagi proses penegakan hukum dinegara kita. Tampilnya babagan Demokrasi Terpimpin dalam pentas politik nasional
antara lain tidak terlepas dari munculnya dominasi peran yang dimainan Presiden Soekarno, bantuan hukum dan juga profesi kepengacaraan mengalami kemorosotan
yang luar biasa bersamaan dengan melumpuhnya sendi-sendi Negara hukum. Pada masa itu, hukum tak lebih merupakan „alat revolusi‟ sementara peradilan
tidak lagi bebas karena terlalu banyak dicampuri dan dipengaruhi secara sadar oleh tangan eksekutif, yang mencapai puncaknya dengan diundangkannya UU No. 19
tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Kekuasaan Kehakiman, dimana menurut pasal 19 tersebut telah memberi wewenang kepada Presiden untuk dalam bebrapa hal