Perumusan Masalah Analisis kebijakan pengembangan armada penangkapan ikan berbasis ketentuan perikanan yang bertanggung jawab di Ternate, Maluku Utara

5 Selanjutnya armada perikanan di Ternate yang didominasi armada skala kecil telah banyak menimbulkan berbagai persoalan. Data tahun 2004 menunjukkan jumlah armada penangkapan ikan yang ada di kota Ternate sebanyak 1125 buah kapal yang didominasi perahu tanpa motor sebanyak 762 buah atau 67,73 , kemudian motor tempel sebanyak 344 buah atau 30,57 dan kapal motor sebanyak 19 buah atau hanya 1,68 dari total keseluruhan jumlah kapal Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ternate 2005. Dari komposisi yang ada menunjukkan keterbatasan jangkauan operasi penangkapan sehingga menyebabkan adanya penumpukkan operasi penangkapan di daerah pantai, pada akhirnya diyakini akan menimbulkan gejala terjadinya over fishing seperti yang terjadi di pantai Utara Jawa. Terbatasnya armada perikanan berukuran besar yang mampu beroperasi di perairan lepas pantai dan bahkan ZEEI, telah dimanfaatkan oleh kapal asing untuk menangkap ikan di perairan tersebut dengan berbagai modus operandi. Oleh karenanya sering terjadi pencurian ikan oleh kapal asing yang menyebabkan kerugian negara yang tidak kecil, selain me ngganggu kedaulatan negara. Disisi lain, upaya pengawasan dan patroli yang semakin ditingkatkan belum dapat mengatasi permasalahan secara keseluruhan karena keterbatasan kemampuan yang ada, baik di jajaran TNI Angkatan Laut maupun instansi lain yang berwenang.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan dalam imp lementasi pembangunan perikanan tangkap hingga saat ini memiliki beberapa permasalahan, dalam aspek : 1 Pengadaan sarana produksi, 2 Pembinaanlayanan pendukung, 3 Pemasaran, 4 Proses produksi, 5 Prasarana, 6 Pengolahan hasil perikanan, dan 7 pemanfaatan sumberdaya ikan. 1 Aspek pengadaan sarana produksi Sarana produksi penangkapan ikan seperti alat tangkap, kapal, alat bantu penangkapan ikan, dan tenaga kerja mempunyai beberapa permasalahan. Masalah yang muncul dari alat tangkap, disebabkan alat tangkap yang digunakan untuk kegiatan penangkapan, masih dominan di import. Hal ini disebabkan kualitas dari 6 alat tangkap lebih baik apabila dibandingkan produksi dalam negeri. Kapal yang diproduksi oleh galangan-galangan kapal di dalam negeri harganya lebih tinggi dan kualitasnya masih rendah. Demikian pula dengan alat bantu penangkapan seperti fish finder, GPS, radio untuk komunikasi harganya masih tinggi, sehingga setiap kapal penangkapan ikan masih sulit menjangkau untuk memiliki alat-alat bantu penangkapan tersebut. Permasalahan yang dihadapi dibidang tenaga kerja adalah jumlah banyak namun keterampilan dan ketahanan melautnya rendah. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di sektor ini. Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor- faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, krisis moneter juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. Bagi nelayan penangkap ikan yang produksinya tidak berorientasi ekspor, keadaan demikian telah menurunkan tingkat hidup dan kesejahteraannya. Akibat melonjaknya dolar, harga mesin dan alat tangkap perikanan yang merupakan barang impor, membumbung tinggi. Harga jaring udang berukuran 1,5 inchi meningkat dari Rp 27.500 per buah menjadi Rp 75.000-80.000. Mesin Yanmar 10,5 PK misalnya naik dari Rp 2,5 juta menjadi Rp 5 juta. 2 Aspek pembinaanlayanan pendukung Permasalahan yang muncul dari pembinaanlayanan pendukung adalah: 1 Kebijakan pemerintah yang diterbitkan masih banyak yang kontradiktif; 2 Permodalan yang dapat mengakses untuk perbankan rendah; 3 Law enforcement rendah; 4 Adanya arogansi sektoral antar departemen; 5 Peran kelembagaan non pemerintah masih rendah. Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: 1 Produksi, 2 Pasca panen penanganan dan pengolahan, dan 3 Pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem 7 penunjangnya yang meliputi: a Prasarana dan sarana, b Finansialkeuangan, c Sumberdaya manusia dan IPTEK, dan d Hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem bidang aqubisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10 untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan di sektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi. Dari sisi peraturan dan perundang-undangan di bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum law enforcement bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun cyanida, dan juga aktivitas pena ngkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggung jawab, dan seterusnya. Di sisi lain, terjadi juga tumpang tindih over lapping kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. 3 Aspek proses produksi Permasalahan yang muncul dari proses produksi adalah: 1 Biaya kelembagaan tinggi, baik yang merupakan biaya legal maupun illegal; 2 Akses informasi berupa sumberdaya ikan dan informasi pasar masih rendah; 3 Kepastian hukum tentang perizinan dan pengalokasian daerah penangkapan ikan masih rendah serta adanya pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah; 8 4 Asuransi untuk kegiatan dalam bidang penagkapan ikan masih belum terpecahkan; serta 5 Pendapatan nelayan masih rendah. Berkaitan dengan gejala overfishing di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing adalah udang hampir mengalami overfishing di seluruh perairan Indonesia, kecuali L. Seram sampai Teluk Tomini, L. Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia. Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan- nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. Masalah lain yang terkait dengan produksi perikanan tangkap adalah tentang pencurian ikan oleh nelayan dan kapal asing. Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh ternyata terjadinya surplus hasil penangkapan ikan ke pihak asing tidak lepas dari peran berbagai pihak, baik pengusaha maupun aparat, melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: 1 Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra bisnisnya di Indonesia, melalui putusan pengadilan, pihak asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks-charter yang izinnya telah habis, 2 Kapal ikan eks-charter atau kapal yang baru dimasukkan dari luar negeri dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri, 3 Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak benar-benar terjadi karena tidak melakukan pembayaran, dan 4 Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah- murahnya. Hal tersebut ternyata juga telah menyebabkan kerugian negara sebesar US 1,362 milyar per tahun. Kondisi di atas antara lain disebabkan masih belum optimalnya pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, yang antara lain disebabkan 1 Kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang menyebabkan intensitas dan efektivitas monitoring serta pengawasan menjadi berkurang; 2 Pengendalian pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan ditangani oleh berbagai instansi, sehingga memerlukan koordinasi; 3 Belum diberdayakannya Petugas Pengawas Sumberdaya Ikan WASDI dan Pengawas Kapal Ikan WASKI secara optimal. 9 Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan di beberapa daerah sehubungan dengan perebutan fishing ground, dispute antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi KabupatenKota, Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah KabupatenKota, maupun antar Pemerintah KabupatenKota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan. Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan, sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kond isi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya. Dalam perikanan tangkap, rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun seagrass beds, yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri nursery ground. Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 10 4 Aspek prasarana Permasalahan yang muncul dari prasarana kegiatan penangkapan ikan adalah: 1 Banyak pelabuhan perikanan tidak berfungsi optimal, disebabkan karena tidak adanya suplai BBM, es, Air tawar, pelelangan, dan suasana keamanan yang tidak kondusif; 2 Sanitasihygiene pelabuhan rendah; 3 Pelabuhan ekpor terbatas. Prasarana Perikanan yang ada di Propinsi Maluku Utara terdiri dari 1satu buah Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate di Kota Ternate, 2 dua buah Pelabuhan Perikanan Pantai yaitu di Tobelo Halmahera Utara dan Bacan Halmahera Selatan. 5 Aspek pengolahan Permasalahan yang muncul dari pengolahan hasil perikanan adalah: 1 Kelangkaan bahan baku berupa ikan, bahan saus media dan tin plate; dan 2 Sumber air yang digunakan untuk kegiatan pengolahan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen penanganan dan pengolahan produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya masih lemah. Sebagai contoh, Thailand yang volume produksi ikan tunanya di bawah Indonesia, ternyata nilai ekspor produk ikan tuna olahannya jauh melampaui nilai ekspor Indonesia, karena Thailand sangat inovatif dan kreatif dalam mencari nilai tambah melalui berbagai teknologi pengolahan ikan tuna, yang antara lain meliputi: 1 Sashimi, sushi fresh; 2 Frozen; 3 Loin; 4 Fish Cake; 5 Surimi; 6 Canning; 7 Fish Oil; 8 Salted Fish; 9 Fish Meal ; 10 Fish Ball; 11 Tuna Sausage; 12 Tuna Ham; dan 13 Fish Crackers . 6 Aspek pemasaran Permasalahan yang muncul dari pemasaran hasil perikanan adalah: 1 Market intelligence rendah; 2 Harga tidak kondusif; 3 Pangsa pasar; 4 Pasar domestik masih lemah; 5 Transportasi belum menunjang. Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembelikonsumen buyer market . Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang 11 menguntungkan pihak produsen nelayan atau petani ikan. Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera preference para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian delivery produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. 7 Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan Sumberdaya ikan merupakan milik bersama common resources, sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara perorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan. Potensi sumberdaya akan standing stock yang terdapat diperairan Maluku Utara diperkirakan mencapai 694.382,48 ton dengan potensi lestari yang dapat dimanfaatkan Maximum Sustainable Yield sebesar 347.191,24 ton per tahun yang terdiri dari ikan pelagis besar 211.590.00 ton per tahun dan ikan demersal 135.005,24 ton per tahun. Dari perkiraan potensi tersebut menunjukan bahwa potensi sumberdaya tersebut cukup prospektif untuk dikelola dan dikembangkan. Sampai tahun 2002 tingkat pemanfaatan baru mencapai 26,51 , hal ini masih dapat ditingkatkan lagi melalui upaya penangkapan yang ramah lingkungan PRPT, 2006. Pemanfaatan sumberdaya ikan di Ternate Maluku Utara sebagaimana dipesankan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries diharapkan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan yg bertanggung jawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat eksploitasi dengan sumberdaya ikan yang ada. 12

1.3 Tujuan Penelitian