115
5.3 Analisis Finansial
Analisis finansial yang dilakukan dalam usaha pengembangan perikanan di perairan Ternate, Maluku Utara meliputi perhitungan biaya investasi, biaya
operasional penangkapan, biaya total, pendapatan total dan keuntungan yang dihitung berdasarkan kriteria investasi seperti, Net Benefit Cost Ratio Net BC,
Net Present Value NPV dan Internal Rate of Return IRR terhadap 4 empat
jenis alat tangkap terpilih, yang terdiri dari purse seine, pole and line, bottom handline dan gillnet .
1 Net Present Value NPV
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Net Present Value NPV dari 4 jenis alat tangkap terpilih yang di kaji berdasarkan tahun perhitungan discount
rate sebesar 10 menunjukkan bahwa usaha penangkapan dengan menggunakan
alat tangkap purse seine dan bottom handline mempunyai nilai NPV yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Pole and line mempunyai
NPV tertinggi sebesar Rp. 297,524,776 dalam 10 tahun, diikuti dengan purse seine
dengan nilai NPV sebesar Rp. 271,778,669 dalam 10 tahun. Berdasarkan kriteria NPV maka alat tangkap pole and line, purse seine dan bottom handline
dikatakan layak dengan masa pengusahaan 10 tahun. Tabel 27 Analisis Net Present Value NPV usaha perikanan berdasarkan jenis
alat tangkap
2 Net Benefit Cost Ratio Net BC
Kriteria investasi Net BC merupakan indeks efisiensi yang perhitungannya mempergunakan data yang sama seperti NPV. Jika a melambangkan present value
jumlah sisa Bt – Ct positif dan b adalah present value nilai mutlak jumlah sisa yang negatif, maka NPV merupakan a – b dan Net BC adalah ab. Perhitungan
Tahun 10
15 20
30 Jenis Alat
Tangkap NPV
NPV NPV
NPV
Purse Seine 271,778,669 359,269,807 428,784,501 412,514,944
Bottom Handline 87,055,226 116,361,823 136,786,784 157,089,321
Gillnet 30,913,893 47,118,501 60,170,560 69,038,908
Pole and Line 297,524,776 462,008,297 530,910,682 530,910,682
116
present value sehubungan dengan kriteria tersebut mempergunakan discount rate
yang sama. Net BC ini menunjukkan gambaran berapa kali lipat benefit akan diperoleh dari cost yang dikeluarkan. Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap
4 empat jenis alat tangkap Tabel 28, diketahui bahwa hampir semua jenis alat tangkap memiliki nilai BC Ratio lebih dari 1. BC Ratio terbesar terdapat pada
jenis alat tangkap bottom handline sebesar 1,14; 1,14; 1,15; 1,15 berturut-turut untuk masing- masing tahun perhitungan 10, 15, 20, 30 tahun.
Tabel 28 Analisis Net Benefit Cost Ratio Net BC usaha perikanan berdasarkan alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun 10
15 20
30 Jenis Alat Tangkap
BCR BCR
BCR BCR
Purse Seine 1.05
1.09 1.06
1.06 Bottom Handline
1.14 1.14
1.15 1.15
Gillnet 1.04
1.05 1.06
1.06 Pole and Line
1.12 1.15
1.15 1.15
3 Internal Rate of Return IRR
Internal Rate of Return merupakan salah satu analisis yang digunakan
dalam menentukan kelayakan suatu usaha. IRR adalah suatu nilai discount rate i yang membuat NPV dari proyek atau usaha menjadi nol 0. IRR bertujuan untuk
mengetahui persentase keuntungan dari suatu usaha setiap tahun dan juga merupakan alat ukur bagi kemampuan usaha dalam mengembalikan bunga
pinjaman. IRR dapat juga dianggap sebagai tingkat keuntungan atas investasi bersih dalam suatu usaha.
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai Internal Rate of Return IRR dari 4 empat jenis alat tangkap yang dikaji memberikan gambaran bahwa semua jenis
alat tangkap memiliki IRR di atas 10 Tabel 29, ini menunjukkan bahwa persentase yang dihasilkan masih lebih besar dari bunga bank yang berkisar 10
- 15 sehingga menjadi daya tarik bagi nelayan dan pengusaha untuk berusaha dengan menggunakan alat tangkap terpilih tersebut.
117
Tabel 29 Analisis Internal Rate of Return IRR usaha perikanan berdasarkan jenis alat tangkap di perairan Ternate, Maluku Utara
Tahun 10
15 20
30 Jenis Alat Tangkap
IRR IRR
IRR IRR
Purse Seine 26.49
27.43 27.65
27.69 Bottom handline
38.17 38.95
39.00 39.01
Gillnet 14.00
16.32 16.78
16.88 Pole and Line
30.60 32.13
32.22 32.25
Dari empat jenis alat tangkap yang dianalisis, yang mempunyai nilai IRR lebih besar dari bunga bank dengan discount rate 10 adalah berturut-turut
bottom handline dengan IRR sebesar 38.17 , Pole and Line dengan IRR sebesar
30.60 dan purse seine dengan IRR 26.49 , maka hanya 3 jenis alat tangkap yang cukup layak untuk dijadikan suatu usaha yaitu bottom handline, pole and
line , dan purse seine.
4 Analisis Prioritas
Dari hasil analisis ekonomi yang telah dijelaskan diatas, dapat kita lakukan analisis prioritas dari ke 4 jenis alat tangkap yaitu: bottom handline, pole and line,
gillnet dan purse seine Tabel 30. Analisis prioritas dilakukan dengan
menggunakan skala 1 sampai 4 dimana nilai satu merupakan nilai terendah. Hasil dari analisis prioritas ini digunakan untuk menentukan 3 besar alat
tangkap yang kemudian akan dilakukan analisa ekonomi berdasarkan Gross Ton dari ketiga jenis alat tangkap tersebut.
Tabel 30 Nilai Scoring Berdasarkan NPV, BC, IRR
Nilai Skoring Berdasarkan NPV
BC IRR
No Nama Alat
Tangkap 10
15 20
30 10
15 20
30 10 15
20 30 Total
Skor Ranking
1 Purse Seine
3 3
3 3
2 2
3 3
2 2
2 2
30 3
2 Bottom
Handline
2 2
2 2
4 3
4 4
4 4
4 4
39 2
3 Gillnet
1 1
1 1
1 1
3 3
1 1
1 1
16 4
4 Pole and
Line
4 4
4 4
3 4
4 4
3 3
3 3
43 1
118
Dari hasil analisis prioritas diatas dapat disimpulkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada jenis alat tangkap pole and line. Kemudian berturut-turut bottom
handline , dan purse seine. Untuk selanjutnya, ketiga jenis alat tangkap ini akan
dilakukan analisis yang lebih mendalam berdasarkan klasifikasi ukuran kapal Gross TonGT yang dibagi menjadi 2 yaitu dibawah 10 GT dan 10 - 30 GT.
Tabel 31 Analisis Finansial Berdasarkan Klasifikasi Ukuran Kapal
Bottom Handline Purse Seine
Pole Line Jenis Kapal
= 10 GT 10-30 GT
= 10 GT 10 -30 GT
= 10 GT 10-30 GT
10 Th 45.06
39.20 20.54
27.24 6.30
33.34
IRR
15 Th 45.77
40.09 22.53
28.31 6.06
33.87 20 Th
45.81 40.14
22.70 28.45
7.50 33.97
30 Th 45.81
40.15 22.79
28.49 8.28
33.99
BCR
10 Th 1.30 1.10 1.02 1.04 1.02
1.17 15 Th
1.31 1.11 1.06 1.07 1.03
1.17 20 Th
1.33 1.11 1.03 1.04 1.03 1.18
30 Th 1.33 1.11 1.03 1.04
1.03 1.18 10 Th
72,789,060 144,668,365 49,083,135 235,825,162 51,625,894 434,911,255
NPV Rp
15 Th 97,450,342 194,977,112 85,214,240 322,869,913 81,599,493 545,621,664
20 Th 114,837,889 228,975,507 92,797,241 362,710,821 99,685,258 650,001,977
30 Th 132,344,260 266,950,960 97,542,392
376,945,401 99,685,258 660,913,386
Sebagaimana data yang disajikan pada Tabel 31 diatas, hasil analisis finansial terhadap alat tangkap bottom handline berdasarkan klasifikasi ukuran
kapal GT menunjukkan bahwa ukuran kapal = 10 GT memiliki nilai IRR dan BCR yang lebih tinggi dibandingkan kapal dengan ukuran 10 GT, sementara
nilai NPV lebih rendah. Hal Ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi alat tangkap bottom handline = 10 GT memberikan nilai yang lebih baik, namun
NPV yang diterima lebih kecil. Pada kondisi ini terdapat 2 alternatif kebijakan yang dapat diambil, yaitu:
1. Apabila ketersediaan dana investasi terbatas, sebaiknya dikembangkan bottom handline
dengan ukuran = 10 GT, karena efisiensi penggunaan dana investasi lebih tinggi.
2. Apabila ketersediaan dana investasi relatif mencukupi sebaiknya dikembangkan bottom handline berukuran 10 GT, karena akan
menghasilkan Net Cash Flow yang lebih besar. Sementara kebijakan pengembangan untuk alat tangkap purse seine dan pole
and line , sebaiknya diarahkan pada kapal-kapal berukuran 10 - 30 GT. Karena
119
berdasarkan hasil analisis finansial, baik IRR, BCR maupun NPV memberikan nilai yang lebih baik.
Kena ikan BBM per tanggal 1 Oktober 2005 menimbulkan dampak yang sangat luar biasa di berbagai sektor kehidupan dimana banyak sekali persoalan-
persoalan yang semakin rumit untuk dipecahkan. Salah satunya adalah biaya operasional melaut semakin meningkat baik untuk usaha perikanan skala kecil
sampai dengan usaha dengan usaha perikanan skala yang besar. Bila dilihat dari prosentase kenaikan BBM khususnya solar, kenaikannya melebihi 100 yaitu
dari Rp. 2100liter menjadi Rp. 4300liter jelas ini mengakibatkan biaya operasional meningkat tajam. Dalam penelitian ini juga dihitung kenaikannya
dilihat dari kenaikan BBM dan harga ikan naik rata-rata 10 , ini disebabkan sampai dengan Desember 2005 ternyata harga ikan di Kota Ternate yang
diharapkan sebagai revenue cost meningkat tetapi ternyata hanya meningkat rata- rata 10 saja, dengan kata lain pendapatan masyarakat di Kota Ternate belum
beranjak menuju perbaikan yang menggembirakan. Tabel 32 menunjukkan kenaikan harga rata-rata ikan layang dari bulan Oktober sampai dengan Desember
2005 yang tinggi sebesar 42,29 , yang diikuti dengan kenaikan harga rata-rata ikan cakalang periode yang sama yang cukup tinggi sebesar 22,35 . Kenaikan
terendah terjadi pada kenaikan harga rata-rata ikan kakap merah sebesar 3,37 . Dari hasil observasi langsung, kenaikan harga ini disebabkan permintaan terhadap
ikan-ikan tersebut tetap tinggi sedangkan pasokan ikan berkurang karena hampir 30 armada yang ada tidak dapat melaut yang disebabkan karena biaya
operasional khususnya BBM solar meningkat lebih dari 100. Selain kenaikan harga ikan disebabkan permintaan yang tinggi, kenaikan tersebut disebabkan pula
pasokanpermintaan ikan layang untuk keperluan ekspor ke Philipina melalui Kota Bitung permintaannya meningkat sehingga harga rata-rata ikan layang
menunjukkan kenaikan hingga 42,29 .
120
Tabel 32 Kenaikan harga ikan akibat kenaikan BBM Harga ikan rata-ratakg Rp
No Jenis ikan
Okt Nop
Des Rata-rata
kenaikan 1
Tongkol 6000
8000 7333,33
12,5 2
Layang 4333,33
6333,33 8766,67
42,29 3
Cakalang 7333,33
10000 10833,33
22,35 4
Tuna 10000
12000 14000
18,33 5
Kembung 5333,33
7333,33 7666,67
21,02 6
Kakap Merah 10333,33
11333,33 11000
3,37
Sumber : Data primer PPN Ternate 2005, diolah
Untuk melihat dampak kenaikan harga BBM dan harga ikan terhadap kelayakan usaha penangkapan, maka perhitungan difokuskan hanya untuk jenis
kapal beserta alat tangkap yang sudah terpilih yaitu Kapal Pole and Line 10 – 30 GT, Kapal Purse Seine 10 – 30 GT dan kapal Bottom Handline = 10 GT. Dari
hasil perhitungan Tabel 33 diperoleh hasil bahwa ketiga alat tangkap tersebut menunjukkan nilai IRR, BC Ratio dan NPV yang signifikan atau dapat dikatakan
layak untuk diusahakan walaupun dengan harga BBM yang cukup tinggi. Untuk sementara waktu sambil menunggu situasi ekonomi stabil dan daya beli
masyarakat dapat meningkat maka armada kapal bottom hand line = 10 GT dapat menjadi prioritas pertama untuk dikembangkan dikarenakan tingkat kelayakan
usahanya lebih menjanjikan dan pengembalian investasinya bisa lebih cepat, kemudian diikuti dengan armada pole and line 10 – 30 GT dan selanjutnya
armada purse seine 10 – 30 GT. Tabel 33 Analisis finansial dengan harga BBM per 1 Oktober 2005 dan denga n
harga ikan naik rata-rata 10
Jenis Kapal Bottom Handline
= 10 GT Purse Seine
10 GT Pole Line
10 GT
10 Th 41.44
46.86 19.35
20 Th 42.31
47.31 20.41
IRR
30 Th 42.31
47.31 20.47
10 Th 1.23
1.06 1.08
20 Th 1.26
1.07 1.08
BCR
30 Th 1.26
1.07 1.08
10 Th 65.856.635
450.311.073 236.881.462
20 Th 104.768.617
659.890.336 357.254.575
NPV Rp
30 Th 121.065.597
668.936.274 373.277.243
121
Dampak lainnya akibat kenaikan harga BBM adalah berkurangnya armada penangkapan ikan melaut sebanyak kurang lebih 30 , hal ini dapat terlihat pada
pasokan BBM solar yang terjual di Pelabuhan Perikanan Nusantara Ternate pada bulan Nopember dan Desember 2005 yang turun sebesar kurang lebih 30
menjadi 72 Ton dibandingkan dengan bulan-bulan sebelum kenaikan harga BBM solar yang dapat menjual solar sebanyak 96 Ton sampai 100 Ton per bulannya
Gambar 16.
20 40
60 80
100 120
Jan Feb
Mar Apr
Mei Jun
Jul Agt
Sept Okt
Nop Des
Solar terjual ton
Gambar 16 Data pasokan BBM Solar di Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Ternate Tahun 2005
122
5.4 Code of Conduct for Responsible Fisheries